Sejak diakuinya batik sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO, maka topik pembahasan
mengenai batik banyak di angkat ke ranah dunia pendidikan. Sejak Sekolah Dasar hingga Perguruan
Tinggi, Strata 1, Strata 2 hingga Strata 3.
Oleh karenanya banyak yang mencoba mengutak-atik asal kata batik itu dari mana. Karena saking
langkanya referensi, rujukan, tulisan yang sifatnya valid, maka muncullah penafsiran asal kata batik
itu dari Keroto boso.
Keroto boso atau di Indonesiakan menjadi Kerata Basa adalah mengutak-atik dua kata atau lebih
kemudian digabungkan dengan cara disingkat. Contohnya:
KUPING, karena kaKU dan njepiPING (Bhs. Jw: tipis berdiri tegak)
SEGA (nasi), karena mbeseSEG (Bhs. Jw. Sesak, penuh) dan menyebabkan leGA.
Jelas itu adalah permainan kata-kata untuk TIDAK digunakan menyebutkan hal-hal yang serius, alias
gurauan semata.
Kalau akhirnya muncul Keroto Boso dari kata batik diartikan: Batik, diambil dari kata BA dari AMBA
(ombo) = lebar dan TIK dari Titik
Ini sungguh pembodohan publik akademik yang luar biasa ceroboh. Karena kata-kata itu sampai
diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan salah satu yang memuat ada pada buku “Malaysian Batik
Reinventing Tradition” di bawah su bab The Roots of Batik halaman 24.
Dalam bahasa Jawa tidak ada kosa kata AMBA, yang ada OMBO yang artinya lebar, luas.
Jadi kalau akhirnya diartikan batik = titik yang luas itu jelas tidak benar dan memalukan.
Batik itu bukan membuat titik, tetapi membuat goresan, membuat garis, atau menulis. Makanya
membatik dengan canting itu disebut batik Tulis.
Dalam Batik itu memang ada batik Nitik, itu baru muncul di abad ke 18 (tahun 1700an) yang
merupakan tiruan terhadap motif-motif Tenun Patola dari India. Di Pekalongan Namanya Jlamprang,
di Yogya namanya Batik Nitik. Padahal istilah Batik itu sudah ada sejak abad ke 12 atau malah
mungkin lebih lama lagi.
Lebih hebat lagi ngawurnya ketika menggunakan Etimologi. Etimologi adalah cabang ilmu linguistik
yang mempelajari asal-usul suatu kata.
Menurut etimogi yang di gunakan oleh Musman dan Arini (2011), dimana tulisannya ini telah dikutip
berkali-kali oleh penulis lain, batik terdiri dari kata “mbat” dan “tik”. “mbat” dari kata ngembat yang
berarti memukul atau melempar berkali-kali. Sedangkan “tik” berasal dari kata nitik yang berarti
titik. Membatik berarti melempar titik-titik berulang kali pada selembar kain hingga membentuk
suatu corak tertentu.
Cobalah pahami uraian Musman dan Arini yang telah berani-benainya menafsirkan bahasa Jawa
dengan cara yang ngawur.
Kosa kata Ngembat dalam bahasa Jawa itu tidak ada. Yang ada dalam bahasa Sunda yang artinya
jalan lurus. Dalam bahasa Betawi ngembat merupakan kata-kata sleng yang tidak terdapat dalam
kamus. Contohnya pada kalimat: EMPAT ORANG YANG KELAPARAN ITU DATANG CARI MAKANAN,
NASI SE BAKUL DI EMBAT HABIS..
Disitu Musman dan Arini mengartikan kata ngembat yang berarti memukul atau melempar berkali-
kali. Masyaallah.. jadi batik itu pakai memukul dan melempar. Bagaimana bisa?. Tolong jangan
dipakai lagi istilah ini ya. Kasian yang baca. Anda akan melipat gandakan kesalahan dengan tulisan
yang dikutip terus menerus.
Kesimpulannya kosa kata Batik dan Ambatik adalah berasal dari bahasa Jawa Ngoko (bahasa jawa
untuk strata bawah), dimana batik (sebagai kata benda) dan ambatik (sebagai kata kerja).
Sedangkan dalam bahasa Jawa Kromo (bahasa Jawa strata atas), “batik” artinya “serat” (berupa kata
benda) yang berarti TULISAN, dan ambatik artinya nyerat (kata kerja) yang berarti MENULIS.
Kata Batik dan Ambatik diperoleh dua orang penulis diatas dari BABAD SENGKALA Codex 665 dari
Legaat-Van der Tuuk di Perpustakaan Universitas Leiden, Legatum Warnerianum, hal. 16. Anda bisa
mencari naskah Babad sangkala ini di Perpustakaan Nasional Jakarta, Pepustakaan Universitas
Indonesia, Perpustaan Universitas Gajah Mada.
Dalam kamus Bahasa Sansekerta – Bahasa Indonesia (DR Purwadi M.HUM, EKO PRIYO PURNOMO,
SIP), kosa kata Bathik (ejaan yang betul t disertai h) artinya kain batik.
Dalam penulisan pada aksara latin, kata Ambatik kadang ditulis Hambatik, karena dalam aksara Jawa
tidak ada huruf “A”, yang ada “Ho” menjadi “Ha”, oleh karenanya secara transliterasi bisa saja terjadi
kerancuan antara AMBATIK menjadi HAMBATIK. (Adi Kusrianto).
Silahkan pakai tulisan saya sebagai acuan ilmiah. Mari Kita sudahi SALAH KAPRAH dalam
mengartikan kata BATIK.
Silahkan ikuti uraian saya pada kedua link youtube di bawah ini untuk lebih jelasnya.
Salam hangat.
https://www.youtube.com/watch?v=eWlLXJjaCXs&t=2107s
https://www.youtube.com/watch?v=pJzQA7opCow
***