Anda di halaman 1dari 16

METODOLOGI PEMAHAMAN HADIS

(Fiqh al-Hadist)

Oleh:

NURMAIDAH

Dosen Pemandu :

Dr. La ode Ismail Ahmad, M.Th.I

PROGRAM PASCASARJANA (S2)


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada dasarnya manusia adalah makhluk sempurna yang haus akan ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan tidak hanya bersumber dari suatu yang sifatnya rasio
atau aqli, akan tetapi juga bersifat naqli. Dalam memahami berbagai persoalan dunia
maupun agama, seorang Muslim tentunya sangat tergantung pada unsur aqli dan
naqli. Khusus dalam persoalan naqli ini berarti tidak terlepas dari persoalan al-Qur’an
dan al-Hadits yang merupakan sumber utama dalam prinsip Islam.
Hadis secara etimologis, menurut Ibn Manzhur, kata ’hadis’ berasal dari
bahasa arab, yaitu al-hadits, jamaknya al-ahadits, al-haditsan, dan al-hudtsan. Secara
etimologis kata ini memiliki banyak arti, di antaranya al-jadid (yang baru) lawan dari
al-qadim (yang lama), dan al-khabr, yang berarti kabar atau berita.1
Hadis juga mempunyai fungsi penjelasan bagi al-Qur’an, menjelaskan yang
global, mengkhususkan yang umum dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.2
Memahami maksud suatu hadis secara baik terkadang relative tidak mudah,
khususnya jika kita menjumpai hadis-hadis yang tampak saling bertentangan.
Terhadap hal yang demikian, biasanya para ulama hadis metode tarjih
(pengunggulan) atau nasakh-mansukh (pembatalan) atau metode al-jam’u
(mengkompromikan) atau tawaqquf (mendiamkan) untuk tidak mengamalkan hadis
sampai ditemukan adanya keterangan.3
Sikap mendiamkan atau mentawaqqufkan hadis ini masih biasa diberikan
solusi dengan cara memberikan takwil atau interpensi secara rasional terhadap hadis
tersebut.4
1
Muhammad Ibn Mukarram Ibn Manzhur, Lisan Al-Arab. Juz II, 1992, h. 131
2
Manna al-Qathan, Mabahits Fii Ulum al-Hadits, Diterjemahkan oleh mifdhol Abdurrahman,
Pengantar Ilmu Hadits, (Cet. I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h. 5
3
H. Said Aqil Munawwar. Abdul Mustaqim, Studi Kritik Hadis nabi: Pendekatan Sosio
Historis Kontekstual, (Yogyakarta: pustaka Pelajar, 2001), h. 24
4
Muhammad Abu Zahwa, Al-hadis wa al-Muhadditsun, (Mesir: Syirkah Misriyah, t.th.), h. 47

1
2

Dalam diskursus hadis Nabi, disana ada sekian metode, teknik dan pendekatan
yang dapat dilakukan sebagai upaya untuk memahami hadis-hadis Nabi yang
selanjutnya akan dijadikan sebagai perangkat dalam penggunaan dan aplikasinya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, akan diuraikan secara sederhana beberapa
metodologi memahami hadits Nabi saw sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Metode Tahlili, Muqaran, dan Maudu’i ?
2. Bagaimanakah Teknik Interprentasi secara Tekstual, Intertekstual dan
Kontekstual ?
3. Bagaimanakah Pendekatan Linguistik, Historis dan Sosiologis
BAB II

PEMBAHASAN

A. Metode Tahlili, Muqaran, dan Maudu’i


1. Metode Tahlili
Kata tahlili berasal dari bahasa Arab, ‫ تحليال‬-‫ل‬777‫ يحل‬-‫ل‬777‫حل‬, yang berarti
“mengurangi, menganalisis”.5 Metode tahlili adalah metode dalam menyoroti hadits
dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya,
mencakup semua kehidupan manusia, baik aspek vertical, horizontal maupun
kedalamannya. Aspek vertical meliputi dimensi zaman yang meliputi kehidupan
manusia sejak lahir sampai meninggaal dunia bahkan sejak lahir sampai pasca
kematiannya.6
2. Metode Muqaran
Untuk mengetahui ada atau tidak adanya matan lain yang memiliki topic
masalah yang sama, perlu dilakukan takhrij al-hadits bi al-maudlui. Apabila ternyata
ada matan lain yang bertopik sama, maka matan itu perlu diteliti sanadnya. Apabila
sanadnya memenuhi syarat, maka kegiatan muqaran kandungan matan-matan
tersebut dilakukan.7
Apabila kandungan matan yang diperbandingkan ternyata sama, maka
dapatlah dikatakan bahwa kegiatan penelitian telah berakhir. Tetapi dalam praktek,
kegiatan biasanya masih perlu dilanjutkan, misalnya memeriksa penjelasan masing-
masing matan di berbagai kitab syarah sehingga dapat diketahui lebih jauh hal-hal
penting yang berkaitan dengan matan yang diteliti, misalnya pengertian kosa kata

5
Quraish Shihab, Ahmad Sukardja, Badri Yatim, Dede Rosyada, Sejarah dan Ulum al-Qur’an,
(Cet. II; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 172.
6
Yusuf Qardhawi, Al-Madhal li Dirasah al-sunnah al-Nabawiyyah, ahli bahasa, Agus Suyadi
Raharusun, Pengantar Studi Hadits, (Cet. II; Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 123.
7
Syuhudi Ismail, Metodologi Penenlitian Hadis Nabi. (Cet. I; Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1992), h. 141.

3
4

khususnya kata-kata yang garib, pendapat ulama dan hubungannya dengan dalil-dalil
yang lain.8
Apabila kandungan matan yang diteliti ternyata sejalan juga dengan dalil-dalil
yang kuat, maka dapatlah dinyatakan kegiatan penelitian telah selesai. Namun bila
tetap saja bertentangan, maka ulama hadits sepakat bahwa hal itu harus diselesaikan
sehingga hilanglah pertentangan, tetapi mereka berbeda pendapat dalam melakukan
penyelesaian.
Imam Syafi’i memberi gambaran bahwa mungkin saja matan-matan hadits
yang tampak bertentangan itu mengandung petunjuk bahwa matan yang satu bersifat
global (mujmal) dan yang satunya bersifat rinci (mufassar); mungkin yang satu
bersifat umum (‘amm) dan yang lainnya khusus (khass); mungkin yang satu sebagai
nasikh dan yang lainnya mansukh atau mungkun kedua-duanya menunjukkan boleh
diamalkan.9

3. Metode Maudu’i
Untuk memhami sunnah Nabi dengan baik, harus dihimpun hadits-hadits yang
bermakna sama. Hadits-hadits yang mutasyabih dikembalikan kepada yang muhkam,
yang mutlaq dihubungkan dengan yang muqayyad, yang ‘am ditafsirkan dengan yang
khash. Dengan demikian, makna yang dimaksud akan semakin jelas dan satu sama
lain tidak boleh dipertentangkan.10
Contoh hadits-hadits yang menerangkan tentang memanjangkan kain dengan
ancamannya yang keras, misalnya hadits yang diriwayatkan Muslim dari Abu Dzar ra
dari Nabi SAW, beliau bersabda :

‫ قَ َال « ثَالَثَ ةٌ الَ يُ َكلِّ ُم ُه ُم اللَّهُ َي ْو َم الْ ِقيَ َام ِة الْ َمنَّا ُن‬-‫ص لى اهلل علي ه وس لم‬- ِّ ‫َع ْن أَىِب َذ ٍّر َع ِن النَّىِب‬
ِ ِِ ِ ‫الَّ ِذى الَ يع ِطى َشيئًا إِالَّ منَّه والْمَنف‬
ُ‫ِّق س ْل َعتَهُ بِاحْلَلف الْ َفاج ِر َوالْ ُم ْسبِ ُل إَِز َاره‬
ُ ُ ََُ ْ ُْ
8
Arifuddin ahmad, h. 125-126.
9
Arifuddin ahmad, h. 125-126
10
Yusuf Qardhawih. 171.
5

Artinya:
“Ada tiga golongan dimana Allah tidak akan bercakap dengan mereka pada
hari kiamat. Mereka itu ialah orang yang suka memberi tapi suka menyebut-nyebut
pemberiannya itu, orang yang menawar-nawarkan dagangannya dengan sumpah palsu
dan orang yang suka berpakaian berjela-jela karena panjangnya.”11
Dan dalam riwayat lain juga bersumber dari Abu Dzar:

‫يم » قَ َال َف َقَرأ ََه ا‬ِ ‫ثَالَثَ ةٌ الَ ي َكلِّمهم اللَّه ي وم الْ ِقيام ِة والَ يْنظُ ر إِلَي ِهم والَ ي َز ِّكي ِهم وهَل م ع َذ‬
ٌ ‫اب أَل‬
ٌ َ ُْ َ ْ ُ َ ْ ْ ُ َ َ َ َ َ ْ َ ُ ُ ُُ ُ
َ ‫ قَ َال أَبُو ذَ ٍّر َخ ابُوا َو َخ ِس ُروا َم ْن ُه ْم يَا َر ُس‬.‫ث ِم َرا ٍر‬
‫ول‬ َ َ‫ ثَال‬-‫صلى اهلل عليه وسلم‬- ‫ول اللَّ ِه‬
ُ ‫َر ُس‬
ِ ِ‫ِّق ِس ْلعتَهُ بِاحْل ل‬
ِ ‫ف الْ َك ِاذ‬ ِ
.» ‫ب‬ َ َ ُ ‫اللَّه قَ َال « الْ ُم ْسبِ ُل َوالْ َمنَّا ُن َوالْ ُمَنف‬
Artinya:
“Ada tiga golongan yang tidak bakal diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat,
Allah tidak bakal melihat mereka, tidak bakal mensucikan mereka dan bagi
mereka disediakan siksa yang sangat pedih. Abu Dzar berkata: Rasulullah saw
mengatakan itu tiga kali. Abu Dzar berkata kepada Rasulullah : sungguh
kecewa dan rugi mereka, siapa mereka itu wahai Rasulullah? Beliau bersabda:
orang yang berpakaian yang berjela-jela, orang yang suka memberi tetapi suka
menyebut-nyebut pemberiannya dan orang yang menawar-nawarkan barang
dagangannya dengan sumpah palsu.12

Hadits tersebut dipertegas oleh hadits shahih Bukhari dari Abu Hurairah:

‫ما أسفل من الكعبني من اإلزار ففي النار‬


Artinya:
“Kain yang berada di bawah kedua mata kaki akan masuk neraka.”13

Al-Nasai juga meriwayatkan dengan redaksi:

Yusuf Qardhawih. 171.


11

Yusuf Qarhawi, h. 173


12

13
Abdillah Muhammad Ibn Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardzabah al-Bukhari al-Jaf'y, Shahih
Bukhari, Juz V. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), h. 44.
6

‫ما حتت الكعبني من اإلزار ففي النار‬


(Kain yang ada di bawah kedua mata kaki akan masuk neraka).14
Diriwayatkan oleh Bukhari dari Abdullah bin Umar, nabi saw bersabda:

‫ ق ال أب و بك ر ي ا رس ول اهلل إن أح د‬.‫من ج ر ثوب ه خيالء مل ينظ ر اهلل إلي ه ي وم القيام ة‬


‫شقي إزاري يسرتخي إال أن أتعاهد ذلك منه؟ فقال النيب صلى اهلل عليه وسلم لست‬
.‫ممن يصنعه خيالء‬
Artinya:
“Barangsiapa berpakaian panjang hingga menyapu tanah karena
kesombongannya, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat. Abu Bakar
berkata: Wahai Rasulullah, salah satu bagian kainku berjuntai, hanya saja saya
sudah terbiasa dengan hal itu. Nabi saw bersabda: Engkau tidak termasuk orang
yang melakukannya karena kesombongan.”15

Dalam hadits yang lain pada bab yang sama dari Abu Hurairah:

‫ال ينظر اهلل يوم القيامة إىل من جر إزاره بطرا‬


(“Allah tidak akan melihat orang yang menyeret kainnya karena
sombong.”)16

Muslim telah meriwayatkan hadits Abu Hurairah dari Ibnu Umar.


Diantaranya: “Saya mendengar Rasulullah saw dengan kedua telingaku ini, beliau
bersabda:

‫ك إِالَّ الْ َم ِخيلَةَ فَِإ َّن اللَّهَ الَ َيْنظُُر إِلَْي ِه َي ْو َم الْ ِقيَ َام ِة‬ ِ ُ ‫من جَّر إِزاره الَ ي ِر‬
َ ‫يد بِ َذل‬ ُ َُ َ َ ْ َ
Artinya:

14
Jalaluddin al-Suyuthi, Syarah Sunan al-Nasa'I, Juz V, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
1996), h. 207.
15
Yusuf Qardhawi, op. cit., h. 173.
16
Ahmad bin Ali bin Hajar, h. 257-258.
7

“Barangsiapa yang menyeret kainnya dengan maksud hanya untuk


menyombongkan diri, maka sesungguhnya Allah tidak akan melihatnya pada
hari kiamat.”17

Dari beberapa hadits di atas yang bertemakan sama, setelah dikembalikan dari
yang umum ke yang khusus, dapat disimpulkan bahwa menjulurkan sarung (sampai
ke bawah mata kaki) karena ingin menyombong, termasuk dosa besar. Dan jika hal
itu bukan karena kesombongan pun, maka tetap saja hal itu haram menurut pengertian
dzahir hadits-hadits itu. Tetapi mengingat adanya keterangan tambahan tentang sikap
sombong dari mereka yang melakukannya, maka dapat disimpulkan bahwa perbuatan
menjulurkan sarung dan menyeretnya, tidak haram sepanjang tidak disertai sikap
kesombongan.18

B. Teknik Interprestasi secara Tekstual, Intertekstual dan kontekstual


1. Secara Tekstual
Istilah pemahaman tekstual dimaksudkan sebagai pemahaman terhadap
kandungan petunjuk suatu hadits Nabi berdasarkan teks atau matan hadits semata
tanpa mempertimbangkan bentuk dan cakupan petunjuk, kapan dan apa sebab
terjadinya, serta kepada siapa ditujukan; bahkan tidak mempertimbangkan dalil-dalil
lainnya. Karena itu, setiap hadits Nabi yang dipahami secara tekstual berarti petunjuk
yang dikandung di dalamnya bersifat universal.19

2. Secara Intertekstual
Memahami hadits Nabi secara intertekstual artinya memahami hadits dan
hubungannya (munasabah) dengan hadits lain atau antara hadits dengan ayat.
Sebagai contoh, berikut ini dikemukakan matan hadits yang berbunyi:

17
Abu Husain Muslim Bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, Juz III, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
t.th.), h. 1652
18
Yusuf Qardhawi, Kaifa Nata’amalu ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah, diterjemahkan oleh
Muhammad Baqir, Bagaimana Memahami Hadits Nabi Saw, (Cet. I; Bandung: Karisma, 1993), h.
110.
19
Arifudin Ahmad, h. 205.
8

‫ هنى النيب صلى اهلل عليه و سلم عن حلوم احلمر األهلية‬:‫عن ابن عمر رضي اهلل عنهما‬

)‫يوم خيرب (رواه البخارى ومسلم وغريمها‬


Artinya:
“Hadits riwayat dari Ibnu Umar r.a, Nabi saw. Melarang (memakan) daging
himar (keledai) kampung pada peperangan Khaibar.” (H.R. Bukhari, Muslim dll).

Kalangan ulama ada yang mengatakan bahwa petunjuk hadits tersebut


merupakan salah satu contoh bahwa Rasulullah memiliki kewenangan menetapkan
hukum yang dalam Al-Qur’an tidak dinyatakan. Pendapat itu cukup beralasan bila
dilihat dari kejelasan isi teks haditsnya, kemudian dihubungkan dengan hadits lain
yang berbunyi:

‫ول َوأ َْه َوى‬ ُ ‫ َي ُق‬-‫صلى اهلل عليه وسلم‬- ‫ول اللَّ ِه‬ َ ‫ت َر ُس‬ ِ ُ ‫ان ب ِن ب ِش ٍري قَ َال مَسِ عتُه ي ُق‬
ُ ‫ول مَس ْع‬ َُْ
ِ
َ ْ ‫َع ِن الن ُّْع َم‬
ِ ِ ِ ‫النُّعم ا ُن بِِإ‬
ٌ ‫ص َب َعْيه إِىَل أُذَُنْي ه «إِ َّن احْلَالَ َل َبنِّي ٌ َوإِ َّن احْلَ َر َام َبنِّي ٌ َو َبْيَن ُه َم ا ُم ْش تَبِ َه‬
ٌ‫ات الَ َي ْعلَ ُم ُه َّن َكث ري‬ ْ َْ
)‫ (رواه البخارى ومسلم وغريمها‬...‫َّاس‬ ِ ‫ِم َن الن‬
Artinya:
“(Hadits riwayat) dari al-Nu’man bin Basyir, dia berkata: saya mendengar dia
berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, (al-Nu’man bin Basyir
menunjuk kea rah kedua telinganya denagn kedua jari telunjuknya),:
Sesungguhnya yang halal itu telah jelas dan yang haram telah jelaas pula,
sedangkan (hal-hal) di antara keduanya adalah samar-samar, kebanyakan
manusia tidak mendengar tentang yang samar-samar itu…”20 (H.R. Bukhari,
Muslim dll).

Hadits tersebut menerangkan bahwa hukum halal dan haram untuk berbagai
hal telah jelas, namun di samping itu, masih ada pula hal-hal yang hukumnya samar-
samar. Hanya sedikit orang yang mengetahui hukum yang samar-samar tentang hal-

20
M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya. (Cet. I;
Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 100.
9

hal yang tertentu itu.21 Mereka yang mengetahuinya adalah para mujtahid yang tetap
bersandar kepada dalil-dalil naqli, baik al-Qur’an maupun hadits.

3. Secara Kontekstual
Sebaliknya, istilah pemahaman Kontekstual dimaksudkan sebagai pemahaman
terhadap kandungan petunjuk suatu hadits Nabi berdasarkan atau dengan
mempertimbangkan konteksnya, meliputi bentuk atau cakupan petunjuknya;
kapasitas Nabi tatkala hadits itu terjadi kapan dan apa sebab hadits itu terjadi; serta
kepada siapa ditujukan bahkan dengan mempertimbangkan dalil-dalil lainnya. Karena
itu, pemahaman secara Kontekstual memerlukan kegiatan ijtihad. Hadits Nabi yang
dipahami secara Kontekstual menunjukkan bahwa ternyata ada hadits yang sifatnya
universal, dan ada yang temporal dan lokal.22
Oleh karena itu, pemahaman terhadap hadits Nabi memerlukan pendekatan
holistic.23 Pemanfaatan berbagai teori dari berbagai disiplin pengetahuan. Termasuk
ilmu-ilmu social misalnya sosiologi, antropologi, psikologi, dan sejarah menjadi
sangat penting karena penerapan ajaran Islam yang Kontekstual menuntut
penggunaan pendekatan yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
kondisi masyarakat.24

C. Pendekatan Linguistik, Historis dan Sosiologis


1. Pendekatan Linguistic
Pendekatan bahasa dalam upaya mengetahui kualitas hadits tertuju pada
beberapa objek. Pertama, struktur bahasa artinya apakah susunan kata dalam matan
hadits yang menjadi objek penelitian sesuai dengan kaedah bahasa Arab atau tidak?
Kedua, kata-kata yang terdapat dalam matan hadits, apakah menggunakan kata-kata

21
M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya., h. 101.
22
Arifuddin Ahmad, h. 204
23
Holistic artinya pendekatan terhadap suatu fenomena atau masalah dengan memandang
fenomena masalah itu sebagai satu kesatuan yang utuh. Lihat, M Dahlan Y. Al-Bary,L. Lya Sofyan
Yacub. Kamus induk Istilah Ilmiyah, (Surabaya: Target Press, 2003), h. 289.
24
Arifuddin Ahmad, h. 205-206.
10

yang lumrah dipergunakan dalam bahasa arab pada masa nabi Muhammad saw atau
menggunakan kata-kata baru yang muncul dan dipergunakan dalam literature arab
modern? Ketiga, matan hadits tersebut menggambarkan bahasa kenabian. Keempat,
menelusuri makna kata tersebut ketika diucapkan oleh Nabi saw sama makna yang
dipahami oleh pembaca atau peneliti.25

2. Pendekatan Historis
Salah satu langkah yang dilakukan muhadditsin untuk melakukan penelitian
matan hadits adalah mengetahui peristiwa yang melatarbelakangi munculnya suatu
hadits (asbab al-wurud al-hadits). Mengetahui asbab al-wurud mempermudah
memahami kandungan hadits. Dengan asbab al-wurud al-hadits. dalam melakukan
kritik hadits yang diketahui memakai asbab wurud. Oleh karena itu, tema
pembahasan ini dinamakan pendekatan sejarah.26
Fungsi asbab al-wurud al-hadits ada tiga. Pertama, menjelaskan makna
hadits melalui takhsish al-‘am, taqyid, tafsil al-mujmal, al-nasikh wa al-mansukh,
bayan illat al-hukm, dan taudhih al-musykil. Kedua, mengetahui kedudukan
Rasulullah pada saat kemunculan hadits, apakah sebagai rasul, sebagai qadhi, dan
mufti, sebagai pemimpin suatu masyarakat atau sebagai manusia biasa. Ketiga,
mengetahui situasi dan kondisi suatu masyarakat saat hadits itu disampaikan.27
Sebagai contoh adalah hadits tentang orang Islam membunuh orang kafir.
Hadits ini terdapat dalam shahih Bukhari kitab al-Diyat bab La yaqtul al-Muslim bi
al-kafir Hadits Mauquf:

)‫ وأن ال يقتل مسلم بكافر (رواه البخارى‬...‫قال رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم‬
“Orang Islam tidak dibunuh karena membunuh orang kafir”

25
Bustamin M. Isa H. A. Saman, Metodologi Kritik Hadits, (Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004, h. 76
26
Bustamin, M. Isa H. A. Salamh. 85.
27
Bustamin, M. Isa H. A. Salamh. 85
11

Hadits ini terdapat dalam tujuh kitab hadits dengan enambelas jalur sanad ,
walau jalur sanadnya dinilai mauquf, Kecuali Muhammad Al-Gazali menilainya
berkualitas shahih.28
Dikalangan ulama ada yang tidak mengamalkan hadits ini antaranya adalah
Abu Hanifah yang menilai sanadnya lemah yang matannya bertentangan dengan
sejarah. Dalam sejarah dikatakan bahwa apabila kaum kafir memerangi kaum
muslimin maka kaum muslimin diperintahkan memeranginya. Jika terbunuh, tidak
ada hukuman apapun atas pembunuhan itu. Berbeda dengan ahl al-zimmi, yang
apabila seseorang yang membunuhnya, maka ia dujatuhi hukuman qishash. Dari segi
matan dengan pendekatan sejarah, hadits tersebut tidak menggambarkan praktik
hukum Rasulullah.29

3. Pendekatan Sosiologis
Pemahaman terhadap hadits dapat juga menggunakan pendekatan sosio-
historis. Keadaan sosial kemasyarakatan dan tempat serta waktu terjadinya,
memungkinkan utuhnya gambaran pemaknaan hadits yang disampaikan, dimana dan
untuk tujuan apa ia diucapkan, sekiranya dipadukan secara harmoni dalam suatu
pembahasan.
Oleh karena itu, pendekatan ini dapat dimanfaatkan sehingga diperoleh hal-
hal yang bermanfaat secara optimal dari hadits yang disampaikan sehingga maksud
hadits benar-benar menjadi jelas dan terhindar dari berbagai perkiraan yang
menyimpang.30
Sebagai contoh hadits nabi dari Abdullah bin Umar menyatakan:

)‫إذ جاء أحدكم اجلمعة فليغتسل (رواه البخارى ومسلم وغريمها‬


28
Abu Abdillah Muhammad Ibn Ibrahim bin al- Mughirah al-Bukhari bin Bardzabah al-
Bukhari al-jaf’I, Shahih Bukhari, Juz V, (Beirut: Dar al-Ilmiyyah, 1996), h. 368.
29
Abu Abdillah Muhammad Ibn Ibrahim bin al- Mughirah al-Bukhari bin Bardzabah al-
Bukhari al-jaf’I, Shahih Bukhari, Juz V , h. 86.
30
H.M Erfan Soebahar, Menguak Keabsahan Al-Sunnah Kritik Mushtafa al-Siba’I Terhadap
Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadits dalam Fajr al- Islam, (Cet. I; Bogor: Fajar Interpratama
Offset, 2003), h. 244. Lihat juga Bustamin M. Isa H. A. Samam,., h. 97.
12

Artinya :
“Apabila kamu sekalian hendak datang (menunaikan shalat) Jum’at, maka
hendaklah terlebih dahulu mandi”. (H.R. Bukhari, muslim dll).31

Secara tekstual, hadits tersebut menyatakan bahwa hukum mandi pada hari
jum’at adalah wajib. Hadits di atas mempunyai sebab khusus. Pada waktu itu,
ekonomi para sahabat Nabi umumnya masih dalam keadaan sulit. Mereka memakai
baju wol yang kasar dan jarang dicuci. Mereka banyak menjadi pekerja kebun.
Setelah mereka menyiram tanam-tanaman, mereka banyak yang langsung pergi ke
mesjid untuk menunaikan shalat jum’at, cuaca sedang sangat panas, mesjid masih
sempit. Tatkala nabi berkhutbah, aroma keringat dari orang-orang yang berbaju wol
kasar dan jarang mandi itu menerpa hidung Nabi. Suasana dalam mesjid terganggu
oleh aroma yang tidak sedap tersebut. Lalu Nabi bersabda dengan hadits tersebut atau
yang semakna.32
Dalam riwayat lain, petunjuk Nabi secara lebih tegas lagi dari Abu Said al-
Khudriy, menyatakan:

)‫غسل يوم اجلمعة واجب على كل حمتلم (رواه البخارى ومسلم وغريمها‬
Artinya:
“Mandi pada hari Jum’at adalah wajib atas setiap orang yang telah bermimpi
(baligh).” (H.R. Bukhari, Muslim dll).

Adanya peristiwa yang mendahului terjadinya hadits di atas menjadi


pertimbangan tentang perlunya pemahaman hadits tersebut secara kontekstual. Bagi
masyarakat yang telah terbiasa mandi sehari dua kali, dan karenanya aroma mereka
tidak mengganggu orang-orang sekitar, maka mandi Jum’at bagi mereka tidak wajib.
Bagi anggota masyarakat yang jarang mandi dan jarang berganti pakaian, sehingga
aroma badan dan pakaian mereka mengganggu orang-orang sekitar, maka mereka
dikenakan kewajiban mandi sebelum melaksanakan shalat Jum’at.
31
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Ibn Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardzabah al-Bukhari
al-jafy, Shahih Bukhari, Juz I, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t, th), h. 263.
32
M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi yang, ., h. 58-59
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa uraian di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan antara
lain:
1. Metode tahlili adalah metode memahami hadits dengan cara mengurai
segala segala yang berhubungan dengannya seperti sanadnya, mautannya,
mukharrinnya, kualitasnya atau kedudukannya, pengertian mufradatnya,
pengertian frasenya dan kandungannya. Metode muqaran atau metode
komparatif adalah metode memahami hadits dengan cara membandingkan
satu hadits dengan hadits lainnya atau dengan ayat al-Qur’an. Metode
maudu’i atau metode tematik adalah metode memahami hadits dengan cara
menghimpun hadits-hadits yang berbicara tentang satu topik bahasan yang
sama.
2. Tekhnik memahami hadits secara tekstual adalah tipe pemahaman hadits
yang hanya memperhatikan pada apa yang tertulis saja tanpa
memperdulikan bagaimana hadits tersebut terbentuk, apa latar belakang
(Asbab al-Wurud) dan bagaimana bahasa yang digunakan di dalamnya.
Tekhnik memahami hadits secara kontekstual adalah tipe pemahaman
hadits berdasarkakn atau mempertimbangkan konteksnya. Meliputi bentuk
dan cakupan petunjuknya , kapasitas Nabi tatkala hadits itu terjadi, kapan
dan apa sebab hadits itu terjadi serta kepada siapa ditujukan bahkan dengan
mempertimbangkan dalil-dalil lainnya. Tekhnik memahami hadits secara
intertekstual adalah tipe pemahaman terhadap matan hadits dengan
mempertimbangkan hadits lain atau dengan ayat-ayat al-Qur’an yang
terkait.
3. Pendekatan dalam memahami hadits terdiri dari (1) Pendekatan kebahasaan
(Linguistic), (2) Historis dan Sosiologis.

14
15

DAFTAR PUSTAKA

Abududdin, Nata, Metodologi Studi Islam. Cet. II; Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada,
2007

Al-Adlabi, Salahuddin ibn ahmad, Manhaj Naqd al-matn Ind Ulama’ al Hadits al-
Nabawi, alih bahasa H. M Qodirun Nur ahmad Musyafiq, Metodologi Kritik
Matan Hadits. Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004.

Ahmad, Arifuddin, Paradigma Baru Memahami Hadits Nabi, Refleksi Pemikiran


Pembaruan Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail. Cet. I; Jakarta: Renaisan,
2005.

Ahmad, H. Muhammad, M. Mudzakir, Ulumul hadits. Cet. III; Bandung: CV.


Pustaka Setia, 2004.

Al-Bukhari al-Ja’fi, Abu Abdillah Muhammad Ibn Ibrahim bin al-Mughirah bin
Bardzabah, Shahih Bukhari, Juz V. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996.

Bustamin, M. Isa H.A. samam, Metodologi Kritik Hadits, Cet. I; Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004.

Departemen agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: PT. Syamil Cipta
Media, 2005.

M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya. Cet.
I; Jakarta: Gema Insani Press, 1995.

--------, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, (Tela’ah Ma’ni al-Hadits
tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal). Cet. I; Jakarta:
PT. Bulan Bintang, 1994.

--------, Metodologi Penelitian Hadits Nabi. Cet. I; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992.
Al-Nawawi, Al-imami Muhyiddin, Syarah Shahih Muslim, Juz I. Beirut: dar
al-Ma’rifah, 1996.

Al-Qardhawi, Yusuf, Kaifa Nata’amalu ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah,


diterjemahkan oleh Saifullah Kamalie Metode Memahami As-Sunnah dengan
Benar. Jakarta: Media Da’wah, t.th.
16

Al-Qardhawi, Yusuf, Al-Madhal li al-Dirasah al-Sunnah al-Nabawiyyah,


diterjemahkan oleh Agus Suyadi Raharusun, Pengantar Studi Hadits. Cet. II:
Bandung: Pustaka Setia, 2007.

Al-Qusyairi al-naisaury, Abu Husain Muslim bin Hujjaj Shahih Muslim, Juz III.
Beirut: Dar al-kutub al-Ilmiyah, 1996.

--------, Al-Madhal li al-Dirasah al-Sunnah al-Nabawiyyah, alih bahasa, Agus Suyadi


Raharusun, Pengantar Studi Hadits. Cet. II: Bandung: Pustaka Setia, 2007.

Shihab, Quraish, ahmad Sukardja, Badri Yatim, Dede Rosyada, Sejarah dan Ulum
al-Qur’an. Cet. II; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006.

Al-Suyuthi, jalaluddin, Syarah Sunan al-Nasa’I, Juz V. Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah, 1996.

Zuhri, Muh., Hadits Nabi, Tela’ah historis dan Metodologis. Cet. II; Yogyakarta: PT.
Tiara Wacana Yogya, 2003.

Anda mungkin juga menyukai