Anda di halaman 1dari 9

BAHASA INDONESIA RAGAM BAKU:

SESAT PIKIR, KEKURANGPATUHAN,


DAN REKOMENDASI 1

P. Ari Subagyo
Dosen Program Studi Sastra Indonesia
Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
(email: ari130267@yahoo.com)

ABSTRAK

Artikel ini membahas tiga hal. Pertama, sesat pikir tentang bahasa Indonesia (BI) dan BI ragam
baku (BIRB). Kedua, kekurangpatuhan masyarakat kepada BIRB. Ketiga, beberapa rekomendasi
tentang pembelajaran BIRB. Ada dua sesat pikir tentang BI dan BIRB, yaitu (a) BI disalahpahami
sebagai bahasa yang sudah tua dan mapan dan (b) BIRB disalahpahami hanya berurusan dengan
kaidah ejaan yang disempurnakan (terlalu sempit) atau justru dengan semua penggunaan bahasa
(terlalu luas). Kekurangpatuhan masyarakat, termasuk masyarakat akademik, kepada kaidah BIRB
disebabkan (a) latar kesejarahan bahasa Indonesia, (b) inkonsistensi acuan, (c) rendahnya mutu
pembelajaran bahasa, (d) rendahnya minat baca dan tulis masyarakat Indonesia, serta (e) mentalitas
bangsa Indonesia yang suka gandrung pada budaya luar, termasuk bahasa asing. Dalam artikel
ini juga direkomendasikan (a) pembentukan kepribadian (karakter) mahasiswa melalui perilaku
ber-BIRB pada struktur makro hingga mikro, (b) pembelajaran/perkuliahan BI yang mampu
mengasah kemampuan berpikir kritis, (c) keterpaduan langkah semua dosen mata kuliah apa pun
untuk bersama-sama patuh pada BIRB, serta (d) keterpaduan kuliah BI dan kebiasaan ber-BIRB
dengan tradisi menulis pada dosen.
Kata kunci: bahasa Indonesia, ragam baku, pembakuan, kaidah, kepribadian.

1. PENDAHULUAN genit-lesu, dan melelahken. Dasar si


hamba suka ikut-ikutan gerakgerik
“Di tengah seribu satu Reformasi tuwannja” (Anderson, 2002)
terhadap ini-itu sisa Orde Babe,
ternyata belon banjak dibitjaraken Kutipan di atas —yang ditulis dengan dialek
masalah pembebasan bahasa nasional “gado-gado” awal 1900-an— segera
dari belenggu Hukum Pindana menebarkan aroma pertentangan (kontradiksi).
Kebudajaan yang dijuluki Soeharto cs Di satu sisi, pernyataan Anderson begitu
sebagai “Bahasa baik dan benar”. melecehkan bahasa Indonesia (BI) berciri
Padahal kitorang semua mengerti “baik dan benar” yang lazim disebut BI
bahwa bahasa gupermen—jang ragam baku (BIRB). Di sisi lain, keberadaan
ngakunja baek en bener itu— BIRB dinyatakan begitu penting, bahkan
membosankennja boekan kepalang, sebagai wujud kecintaan dan kebanggaan
kaku tanpa mutu, apalagi bersifat kepada bahasa Indonesia serta untuk
dusta en pura2. Kitorang djuga melihat pengembangan kepribadian mahasiswa (bdk.
bahwa bahasa jang dipake di koran2 Keputusan Dirjen Dikti No. 43 Tahun 2006
dan madjalah2 misih sering djelek, Pasal 4 ayat (3a)).

37
38 Jurnal Ilmiah Kebudayaan SINTESIS, Volume 9, Nomor 1, Maret 2015, hlm. 37-45

Pernyataan Anderson—pakar antropologi 2. SESAT PIKIR TENTANG BI


politik dari Cornell University—sengaja DAN BIRB
dikutip tidak untuk membangkitkan pesimisme
dan turut meledek BIRB, melainkan untuk Selama ini, ada dua “sesat pikir”
menghentak kesadaran kita agar dapat seputar BI dan BIRB yang hidup subur di
melihat ihwal BI dan BIRB secara jernih. benak masyarakat. Sesat pikir pertama, BI
Kejernihan akan membawa pada strategi dan dianggap sudah tua dan mapan. Benar
langkah tepat untuk memartabatkan BI dan bahwa Soempah Pemoeda 28 Oktober 1928
BIRB, terutama di ranah akademik. Apalagi yang mengikrarkan “Kami poetra dan poetri
kolega Anderson, Siegel (1997: 8), menulis: Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean
“Sebagai lingua franca, bahasa Indonesia bahasa Indonesia” telah terjadi 86 tahun lalu.
beroperasi di antara orang-orang yang Namun, BI sesungguhnya masih muda dan jauh
berbeda-beda bahasa dan budayanya tanpa dari mapan. Kemudaan dan kekurangmapanan
menjadi milik seorang pun.” Pernyataan BI dapat dijelaskan lewat lacakan ekologis-
Siegel, terlebih bagian yang diberi garis historis berikut ini.
bawah, sama maknanya dengan: BI tidak Ketika disebut dalam Soempah Pemoeda,
pernah menjadi milik seseorang pun. Atau, BI sesungguhnya belum jelas sosoknya.
masyarakat Indonesia sesungguhnya tidak Nama “bahasa Indonesia” baru disepakati
pernah merasa memiliki BI. Begitulah pula, pada hari terakhir Kongres Pemoeda
dan terlebih-lebih, nasib BIRB. Indonesia (Indonesiaische Jeugdcongres), 30
Artikel ini tidak menggunakan kacamata April s.d. 2 Mei 1926 di Batavia (Alisjahbana,
preskriptif atau menilai benar-salah 1991: 102; Kridalaksana, 2013). Ikrar
penggunaan BI, lalu memberikan semacam pertama dan kedua (tentang “tanah air
“fatwa” tentang penggunaan yang benar. Indonesia” dan “bangsa Indonesia”) sudah
Alih-alih menghakimi, penulis justru sangat berhasil disepakati. Namun, sampai pada
memahami mengapa BI sulit dibakukan ikrar ketiga, terjadi perdebatan tentang
dan BIRB tidak mudah dimasyarakatkan, bahasa. Yang sudah digunakan luas adalah
termasuk di kalangan akademik. Bagaimana bahasa Melayu (BM), namun nama itu tidak
pun BI—dan bahasa apa pun—merupakan senafas dengan negara-bangsa Indonesia.
buah peradaban yang meng-ada (menjadi Tabrani lalu mengusulkan nama “bahasa
being) bersama dengan manusia Indonesia, Indonesia”. Jadi, baru pada 2 Mei 1926 lahir
lengkap dengan dinamika sejarah dan nama “bahasa Indonesia”.
sosiokulturalnya. Ini sejalan dengan Lalu, seperti apakah sosok BI waktu
pandangan dalam ekologi bahasa, misalnya itu? Tentu saja wajah utama BI adalah BM
Fill dan Mühlhäusler (2001), yang berasumsi yang secara umum mirip dengan bahasa
bahwa perkembangan dan daya hidup para penghuni semenanjung Malaya
(vitalitas) suatu bahasa ditentukan oleh (Malaysia, Brunei, Singapura, Riau). Namun,
lingkungan fisik dan sosiokulturalnya. BM yang menjadi embrio BI bukanlah ragam
Pembicaraan dalam artikel ini dipicu standar milik kalangan istana, melainkan BM
tiga pertanyaan. Pertama, apa saja sesat pikir pasar (BMP) yang biasa digunakan dalam
yang muncul tentang BI dan BIRB? Kedua, kegiatan jual-beli. Yang penting “bisa saling
mengapa masyarakat, termasuk masyarakat tahu” (Jawa: angger padha mudhenge). Selain
akademik, sulit mematuhi kaidah-kaidah dipenuhi bentuk-bentuk tidak resmi, BMP
BIRB? Ketiga, bagaimana mengupayakan juga sangat kaya variasi dialektal: BM Betawi,
pembentukan kepribadian mahasiswa lewat BM Ambon, BM Padang, dsb. Di kota-kota
perilaku berbahasa yang taat kaidah? niaga, BM di Nusantara identik dengan
P. Ari Subagyo – Bahasa Indonesia Ragam Baku: Sesat Pikir, .... 39

bahasa etnis peranakan Tionghoa sebab mempersatukan “komunitas terbayang”


merekalah pelaku utama perniagaan, (imagined community) bernama bangsa
misalnya BM di Jakarta, Semarang, Surabaya, Indonesia (lih. Anderson, 1991). Bahkan,
Surakarta, Palembang, Medan dan kota-kota berkat BI-lah sejarah bangsa Indonesia
lainnya. Kenyataan itu tidak melemahkan, dimulai, dan dari situlah terbangun
tetapi justru menguatkan tesis bahwa BM nasionalime Indonesia (bdk. Siegel, 1997: 8).
telah menjadi lingua franca (bahasa pergaulan) Meskipun demikian, penting dicatat
di Nusantara, termasuk digunakan oleh bahwa sosok BM Pra-Indonesia (atau pra-BI)
kaum penjajah. Memang sejak menguasai sebenarnya tidak tunggal. Terlebih karena
Nusantara sejak abad ke-16, penguasa situasi sosiokultural masyarakat Indonesia
kolonial praktis menggunakan BMP untuk amat majemuk. Oleh sebab itu, sejak 1928
menjalankan pemerintahan. Dalam ranah dilakukan berbagai upaya untuk lebih
hukum, sebelum Vereenigde Oost-Indische menegaskan sosok BI, terutama lewat
Compagnie (VOC) menundukkan Portugis angkatan sastrawan Pujangga Baru (1933),
dan menguasai Nusantara pada Maret persuratkabaran dan penerbitan, administrasi
1602, telah disusun Undang-undang Malaka pemerintahan, penyebaran agama, Kongres
yang menggunakan BM, yakni sewaktu I BI (1938), sekolah ber-BI, dan medan politik.
pemerintahan Sultan Muhammad Syah Langkah politik dilakukan fraksi nasional
(1422-1444) dan Sultan Muzaffar Syah dalam Volksraad yang dipimpin M. Hoesni
(1445-1458) (Fang, 2011: 523). Kumpulan Thamrin. Mereka memutuskan untuk
peraturan tersebut mencakup Undang- menggunakan BI dalam penyampaian
undang Laut, Hukum Perkawinan Islam, pandangan umum di dewan rakyat tersebut
Hukum Perdagangan dan Syahadat, (lih. Kridalaksana, 1991: 238).
Undang-undang Negeri, dan Undang- Kehadiran Jepang yang relatif singkat
undang Johor. Aturan-aturan itu lalu berdampak positif bagi perkembangan BI
digunakan pula di berbagai kerajaan (Islam) karena pemerintah pendudukan Jepang
di Sumatera, termasuk Aceh (bdk. Collins, berusaha meraibkan pengaruh Belanda
2011: 24). Adapun VOC mulai menggunakan secara revolusioner. Bahasa Belanda
BM dalam pengadilan di Ambon sejak tahun diharamkan dan “komisi istilah” untuk
1632, diawali oleh seorang panitera bernama pengembangan kosa kata BI didirikan.
Jan Paijs (Collins, 2011: 63). Karena itu, Semangat untuk memutus pengaruh bahasa
dapat dimaklumi jika Mrázek (2002) Belanda berlanjut setelah kemerdekaan,
menyebut BM dan BI sebagai “aspal bagi termasuk lahirnya Edjaan Soewandi atau
kolonial”. Edjaan Repoeblik (1947).
Adapun menurut lacakan Subagyo Terlepas dari penggal sejarah 1950-an
(2013), selama 1856-1928 telah terjadi revolusi hingga 1965, revolusi besar terhadap BI
BM menjadi BI. Ada enam pemicu, yaitu (a) terjadi selama Orde Baru. Didorong oleh
hadir dan maraknya persuratkabaran motif menghilangkan keterikatan ideologis
dengan BM, (b) menggeliatnya penerbitan dengan Orde Lama (yang identik dengan
dengan BM, (c) lahirnya angkatan sastrawan pemikiran-pemikiran Soekarno), penguasa
dengan BM, (d) meluasnya penyebaran agama Orde Baru mendorong BI menjadi “bahasa
(dakwah, misi, dan zending) dengan BM, baru”. EYD yang digagas sejak 17 Agustus
(e) bergiatnya pendidikan dengan BM, serta 1967, dan diresmikan dengan SK Menteri
(f) tumbuh dan berkembangnya nasionalisme Pendidikan dan Kebudayaan No. 03/A.I/72
Indonesia. Melalui perkembangan revolusioner tanggal 20 Mei 1972, lalu diperkuat dengan
itu, meski sosoknya belum jelas, BI mampu SK Presiden No. 52 tertanggal 17 Agustus
memenuhi tugas sejarah dan tugas peradaban 1972, sangat beraroma ideologis. Selain
sebagai bahasa persatuan. BI mampu disebut EYD, ejaan itu juga lazim dinamai
40 Jurnal Ilmiah Kebudayaan SINTESIS, Volume 9, Nomor 1, Maret 2015, hlm. 37-45

“ejaan baru” yang dipertentangkan dengan digunakan untuk acara-acara resmi.


“ejaan lama” yang terkesan kuno dan layak Pemahaman yang tidak pas tentang konteks
ditinggalkan. EYD (“ejaan baru”) merupakan waktu dan tempat penggunaan BIRB justru
representasi permulaan revolusi ideologi akan (bahkan telah) melahirkan ejekan dan
lewat bahasa. cemoohan kepada BIRB, seperti ditulis
Revolusi berikutnya terjadi seiring Anderson (2002) yang dikutip di awal tulisan
dengan pengembangan dunia keilmuan. BI ini. Penggunaan BIRB tanpa hirau konteks
sangat miskin kosa kata ilmiah sehingga ibarat memakai stelan jas untuk memancing
dibukalah gerbang untuk peminjaman di empang: konyol dan tidak perlu!
(borrowing) istilah-istilah keilmuan, terutama
dari bahasa Latin dan Inggris. Ini menjadi
konsekuensi logis sekaligus awal bagi 3. KEKURANGPATUHAN
pembentukan identitas BI sebagai bahasa KEPADA KAIDAH BIRB
ilmu, yang—ironisnya—sekaligus menjadi
awal kaburnya jatidiri BI. Kekesalan dan Pembakuan (standardisasi) merupakan
ungkapan tak berdaya atas dominasi bahasa serangkaian upaya untuk memantapkan sosok
asing, terutama bahasa Inggris, dapat dibaca (korpus) sebuah bahasa sebagai konsekuensi
dalam opini di harian Kompas berjudul dari peran resmi yang diembannya. Dalam
“Melawan Dominasi Bahasa Inggris, perencanaan bahasa (language planning),
Mungkinkah?” (Subagyo, 2007), “Masalah pembakuan menjadi bagian dari kodifikasi
Utama Bahasa Indonesia” (Subagyo, 2008), atau perencanaan korpus (corpus planning)
dan “Menghalalkan Bahasa Indonesia” (lih. Wardhaugh, 1992). Langkah itu meliputi
(Subagyo, 2009). Pendek kata, BI sebagai penyusunan tata bunyi, tata ejaan, tata kata,
bahasa keilmuan sungguh masih muda dan tata istilah, tata frasa, tata kalimat, tata
belum mantap, bahkan lalu terkesan sebagai wacana, kamus besar, kamus-kamus teknis,
“bahasa karbitan”. dan pedoman-pedoman praktis yang
Sesat pikir kedua, BIRB seolah-olah berkaitan dengan penggunaan ragam-ragam
hanya berurusan dengan kaidah ejaan yang suatu bahasa. Pembakuan BI tidak terelakkan
disempurnakan (EYD), atau justru menyangkut sebab BI mengemban dua kedudukan
semua penggunaan bahasa. Pemahaman penting, yaitu sebagai bahasa persatuan
pertama terlalu sempit, sedangkan pemahaman (bahasa nasional) sejak Soempah Pemoeda
kedua terlalu luas. Perlu diluruskan bahwa 28 Oktober 1928 serta sebagai bahasa negara
BIRB tidak hanya mencakup kaidah EYD. sebagaimana tercantum dalam UUD 1945,
Kaidah EYD tentu saja penting, tetapi itu Pasal 36.
hanya sebatas mengatur tata penulisan Dalam Seminar Politik Bahasa Nasional
huruf, angka, dan tanda baca. Ada kaidah (1975), dua kedudukan itu dijabarkan lebih
lain yang menyangkut tataran kebahasaan lanjut. Sebagai bahasa persatuan, BI
yang lebih besar/tinggi, yaitu (1) tata kata berfungsi menjadi (1) lambang kebanggaan
(morfologi), (2) tata makna dan istilah nasional, (2) lambang identitas nasional,
(morfologi dan semantik), (3) tata frasa dan (3) alat pemersatu berbagai suku bangsa
kalimat (sintaksis), serta (4) tata wacana. yang berlatar sosial-budaya dan bahasa
Dibandingkan EYD, terutama (3) dan (4) jauh yang berbeda, serta (4) alat perhubungan
lebih penting sebab menyangkut logika antardaerah dan antarbudaya. Adapun
kalimat, keruntutan penalaran, dan daya sebagai bahasa negara, BI berfungsi menjadi
kritis pengguna bahasa. (1) bahasa resmi negara, (2) bahasa pengantar
Perlu diluruskan pula bahwa BIRB di dalam dunia pendidikan, (3) alat
tidak pada tempatnya digunakan pada perhubungan dalam tingkat nasional untuk
semua situasi dalam pergaulan sehari-hari. kepentingan perencanaan dan pelaksanaan
BIRB ibarat stelan jas yang hanya cocok pembangunan nasional serta kepentingan
P. Ari Subagyo – Bahasa Indonesia Ragam Baku: Sesat Pikir, .... 41

pemerintahan, serta (4) alat pengembangan Terkait dengan masalah pertama dan
kebudayaan, ilmu penge-tahuan, dan kedua, tampak jelas bahwa bahasa Malaysia
teknologi. Dua kedudukan dan delapan (BM di Malaysia) jauh lebih konsisten.
fungsi itu membuat BI sebagai bahasa paling Acuannya bahasa Inggris dan penulisan
utama dalam komunikasi masyarakat mengikuti pengucapan. Periksa perbandingan
Indonesia. Karenanya, pembakuan sangat berikut ini (diambil dari Prentice, 1991: 186):

Bahasa Indonesia Bahasa Malaysia


sepeda (Belanda velocipede) basikal (Inggris bicycle)
karcis (Belanda kaartjes) tiket (Inggris ticket)
kopor (Belanda koffer) beg (Inggris bag)
ban (Belanda band) tayar (Inggris tyre)
sekering (Belanda zekering) fius (Inggris fuse)

diperlukan agar komunikasi berjalan dengan Ketiga, masih rendahnya mutu


baik dan ada patokan/rujukan yang jelas. pembelajaran Bahasa Indonesia. Kurikulum
Itulah esensi keberadaan BIRB: menjamin silih berganti seiring dengan pergantian
lancarnya komunikasi karena semua pihak menteri. Pendekatan datang dan pergi, para
menggunakan patokan/rujukan yang sama. guru/dosen pun berusaha mengikuti dengan
Mengapa masyarakat, termasuk setengah mati. Namun, selalu terlupa bahwa
masyarakat akademik, kurang mematuhi bahasa adalah pikiran; pembelajaran bahasa
kaidah-kaidah BIRB? Setidaknya ada lima adalah pembelajaran berpikir dan cara
penyebab. Pertama, adanya latar kesejarahan berpikit. Praktik menjadi penting, dan guru/
BI yang tidak sejalan dengan orientasi dosen seyogianya sekaligus sebagai praktisi
kebijakan pembakuan BI. Secara historis, yang sanggup memberi teladan, terutama
awalnya BI mengikuti bahasa Belanda (BB) dalam berbicara dan menulis. Dalam
sebab Indonesia merupakan jajahan Belanda. kenyataannya, guru/dosen Bahasa Indonesia
Namun, sejak Indonesia merdeka (1945), BI hanya sebagian sangat kecil yang mampu
lebih berorientasi pada bahasa Inggris (BE) berbicara dan menulis secara bernalar dan
sebab BE menjadi lingua franca dunia dan tertata rapi.
bahasa internasional yang paling utama. Keempat, rendahnya budaya baca dan
Akibatnya, sebagian masyarakat menggunakan tulis masyarakat Indonesia. Minat baca
kata, misalnya, analisa dan metamorfosa yang masyarakat Indonesia terendah di ASEAN.
terpengaruh BB, sedangkan sebagian yang Menurut hasil survei UNESCO tahun 2013,
lain menggunakan kata analisis dan indeks minat baca masyarakat Indonesia
metamorfosis yang terpengaruh BE. Penting 0.001. Artinya, di antara 1000 orang, hanya
dicatat, resistensi besar pernah terjadi di ada 1 orang yang berkebiasaan membaca.
kalangan terdidik awal bangsa Indonesia Jumlah judul buku yang terbit setiap tahun
yang nyaris semua hasil didikan Belanda. juga sedikit, yaitu 18.000 judul/tahun.
Mereka merasa lebih sreg menggunakan Sebagai pembanding, di Jepang terbit 40.000
bahasa Jawa dan BB. judul/tahun, di India 60.000 judul/tahun,
Kedua, adanya inkonsistensi acuan. Yang dan di Cina 140.000 judul/tahun. Budaya
dirujuk penulisan atau pengucapannya? tulis juga rendah. Hadirnya perangkat
Periksa pasangan-pasangan kata berikut ini: komunikasi seperti telefon seluler, internet,

manajemen vs managemen Perancis vs Prancis memperoleh vs memeroleh


marjinal vs marginal jadual vs jadwal memperhatikan vs memerhatikan
marjin vs margin kuitansi vs kwitansi kreativitas vs kreatifitas
jender vs gender kualitas vs kwalitas standar vs standard
42 Jurnal Ilmiah Kebudayaan SINTESIS, Volume 9, Nomor 1, Maret 2015, hlm. 37-45

dan media sosial memang meningkatkan termasuk dalam “kesetiaan bahasa” (language
produktivitas masyarakat Indonesia dalam loyalty). Keadaan semacam ini membuat
menulis. Namun, yang ditulis bukanlah BIRB makin jauh dari selera masyarakat,
gagasan konseptual yang canggih. Alih-alih terutama bagi kaum muda, termasuk siswa
mengembangkan budaya tulis yang dan mahasiswa.
sesungguhnya, komunikasi tertulis lewat
ponsel, internet, dan media sosial sekadar
menyalurkan hasrat berkawan. Fenomena itu 4. BEBERAPA REKOMENDASI
menguatkan dugaan Teeuw (1994) bahwa
mayoritas masyarakat Indonesia “melompat” Bagaimana mengupayakan pembentukan
dari budaya khirografik (mendengar) ke kepribadian (mahasiswa) lewat perilaku
dalam budaya elektronik (mendengar dan berbahasa yang taat kaidah? Berikut ini
menonton) tanpa melalu budaya baca-tulis dikemukakan beberapa rekomendasi.
yang sungguh-sungguh mendarah-daging. Pertama, penting dipahami bahwa
Saat budaya baca belum kuat benar, mereka perilaku berbahasa sangat berkaitan dengan
dimanja tradisi pascabaca (mendengar dan perilaku lain. Ada ataupun tidak ada
menonton) khas tahap elektronik. Budaya Keputusan Dirjen Dikti No. 43 Tahun 2006,
baca lalu teraborsi: belum utuh, tetapi sudah mata kuliah Bahasa Indonesia—dan mata
harus mati. kuliah apa pun—pada hakikatnya merupakan
Kelima, mentalitas bangsa Indonesia mata kuliah pengembangan kepribadian
yang suka gandrung pada budaya luar. (MPK). Karena itu, pendampingan perilaku
Dalam hal bahasa, globalisasi semakin berbahasa (termasuk belajar patuh pada
memperkukuh apa yang oleh Phillipson BIRB) merupakan pembentukan perilaku dan
(1992) disebut “imperialisme bahasa” kepribadian. Pembentukan terjadi dari
(linguistic imperialism). Kehadiran bahasa keseharian mahasiswa bergulat dengan
asing memang tak terhindarkan. Namun, struktur makro hingga struktur mikro, seperti
mentalitas inlander cenderung membuat tersaji dalam tabel berikut ini (kolom pertama
masyarakat Indonesia kehilangan kesadaran, dan kedua mengikuti Baryadi, 2002: 16):

Struktur Unsur Perilaku Segi Kepribadian


Struktur Makro Tema/TopikWacana Memilih/menentukan Bersikap kritis dan peduli
(Apa yang dikatakan?) tema/topik pada masalah di sekitarnya
Superstruktur Skema Wacana Membuat kerangka Berpikir menyeluruh
(Bagaimana pendapat karangan (holistis) dan tertata
disusun dan dirangkai?) (sistematis)
Struktur Mikro Arti/Makna/Maksud Memilih arti/makna/maksud Berpikir/bersikap
(Apa arti pendapat yang pendapat yang akan menghargai orang lain
disampaikan) disampaikan
Struktur Mikro Bentuk Pernyataan/Kalimat, Memilih/menentukan bentuk Berbicara/menulis secara
Penekanan, dll. pernyataan/kalimat, lugas, tertata, santun,
(Bagaimana pendapat penekanan, dll. untuk dan empatik
disampaikan?) menyatakan arti/makna/
maksud
Struktur Mikro Kata Kunci Memilih/menentukan kata/ Berbicara/menulis dengan
(Pilihan kata apa yang istilah secara tepat pilihan kata/istilah yang
dipakai?) tepat
Struktur Mikro Gaya, Interaksi, Ekspresi, Memilih/menentukan cara Berbicara/menulis dengan
Metafora, Gestur, Mimiek, yang cermat untuk cara yang mudah dimengerti
Ejaan (Dengan cara apa menyampaikan pendapat orang lain
pendapat disampaikan?)
P. Ari Subagyo – Bahasa Indonesia Ragam Baku: Sesat Pikir, .... 43

Kedua, BIRB tidak boleh menyempitkan 5. PENUTUP


pembelajaran/perkuliahan BI semata-mata
menjadi persoalan teknis dan urusan benar- BIRB merupakan kebutuhan untuk
salah penerapan kaidah. Tujuan utama memantapkan bahasa Indonesia ragam
pembelajaran/perkuliahan bahasa adalah ilmiah atau ragam akademik. Namun,
mengasah kemampuan berpikir, syukur bisa keberadaan BIRB terkendala oleh sejumlah
mencapai tataran berpikir kritis. Terkait hal kenyataan. Pertama, adanya sesat pikir tentang
itu, Fairclough (1995: 222) menawarkan BI dan BIRB, yakni (a) BI disalahpahami
model analisis wacana kritis (critical discourse sebagai bahasa yang sudah tua dan mapan
analysis, CDA) untuk membangkitkan serta (b) BIRB disalahpahami sekadar urusan
kesadaran bahasa kritis (critical language EYD (terlalu sempit) atau justru menyangkut
awareness, CLA). CLA berbeda dengan penggunaan BI dalam segala keadaan (terlalu
kesadaran bahasa (language awareness, LA). LA luas). Kedua, kekurangpatuhan kepada
hanyalah knowledge about language (pengetahuan kaidah BIRB karena (a) latar kesejarahan
tentang bahasa), sedangkan CLA membawa bahasa Indonesia yang berbeda dengan
pembelajar pada awareness of nontransparent kebijakan pembakuan BI, (b) inkonsistensi
aspects of the social functioning of language acuan, (c) rendahnya mutu pembelajaran
(kesadaran atas aspek-aspek pemanfaatan bahasa, (d) rendahnya minat baca dan tulis
bahasa secara sosial yang tak kasat mata). masyarakat Indonesia, serta (e) mentalitas
Fairclough (2010: 531-532) bahkan sampai bangsa Indonesia yang suka gandrung pada
pada pandangan bahwa CLA menyangkut budaya luar, termasuk bahasa asing.
identitas diri (self-identity) yang perlu Berdasarkan keadaan tersebut,
disadarkan dan dibangun lewat pendidikan. direkomendasikan (a) pembentukan
Ketiga, perlu keterpaduan langkah semua kepribadian (karakter) mahasiswa melalui
dosen (mata kuliah apa pun) untuk bersama- perilaku ber-BIRB pada struktur makro
sama peduli pada BIRB. Hal termudah sekaligus hingga mikro, (b) pembelajaran/perkuliahan
tersulit yang dapat ditempuh adalah pembuatan BI yang mampu mengasah kemampuan
soal-soal yang menuntut jawaban uraian, berpikir kritis, (c) keterpaduan langkah semua
dan dosen memberikan penilaian khusus atas dosen mata kuliah apa pun untuk bersama-
bahasa tulis mahasiswa. Ini sungguh sama patuh pada BIRB, serta (d) keterpaduan
memerlukan tekad semua dosen. Tanpa kuliah BI dan kebiasaan ber-BIRB dengan
keterpaduan langkah dan tekad, kemampuan tradisi menulis pada dosen.
ber-BI dan ber-BIRB sulit beranjak maju. Tulisan ini diawali dengan kutipan
Keempat, perlu diwujudkan keterpaduan pernyataan Anderson (2002) tentang kehendak
kuliah BI dan kebiasaan ber-BIRB dengan untuk membebaskan BI. BIRB disebut
tradisi menulis pada dosen. Konkretnya begini. Anderson “membosankennja boekan kepalang,
Perkuliahan BI diarahkan pada kemampuan kaku tanpa mutu, apalagi bersifat dusta en
mahasiswa menghasilkan karangan ilmiah pura2”. Boleh jadi Anderson benar karena
(makalah atau artikel jurnal). Agar mahasiswa BIRB menjadi bagian dari politik pemaknaan
lebih termotivasi dan terinspirasi, karya Orde Baru yang kelewat represif. Namun,
ilmiah dosenlah yang dijadikan contoh atau Anderson bisa saja salah sebab BI berbeda
model. Karya ilmiah dosen itu dimuat dalam dengan BE yang secara sosiolinguistik tidak
jurnal prodi atau fakultas sehingga mutu jurnal dikepung ratusan bahasa daerah. BIRB
itu—baik secara isi, bahasa, maupun format— sangat diperlukan karena BI ragam ilmiah
harus sungguh baik. Dengan cara ini, dapat tidak hanya menuntut acuan bersama,
dibangun atmosfer dan tradisi akademik tetapi juga menjadi pergulatan bangsa
yang menjanjikan dan penuh harapan. Indonesia menemukan identitas sebagai
44 Jurnal Ilmiah Kebudayaan SINTESIS, Volume 9, Nomor 1, Maret 2015, hlm. 37-45

bangsa modern. “Pembakuan” memang karena itu, mendaku dan mengelola BIRB
terkesan—dan bisa terperosok—menjadi selalu berada dalam tegangan antara
“pembekuan” seperti saat Orde Baru. Oleh pembebasan dan pembekuan.

CATATAN AKHIR

1
Versi awal artikel ini berupa makalah yang
disampaikan dalam Koordinasi Dosen Mata Kuliah
Pengembangan Kepribadian, Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, Selasa, 5 Agustus 2014, di Ruang Student
Lounge, Kampus II Babarsari.

DAFTAR PUSTAKA Fill, Alwin dan Peter Mühlhäusler (eds.).


2001. The Ecolinguistics Reader:
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1991. “Sejarah Language Ecology and Environment.
Bahasa Indonesia”. Dalam Harimurti London dan New York: Continuum.
Kridalaksana (ed.). 1991. Masa Lampau Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan
Bahasa Indonesia: Sebuah Bunga Rampai. Tinggi No. 43/DIKTI/Kep/2006
Yogyakarta: Kanisius, hlm. 95-109. tentang Rambu-rambu Pelaksanaan
Anderson, B.R.O”G. 1991. Imagined Communities: Kelompok Matakuliah Pengembangan
Reflections on the Origin and Spread of Kepribadian di Perguruan Tinggi.
Nationalism. New York: Verso. Kridalaksana, Harimurti. 1991. “Kongres
––––––––––. 2002. “Beberapa Usul Demi Bahasa Indonesia I (1938) dan Kongres
Pembebasan Bahasa Indonesia”. Bahasa Indonesia II (1954)”. Dalam
Majalah Tempo, Edisi Khusus Akhir Harimurti Kridalaksana (ed.). 1991.
Tahun, 31 Desember 2001-6 Januari Masa Lampau Bahasa Indonesia: Sebuah
2002, hlm. 41-42. Bunga Rampai. Yogyakarta: Kanisius,
Baryadi, I. Praptomo. 2002. Dasar-dasar hlm. 235-269.
Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa. ––––––––––. 2013. “2 Mei: Hari Jadi Bahasa
Yogyakarta: Pustaka Gondho Suli. Indonesia”. Dalam Kompas, 26 April
Collins, James T. 2011. Bahasa Melayu Bahasa 2013, hlm. 15.
Dunia. Diterjemahkan dari Malay, Mrázek, Rudolf. 2002. Engineers of Happy
World Language: A Short History oleh Land: Technology and Nationalism in a
Alma Evita Almanar. Jakarta: KITLV- Colony. Princeton, New Jersey:
Pusat Bahasa-Yayasan Obor Indonesia. Princeton University Press.
Fairclough, Norman. 1995. Critical Discourse Phillipson, R. 1992. Linguistic Imperialism.
Analysis: The Critical Study of Language. Oxford: Oxford University Press.
London: Longman. Prentice, D.J. 1991. “Perkembangan Bahasa
––––––––––. 2010. Critical Discourse Analysis: Melayu sebagai Bahasa (Inter)Nasional”.
The Critical Study of Language. Edisi Dalam Harimurti Kridalaksana (ed.).
Kedua. Harlow: Pearson. 1991. Masa Lampau Bahasa Indonesia:
Fang, Liaw Yock. 2011. Sejarah Kesusastraan Sebuah Bunga Rampai. Yogyakarta:
Melayu Klasik. Jakarta: Yayasan Kanisius, hlm. 180-194.
Pustaka Obor Indonesia.
P. Ari Subagyo – Bahasa Indonesia Ragam Baku: Sesat Pikir, .... 45

Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern Pembinaan dan Pengembangan


1200-2004. Terjemahan dari A History Bahasa, Kementerian Pendidikan dan
of Modern Indonesia since Century 1200. Kebudayaan, Jakarta.
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Teeuw, A.A. 1994. Indonesia antara Kelisanan
Subagyo, P. Ari. 2013. “Keadaan Sosial- dan Keberaksaraan. Jakarta: Obor.
Budaya Pra-Indonesia 1856-1928: Dari Wardhaugh, Ronald. 1992. An Introduction to
Bahasa Melayu ke Bahasa Indonesia”. Sociolinguistics. Oxford: Blackwell.
Laporan Penelitian kepada Badan

Anda mungkin juga menyukai