Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN JIWA PADA Ny.R


DENGAN HALUSINASI DI DESA PETAI BARU
WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUNGAI SIRIH
KECAMATAN SINGINGI

Oleh :
Nama : MISRIANI
Nim : 2041177

PROGRAM PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
TENGKU MAHARATU
PEKAN BARU
2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Defenisi sehat menurut kesehatan dunia (WHO) adalah suatu keadaan sejahtera yang

meliputi fisik, mental dan sosial yang tidak hanya bebas dari penyakit atau kecacatan. Jika

dilihat dari kesehatan jiwa sehat tidak hanya bebas dari gangguan jiwa tetapi lebih kepada

perasaan sehat, sejahtera dan bahagia (well being), ada keserasian antara pikiran, perasaan,

perilaku, dan dapat merasakan kebahagiaan dalam sebagian besar kehidupannya serta mampu

menghadapi tantangan hidup sehari- hari (Depkes, 2000).

Menurut WHO, kesehatan jiwa bukan hanya tidak ada gangguan jiwa, melainkan

mengandung berbagai karakteristik yang positif yang menggambarkan keselarasan dan

keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan kepribadiannya. Menurut data

WHO pada tahun 2012 450 juta orang diseluruh dunia menderita gangguan mental, dan

sepertiganya tinggal di negara berkembang, sebanyak 8 dari 10 penderita gangguan mental

itu tidak mendapatkan perawatan.

Halusinasi merupakan bentuk yang paling sering dari gangguan persepsi. Bentuk

halusinasi ini bisa berupa suara-suara yang bising atau mendengung, tapi yang paling sering

berupa kata-kata yang tersusun dalam bentuk kalimat yang agak sempurna. Biasanya kalimat

tadi membicarakan mengenai keadaan pasien sedih atau yang dialamatkan pada pasien itu.

Akibatnya pasien bisa bertengkar atau bicara dengan suara halusinasi itu. Bisa pula pasien

terlihat seperti bersikap dalam mendengar atau bicara keras-keras seperti bila ia menjawab

pertanyaan seseorang atau bibirnya bergerak-gerak. Kadang-kadang pasien menganggap

halusinasi datang dari setiap tubuh atau diluar tubuhnya. Halusinasi ini kadang-kadang

bersifat tiduran dan ancaman.


Persepsi merupakan respon dari reseptor sensoris terhadap stimulus esksternal, juga

pengenalan dan pemahaman terhadap sensoris yang diinterpretasikan oleh stimulus yang

diterima. Jika diliputi rasa kecemasan yang berat maka kemampuan untuk menilai realita

dapat terganggu. Persepsi mengacu pada respon reseptor sensoris terhadap stimulus. Persepsi

juga melibatkan kognitif dan pengertian emosional akan objek yang dirasakan. Gangguan

persepsi dapat terjadi pada proses sensori penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan

dan pengecapan.

Menurut May Durant Thomas (1991) halusinasi secara umum dapat ditemukan pada

pasien gangguan jiwa seperti: Skizoprenia, Depresi, Delirium dan kondisi yang berhubungan

dengan penggunaan alcohol dan substansi lingkungan.

Berdasarkan hasil pengkajian pada pasien jiwa di Desa Petai Baru ditemukan pasien

dengan kasus halusinasi. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis merasa tertarik untuk

mengangkat ”Asuhan keperawatan jiwa pada Ny, R dengan masalah utama gangguan sensori

persepsi : halusinasi pendengaran di Desa Petai Baru”.

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran umum tentang halusinasi pendengaran dan

mampu memberikan Asuhan Keperawatan yang tepat pada pasien dengan masalah

halusinasi pendengaran.

2. Tujuan khusus

a. Mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan halusinasi pendengaran

sesuai teori yang ada.

b. Mampu menegakkan diagnosa yang tepat dan sesuai dengan masalah yang

dialami klien.
c. Mampu menetapkan intervensi yang tepat untuk mengatasi masalah klien.

d. Mampu melakukan implementasi yang telah direncanakan.

e. Mampu melakukan evaluasi secara objektif.


BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Dasar

1. Defesini halusinasi

Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan

rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar).Klien

memberipersepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan

yang nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara padahal tidak ada

orang yang berbicara (Kusumawati.F 2011).

Menurut Varcarolis (dalam Yosep,2009) Halusinasi dapat didefinisikan

sebagai tergantungnya persepsi sensori seseorang, dimana tidak terdapat stimulus

yang nyata.

Menurut penulis, halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa pada

individu yang ditandai dengan perubahan persepsi: merasakan sensasi palsu berupa

suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau penciuman. Klien merasakan stimulus

yang sebenarnya tidak ada.

2. Tanda dan gejala halusinasi

Menurut Hamid (2000), perilaku klien yang terkait dengan halusinasi adalah sebagai

berikut:

 Bicara sendiri.

 Senyum sendiri.

 Ketawa sendiri.

 Menggerakkan bibir tanpa suara.

 Pergerakan mata yang cepat

 Respon verbal yang lambat


 Menarik diri dari orang lain.

 Berusaha untuk menghindari orang lain.

 Tidak dapat membedakan yang nyata dan tidak nyata.

 Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah.

 Perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya beberapa detik.

 Berkonsentrasi dengan pengalaman sensori.

 Sulit berhubungan dengan orang lain.

 Ekspresi muka tegang.

 Mudah tersinggung, jengkel dan marah.

 Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat.

 Tampak tremor dan berkeringat.

 Perilaku panik.

 Agitasi dan kataton.

 Curiga dan bermusuhan.

 Bertindak merusak diri, orang lain dan lingkungan.

 Ketakutan.

 Tidak dapat mengurus diri.

 Biasa terdapat disorientasi waktu, tempat dan orang.

3. Tahap/tingkat halusinasi

Menurut Stuart dan Laraia (2001), terdiri dari 4 fase :

a. Fase I :

Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa bersalah dan

takut serta mencoba untuk berfokus pada pikiran yang menyenangkan untuk

meredakan ansietas. Di sini klien tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai,
menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, diam dan asyik

sendiri.

b. Fase II :

Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai lepas kendali dan

mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang

dipersepsikan. Disini terjadi peningkatan tanda-tanda sistem saraf otonom akibat

ansietas seperti peningkatan tanda-tanda vital (denyut jantung, pernapasan dan

tekanan darah), asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan

untuk membedakan halusinasi dengan realita.

c. Fase III :

Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah pada

halusinasi tersebut. Di sini klien sukar berhubungan dengan orang lain,

berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah dari orang lain dan berada

dalam kondisi yang sangat menegangkan terutama jika akan berhubungan dengan

orang lain.

d. Fase IV :

Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah halusinasi.

Di sini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak mampu berespon

terhadap perintah yang kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari 1 orang.

Kondisi klien sangat membahayakan.

4. Klafisifikasi halusinasi

a. Halusinasi pendengaran :

karakteristik ditandai dengan mendengar suara, teruatama suara – suara orang,

biasanya klien mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang

sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.


b. Halusinasi penglihatan  :

karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya,

gambaran geometrik, gambar kartun dan / atau panorama yang luas dan kompleks.

Penglihatan bisa menyenangkan atau menakutkan.

c. Halusinasi penciuman:

karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bau yang menjijikkan

seperti : darah, urine atau feses. Kadang – kadang terhidu bau harum. Biasanya

berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan dementia.

d. Halusinasi peraba :

karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus

yang terlihat. Contoh : merasakan sensasi listrik datang dari tanah, benda mati

atau orang lain.

e. Halusinasi pengecap :

Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis dan

menjijikkan.

f. Halusinasi sinestetik :

karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir

melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine. (Menurut

Stuart, 2007)
5. Rentang Respon

Menurut Stuart dan Laraia (2001), halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif

individu yang berada dalam rentang respon neurobiologi.

1) Pikiran logis: yaitu ide yang berjalan secara logis dan koheren.

2) Persepsi akurat: yaitu proses diterimanya rangsang melalui panca indra yang

didahului oleh perhatian (attention) sehingga individu sadar tentang sesuatu yang

ada di dalam maupun di luar dirinya.

3) Emosi konsisten: yaitu manifestasi perasaan yang konsisten atau afek keluar

disertai banyak komponen fisiologik dan biasanya berlangsung tidak lama.

4) Perilaku sesuai: perilaku individu berupa tindakan nyata dalam penyelesaian

masalah masih dapat diterima oleh norma-norma social dan budaya umum yang

berlaku.

5) Hubungan social harmonis: yaitu hubungan yang dinamis menyangkut hubungan

antar individu dan individu, individu dan kelompok dalam bentuk kerjasama.

6) Proses pikir kadang terganggu (ilusi): yaitu menifestasi dari persepsi impuls

eksternal melalui alat panca indra yang memproduksi gambaran sensorik pada

area tertentu di otak kemudian diinterpretasi sesuai dengan kejadian yang telah

dialami sebelumnya.

7) Emosi berlebihan atau kurang: yaitu menifestasi perasaan atau afek keluar

berlebihan atau kurang.

8) Perilaku tidak sesuai atau biasa: yaitu perilaku individu berupa tindakan nyata

dalam penyelesaian masalahnya tidak diterima oleh norma – norma social atau

budaya umum yang berlaku.


9) Perilaku aneh atau tidak biasa: perilaku individu berupa tindakan nyata dalam

menyelesaikan masalahnya tidak diterima oleh norma-norma sosial atau budaya

umum yang berlaku.

10) Menarik diri: yaitu percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain,

menghindari hubungan dengan orang lain.

11) Isolasi sosial: menghindari dan dihindari oleh lingkungan sosial dalam

berinteraksi.

6. Faktor Perdisposisi

Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:

a. Biologis

Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon

neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh

penelitian-penelitian yang berikut:

a. Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih

luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal dan

limbik berhubungan dengan perilaku psikotik.

b. Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang berlebihan

dan masalah-masalah pada system reseptor dopamin dikaitkan dengan

terjadinya skizofrenia.

c. Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya

atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan

skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian

depan dan atropi otak kecil (cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak

tersebut didukung oleh otopsi (post-mortem).


b. Psikologis

Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan

kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi

gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam

rentang hidup klien.

c. Sosial Budaya

Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti:

kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan

kehidupan yang terisolasi disertai stress.

7. Faktor Presipitasi

Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya

hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan

tidak berdaya. Penilaian individu terhadap stressor dan masalah koping dapat

mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006).

Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah:

1) Biologis

Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses

informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang

mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang

diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.

2) Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan
untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
3) Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.
8. Mekanisme Koping
1) Regresi: menjadi malas beraktifitas sehari-hari.
2) Proyeksi: menjelaskan prubahan suatu persepsi dengan berusaha untuk
mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain.
3) Menarik diri: sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus internal.
(Stuart, 2007).
9. Pohon Masalah
Resiko perilaku kekerasan

Gangguan persepsi sensori : Halusinasi………

Isolasi sosial : menarik diri

Gangguan konsep diri : Harga diri rendah


(Keliat, 2006)
B. Asuhan Keperawatan

Menurut Carpenito (1998) dikutip oleh Keliat (2006), pemberian asuhan keperawatan

merupakan proses terapeutik yang melibatkan hubungan kerjasama antara perawat dengan

klien, keluarga atau masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal. Asuhan

keperawatan juga menggunakan pendekatan proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian

menentukan masalah atau diagnosa, menyusun rencana tindakan keperawatan, implementasi

dan evaluasi.

1. Pengkajian

Menurut Stuart dan Laraia (2001), pengkajian merupakan tahapan awal dan

dasar utama dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan

data meliputi data biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Data pada pengkajian

kesehatan jiwa dapat dikelompokkam menjadi faktor predisposisi, faktor presipitasi,

penilaian terhadap stressor, sumber koping dan kemampuan koping yang dimiliki

klien.
Berbagai aspek pengkajian sesuai dengan pedoman pengkajian umum, pada

formulir pengkajian proses keperawatan. Pengkajian menurut Keliat (2006) meliputi

beberapa faktor antara lain:

a. Identitas klien dan penanggung

Yang perlu dikaji yaitu: nama, umur, jenis kelamin, agama, suku, status,

pendidikan, pekerjaan, dan alamat.

b. Alasan  masuk rumah sakit

Umumnya klien halusinasi di bawa ke rumah sakit karena keluarga merasa tidak

mampu merawat, terganggu karena perilaku klien dan hal lain, gejala yang

dinampakkan di rumah sehingga klien dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan

perawatan.

c. faktor predisposisi

1. Faktor perkembangan terlambat

a) Usia bayi tidak terpenuhi kebutuhan makanan, minum dan rasa aman.

b) Usia balita, tidak terpenuhi kebutuhan otonomi.

c) Usia sekolah mengalami peristiwa yang tidak terselesaikan.

2. Faktor komunikasi dalam keluarga

a) Komunikasi peran ganda.

b) Tidak ada komunikasi.

c) Tidak ada kehangatan.

d) Komunikasi dengan emosi berlebihan.

e) Komunikasi tertutup.

f) Orang tua yang membandingkan anak – anaknya, orang tua yang otoritas

dan komplik orang  tua.


3. Faktor sosial budaya

Isolasi sosial pada yang usia lanjut, cacat, sakit kronis, tuntutan lingkungan

yang terlalu tinggi.

4. Faktor psikologis

Mudah kecewa, mudah putus asa, kecemasan tinggi, menutup diri, ideal diri

tinggi, harga diri rendah, identitas diri tidak jelas, krisis peran, gambaran diri

negatif dan koping destruktif.

5. Faktor biologis

Adanya kejadian terhadap fisik, berupa : atrofi otak, pembesaran vertikel,

perubahan besar dan bentuk sel korteks dan limbik.

6. Faktor genetik

Adanya pengaruh herediter (keturunan) berupa anggota keluarga terdahulu

yang mengalami schizoprenia dan kembar monozigot

d. Faktor presipitasi

Faktor –faktor pencetus respon neurobiologis meliputi:

1. Berlebihannya proses informasi pada system syaraf yang menerima dan

memproses informasi di thalamus dan frontal otak.

2. Mekanisme penghataran listrik di syaraf terganggu (mekanisme penerimaan

abnormal).

3. Adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna,

putus asa dan tidak berdaya.

e. Faktor Pemicu

1. Kesehatan : Nutrisi dan tidur kurang, ketidaksiembangan irama sirkardian,

kelelahan dan infeksi, obat-obatan system syaraf pusat, kurangnya latihan dan

hambatan untuk menjangkau pelayanan kesehatan.


2. Lingkungan sekitar yang memusuhi, masalah dalam rumah tangga, kehilangan

kebebasan hidup dalam melaksanakan pola aktivitas sehari-hari, sukar dalam

berhubungan dengan orang lain, isoalsi social, kurangnya dukungan social,

tekanan kerja (kurang terampil dalam bekerja), stigmasasi, kemiskinan,

kurangnya alat transportasi dan ketidakmamapuan mendapat pekerjaan.

3. Sikap : Merasa tidak mampu (harga diri rendah), putus asa (tidak percaya diri),

merasa gagal (kehilangan motivasi menggunakan keterampilan diri),

kehilangan kendali diri (demoralisasi), merasa punya kekuatan berlebihan,

merasa malang (tidak mampu memenuhi kebutuhan spiritual), bertindak tidak

seperti orang lain dari segi usia maupun kebudayaan, rendahnya kemampuan

sosialisasi, perilaku agresif, perilaku kekerasan, ketidakadekuatan pengobatan

dan ketidak adekuatan penanganan gejala.

4. Perilaku : Respon perilaku klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga,

ketakutan, rasa tidak aman, gelisah, bingung, perilaku merusak diri, kurang

perhatian, tidak mampu mengambil keputusan, bicara inkoheren, bicara

sendiri, tidak membedakan yang nyata dengan yang tidak nyata.

Perilaku klien yang mengalami halusinasi sangat tergantung pada jenis

halusinasinya. Apabila perawat mengidentifikasi adanya tanda –tanda dan

perilaku halusinasi maka pengkajian selanjutnya harus dilakukan tidak hanya

sekedar mengetahui jenis halusinasi saja.

Validasi informasi tentang halusinasi yang diperlukan meliputi:

a. Isi halusinasi

Ini dapat dikaji dengan menanyakan suara siapa yang didengar, apa yang

dikatakan suara itu, jika halusinasi audiotorik. Apa bentuk bayangan yang dilihat

oleh klien, jika halusinasi visual, bau apa yang tercium jika halusinasi penghidu,
rasa apa yang dikecap jika halusinasi pengecapan,dan apa yang dirasakan

dipermukaan tubuh jika halusinasi perabaan.

b. Waktu dan frekuensi.

Ini dapat dikaji dengan menanyakan kepada klien kapan pengalaman halusinasi

muncul, berapa kali sehari, seminggu, atau sebulan pengalaman halusinasi itu

muncul. Informasi ini sangat penting untuk mengidentifikasi pencetus halusinasi

dan menentukan bilamana klien perlu perhatian saat mengalami halusinasi.

c. Situasi pencetus halusinasi.

Perawat perlu mengidentifikasi situasi yang dialami sebelum halusinasi muncul.

Selain itu perawat juga bias mengobservasi apa yang dialami klien menjelang

munculnya halusinasi untuk memvalidasi pernyataan klien.

d. Respon Klien

Untuk menentukan sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi klien bisa dikaji

dengan apa yang dilakukan oleh klien saat mengalami pengalaman halusinasi.

Apakah klien masih bisa mengontrol stimulus halusinasinya atau sudah tidak

berdaya terhadap halusinasinya.

f. Pemeriksaan fisik

Yang dikaji adalah tanda-tanda vital (suhu, nadi, pernafasan dan tekanan darah),

berat badan, tinggi badan serta keluhan fisik yang dirasakan klien.\

g. Status Mental

Pengkajian pada status mental meliputi:

1. Penampilan: tidak rapi, tidak serasi dan cara berpakaian

2. Pembicaraan: terorganisir atau berbelit-belit.

3. Aktivitas motorik: meningkat atau menurun.

4. Alam perasaan: suasana hati dan emosi.


5. Afek: sesuai atau maladaptif seperti tumpul, datar, labil dan ambivalen

6. Interaksi selama wawancara: respon verbal dan nonverbal.

7. Persepsi : ketidakmampuan menginterpretasikan stimulus yang ada sesuai

dengan informasi.

8. Proses pikir: proses informasi yang diterima tidak berfungsi dengan baik dan

dapat mempengaruhi proses pikir.

9. Isi pikir: berisikan keyakinan berdasarkan penilaian realistis.

10. Tingkat kesadaran: orientasi waktu, tempat dan orang.

11. Memori

a. Memori jangka panjang: mengingat peristiwa setelah lebih setahun

berlalu.

b. Memori jangka pendek: mengingat peristiwa seminggu yang lalu dan pada

saat  dikaji.

12. Kemampuan konsentrasi dan berhitung: kemampuan menyelesaikan tugas dan

berhitung sederhana.

13. Kemampuan penilaian: apakah terdapay masalah ringan sampai berat.

14. Daya tilik diri: kemampuan dalam mengambil keputusan tentang diri.

h. Kebutuhan persiapan pulang

yaitu pola aktifitas sehari-hari termasuk makan dan minum, BAB dan BAK,

istirahat tidur, perawatan diri, pengobatan dan pemeliharaan kesehatan sera

aktifitas dalam dan luar ruangan.

i. Mekanisme koping

1. Regresi: menjadi malas beraktifitas sehari-hari.

2. Proyeksi: menjelaskan prubahan suatu persepsi dengan berusaha untuk

mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain.


3. Menarik diri: sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus

internal.

j. Masalah psikososial dan lingkungan

Masalah berkenaan dengan ekonomi, pekerjaan, pendidikan dan perumahan atau

pemukiman.

k. Aspek medik

Diagnosa medik dan terapi medik.

2. Diagnisis Keperawatan

Menurut Keliat (2006) masalah keperawatan yang sering terjadi pada klien halusinasi

adalah:

a. Resiko tinggi perilaku kekerasan berhubungan dengan halusinasi pendengaran.

b. Gangguan persepsi sensori : halusinasi berhubungan dengan isolasi social :

menarik diri.

c. Kerusakan interaksi social : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.

d. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan perubahan proses fikir.

e. Perubahan proses fikir berhubungan dengan harga diri rendah.

f. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kurangnya minat.

3. Rencana Keperawatan

a. Tindakan Keperawatan untuk Pasien

1) Tujuan tindakan untuk pasien meliputi

a) Pasien mengenali halusinasi yang dialaminya

b) Pasien dapat mengontrol halusinasinya

c) Pasien mengikuti program pengobatan secara optimal


2) Tindakan keperawatan

a) Membantu pasien mengenali halusinasinya

Untuk membantu pasien mengenali halusinasi saudara dapat

melakukannya dengan cara berdiskusi dengan pasien tentang isi

halusinasinya (apa yang didengar/dilihat), waktu terjadi halusinasi,

frekuensi terjadi halusinasi, situasi yang menyebabkan halusinasi

muncul dan respon pasien saat halusinasi muncul.

b) Melatih pasien mengontrol halusinasnya.

Untuk membantu pasen agar mampu mengontrol halusinasinya saudara

dapat melatih empat cara yang sudah terbukti dapat mengendalikan

halusinasi. Keempet cara tersebut meliputi:

1. Menghardik halusinasi

Menghardik halusinasi adalah upaya mengendalikan diri terhadap

halusinasidengan cara menolak halusinasi yang muncul. Pasien di

latih untuk mengatakan tidak terhadap halusinasi yang muncul atau

tidak mempedulikan halusinasinya. Kalau ini tidak dapat dilakukan,

pasien akan mampu mengendalikan diri dan tidak mengikuti

halusinasinya yang muncul. Mungkin halusinasi tetap ada namun

dengan kemampuan ini pasien tidak akan larut untuk menuruti apa

yang ada dalam halusinasinya.

Tahap tindakan meliputi:

 Menjelaskan cara menghardik halusinasi

 Memperagakan cara menghardik

 Meminta pasien untuk memperagakan ulang

 Memantau penerapan cara ini, menguatkan perilaku pasien


2. Bercakap-cakap dengan orang lain

Untuk mengontrol halusinasi dapat juga dengan bercakap-cakap

dengan orang lain. Ketika pasien bercakap-cakap dengan orang

maka terjadi ditraksi: fokus perhatian pasien akan beralih dari

halusinasi ke percakapan yang dilakukan dengan orang lain

tersebut. Sehingga salah satu cara yang efektif untuk mengontrol

halusinasi adalah dengan bercakap-cakap dengan orang lain.

3. Melakukan aktifitas yang terjadwal

Untuk mengurangi resiko halusinasi muncul lagi adalah dengan

menyibukkan diri dengan aktivitas yang teratur. Dengan

berkatifitas secara terjadwal pasien tidak akan mengalami luang

sendiri yang seringkali mencetuskan halusinasi. Untuk itu pasien

yang mengalami halusinasi bisa dibantu untuk mengatasinya

dengan cara beraktifitas secara teratur dari bangun pagi smpai tidur

malam, tujuh hari dalam seminggu.

Tahap intervensinya sebagai berikut:

 Menjelaskan pentingnya aktivitas yang teratur untuk mengatasi

halusinasi

 Mendiskusikan aktivitas yang dilakukan oleh pasien

 Melatih pasien melakukan aktivitas

 Menyusun jadwal aktivitas sehari-hari sesuai aktivitas yang

telah dilatih. Upayakan pasien mempunyai aktivitas dri bangun

pagi smpai tidur malam, hari dalam seminggu

 Memantau pelaksanaan jadwal kegiatan.


4. Menggunakan obat yang teratur

Untuk mampu mengontrol halusinasi pasien juga harus dilatih

untuk mengunakan obat secara teratur sesuai dengan pogram.

Pasien gangguan jiwa yang di rawat dirumah seringkali mengalami

putus obat sehingga pasien mengalami kekambuhan. Bila

kekambuhan terjadi maka untuk mencapai kondisi seperti semula

akan lebih sulit. Untuk itu pasien perlu dilatih untuk mengunakan

obat sesuai proram dan berkelanjutan.

Berikut ini tindakan keperawatan agar pasien patuh mengunakan

obat:

 Jelaskan guna obat

 Jelaskan akibat biula putus obat

 Jelaskan cara mendapatkan obat/berobat

 Jelaskan cara mengunakan obat dengan prinsip 5 (benar obat,

benar pasien, benar cara, benar waktu, benar dosis)

b. Tindakan Keperawatan Kepada Keluarga

1) Tujuan

a) Keluarga dapat terlibat dalam perawatan pasien baik di rumah sakit

maupun di rumah

b) Keluarga dapat menjadi sistem pendukung yang efektif untuk pasien

2) Tindakan keperawatan

Keluarga merupakan faktor penting yang menetukan keberhasilan asuhan

keperawatan pada pasien dengan halusinasi. Dukungan selama pasien

dirawat dirumah sakit sangan dibutuhkan sehingga pasien termotivasi untuk

sembuh. Demikian juga saat pasien tidak lagi di rawat dirumah sakit.
Keluarga yang mendukung pasien secara konsisten akan membuat pasien

mampu mempertahankan program pengobatan secara obtimal. Namun

demikian jika keluarga tidak mampu merawat pasien. Untuk itu perawat

memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga agar mampu menjadi

pendukung yang efektif bagi pasien dengan halusinasi baik saat dirumah

sakit maupun di rumah.

Tindakan keperawatan yang dapat di berikan untuk keluarga pasien

halusinasi adalah:

 Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam perawatan pasien

 Berikan pendidikan kesehatan tentang pengertian halusinasi, jenis

halusinasi yang di alami, tanda dan gejala halusinasi, proses terjadina

halusinasi dan cara merawat pasien halusinasi

 Berikan kesempatan kepada keluarga untuk memperagakan cara

merawat pasien dengan halu sinasi langsung di hadapan pasien

 Buat perencanaan pulang dengan keluarga.

4. Evaluasi

Menurut Keliat, 1998 evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai

efek dari tindakan keperawatan pada klien.

Evaluasi dapat dilakukan berdasarkan SOAP sebagai pola pikir.

S : respon subjektif dari klien terhadap intervensi keperawatan

O : respon objektif dari klien terhadap intervensi keperawatan

A : analisa ulang atas dasar subjek dan objek untuk mengumpulkan apakah masalah

masih ada, munculnya masalah baru, atau ada data yang berlawanan dengan masalah

yang masih ada.

P : perencanaan atau tindakan lanjut berdasarkan hasil analisa pada respon klien

Anda mungkin juga menyukai