Anda di halaman 1dari 103

Y. M.

Ñāṇavimala
Kenangan
dan
Keteladanan
Seorang Bhikkhu Pengembara
Y. M. Ñāṇavimala
Kenangan
dan
Keteladanan
Seorang Bhikkhu Pengembara

Alih Bahasa:
S. Dhammasiri
Y.M. Ñāṇavimala: Kenangan dan Keteladanan
Seorang Bhikkhu Pengembara

Alih Bahasa: S. Dhammasiri


Desain cover: S. Dhammasiri
Penyunting: S. Dhammasiri

Buku ini boleh didistribusikan atau dicetak secara bebas,


sepanjang bukan untuk tujuan komersial, sehingga bisa
memberikan manfaat secara maksimal kepada mereka yang
membacanya. Seluruh artikel dalam buku ini diunduh dari
http://records.photodharma.net
Daftar Isi

Y.M. Hiriko: Menghabiskan Waktu Bersama Y.M.


Ñānavimala................................................................. 1
Kenangan Bhante Guttasīlo tentang Y.M. Ñāṇavimala
(transkrip)................................................................... 15
Seorang Mahākassapa di Zaman Kita........................ 34
Kehidupan Y.M. Ñāṇavimala Thera........................... 53
Ajahn Brahm Bertemu Y.M. Ñāṇavimala.................. 64
Ayah Spiritual Saya (Y.M. Ñāṇavimala).................... 68
Nasihat Y. M. Ñāṇavimala......................................... 83
Daftar Kosakata Pāli.................................................. 97
Y.M. Hiriko: Menghabiskan Waktu
Bersama Y.M. Ñānavimala

Catatan Editor: Y.M. Hiriko adalah seorang bhikkhu Serbia


yang hidup di Sri Lanka dan ditahbiskan dalam tradisi
Theravāda selama beberapa tahun pada sekitar akhir tahun
sembilan puluhan. Belakangan dia menjadi bhikkhu dalam
tradisi Korea dan sekarang dikenal dengan nama Ohkwang
Sunim.

Saya yakin saat itu adalah tahun 1997 ketika saya


pertama kali mengunjungi Island Hermitage dan bertemu
dengan Y.M. Ñāṇavimala. Pembantunya saat itu adalah
seorang bhikkhu bernama Vappa, berasal dari Belanda,
saya rasa. Vappa sedang bersiap-siap untuk meninggalkan
Island Hermitage dan akan pindah ke Vihara Australia
untuk melanjutkan praktiknya di sana. Dia mengantarkan
saya ke kuṭi Y.M. Ñāṇavimala di mana saya bersujud
segera setelah saya sampai di Island Hermitage.

Saya cukup terpesona dengan penampilan Y.M.


Ñānavimala dan keanggunannya yang terpancar dalam
diri beliau. Ruangannya hampir kosong—tidak ada buku,
tidak ada jubah ekstra, bahkan tidak ada sepasang sandal
pun—beliau berjalan tanpa alas kaki. Beliau cukup kurus
dan agak sulit berjalan karena salah satu pinggulnya
dalam kondisi yang tidak begitu baik. Beliau sangat

1
jarang tersenyum.

Ketika saya memperkenalkan diri saya, beliau cukup


terkejut karena walaupun saya telah cukup lama memakai
jubah, saya masih belum ditahbis menjadi bhikkhu, tetapi
tetap sebagai sāmaṇera dan menyarankan saya untuk
menjadi bhikkhu atau ditahbiskan dengan segera. Beliau
memberikan petunjuk singkat tentang kehidupan seorang
bhikkhu: bhawa kita harus memotong hubungan kita
dengan keluarga, teman-teman awam dan negara asal
kita. Kemudian, kita harus tinggal bersama upajjhaya atau
guru tanpa keluyuran ke sana kemari sekurang-kurangnya
selama lima tahun pertama, dan bahkan lebih, jika kita
merasa belum siap untuk hidup secara independen.
Kemudian, kita harus belajar dan menghafalkan kutipan-
kutipan penting dari Sutta Pāḷi dan Vinaya (beliau tidak
sepenuhnya menyarankan buku-buku Abhidhamma).

Beliau memuji latihan bertahap dan menyarankan


saya untuk mempraktikkan cinta-kasih (mettā-bhāvanā)
sebagai landasan untuk praktik yang lebih maju sebab
pengembangan cinta kasih akan membuat pikiran menjadi
bahagia dan membuat pikiran menjadi lapang, damai
dan bahagia. Setelah itu, kita bisa melanjutkan dengan
meditasi pernapasan (ānāpānasati) dan pengembangan
konsentrasi yang lebih dalam (jhāna). Beliau sangat
memuji jhāna, dan menganggap jhāna sebagai landasan
untuk pandangan terang. Ketika saya mengatakan bahwa
beberapa guru dari Burma dan Thai tidak menekankan
2
jhāna, beliau menjawab dengan: “Jika demikian,
mengapa berkali-kali Sang Buddha mengajarkan jhāna
dalam sutta?”

Karena Y.M. Vappa meninggalkan pulau tersebut


segera setelah kedatangan saya di sana, dan tidak ada
bhikkhu lain yang mau mengambil posisi sebagai
pembantu Y.M. Ñāṇavimala, dengan senang hati saya
menerima undangan dari Y.M. Rakkhita, kepala vihara
saat itu, untuk menjadi pembantu beliau. Saya mulai
mengunjungi kuṭi Y.M. Ñāṇavimala beberapa kali
sehari, mengantarkan makanannya (beliau makan hanya
sekali dalam sehari), teh pada sore hari (beliau minum
teh, tetapi menolak teh hitam, karena menganggapnya
sangat berbahaya untuk praktik), menyapu kuṭinya dan
terkadang membantu untuk menyucikan jubah beliau dan
karena beliau semakin lemah, bahkan membantu beliau
untuk mandi.

Bhante Ñāṇavimala saat itu berumur sekitar 84


tahun ketika saya bertemu dengan beliau. Bahkan
beliau bercanda dengan mengatakan: “Sang Buddha
hidup hingga usia 80. Saya sudah 84, tidaklah penting
bagi saya untuk hidup lebih panjang dari itu.” Tetapi,
beliau tetap hidup, dan bahkan meskipun beliau tidak
menyukainya, suatu ketika beliau dibawa ke Rumah Sakit
di Kolombo untuk membuang katarat dari mata beliau.
Bhante Mettavihāri dan saya menemani beliau. Saya
ingat beliau mengatakan kepada kami “Saya sudah tidak
3
membutuhkan operasi. Bagaimanapun, saya telah cukup
melihat dunia ini. Untuk apa saya perlu melihat lagi?”
Tetapi seorang penyokong yang menginginkan operasi
tersebut, percaya bahwa Bhante Ñāṇavimala ingin
membaca buku lagi. Dengan demikian, operasi dilakukan
dan matanya pun menjadi baik. Akan tetapi, beliau tidak
pernah membaca apa pun. Beliau tidak punya keinginan
(atau kebutuhan) untuk membaca. Ketika beliau masih
muda, beliau menghafalkan kutipan-kutipan penting
dalam Bahasa Pāli dan Inggris, dan beliau menolak untuk
belajar setelah itu. Terkadang beliau akan melihat buku
catatan kecil yang dipenuhi dengan kutipan, tetapi hanya
ketika beliau tidak yakin tentang kutipan yang akan beliau
bagikan.

Menariknya, beliau menolak berbicara dengan


menggunakan Bahasa Jerman meskipun dengan orang
Jerman. Beliau mengatakan hal itu akan mengingatkan
beliau akan negara asalnya. Pada saat itu, beliau telah
tinggal di Sri Lanka selama 40 tahun. Bahkan beliau
telah menjadi warga negara Sri Lanka, atau sekurang-
kurangnya, pada kunjungan terakhirnya ke Kantor
Imigrasi di Kolombo untuk memperpanjang visa, petugas
immigrasi mengambil paspor Jermannya dan berjanji
akan mengeluarkan paspor Sri Lanka (walaupun mungkin
hal itu tidak pernah terjadi karena tidak seorang pun
yang telah melihat paspor tersebut). Petugas mengatakan
kepadanya: “Bhante, bhante sudah terlalu tua, tidak perlu

4
5
datang kemari lagi untuk memperpanjang visa bhante.
Paspornya sudah diurus, bhante telah menjadi warga
negara Sri Lanka, saya akan mengirimkan paspor tersebut
kepada bhante.” Karena itu, Y.M. Ñāṇavimala tidak lagi
pergi ke Kantor Imigrasi setelah itu. Saya mendengar
cerita ini dari beberapa bhikkhu senior.

Suatu ketika, beliau mengatakan kepada saya tentang


seorang wanita, ibu angkatnya, yang merawatnya di
Jerman ketika dia masih kecil. Dia tidak memiliki anak
dan cukup melekat padanya. Selama sepuluh tahun
pertama atau lebih di Sri Lanka, sesekali beliau akan
mendapatkan surat darinya. Tetapi beliau tidak akan
langsung membukanya. Beliau akan menaruhnya di
laci, menunggu beberapa saat, dan kemudian barulah
membukanya. “Biasanya ada beberapa hal tentang saya
yang biasanya dia tanyakan”, beliau menceritakan kepada
saya, saat beliau menasihati saya untuk tidak melekat
kepada keluarga saya sendiri, “tetapi ketika saatnya saya
membuka surat tersebut, sebenarnya sudah tidak perlu
lagi membalas surat tersebut. Saat itu, masalah yang
dipertanyakan sudah akan terselesaikan, sehingga saya
tidak pernah menulis selembar surat pun kepadanya
atau kepada siapa pun sejak saya menjadi bhikkhu”,
beliau menjelaskan. Saya tidak pernah sangat baik dalam
mengikuti petunjuk tersebut, saya harus mengakuinya.

Untuk ajaran-ajaran yang dapat ditemukan di dalam


sutta, beliau sering mengatakan: “Carilah kutipan
6
itu, kutipan tersebut ada di sutta itu. Kutipan itu dari
Sang Buddha yang merupakan guru agung; karena itu
belajar dari Beliau, itulah yang terbaik. Saya tidak bisa
mengatakan bahwa hal itu lebih baik dari Beliau.” Dengan
cara tersebut, beliau memotivasi saya untuk mempelajari
sutta. Beliau adalah orang yang penuh kasih sayang,
tetapi kasih sayang tersebut adalah “kasih sayang arahat”.
Beliau berdiam di dalam Dhamma, dan hanya berbicara
soal Dhamma.

Y.M. Ñāṇavimala menghabiskan selama bertahun-


tahun mengembara dari satu ujung Sri Lanka ke ujung yang
lain. Beliau membawa semua milik beliau. Apa yang beliau
miliki tidak banyak, dan mangkuk untuk berpiṇḍapata
tidaklah berat, tetapi jika Anda membawanya setiap hari
selalu di satu sisi, sisi kanan (perlu begitu karena bentuk
jubah dalam tradisi Theravāda), lalu tulang punggung
dapat secara lambat laun membengkok ke lawan arah—
dan itulah yang terjadi pada beliau. Karena itu, berjalan
menjadi sulit, dan beliau kembali ke Polgasduwa setelah
bertahun-tahun melakukan cārika.

Suatu ketika, saya bertanya kepada beliau apakah


selama dalam pengembaraannya ada orang yang telah
mencuri sesuatu dari beliau. Beliau berusaha mengingatnya
dan dengan tersenyum berkata: “Ya, suatu ketika saya tiba
terlambat di kota Matara, dan memutuskan untuk tidur di
stasiun kereta api. Ketika saya bangun di pagi hari untuk
pergi lagi, saya menyadari bahwa tas saya telah dibuka.
7
Pencuri telah mencuri tali yang selalu saya bawa dan
bentangkan di antara dua pohon untuk menjemur jubah
setelah saya mencucinya.” Saya yakin pencuri tersebut
pasti sangat kecewa karena tas tersebut tidak ada sesuatu
apa pun yang berharga selain seutas tali nan telah usang.

Pada salah satu cārika, beliau berjalan di hutan,


salah satu taman nasional yang cukup luas, mungkin
Yāla. “Tidak ada banyak perkampungan di sana,” beliau
menuturkan, “dan kampung-kampung ini sangat miskin.
Selain itu, saya datang tanpa pemberitahuan sehingga
tidak seorang pun yang akan memberikan dana makanan
kepada saya. Selama dua hari saya tidak mendapatkan
dana makanan apa pun, dan pada pagi ketiga saya benar-
benar kelaparan. Tetapi saya masih di tengah hutan
belantara di taman nasional dan saya tidak berharap
akan mendapatkan dana makanan dari warga kampung
meskipun seandainya saya bisa bertemu.

Pagi hari itu, saya tiba di sebuah kampung kecil


dan ketika saya berjalan menelusuri kampung tersebut,
seorang wanita tua keluar dari rumahnya dengan sebuah
mangkuk di tangannya. Dia mendatangi saya dan bersikap
añjali. Kemudian saat saya membuka mangkuk saya, dia
memasukkan makanan ke dalam mangkuk. Makanan
yang dia persembahkan sungguh sangat bagus, sehingga
saya pun cukup terkejut. Hal itu menunjukkan seolah-
olah dia tahu bahwa saya akan datang dan dia memasak
makanan dan menunggu saya. Karena itu, setelah saya
8
membacakan paritta pemberkahan, saya melihatnya
dan bertentangan dengan kebiasaan saya untuk tidak
bercakap-cakap selama dalam berpiṇḍapata, saya
bertanya akan hal itu. Dia menjawab “Bhante, tadi malam
saya mempersembahkan bunga dan ketika saya sedang
membaca paritta di depan altar seorang devata muncul
di hadapan saya. Dia mengatakan kepada saya untuk
bangun lebih awal esok harinya dan memasak makanan
yang terbaik. Dia mengatakan bahwa seorang bhikkhu
sedang dalam perjalanan dan akan melewati kampung
kita dan saya harus mempersembahkan makanan itu
demi melakukan kebajikan. Karena itu, ketika saya
melihat bhante datang, saya telah siap dan sangat bahagia
karena saya telah tahu bahwa bhante akan datang.” Saya
mendengarkan cerita ini dari mulut beliau sendiri, saya
tidak ingat alasan mengapa beliau menceritakan hal ini,
tetapi tidak ada alasan untuk meragukan bahwa hal itu
benar-benar terjadi.

Selama dalam pengembaraannya di Sri Lanka, Y.M.


Ñāṇavimala sering tidur di hutan atau di perkebunan teh
jika beliau tidak dapat menemukan vihara yang cocok
hari itu. Salah satu vihara tradisi hutan yang beliau
sukai, dan disebutkan beberapa kali, adalah Mitirigala.
Beliau juga bersahabat dengan baik dengan kepala vihara
Mitirigala. Tetapi beliau memilih untuk tidak tinggal di
sana dalam jangka waktu yang lama karena, seperti yang
beliau katakan, ada bahaya untuk melekat pada tempat

9
tersebut, untuk selalu mendapatkan makanan yang baik,
dan tenang.

Mengenai ketenangan pikiran dan konsentrasi yang


dalam, ada suatu peringatan yang diberikan. Walaupun
Y.M. Ñāṇavimala memuji dan menghargai jhāna,
beliau menuturkan cerita ini kepada saya sebagai suatu
peringatan tentang “perangkap jhāna yang salah”: “Saya
singgah di Mitirigala dan tinggal di sana selama beberapa
hari,” beliau bercerita, “mereka memberikan saya kuṭi
yang sangat nyaman untuk tinggal. Pada sore hari, saya
duduk bermeditasi dan praktik pun berjalan dengan
sangat mulus sehingga saya memutuskan untuk tidak
bangun. Tetapi, kemudian setelah apa yang mungkin
hanya beberapa jam, saya mendengar kentongan vihara
berbunyi dan saya pun membuka mata. Kentongan vihara
di sana dibunyikan hanya pada saat jam makan sehingga
saya merasa aneh. Saya yakin saat itu masih sore. Bahkan,
cahaya di luar jendela saya tampak antara siang dan malam
sehingga saya merasa saat itu adalah senja. Kemudian,
saya dengarkan dengan seksama kicauan burung-burung.
Burung berkicau agak berbeda di sore hari dan di pagi
hari, pada hari menjelang pagi. Lalu, setelah beberapa saat
barulah saya menyadari bahwa saat itu bukan senja tetapi
pagi hari. Karena itu, tampaknya saya telah menghabiskan
sepanjang malam di dalam meditasi tanpa menyadari
bahwa semua waktu telah berlalu begitu saja. Dan di
sinilah masalah yang sesungguhnya. Walaupun saya telah

10
mendapatkan pengalaman yang menyenangkan (beliau
biasa mengunakan istilah ini ketika berbicara soal jhāna:
pengalaman yang menyenangkan (pleasant abiding)),
saya telah menyia-nyiakan semua waktu saya. Saya tidak
sepenuhnya menyadari waktu terus berjalan. Dengan kata
lain, saya merasa bahwa saya tidak tidur tetapi walaupun
demikian saya telah menyia-nyiakan waktu saya. Hanya
merasa menyenangkan, tetapi tidak mengamati tubuh,
perasaan, pikiran dan kondisi pikiran. Karena itu, kita
harus menyadari bahaya konsentrasi yang terlalu dalam.”

Pada kesempatan lain, Y.M. Ñāṇavimala mengatakan


kepada saya bagaimana beliau bermeditasi di suatu gua
karena saat itu sangat panas di luar. Lagi-lagi, beliau
masuk ke dalam konsentrasi yang dalam (samādhi), dan
ketika beliau keluar dari samādhi, dan mulai bergerak,
beliau menyadari bahwa ada sesuatu yang berat terletak
di ujung tangannya. Ternyata ular melingkar di tangannya
dan bahkan beliau tidak menyadarinya tetapi ular tersebut
tentu telah melingkar di sana untuk beberapa waktu.
Beliau dengan pelan-pelan menurunkan tangannya ke
tanah. Ular tersebut tidak melukai beliau sedikit pun.

Mengenai binatang, inilah cerita lainnya: ketika sedang


berjalan di sebuah taman nasional suatu ketika beliau
bertemu dengan beruang. Beliau mengatakan: “Ketika
saya mengangkat kepala saya, beruang tersebut hanya
beberapa meter dari saya. Kami sama-sama terkejut, dan
beruang tersebut tampak siap untuk menyerang. Saya
11
rendahkan pandangan saya dan mulai memancarkan
mettā terhadap beruang tersebut. Apa yang saya ketahui
selanjutnya adalah ketika saya mengangkat pandangan
saya beruang tersebut sudah tidak terlihat.” Kembali, jika
kedua cerita ini saya dengar dari orang lain penggemar
Y.M. Ñāṇavimala, saya akan meragukannya. Tetapi saya
mendengarkan cerita tersebut langsung dari beliau, dan
beliau bukanlah orang yang suka membual. Hal itu dapat
terjadi karena saya telah menghabiskan waktu yang
cukup lama bersama beliau selama tahun tersebut, dan
saya menanyakan banyak pertanyaan, sehingga pada saat
beliau sedang merasa enak hati akan menceritakan cerita-
cerita ini.

Suatu sore, saya memasuki kuṭinya, membawakan


teh. Y.M. Ñāṇavimala sedang berbaring di lantai semen
dalam posisi singa. Saya agak terkejut melihat beliau di
bawah, tetapi saya mengira itu adalah praktik yang sedang
beliau lakukan, atau kalau tidak, karena saat itu sangat
panas, beliau pindah dari ranjangnya ke lantai untuk bisa
merasakan suasana yang lebih dingin. Kemudian, saya
berjalan pelan-pelan di sekitarnya, meletakkan teh di
mejanya, dan bertanya kepada beliau apa yang bisa saya
lakukan untuk beliau. Beliau berkata dengan sabar dan
ramah: “Baiklah, kamu bisa menyerahkan kepada saya
tehnya, tetapi pertama-tama, bisakah kamu membantu
saya untuk bangun. Terasa tidak nyaman berbaring di
lantai.” Ooop! Saya baru tahu beliau terbaring di sana

12
bukan karena kemauan beliau sendiri. Ketika saya
membantu beliau untuk berdiri, saya bertanya, “Apa yang
terjadi, bhante?” Lalu beliau menceritakan kepada saya
bahwa beliau bangun dari ranjangnya, mencoba untuk
berjalan, kehilangan kesadaran, dan jatuh. Pinggulnya
terluka pada saat jatuh, dan beliau tidak dapat bangun
sendiri. Karena itu, beliau menghabiskan waktunya sekitar
tiga jam atau lebih menunggu seseorang yang datang dan
membantunya. Saya merasa sangat kasihan mendengar
hal itu. Setelah itu, jalannya menjadi jauh lebih sulit.

Pada kesempatan lain, saya memasuki kuṭinya dan


membawakan makanan. Ketika saya menyerahkan
mangkuk yang berisi makanan, beliau tersenyum dan
berkata kepada saya bahwa saya telah membangunkannya
dari tidur. Beliau mengatakan bahwa beliau baru saja
bermimpi. “Mimpi macam apa itu, bhante?” saya
bertanya dengan rasa penasaran. “Oh tidak tidak ada yang
spesial,” beliau berkata, “saya sedang berjalan di sebuah
kampung, membawa mangkuk saya untuk melakukan
piṇḍapāta, dan kemudian seorang wanita mendekati saya
untuk mempersembahkan makanan. Ketika saya hendak
menerima makanan tersebut, kamu masuk kuṭi dan
saya pun bangun.” Sangat menarik, saya pikir. Mimpi-
mimpinya sama sekali tidak berbeda dengan realitas
kehidupan yang sesungguhnya—sederhana dan murni.

13
Kenangan Bhante Guttasīlo tentang Y.M.
Ñāṇavimala (transkrip)

Catatan Editor: Artikel ini


adalah sebuah transkrip
yang telah disetujui
dan diedit kembali oleh
Dhammacārī Chittapāla
dari sebuh interview
bersama dengan Bhante
Guttasīlo yang membahas
tentang Y.M. Ñāṇavimala.
Sebelumnya, sebuah
video yang merupakan
pilihan beberapa cuplikan
dari interview tersebut telah diunggah ke blog ini. Bhante
menggunakan banyak istilah Pāḷi, yang tetap dipertahankan
dalam transkrip ini, untuk dapat melihat artinya, silakan lihat
lampiran.

Saya ditahbiskan di Wat Bowon, Bangkok pada


tahun 1976 sebagai bhikkhu dan pada tahun 1975
sebagai sāmaṇera di Wat Phleng Vipassana, juga di
Kota Bangkok. Pada tahun 1979, saya diundang untuk
berpartisipasi, bersama beberapa bhikkhu asing, dalam
sebuah seminar Dhamma dan tour religious ke Sri Lanka.
Selama dalam perjalanan ini, kami menyempatkan diri

14
untuk mengunjungi Nissarana Vanaya di Mitirigala. Di
sana kami bertemu Y.M. Katukurunde Ñāṇananda dan
kepala vihāra Y.M. Matara Śrī Ñāṇarama. Vihara tersebut
adalah sebuah vihara hutan yang sangat indah dan saya
dapat melihat bahwa bhikkhu-bhikkhu Sri Lanka di sana
sangat serius dalam praktik meditasi mereka. Selain itu,
mereka juga cukup terpelajar. Apa yang membuat saya
tertarik adalah kombinasi penelaahan sutta dan praktik
meditasi. Saya kembali ke Thailand dan kemudian pada
tahun 1980, berusaha untuk menjalankan masa vassa
kelima saya di Sri Lanka. Saya mendapatkan izin dari
upajjhāya saya, Somdet Ñāṇasaṃvara, kepala vihara Wat
Bowon untuk pergi ke Sri Lanka. Setelah menjalani vassa
pada tahun 1980 di Island Hermitage, saya mendapatkan
kesempatan untuk tinggal di Nissarana Vanaya yang
menjadi tempat utama selama saya tinggal di Sri Lanka
selama beberapa tahun.

Ketika kami mengunjungi Kolombo, kami tinggal di


vihara yang menjadi pusat pendidikan, yaitu Vajirarama.
Kepala vihara saat itu adalah Y.M. Narada. Vihara
tersebut masih cukup nyaman untuk ditinggali khususnya
di daerah perkotaan seperti Bambalapitiya karena daerah
tersebut belum begitu dikomersialkan. Daerah tersebut
umumnya dipergunakan untuk tempat tinggal sehingga
memudahkan untuk berpiṇḍapāta. Vihara tersebut juga
merupakan pusat Sri Dharmarakshita Nikāya (sub-sekte
dari Amarapura Nikāya), yang merupakan Nikāya yang

15
melindungi Island Hermitage. Karena itu, para bhikkhu
yang ditahbis di Island Hermitage telah ditahbis melalui
Vajirarama. Vihara ini juga merupakan tempat Bhante
Ñāṇavimala biasanya berkunjung jika beliau ke Kolombo.

Tentu saja, saya telah mendengar Bhante Ñāṇavimala


dari beberapa bhikkhu senior asing di Sri Lanka seperti
Y.M. Ñāṇaramita. Di Sri Lanka, saya sangat menghargai
bhikkhu-bhikkhu asing yang lebih senior daripada saya.
Sri Lanka merupakan tempat di mana kita masih dapat
menemukan silsilah bhikkhu-bhikkhu senior Barat. Y.M.
Ñāṇapoṇika masih hidup di Kandy. Paling tidak, beliau
telah berusia 80 tahun saat itu. Saya kira Y.M. Ñāṇavimala
adalah yang paling senior setelah Y.M. Ñāṇapoṇika dan
beliau pun cukup terkenal. Sebagai bhikkhu asing yang
masih muda, kita membutuhkan bhikkhu-bhikkhu senior
untuk dijadikan suri teladan, khususnya, bhikkhu-bhikkhu
senior asing.

Y.M. Ñāṇavimala lebih menunjukkan aspek praktik


kehidupan seorang bhikkhu. Beliau menjalani kehidupan
mengembara selama di luar masa vassa. Hanya pada
masa vassa beliau akan mencari tempat yang cocok untuk
tinggal. Selain itu, beliau juga dikenal tinggal hanya tiga
malam di suatu tempat tertentu. Karena beliau berjalan,
cukup jelas, beliau akan tinggal lebih lama di tempat
yang beliau suka. Saya tahu bahwa ada sebuah arañña
di Polpitigama, Kurunegala di mana beliau suka tinggal.
Y.M. Ñāṇavimala adalah seorang bhikkhu berkebangsaan
16
Jerman, dan beliau sangat serius dalam praktik dan
menghabiskan waktunya dalam cārika. Karena gaya
hidupnya dan berbagai cerita yang telah kami dengar
tentang beliau, kami sangat terpesona. Hal ini membuat
beliau layak dijadikan suri teladan.

Salah satu yang membuat saya tertarik akan Sri Lanka


dalam konteks kehidupan para bhikkhu adalah kombinasi
belajar dan praktik meditasi. Y.M. Ñāṇavimala, dari
apa yang telah kami dengar tentang beliau, beliau telah
menghabiskan sepuluh tahun secara terus menerus
di Island Hermitage. Saya tidak tahu apakah beliau
meninggalkan tempat tersebut pada saat itu atau tidak,
seandainya meninggalkan, tentu hanya dalam waktu
singkat.

Y.M. Ñāṇavimala sangat beruntung karena memiliki


teman seperti Y.M. Ñāṇamoli dan beberapa bhikkhu
lainnya yang sangat terpelajar dan mampu memberikan
inspirasi dari tradisi Vajirarama. Bhikkhu-bhikkhu tersebut
termasuk Y.M. Soma, yang merupakan seorang bhikkhu
Tamil, dan Y.M. Kheminda yang merupakan teman dekat
Y.M. Ñāṇavimala. Y.M. Kheminda adalah bhikkhu yang
dijadikan suri teladan oleh Y.M. Ñāṇavimala dan sangat
pandai dan sehat saat itu di Vajirarama. Dengan demikian,
Y.M. Ñāṇavimala memiliki teman-teman terpelajar,
sangat penuh perhatian selama sepuluh tahun di Island
Hermitage sebelum beliau memulai kariernya sebagai
seorang pengembara. Terkadang, beliau akan kembali ke
17
Island Hermitage untuk sekedar berkunjung.

Saya pertama kali bertemu Y.N. Ñāṇavimala ketika


beliau mengunjungi Vajirarama saat beliau sedang
mengembara pada tahun 1981 atau 1982. Beliau akan
memberikan kesan kepada orang lain bahwa beliau adalah
orang yang penuh pengendalian diri. Beliau memiliki
saṃvara yang luar biasa dan beliau benar-benar serius.
Apa yang saya maksud penuh pengendalian diri adalah
bahwa beliau tidak akan dengan mudah terpancing dalam
sebuah percakapan atau selalu siap dengan orang-orang
di sekitar beliau; caranya berjalan sungguh sangat penuh
pengendalian diri—tidak melihat ke sana ke mari; beliau
memiliki barang-barang yang sangat sedikit karena
beliau selalu mengembara dan membawa semua barang-
barang tersebut. Beliau hanya memiliki sebuah patta dan
tas untuk membawa kebutuhan pokok beliau—tas itu
sungguh sangat ringan.

Setiap hari, beliau akan berpiṇḍapāta ke rumah-


rumah di sekitar Vajirarama di Bambalapitiya. Ada
sebuah ruangan yang sering dipergunakan untuk tinggal
ketika beliau berada di Vajirarama. Ruangan tersebut
cukup besar, dilengkapi dengan toilet dan kamar mandi.
Ketika beliau telah masuk ruangan, kita tidak akan sering
melihat beliau—beliau cenderung tinggal di dalam
ruangan beliau. Tetapi setiap hari beliau akan keluar dan
beliau akan berdiskusi Dhamma dengan Y.M. Kheminda,
baik di dalam ruangan Y.M. Kheminda atau di luar kamar
18
beliau.

Jika saya berada di Vajirarama, saya akan mencoba


untuk bertemu beliau. Selama dalam perkenalan, beliau
akan bertanya apakah kita adalah seorang bhikkhu yang
telah memiliki lima vassa lebih, apakah kita telah bebas
dari nissaya. Bagi Y.M. Ñāṇavimala hal ini tampaknya
menjadi sesuatu yang penting bagi beliau. Beliau sendiri
telah menghabiskan sepuluh tahun pertama di Island
Hermitage. Y.M. Ñāṇavimala selalu memposisikan
dirinya sebagai seorang guru dan tidak pernah sebagai
teman dalam berdiskusi Dhamma. Y.M. Ñāṇavimala
akan duduk di kursi dan saya akan duduk di lantai. Selalu
ada perbedaan yang besar dalam vassa dan senioritas.
Y.M. Ñāṇavimala sangat menyukai beberapa sutta dari
Majjhima Nikāya—yang beliau anggap perlu dipelajari
oleh bhikkhu-bhikkhu muda agar dapat dipraktikkan.
Sebagai contohnya, Gopaka Moggallāna Sutta, latihan
selangkah demi selangkah bagi seorang bhikkhu baru—
begitu pula dengan Dantabhūmi Sutta, lagi suatu latihan
selangkah demi selangkah. Y.M. Ñāṇavimala sangat
menekankan pentingnya memiliki sīla yang baik,
pengendalian diri, aturan-aturan Pāṭimokkha, pentingnya
sati-sampajaññā, pentingnya untuk mencoba mengatasi
lima rintangan batin dan mengembangkan empat
satipaṭṭhāna.

Beliau akan berbicara lebih tentang latihan bertahap


yang standar dalam berbagai sutta. Y.M. Ñāṇavimala
19
memiliki pemahaman yang sangat kuat, konservatif dan
tradisional terhadap Dhamma dan sīla. Tradisional dalam
hal ini berarti berdasarkan sutta—itulah latar belakangnya.
Saya tidak yakin seberapa besar beliau bergantung pada
kitab Komentar. Y.M. Ñāṇavimala termasuk ke dalam
kelompok kecil para bhikkhu yang percaya bhawa jhāna
sangat penting dalam perkembangan Dhamma—mereka
tidak begitu bersimpati terhadap tradisi Mahasi. Bhikkhu-
bhikkhu dari Vajirarama seperti Y.M. Soma, Y.M.
Kheminda dan Y.M. Kassapa sangat menentang tradisi
Mahasi. Sedangkan, Y.M. Ñāṇapoṇika yang merupakan
bagian dari Vajirarama, adalah pendukung tradisi Mahasi.
Meskipun Y.M. Ñāṇavimala bergabung dalam diskusi
Dhamma dengan Y.M. Kheminda, saya pikir beliau suka
sutta-sutta tertentu dan lebih terbatas atau kaku dalam
konteks apa yang menjadi dasar praktiknya.

Pengetahuan yang saya miliki tentang praktik nyata


Y.M. Ñāṇavimala, apa yang beliau ajarkan kepada murid-
murid Sinhalanya, adalah berdasarkan kesadaran dan
perhatian terhadap enam pintu indria. Tentu, kita dapat
membayangkan ketika seseorang menghabiskan banyak
waktu untuk berjalan dalam cārika, tidak mungkin untuk
mempraktikkan meditasi samatha yang dalam. Penekanan
adalah pada perhatian terhadap segala sesuatu, sehingga
tidak peduli apa pun aktivitas yang sedang dilakukan,
untuk terus mempertahankan kammaṭṭhāna, dan juga
suatu penekanan pada enam pintu indria.

20
Apa yang membuat saya terpesona tentang Y.M.
Ñāṇavimala adalah ketenangannya, pandangannya
yang begitu serius terhadap kehidupan kebhikkhuan,
kepemilikannya yang sangat sedikit, bagaimana
beliau cenderung menjaga jarak dari orang lain,
ketidakinginannya untuk turut berkomunikasi atau
berbicara dengan orang lain kecuali ada alasan yang tepat.
Inilah apa yang sesungguhnya saya perhatikan. Y.M.
Ñāṇavimala terkenal mampu hidup hanya dengan sangat
sedikit kebutuhan. Saya pikir beliau adalah satu-satunya
bhikkhu yang telah berjalan keliling Sri Lanka selama
beberapa kali, sehingga di beberapa daerah yang beliau
kelilingi, seperti di daerah-daerah yang berpenduduk
Muslim dan Tamil, tampaknya beliau tidak mendapatkan
banyak makanan saat berpiṇḍapāta. Tetapi, hal itu akan
menjadi tidak begitu penting bagi Y.M. Ñāṇavimala,
hal itu akan hanya menjadi makanan ekstra bagi praktik
beliau.

Saya kira beliau cenderung tinggal di vihara-vihara


kampung saat sedang mengembara dan akan kembali
ke vihara-vihara yang dianggap layak. Saya kira beliau
mempunyai suatu rutinitas—berjalan di pagi hari, yang
juga termasuk berpiṇḍapāta. Salah satu cara yang kami
dengar adalah bahwa jika berpiṇḍapāta di kampung tidak
sukses, beliau akan duduk di suatu tempat sehingga orang
lain dapat melihat apa yang beliau lakukan. Sebenarnya
itu adalah pertanda bagi orang lain untuk membawa

21
makanan dalam berpiṇḍapāta. Saya tahu bahwa ketika
Y.M. Ñāṇavimala telah sampai di vihara dan mendapatkan
izin untuk tinggal dan sebuah ruangan telah disiapkan
untuk beliau, kemudian, umumnya beliau akan masuk
ke dalam ruangan dan menutup pintu. Saya tidak tahu
apakah beliau akan menerima teh hitam manis dari vihara
karena beliau sangat memperhatikan vinaya.

Kembali pada rutinitas beliau: beliau akan berjalan di


pagi hari, yang akan termasuk berjalan untuk berpiṇḍapāta
dan kemudian kadang-kadang pada sore hari, jika beliau
tidak menemukan tempat yang cocok seperti vihara,
beliau akan beristirahat di suatu tempat pada malam hari.
Biasanya, beliau akan berjalan hanya sepanjang sepuluh
kilometer per hari. Saya kira beliau tidak jalan berlebihan.

Ada sebuah tradisi di vihara-vihara Sri Lanka bahwa


bhikkhu tamu hanya dapat tinggal selama tiga hari.
Di berbagai vihara desa, beliau mungkin tidak akan
suka tinggal lebih lama. Kita harus ingat bahwa Y.M.
Ñāṇavimala mengembara pada tahun enam puluhan,
tujuh puluhan dan delapan puluhan. Saya kira vihara-
vihara telah menjadi lebih duniawi bila dibandingkan
dengan saat itu. Vajirarama pada tahun delapan puluhan
merupakan tempat yang masih sangat nyaman untuk
ditinggali, walaupun vihara tersebut terletak di tengah
kota. Sekarang semuanya telah berkembang di daerah
Jalan Galle—begitu banyak kendaraan, semuanya telah
berubah begitu banyak di sana. Saya kira ketika Y.M.
22
23
Ñāṇavimala sedang mengembara, ketika vihara-vihara
masih tampak lebih damai.

Dari apa yang Y.M. Mettavihārī ceritakan kepada saya,


Y.M. Ñāṇavimala dapat berbicara Sinhala, tetapi logat
Jermannya yang sangat kental membuat ucapan beliau sulit
dimengerti. Ketika Y.M. Mettavihārī masih menjadi umat
awam, dia mengundang Y.M. Ñāṇavimala ke rumahnya
dan mertua Y.M. Mettavihārī yang merupakan orang Sri
Lanka tidak bisa mengerti ceramah yang diberikan dalam
bahasa Sinhala oleh Y.M. Ñāṇavimala. Bahasa Sinhalanya
sangat sederhana, dan juga logatnya sangat sulit dipahami.
Dari apa yang saya mengerti, Y.M. Ñāṇavimala tidak suka
terlibat dalam berbagai percakapan yang dianggap tidak
berguna, dengan demikian bahasa Sinhalanya sangat
sederhana—hanya cukup untuk berkomunikasi.

Kami telah mendengar berbagai cerita tentang Y.M.


Ñāṇavimala. Sebagai contohnya, ketika beliau berjalan
dari Tissamaharama langsung menuju Panama dan
Pottuvil. Beliau tinggal di Kudumbigala Arañña saat itu
ketika tidak ada bhikkhu yang menetap dan vihara tersebut
dirawat oleh Upāsaka Maitreya. Ada suatu cerita tentang
Y.M. Ñāṇavimala yang sedang tinggal di sebuah gua di
sana dan bagaimana seekor beruang masuk ke dalam
gua ketika beliau sedang duduk bermeditasi. Tetapi,
begitu beruang itu melihat beliau, beruang tersebut tidak
melakukan apa pun dan berputar dan keluar.

24
Ada suatu cerita yang telah saya dengar saat Y.M.
Ñāṇavimala sedang mengembara di pantai bagian timur
dan tinggal di vihara hutan yang cukup kecil di Waturawila.
Beliau tinggal di sīma dan ketika beliau meninggalkan
sīma, kepala vihara telah memeriksa harta benda milik
Y.M. Ñāṇavimala. Kepala vihara tersebut menemukan
bahwa apa yang dimiliki oleh Y.M. Ñāṇavimala telah
usang dan barang bekas atau telah rusak—pencuri
sekalipun tidak akan mau mencurinya.

Cerita lainnya adalah tentang begitu bebasnya


sesungguhnya Y.M. Ñāṇavimala dapat hidup. Suatu
ketika, saya sedang berada di Vajirarama dan Alec
Robertson, seorang guru Dhamma yang sangat mumpuni
ini sedang berkunjung, sebagaimana biasanya dia sering
lakukan. Dia bilang bahwa suatu ketika dia mengunjungi
Vajirarama dan bertemu dengan Y.M. Ñāṇavimala
yang sedang bersiap-siap untuk mengembara lagi. Alec
Robertson bertanya kepada Y.M. Ñāṇavimala apakah
beliau akan pergi. Y.M. Ñāṇavimala menjawab “Ya”.
Kemudian, Alec Robertson bertanya “Bhante, ke mana
bhante akan pergi?” Y.M. Ñāṇavimala lalu menjawab
“Saya akan tentukan ketika saya tiba di pintu gerbang.”
Bahkan, beliau tidak membuat keputusan hingga beliau
keluar dari pintu gerbang vihara, apakah beliau akan
belok kiri atau kanan.

Y.M. Ñāṇavimala adalah orang yang suka menyendiri.


Sangat sulit untuk bisa dekat dengan beliau. Saya kira,
25
selama dalam sepuluh tahun ketika beliau tinggal di
Island Hermitage saat Y.M. Ñāṇamoli masih hidup, beliau
cenderung mengisolasikan diri dari para bhikkhu lainnya.
Dari apa yang saya pahami, Y.M. Ñāṇavimala memiliki
pandangan yang sangat konservatif. Saya berasal dari
generasi belakangan yang cenderung lebih terbuka. Tetapi,
Y.M. Ñāṇavimala akan menjaga jarak dari kepribadian
yang suka “bersenang-senang”, para pencari kebenaran
yang lebih liberal yang datang ke Island Hermitage saat
itu—tentu banyak. Y.M. Ñāṇavimala adalah apa yang
kami sebut “lurus”—agak sempit dalam kepribadian.
Ada semacam keseriusan—tidak ingan menyia-nyiakan
waktunya, tidak ingin bermain-main, tidak ingin terlibat
dalam percakapan yang tidak berguna. Oleh karena
itu, beliau akan selalu menjaga jarak. Beliau sangat
berpengendalian diri, beliau tidak merasa perlu bercakap-
cakap dengan yang lain dan hal ini membuat beliau agak
sulit didekati. Kita akan merasa bahwa kita perlu berhati-
hati jika kita ingin mendekatinya.

Sesuatu yang terjadi pada diri saya agak mengubah


pandangan saya terhadap Y.M. Ñāṇavimala. Pada tahun
1984, saya telah memutuskan untuk kembali ke Selandia
Baru karena ibu saya terkena stroke dan ayah saya harus
menjalani operasi by-pass dan pemacu jantung. Kedua
orangtua saya terlalu tua dan tidak mungkin mengunjungi
Sri Lanka. Terakhir kali saya bertemu mereka pada tahun
1973 di Australia ketika kami berkumpul bersama selama

26
beberapa hari. Saya belum pernah tinggal lama bersama
orangtua saya sejak 1970. Saya tinggal di Selandia Baru
hingga akhir 1984. Saya tidak bisa lagi tinggal di Selandia
Baru, sehingga saya memutuskan untuk kembali ke Asia.
Saya sedang berada di Thailand dalam perjalanan kembali
ke Sri Lanka ketika saya mendapatkan kabar bahwa
ibu saya telah divonis terkena kanker, sehingga saya
memutuskan untuk kembali ke Selandia Baru juga untuk
menjalani masa vassa pada tahun 1985, karena saya tidak
yakin berapa lama ibu saya bisa bertahan hidup—beliau
meninggal pada akhir tahun 1986. Karena itu, setelah ibu
saya meninggal, saya memutuskan bahwa itulah saatnya
untuk kembali ke Sri Lanka.

Ketika saya sampai di Sri Lanka, saya tinggal di


Vajirarama saat itu ketika Y.M. Ñāṇavimala menetap di
sana. Saat sedang berpiṇḍapāta pada suatu pagi, saat saya
sedang berjalan menuju jalan utama ada seorang wanita
tua yang sedang mengemis duduk di depan sebuah toko
yang sedang tutup. Dia sudah tentu telah berusia tujuh
puluhan dan dia menunjukkan keyakinannya yang begitu
kuat kepada saya, dengan tangannya yang bersikap
añjalī, saat saya berjalan melewatinya. Saat sedang
berpiṇḍapāta, saya mendapatkan beberapa makanan yang
agak sedikit terasa khusus. Saya melewati wanita tua itu
lagi dalam perjalanan pulang dan muncul dalam pikiran
saya bahwa saya ingin memberinya sebagian makanan
dari hasil piṇḍapāta saya. Saya dapat mendengar bahwa

27
seseorang sedang berjalan di belakang saya dan hal ini
telah mengubah pikiran saya. Siapa tahu, dia sebenarnya
adalah orang yang telah memberikan makanan itu kepada
saya? Saya pikir lebih baik saya tidak memberikan
makanan tersebut kepada wanita tua itu walaupun saya
ingin memberinya.

Sepulang dari piṇḍapāta, saya menengok Bhante


Ñāṇavimala. Saya jelaskan kepadanya bagaimana selama
tiga tahun terakhir saya meninggalkan Sri Lanka dan
bagaimana saya merawat orangtua saya dan sebagainya.
Saya juga menjelaskan bahwa saya mampu menjaga
vinaya dengan baik selama itu. Bhante Ñāṇavimala
memberikan nasihat kepada saya. Saya juga mengajukan
pertanyaan tentang wanita tua kepada Y.M. Ñāṇavimala.
Beliau berubah dan menjadi semacam agak marah dan
beliau berbicara dengan cara yang agak kasar “Kamu
kembali ke Selandia Baru sekedar untuk memanjakan
indramu, sekedar untuk memuaskan diri. Para samanera
sepertimu seharusnya tidak perlu pergi berpiṇḍapāta.
Kamu cukup memusatkan pikiranmu pada objek meditasi
dan mengambil makanan dari dānasala (ruang makan).”

Bagi saya, kata-kata itu sungguh sangat berat dan sangat


sensitif. Beliau kemudian bilang, “Sudah cukup sekarang,
kamu boleh pergi.” Karena itu, saya bernamaskara dan
meninggalkan beliau. Ini adalah bhikkhu yang sangat saya
hormati, panutan, seseorang yang mampu memberikan
inspirasi bagi orang lain dalam kehidupan monastik. Saya
28
masih menganggapnya sebagai seorang bhikkhu yang
sangat luar biasa, sangat serius dalam praktik, tetapi apa
yang saya lihat saat itu adalah bahwa beliau bisa menjadi
sangat tidak sensitif.

Y.M. Ñāṇavimala dapat menjadi sangat konservatif,


sangat sempit dan bersikap dalam berbagai cara. Beliau
tidak dapat mengerti bagaimana seseorang dapat kembali
ke Barat. Baginya, siapa pun yang kembali ke Barat hanya
kembali untuk memuaskan diri sendiri. Beliau tidak
dapat menghargai bagaimana seseorang telah kembali
untuk menghabiskan waktunya bersama orangtuanya
yang telah lanjut usia atas dasar rasa kasih sayang dan
juga untuk melayani komunitas Buddhis. Saya tahu
bahwa mungkin adalah suatu pemikiran yang salah untuk
memberikan sesuatu kepada pengemis wanita, tetapi lagi-
lagi pemikiran semacam itu juga didasari oleh rasa kasih
sayang. Saya pikir hal itu bukanlah alasan yang cukup
bagi Y.M. Ñāṇavimala untuk menentang saya dengan
keras dan memanggil saya sāmaṇera walaupun saya
adalah seorang thera yang telah memiliki 12 vassa. Hal ini
sungguh sangat melukai perasaan saya. Bagaimanapun,
hal ini telah mengubah pandangan saya terhadap Y.M.
Ñāṇavimala. Saya menghormati apa yang tampak baik
pada beliau, tetapi tidak kekakuan yang beliau miliki. Saya
telah melihat pandangan serupa beliau pada orang lain.
Bagi bhikkhu senior lainnya untuk berbicara semacam
itu, tampak tidak benar bagi saya. Hal itu mengingatkan

29
saya bagaimana Y.M. Mahākassapa berbicara kepada
Y.M. Ānanda—hampir sebuah replika yang mirip dalam
hal ini.

Pada kesempatan lain, saya sedang berada di


Vajirarama ketika seorang bhikkhu berkebangsaan
Belanda mengunjungi Y.M. Ñāṇavimala. Ketika Y.M.
Ñāṇavimala mengetahui bahwa bhikkhu tersebut telah
kembali ke Barat, beliau menasihatinya dengan keras
tentang memuaskan nafsu indriawi.

Y.M. Ñāṇavimala, sebagaimana dapat kita lihat,


memiliki suatu pola pandangan tertentu. Inilah apa yang
saya maksud dengan kekakuan dan kekonservatifan
pandangan pada pikiran Y.M. Ñāṇavimala. Saya kira
hal lainnya adalah kekurangmampuan Y.M. Ñāṇavimala
untuk berkomunikasi dengan orang lain. Y.M. Ñāṇavimala
selalu menyendiri; hampir persis seperti orang yang
bersalah dari generasi sebelumnya berbicara dengan
generasi yang lebih muda dan jaraknya begitu jauh. Akan
tetapi belakangan, ketika Y.M. Ñāṇavimala menjadi
lemah dan harus dirawat, pandangannya berubah secara
drastis.

Saya tidak yakin, tetapi saya kira pengembaraan Y.M.


Ñāṇavimala berakhir pada awal tahun 1990-an. Saya ingat
ketika tinggal di Vajirarama pada awal tahun 90-an bahwa
Y.M. Piyadassi telah bertemu dengan Y.M. Ñāṇavimala
di sebuah vihara di Ratnapura. Y.M. Ñāṇavimala sedang

30
dalam perjalanan menuju Kolombo—beliau dalam kondisi
tidak sehat dan mendapatkan kesulitan dalam berjalan.
Y.M. Piyadassi menawarkan kepada Y.M. Ñāṇavimala
untuk naik mobil, tetapi Y.M. Ñāṇavimala menolak dan
tetap berjalan. Kami menanti beliau tiba di Vajirarama—
berjalan dari Ratnapura membutuhkan beberapa hari.
Tetapi, kemudian kami mendapatkan berita bahwa beliau
telah berjalan menuju ke vihāra di Rumah Sakit Kolombo
dan ada seorang bhikkhu dari Vajirarama di sana. Ketika
beliau tiba di Rumah Sakit, beliau berada dalam kondisi
sakit parah dan sangat lemah dan kelelahan dan mungkin
beliau telah dirawat di UGD. Selain itu, beliau juga
mendapatkan kesulitan yang sangat serius pada pinggul
beliau. Pada dasarnya, pinggang beliau menjadi sakit
karena perjalanan. Beberapa tahun kemudian, Y.M.
Ñāṇavimala menghabiskan waktunya selama beberapa
bulan di Vajirarama sebelum pindah secara permanen ke
Island Hermitage.

Saya tinggal di Vajirarama pada pertengahan tahun 90-


an ketika Y.M. Mettavihārī merawat Y.M. Ñāṇavimala—
saat itu beliau telah menjadi sangat kurus, persis seperti
kantung kulit dan tulang. Beliau hanya bisa mengonsumsi
makanan cair. Beliau sakit parah sehingga setiap orang
berpikir bahwa beliau akan meninggal. Y.M. Mettavihārī
biasa membantu beliau berjalan di sekitar ruangannya.
Hanya latihan kecil seperti itulah yang dapat beliau
lakukan. Meskipun sekedar untuk beralih posisi di

31
ranjang, beliau perlu dibantu—beliau sungguh sangat
lemah. Y.M. Mettavihārī sungguh sangat luar biasa atas
perawatan yang beliau berikan saat itu. Ketika berada di
tempat, saya pun membantu sedikit.

Karakter Y.M. Ñāṇavimala berubah secara drastis,


beliau sungguh tidak bisa berbuat apa-apa. Di sinilah
orang ini yang memiliki pikiran yang cemerlang yang
sesungguhnya menunjukkan kasih sayang dan kesabaran
yang luar biasa. Orang ini menjadi sangat berbeda dengan
Y.M. Ñāṇavimala yang saya lihat sebelumnya—penuh
pengendalian diri dan serius dalam praktik.

Saya kira Y.M. Ñāṇavimala adalah seorang bhikkhu


Barat yang benar-benar tulus, sangat senior bila
dibandingkan dengan kita. Dari beberapa bhikkhu Barat
yang senior, Y.M. Ñāṇavimala berdiri sebagai orang yang
sangat kokoh dalam mempraktikkan vinaya—sangat
serius sebagai pertapa, memiliki keinginan yang sangat
sedikit, sangat berpengendalian diri dalam berbagai hal.
Dalam gaya hidupnya sebagai pengembara atau apa pun
beliau mencerminkan berbagai keseriusan yang sangat
layak kita jadikan suri teladan.

32
Seorang Mahākassapa di Zaman Kita

Catatan Editor: Refleksi


tentang Y.M. Ñāṇavimala
oleh Bhikkhu Bodhi
ini adalah bagian dari
beberapa artikel yang
telah saya unggah selama
beberapa bulan terakhir.
Artikel lain termasuk
Ajahn Bram bertemu
Y.M. Ñāṇavimala,
Nasihat Y.M. Ñāṇavimala
oleh Chittapala dan
Kehidupan Y.M.
Ñāṇavimala Thera oleh
Y.M. Ñāṇatusita, yang
telah diunggah minggu
lalu.

Sering kali saya terpesona bahwa beberapa bhikkhu


tertentu yang telah saya kenal memiliki kesamaan yang
tak terelakkan dengan murid-murid agung Sang Buddha,
sekurang-kurangnya demikianlah yang kita ketahui
melalui kitab-kitab yang ada. Hal ini telah menimbulkan
munculnya pertanyaan apakah murid-murid agung
merepresentasikan pola dasar manusia, tercetak secara

33
paten yang membentuk karakter dan perilaku manusia, atau
apakah sebaliknya, para bhikkhu cenderung menjadikan
para pendahulu mereka sebagai suri teladan. Saya tidak
bisa menjawab pertanyaan saya dengan kepastian, tetapi
saya percaya kesamaan yang telah saya lihat adalah nyata
dan tidak sekedar isapan jempol, khayalan saya.

Dalam konteks kesamaan tersebut, tidak ada


keraguan sama sekali bahwa Y.M. Ñāṇavimala telah
mempresentasikan murid-murid agung tersebut. Y.M. K.
Ñāṇananda (penulis Concept and Reality, The Magic of
the Mind, dan beberapa karya lainnya) mengungkapkan
fakta tersebut dengan sangat singkat suatu hari ketika
saya bertemu dengannya di Kolombo. Dia mengatakan:
“Jika kamu ingin mendapatkan ceramah dari Y.M.
Mahakassapa, kunjungilah Y.M. Ñāṇavimala.”

Sikap yang sangat serius, karakter yang selalu


condong pada kehidupan pertapaan, keyakinan diri yang
begitu kokoh, gaya praktik yang individualistik: semua
karakter Y.M. Ñāṇavimala ini mengingatkan akan Y.M.
Mahākassapa. Walaupun kita tidak punya, tentunya,
gambaran murid agung tersebut, saya melihat adanya
kesamaan dalam bentuk tubuh dan raut muka antara
Y.M. Ñāṇavimala dan Y.M. Mahākassapa sebagaimana
beliau digambarkan pada patung Buddhis China. Mereka
bahkan memiliki tatapan mata yang sama, dahi yang luas,
dan telinga yang lebar.

34
Hubungan saya dengan Y.M. Ñāṇavimala berawal
hampir empat puluh tahun yang silam, saat saya
menjalani tahun pertama saya sebagai bhikkhu di Sri
Lanka. Pada bulan Juni 1973, hanya beberapa minggu
setelah saya diupasampada, guru saya, Y.M. Balangoda
Ānandamaitreya, mengajak saya ke Kanduboda
Meditation Centre untuk melakukan latihan meditasi
vipassanā. Pada saat itu, seorang sāmaṇera dari Amerika
yang bernama Samita, tinggal di Kanduboda. Ketika saya
tiba, dia berada di Kolombo untuk menjalani pengobatan
tetapi dia kembali ke pusat meditasi beberapa hari setelah
saya memulai latihan meditasi saya. Suatu hari setelah
makan siang, dia menjenguk saya dan kami pun bercakap-
cakap. Dia mengatakan kepada saya bahwa baru-baru ini
dia telah bertemu dengan Y.M. Ñāṇavimala di Rumah
Sakit Umum Kolombo dan telah terpesona dengan
begitu dalam, bahkan terngiang-ngiang, oleh pertemuan
tersebut. Sebelumnya, saya telah mendengar tentang
Y.M. Ñāṇavimala dari seorang bhikkhu Jerman lainnya
tetapi saya harus percaya bahwa, karena gaya hidupnya
yang selalu mengembara, hampir tidak mungkin bertemu
dengan beliau secara langsung. Sekarang, pintu tersebut
hampir terbuka.

Sebagai hasil dari pertemuannya dengan Y.M.


Ñāṇavimala, Sāmaṇera Samita mengatakan, dia telah
kehilangan keyakinan pada meditasi vipassanā yang
diajarkan di Kanduboda, praktik “pandangan terang yang

35
kering” yang berasal dari guru meditasi Burma Mahasi
Sayaday, di bawah bimbingan beliau guru meditasi
Kanduboda, Y.M. Sumatipāla, telah berlatih pada tahun
1950-an. Sāmaṇera Samita mengatakan kepada aya
bahwa Y.M. Ñāṇavimala telah mengatakan bahwa jhāna
adalah penting sebagai dasar untuk vipassanā dan tidak
akan ada pandangan terang yang murni yang tidak
berakar pada jhāna. Sebab saya baru saja memulai untuk
membaca Nikāya dalam bahasa Pāli, dan telah terbentur
oleh peranan yang mainkan oleh jhāna dalam rangkaian
“latihan bertahap” dalam Majjhima Nikāya, saya merasa
laporan ini menunjukkan poin penting.

Saminta mengatakan bahwa dia berniat kembali lagi


ke Kolombo pada hari selanjutnya untuk kembali bertemu
dengan Y.M. Ñāṇavimala dan mengajak saya untuk
turut serta. Terpesona oleh apa yang telah saya dengar,
saya berpikir bahwa saya tidak seharusnya membiarkan
kesempatan ini berlalu begitu saja. Dengan demikian,
saya memutuskan untuk ikut serta, walaupun hal itu
harus memotong retreat meditasi saya di Kanduboda.
Kami bertemu Y.M. Ñāṇavimala di Rumah Sakit
Kolombo. Karena beliau akan diizinkan pulang, kami
tidak berbicara panjang lebar dalam pertemuan pertama.
Beliau mengatakan bahwa beliau berniat untuk tinggal
selama beberapa hari di Kolombo, di Vihara Vajirarama,
sebelum kembali lagi mengembara. Karena itu, kami
berdua—Samita dan saya—mengunjungi Vajirarama, di

36
mana kami bertemu kembali dengan Y.M. Ñāṇavimala,
mungkin saja pada malam yang sama atau pada hari
selanjutnya. Kali ini, saya berbicara dengan beliau secara
pribadi dan cukup lama.

Pada pertemuan ini, sejauh yang saya ingat, beliau


tidak berbicara secara detail tentang teknik meditasi atau
berbagai tingkatan pencapaian yang lebih tinggi. Beliau
tampaknya memiliki kesulitan untuk memahami karakter
dan status sosial seseorang sehingga setelah basa-basi yang
cukup singkat, beliau akan menyesuaikan pembicaraan
Dhammanya sesuai dengan kebutuhan orang itu persis
sama seperti cara yang paling cocok untuk kebutuhan
orang lain. Dengan demikian, setelah berbasa-basi sesaat,
beliau mengatakan kepada saya masalah-masalah yang
beliau pikir sangat penting untuk dipahami oleh bhikkhu
yang baru saja diupasampada. Beliau menyimpulkan
masalah-masalah yang akan beliau bicarakan dengan
tema “tugas yang harus dikerjakan”.

Dalam nasihatnya yang pertama kepada saya, beliau


menekankan bahwa latihan Buddhis adalah sebuah jalan
bertahap, yang harus dijalani secara bertahap, dan beliau
juga mengatakan bahwa adalah sangat penting untuk
memperkokoh setiap tingkat dasar sebelum berusaha
untuk menimbang tingkat selanjutnya. Selama bertahun-
tahun memakai jubah, beliau tentu telah melihat lusinan
orang Barat yang datang ke Sri Lanka, ditahbiskan menjadi
bhikkhu, dan berharap mampu menjadi arahat dengan
37
cepat, hanya berakhir pada pakaian umat awam, dengan
tiket untuk kembali ke negara asal, sebelum tahun pertama
mereka selesai. Beliau mungkin berpikir demikian ketika
beliau mengingatkan saya untuk tidak terburu-buru untuk
mencapai tingkatan yang tinggi sebelum menguasai yang
lebih rendah, lebih sederhana, yang lebih mendasar.

Beliau menekankan pentingnya membaca Vinaya,


menaati peratuan dengan cermat, introspeksi diri setiap
hari, mempelajari berbagai sutta, dan mendapatkan
pemahaman yang mendalam tentang Dhamma berdasarkan
Nikāya. Beliau menghindari pembicaraan tentang
masalah-masalah filosofis, seperti arti tanpa diri (anattā)
atau hukum saling ketergantungan (paṭiccasamuppāda),
karena beliau memprioritaskan praktik ketimbang teori.
Tak perlu diragukan, beliau percaya bahwa pemahaman
yang benar atas masalah-masalah ini hanya bisa didapat
oleh mereka yang mencapai beberapa tingkat kedewasaan
di dalam praktik. Beliau tentu telah berpikir bahwa bagi
para pendatang yang relatif baru mengubah ajaran-ajaran
ini menjadi topik diskusi dan debat akan menjerumuskan
dia untuk terjebak dalam obsesi konsep yang tiada
habisnya (papañca).

Beliau juga mengutarakan tentang praktik sebagai


perjalanan menyendiri, di mana kita perlu siap untuk
berjalan sendiri, tanpa tergantung pada yang lain.
Beliau juga menekankan pentingnya untuk menemukan
kebahagiaan dalam kesunyian, untuk puas dengan
38
kebutuhan yang sederhana, dan memperkokoh pandangan
benar dan motivasi yang benar. Beliau juga membahas
tentang pentingnya melayani guru kita, apakah kita
sesungguhnya mendapatkan petunjuk dari guru kita atau
tidak, sekedar untuk memenuhi persyaratan Vinaya bahwa
kita perlu hidup di bawah bimbingan guru kita selama
lima tahun. Ini adalah tema yang saya dengar selama
bertahun-tahun ketika beliau berbicara kepada bhikkhu
lain yang baru saja ditahbiskan.

Saya tidak ingat apakah beliau memberikan instruksi


khusus tentang meditasi. Akan tetapi, karena dalam
pertemuan belakangan beliau menekankan pentingnya
jhāna, cukup mungkin bahwa beliau juga telah
menyinggung topik ini. Saya pun tidak ingat beliau secara
khusus mengkritisi sistem meditasi “pandangan terang
yang kering” di zaman modern, tetapi penekanannya
pada peranan jhāna mungkin telah menyiratkan suatu
kritik terhadap sistem meditasi tersebut yang sifatnya
agak merendahkan teori tersebut.

Selama tinggal di Vajirarama dalam waktu yang


sama, saya juga bertemu dengan Y.M. Kheminda Thera,
seorang bhikkhu senior Sri Lanka yang sangat dihormati
oleh Y.M. Ñāṇavimala karena kemampuan intelektualnya
dan dedikasinya pada praktik. Dalam diskusi saya dengan
beliau, Y.M. Keminda mengkonfirmasi pentingnya
nilai sutta. Dengan memegang kokoh semacam
“fundamentalisme suttanta” yang ada di Vajirarama saat
39
itu, beliau mengatakan bahwa kita seharusnya hanya
menerima komentar ketika komentar bersesuaian dengan
sutta (seolah-olah bhikkhu Amerika yang baru saja
ditahbis mampu membuat perbedaan yang bagus seperti
itu). Beliau tentu menekankan pentingnya jhāna dan
menolak sistem meditasi pandangan terang yang bersifat
kering tradisi Burma karena dianggap sebagai suatu
penyimpangan.

Y.M. Kheminda menunjukkan kepada saya catatan


debat yang panjang yang telah beliau lakukan dengan
salah seorang sayadaw Burma yang cukup terpelajar,
seorang guru dalam tradisi meditasi pandangan terang
yang bersifat kering. Perdebatan mereka diterbitkan dalam
berbagai halaman pada sebuah majalah yang berbasis di
Sri Lanka World Buddhism pada akhir tahun 1960-an
atau awal tahun 1970-an. Beliau mengatakan kepada
saya bahwa beliau ingin merangkum kontribusi beliau
dalam debat ini dan merangkainya dalam sebuah buku
kecil, tetapi karena kondisi kesehatan yang memburuk
telah menghalangi beliau untuk melakukan hal itu. Saya
pun mengulurkan tangan untuk melakukan tugas itu
dan menghabiskan banyak waktu saya pada masa vassa
pertama untuk memilah artikel tersebut, mengeditnya, dan
menghubungkannya untuk bisa menjadi sebuah buku kecil
yang kemudian diterbitkan secara mandiri dengan judul
The Way of Buddhist Meditation. Karena guru saya, Y.M.
Ānandamaitreya, adalah seorang yang mempromosikan

40
sistem meditasi pandangan terang ala Burma, saya tidak
ingin nama saya disebutkan sebagai editor.

Selanjutnya, karena pengetahuan saya tentang sutta


berkembang dan saya mendapatkan pandangan yang lebih
luas tentang jangkauan kemungkinan Jalan Buddhis, saya
mempertanyakan pentingnya jhāna sebagai landasan untuk
pandangan terang. Dalam pemahaman saya saat ini, tentu
memungkinkan untuk mencapai dua tingkat perealisasian
pertama—pemenang arus dan yang kembali sekali lagi—

41
dengan dasar pandangan teran tanpa landasan jhāna. Saya
juga melihat seluruh subjek meditasi sebagai sesuatu yang
melibatkan kompleksitas yang tidak dapat diselesaikan
hanya dengan membaca sutta dan syair. Sekarang,
saya mengerti bahwa jhāna memainkan peranan yang
begitu penting, dari perspektif sutta, dalam membuat
transisi dari tingkat perealisasian kedua ke ketiga, yaitu
perpindahan dari yang kembali sekali lagi ke yang tidak
kembali lagi. Saya juga tidak menampik kemungkinan,
yang dibuktikan di dalam Kitab Komentar beberapa sekte
Buddhis, bahwa tingkat kesucian arahat dapat dicapai
melalui pendekatan “kebijaksanaan kering” tanpa perlu
tergantung pada jhāna. Akan tetapi, pada saat-saat awal,
adalah pandangan Y.M. Kheminda dan Y.M. Ñāṇavimala
yang paling kuat membentuk pemahaman saya tentang
meditasi.

Selama beberapa tahun selanjutnya, saya bertemu Y.M.


Ñāṇavimala selama beberapa kali, biasanya di Vajirarama,
dan ingatan saya tentang ajarannya dengan sendirinya
merupakan potongan-potongan ceramah yang beliau
berikan dalam berbagai kesempatan. Terkadang saya
menemui beliau sendiri dan terkadang bersama beberapa
bhikkhu yang lainnya. Ketika kami bertemu sendiri,
setelah saya bernamaskara, beliau selalu akan memulai
percakapan dengan bertanya, “Bagaimana kemajuanmu?”
Pertanyaan ini tidak hanya suatu pertanyaan sederhana
tetapi pertanyaan yang sangat dalam yang bertujuan untuk

42
memancing saya untuk membeberkan kemajuan saya,
yang akan membuka jalan untuk ceramah dalam praktik.
Bagi Y.M. Ñāṇavimala, latihan Buddhis adalah sesuatu
yang selalu perlu dilakukan, masalah “kemajuan”.

Selama beberapa waktu, ketika saya bertemu beliau


dalam berbagai kesempatan selanjutnya, beliau secara
bertahap memperkenalkan ajaran-ajaran yang lebih
jelas tentang meditasi, dan dari ceramah-ceramahnya
muncul gambaran metodologinya yang lebih jelas. Beliau
menekankan bahwa pada tahap awal praktik kita harus
fokus untuk mengatasi dua rintangan utama, kemelekatan
pada nafsu inderawi dan niat jahat. Cara yang beliau
ajarkan untuk yang pertama (dengan mengikuti sutta)
adalah persepsi terhadap tubuh yang menjijikkan
(asubhasaññā); cara untuk yang kedua adalah cinta kasih
(mettā). Beliau secara khusus memuji cinta kasih dan
menjelaskan bagaimana cinta kasih dapat menuntun ke
arah tingkat-tingkat kesucian yang lebih tinggi. Walaupun
dalam pengembangan pribadinya, beliau dengan jelas
telah banyak menggunakan kesadaran terhadap napas,
beliau tampaknya menganggap meditasi anapanasati
sebagai praktik yang lebih tinggi yang hanya dapat
menguak potensinya ketika dasarnya telah disiapkan
dengan melakukan meditasi pada sifat tubuh yang
menjijikkan dan cinta kasih.

Pada akhir tahun 1980-an dan awal tahun 1990-


an, cidera pinggul yang telah terjadi beberapa tahun
43
sebelumnya kumat dan menyebabkan rasa sakit yang luar
biasa ketika berjalan dalam jarak yang cukup jauh. Hal ini
membuat beliau mengalami kesulitan untuk melanjutkan
pengembaraan dan beliau pun terpaksa menghabiskan
waktunya cukup lama di Vajirarama. Di sini, beliau lebih
mudah dikunjungi, tidak hanya oleh para bhikkhu lain,
tetapi juga umat awam yang tinggal di Kolombo dan
sekitarnya. Untuk menjaga keinginannya untuk tetap
tinggal di tempat sunyi, beliau menempelkan catatan pada
pintu di ruangan beliau yang menyebutkan bahwa beliau
hanya akan menemui para tahu antara waktu tertentu
(saya kira antara jam 6-8, tetapi ingatan saya tentang jam
yang sebenarnya cukup kabur).

Adalah hal yang lumrah untuk melihat orang


menunggu di luar ruangan untuk bisa bertemu beliau.
Mereka akan datang baik sendiri, dengan pasangannya,
atau dengan sekelompok kecil keluarga mereka, untuk
bisa mendapatkan kebijaksanaan dan berkah dari beliau.
Saya biasanya akan tinggal di suatu ruangan dekat dengan
ruangan beliau, di mana saya bisa mendengar gema suara
muncul dan lenyap secara teratur, ritme yang mampu
menginspirasi selama berjam-jam. Akan tetapi, sepanjang
hari, dari pagi hingga sore, pintu kamarnya akan tertutup
dan beliau akan muncul hanya untuk mengizinkan orang
yang membawa makanan untuk beliau.

Hubungan saya sendiri dengan Y.M. Ñāṇavimala


bukanlah suatu hubungan yang bebas dari pujian dan rasa
44
kagum. Tentu saja, saya sangat menghormati beliau dan
biasa saya rasa sangat berguna, tetapi tidak selamanya.
Secara watak, kami terpisah jauh. Dalam pandangan saya,
beliau lebih mencerminkan keseriusan orang Jerman
yang tidak mampu membaur dengan kepribadian saya
yang lebih lunak dan latar belakagan budaya yang lebih
toleran. Pandangannya kadang-kadang saya lihat lebih
mengingatkan agama Barat yang lebih theistik ketimbang
kehangatan yang lebih lembut yang saya lihat tercermin
dalam banyak bhikkhu-bhikkhu Sri Lanka yang telah
saya kenal.

Bila melihat secara luar Sangha Buddhis awal, saya


dapat melihat dua paradigma utama kehidupan monastik
yang terbentuk di zaman Sang Buddha dan tetap terus
berlanjut selama berabad-abad hingga sekarang. Yang
pertama adalah bentuk pertapaan yang mengutamakan
keheningan di hutan, yang mungkin berasal dari
bentuk spiritualitas India yang lebih tua yang muncul
sebelum Sang Buddha. Bentuk kehidupan semacam ini
digambarkan dalam litelatur Buddhis dalam gambaran
seorang paccekabuddha, yang mencapai pencerahan
tanpa seorang guru dan tidak berusaha untuk mencerahkan
orang lain. Mahākassapa, tampaknya, melanjutkan
warisan ini atas nama Buddhis. Bentuk lain adalah yang
dicontohkan oleh Sang Buddha sendiri, yang mencapai
pencerahan, mengajar yang lain, menbentuk komunitas
murid, dan membagi waktu antara menikmati ketenangan

45
dan membimbing yang lain. Jiwa altruistik ini tampaknya
telah menjadi kontribusi tersendiri oleh Sang Buddha
terhadap dunia spiritualitas India. Berdasarkan tradisi,
hal itu berakar dari kasih sayang beliau yang luar biasa
dan tekad beliau selama dalam berbagai kehidupan
yang lampau untuk membebaskan makhluk hidup dari
penderitaan. Di dalam Sangha, Y.M. Sāriputta dan Y.M.
Ānanda mungkin dapat dilihat sebagai orang, selain Sang
Buddha sendiri, yang menjadi contoh ideal dalam hal ini.
Keduanya mampu mengombinasikan kehidupan meditasi
dengan pelayanan dedikatif terhadap Dhamma dan tugas
mengajar baik kepada sesama teman kehidupan monastik
maupun umat awam.

Saya melihat Y.M. Ñāṇavimala, khususnya selama


tahun-tahun awal perkenalan saya dengannya, cocok
dengan yang pertama dari kedua paradigma tersebut. Dalam
ajarannya kepada para bhikkhu Barat, beliau memberikan
penekanan secara eksklusif terhadap pengembangan diri,
tidak menyarankan untuk terlibat dengan yang lain dan
sibuk bahkan dalam berbagai aktivitas untuk penyebaran
Dhamma. Beliau kadang mengungkapkan pandangan-
pandangan yang saya pikir terlalu pesimistik. Sebagai
contohnya, beliau akan mengatakan bahwa tidak ada
gunanya untuk menulis hal-hal yang berkaitan dengan
Dhamma karena sudah ada cukup material yang tersedia
bagi mereka yang memiliki cukup ketertarikan, dan tidak
ada gunanya mendistribusikan literatur yang berkaitan

46
dengan Dhamma karena beberapa orang memiliki
pandangan yang cukup jelas untuk menerima ajaran
Sang Buddha. Sementara itu, jumlah literatur yang ada
tentang agama Buddha saat ini mungkin telah terlalu
banyak, saya percaya bahwa usaha organizasi-organizasi
seperti Buddhist Publication Society, Pali Text Society,
dan sekarang (melalui internet) berbagai website Buddhis
telah memberikan kontribusi yang luar biasa untuk
membabarkan Dhamma dalam berbagai cara yang cukup
sulit dipahami oleh Y.M. Ñāṇavimala.

Karena hukum ketidakkekalan terus berjalan, manusia


tidak memiliki sifat yang tetap dan tidak berubah tetapi
dapat berubah setiap saat, dan hal ini tampaknya terjadi
pada diri Y.M. Ñāṇavimala juga. Walaupun memberikan
penekanan pada kehidupan menyendiri, beliau memiliki
kemampuan berbicara yang unik dan keyakinan diri yang
mampu membuat ajaran beliau masuk ke dalam hati
mereka yang mengunjungi beliau untuk mendapatkan
bimbingan.

Pada tahun-tahun terakhir, beliau membagikan ajaran


beliau dengan suka rela kepada yang lain, dan tampaknya
hal ini melembutkan sifat keras beliau yang tampak di
tahun-tahun awal. Pada akhir tahun 1990-an, saya bertemu
Y.M. Ñāṇavimala tidak begitu sering, sebab saya tinggal di
Kandy dan beliau di Pulau Parappaduwa, jauh di selatan.
Tetapi, terkadang kami bertemu ketika kami punya alasan
untuk berkunjung ke Kolombo. Pada pertemuan terakhir
47
dengan beliau, saya dapat melihat adanya perubahan pada
pandangan Y.M. Ñāṇavimala. Beliau lebih memuji apa
yang telah dilakukan oleh Buddhist Publication Society
dan menunjukkan pandangan yang lebih positif terhadap
usaha yang dilakukan oleh orang lain dalam menyebarkan
Dhamma, khususnya di antara orang-orang Barat. Beliau
juga menghargai usaha-usaha yang telah saya lakukan
untuk menerjemahkan literatur Pali ke dalam bahasa
Inggris, salah satu komitmen saya, yang pada tahun-
tahun awal, beliau tampaknya menganggap sebagai suatu
gangguan terhadap “pekerjaan yang sesungguhnya”
seorang bhikkhu. Saya kira beliau juga telah mengagumi
usaha-usaha bhikkhu-bhikkhu Barat yang membangun
vihara-vihara di negara-negara Barat.

Y.M. Ñāṇavimala tidak mengatakan apa pun tentang


perubahan pandangannya dan beliau mungkin cukup yakin
bahwa beliau tetaplah konsisten. Walaupun demikian,
saya percaya bahwa evolusi pikirannya adalah sesuatu
yang nyata. Saya melihat perubahan tersebut terjadi
karena dua hal utama. Salah satunya adalah masa tinggal
yang cukup lama di Vajirarama pada akhir tahun 1980-
an dan 1990-an. Hal ini telah membuat beliau melakukan
kontak dengan umat, yang mungkin telah menyulut rasa
simpati yang lebih besar atas permintaan mereka dan
menghormati usaha mereka untuk mengimplementasikan
Dhamma dalam kehidupan sehari-hari. Factor lainnya
adalah praktik meditasi cinta kasih. Walaupun praktik

48
ini telah menjadi tambahan praktik selama berabad-abad,
mungkin kombinasi dengan kontak langsung yang cukup
sering, hal tersebut telah menimbulkan perubahan di
dalam. Akan tetapi, walaupun penjelasan-penjelasan ini
hanya bersifat spekulatif, saya yakin bahwa persepsi saya
tentang keramahan beliau adalah akurat.

Ada suatu kecendrungan di antara penggemar Y.M.


Ñāṇavimala untuk menganggapnya sebagai model
eksklusif bhikkhu yang ideal. Saya melihatnya dari sisi
yang berbeda. Saya percaya bahwa perbedaan yang dapat
kita lihat di antara murid-murid agung Sang Buddha
menunjukkan pola yang berbeda di mana spiritual
Buddhis dapat dicerminkan. Dari sisi ini, siswa-siswa
agung dapat dijadikan sebagai suri teladan bagi generasi
selanjutnya. Sang Buddha sendiri menganggap Y.M.
Sāriputta dan Moggallāna sebagai contoh yang terbaik,
satu merupakan lambang kebijaksanaan, yang lainnya
simbol kekuatan batin luar biasa. Tetapi siswa-siswa
yang lainnya mencerminkan kehebatan di bidangnya
masing-masing: dalam belajar, penafsiran, etika
kehidupan monastis, dedikasi terhadap praktik, meditasi,
ingatan tentang kehidupan masa lampau dan sebagainya.
Semuanya layak dihormati atas nilai-nilai luhur yang
telah mereka kembangkan, dan rasa hormat semacam ini
perlu juga diberikan kepada generasi Buddhis sekarang
yang, walaupun jauh dari kesempurnaan, telah menjaga
warisan Dhamma.

49
Dengan demikian, akan salah, saya kira, untuk
menginterpretasikan masalah yang ditekankan oleh
Y.M. Ñāṇavimala sebagai bentuk kehidupan yang
eksklusif bagi para praktisi kehidupan monastik yang
ideal. Dalam pandangan saya, gaya kehidupan yang
lain cukup memungkinkan, dan mereka yang berusaha
menjalankannya seharusnya tidak memandang rendah
dengan cara membandingkannya dengan bentuk kedihupan
menyendiri dan pertapaan yang telah dicontohkan oleh
para sesepuh dari Jerman. Akan tetapi, ketika contoh-
contoh kehidupan monastik yang lebih serius telah
menjadi begitu jarang di dalam Sangha, seseorang seperti
Y.M. Ñāṇavimala tentunya berdiri seperti sebuah bintang
yang bersinar terang di dalam cakrawala ajaran Sang
Buddha. Walaupun beliau tidak pernah mencari ketenaran
atau publikasi dalam bentuk apa pun, contoh yang layak
yang telah beliau berikan telah mendapatkan kehormatan
dan kekaguman dari khalayak ramai, baik mereka yang
mengenal beliau secara langsung atau mereka yang telah
mengenal beliau melalui cerita dari orang lain.

50
51
Kehidupan Y.M. Ñāṇavimala Thera

Catatan editor: Artikel ini ditulis oleh Bhikkhu Ñāṇatusita


dan Bhikkhu Bodhi segera setelah wafatnya Y.M. Ñāṇavimala.
Awalnya diterbitkan pada bulletin Buddhist Publication
Society pada tahun 2005. Artikel ini memuat cerita yang paling
lengkap tentang kehidupan Y.M. Ñāṇavima hingga saat ini.

Saya sangat berterimakasih kepada Y.M. Ñāṇatusita yang


telah mengizinkan saya untuk mengunggah artikel-artikel
tersebut di sini, dan juga atas foto-foto yang telah beliau
sediakan.

Setelah cukup lama mengalami sakit, pada tanggal


10 Oktober 2005, seorang bhikkhu Jerman yang begitu
dihormati, Ñāṇavimala Thera, yang berusia 94 tahun,
meninggal dunia di Pulau Parappaduva di Pantai Ratgama
dekat Dodanduva. Y.M. Ñāṇavimala Thera adalah murid
terakhir Y.M. Ñāṇatiloka Thera (1878-1957) yang masih
hidup, yang merupakan bhikkhu pertama dari Benua
Eropa. Dengan demikian, dengan wafatnya beliau, satu
bab penting dalam sejarah agama Buddha di Barat telah
ditutup.

Pada saat beliau wafat, Y.M. Ñāṇavimala Thera adalah


yang paling senior dan juga yang paling tua di antara
bhikkhu Barat di dunia. Beliau sangat dihormati oleh
52
para bhikkhu maupun oleh umat biasa dan banyak orang
percaya bahwa beliau telah mencapai tujuan tertinggi
dalam kehidupan spiritual Buddhis. Selama dalam tahun-
tahun terakhir dalam kehidupan beliau, beliau terbaring
di ranjang dan selalu dirawat oleh satu atau dua orang
bhikkhu yang dengan penuh rasa dedikasi membantu.
Beliau tinggal hampir sepenuhnya di tempat yang sunyi
di Pulau Parappaduva, yang dulunya ditinggali oleh
para dasasilamata, di dekat Island Hermitage di pantai
Dodanduva.

Ketika sebagai perumah tangga, Y.M. Ñāṇavimala


bernama Friedrich Möller. Dilahirkan pada tahun 1911
di Hessendorf bei Rinteln, beliau cenderung menyukai
kehidupan spiritual sejak kecil. Walaupun pada awalnya
beliau beragama Kristen, pertemuannya dengan seorang
mahasiswa kedokteran di Jerman memunculkan
ketertarikannya terhadap yoga dan agama Hindu, dan
dia memutuskan bahwa dia ingin pergi ke India untuk
mendalami ajaran agama di sana. Karena angkatan militer
Jerman sedang mempersiapkan diri untuk perang dan
membutuhkan banyak tentara, umumnya cukup sulit bagi
lelaki Jerman untuk meninggalkan negaranya, tetapi tiga
atau empat tahun sebelum Perang Dunia II, Möller berusaha
untuk melamar pekerjaan di depertemen perdagangan di
Hamburg dan dia dipekerjakan untuk dikirim ke Mumbai
di India untuk bekerja sebagai seorang pedagang. Sekitar
setahun sebelum perang dimulai, Möller ditunjuk sebagai

53
direktur di departemen perdagangan Jerman di Kolombo.
Di Kolombo, dia menikmati kehidupan yang mewah dan
menyenangkan, yang walaupun secara mendadak berakhir
karena perang dimulai pada tahun 1939. Bersama dengan
semua lelaki berkebangsaan Jerman yang hidup di daerah
jajahan Inggris, Möller ditangkap oleh pemerintah Inggris
karena dianggap sebagai musuh. Dia awalnya ditahan di
Diyatalava di Sri Lanka bagian atas dan pada awal tahun
1942, dikirim ke “Pusat Penahanan” yang lebih besar dan
lebih menyenangkan di dekat kota Dehra Dun di India
barat laut. Dia ditempatkan di sayap yang sama dengan
Y.M. Ñāṇatiloka dan muridnya dari Jerman Y.M. Vappo,
di situlah dia membangun persahabatan dengan mereka.

Karena seorang vegetarian yang cukup keras, Möller


menolak untuk makan makanan yang tidak vegetarian
selama dalam penahanan dan hampir mati karena
penolakan tersebut. Menjelang ajalnya, dia menerima
nasihat teman-teman Buddhisnya untuk melepaskan
pandangan vegetariannya dan dapat sembuh dengan
segera. Belakangan ketika mengingat pengalaman
tersebut, beliau mengatakan bahwa saat itu dia mengerti
kebijaksanaan Sang Buddha untuk tidak menyebarluaskan
ajaran tentang vegetarian. Di sini, di pusat penahanan,
dia menjadi murid Y.M. Ñāṇatiloka dan menjadi seorang
Buddhis yang berbakti.

Pada bulan November 1946, semua pengungsi


berkebangsaan Jerman di Dehra Dun dipulangkan oleh
54
55
pemerintah Inggris ke Hamburg, daerah Jerman yang
dikuasai oleh Inggris. Terima kasih atas usaha umat
Buddha Sri Lanka yang secara politik terus meningkat dan
beberapa organizasi Buddhis mereka, Y.M. Ñāṇatiloka
dan beberapa bhikkhu lainnya diizinkan untuk kembali
ke Jerman yang porak poranda dihantam bom dan bisa
kembali ke Sri Lanka. Friedrich Möller, akan tetapi,
harus kembali ke Jerman walaupun berkeinginan
keras untuk menjadi bhikkhu di Sri Lanka. Dia tidak
memenuhi syarat untuk melakukan hal itu karena dia
belum menjadi bhikkhu di Sri Lanka sebelum perang
terjadi. Möller awalnya bekerja di pertanian di luar kota
Hamburg. Upah yang dia terima hanyalah makanan dan
tempat tinggal gratis, tetapi hal itu adalah satu-satunya
pilihan ketimbang kelaparan. Setelah beberapa saat, akan
tetapi, dia mendapatkan pekerjaan sebagai seorang guru
bahasa Inggris di Hamburg dan dapat tinggal bersama ibu
angkatnya yang dulu, yang merawatnya seperti anaknya
sendiri yang telah hilang selama perang berkecamuk.
Banyak lelaki Jerman yang telah meninggal selama dalam
perang dan murid-murid Möller umumnya adalah kaum
wanita. Möller mampu mengatasi godaan nafsu seksual
dan romantisme karena dia bertekad keras untuk kembali
ke Sri Lanka untuk menjadi seorang bhikkhu.

Dia ikut aktif bergabung dengan sebuah kelompok


Buddhis di Hamburg. Suatu hari pada tahun 1953, di
sebuah hotel di Hamburg, dia telah menerjemahkan dari

56
bahasa Inggris ke bahasa Jerman ceramah yang diberikan
oleh Asoka Weeraratna, pendiri German Buddhist
Missionary Society (Lanka Dharmaduta Society) di
Kolombo. Weeraratna dan Möller setuju bahwa dia
akan mengunjungi Sri Lanka dengan dukungan dari
Dharmaduta Society, yang akan memberikan pelatihan
kepadanya dalam berbagai tugas misionari selama tiga
tahun sebelum kembali lagi ke Jerman dengan German
Buddhist Mission yang pertama.

Setelah meninggalkan Sri Lanka selama hampir 13


tahun, Möller kembali ke Sri Lanka, tiba di Kolombo
pada bulan Juni 1953. Dia tinggal selama setahun di
Dharmaduta Society di Kolombo dan juga menghabiskan
waktunya di Forest Hermitage di Kandy. Dia pindah
dari Kolombo ke Island Hermitage dan ketika berusia
43, ditahbiskan sebagai seorang samanera oleh Y.M.
Ñāṇatiloka pada tanggal 19 September 1955, dan
diberi nama Pāli Ñāṇavimala. Karena kesehatan Y.M.
Ñāṇatiloka terus menurun, beliau mempercayakan
Sāmaṇera Ñāṇavimala kepada Ñāṇaloka, kepala vihara
Island Hermitage. Akan tetapi, Y.M. Ñāṇamolilah yang
secara khusus membantunya untuk mengajarinya bahasa
Pāli dan menjelaskan peraturan bagi bhikkhu dan
berbagai aspek kehidupan para bhikkhu. Tepat dua bulan
setelah ditahbiskan menjadi samanera, dia mendapatkan
upasampada dengan Y.M. Paññāsīha sebagai
upajjhāyanya. Kemudian, beliau menyadari bahwa beliau

57
harus mengembangkan dirinya sendiri dan menganggap
dirinya belum mampu menjadi guru bagi yang lain. Beliau
memutuskan untuk tetap tinggal di Sri Lanka. Belakangan
beliau menceritakan bahwa perubahan pikiran ini
muncul karena percakapannya dengan Y.M. Ñāṇamoli.
Dharmaduta Society menghormati keinginannya.

Selama sepuluh tahun Y.M. Ñāṇamoli hidup menyendiri


di Island Hermitage, sepenuhnya mendedikasikan dirinya
untuk belajar dan bermeditasi. Beliau mempelajari sutta-
sutta Pāli dan mengimplementasikan pemahamannya
dalam praktik. Beliau umumnya selalu menyendiri dan
menjaga jarak dengan yang lainnya. Kemudian, pada
tahun 1966, beliau meninggalkan Island Hermitage untuk
mengembara (cārikā) ke seluruh Sri Lanka. Selama
kurang lebih dua puluh lima tahun, beliau mengembara di
seluruh Sri Lanka, dari Selatan ke Utara dan kembali, dari
Barat ke Timur dan kembali. Beliau biasanya akan tinggal
di vihara-vihara dan tempat-tempat lain dalam perjalanan
maksimal selama tiga hari dalam sekali tinggal dan akan
melanjutkan pengembaraan. Tujuan praktik semacam ini
adalah untuk menghindari pengumpulan kepemilikan dan
kemelekatan batin pada tempat dan orang. Ketika tinggal di
suatu tempat dalam jangka waktu yang panjang, berbagai
kemelekatan dapat muncul dengan mudah yang dapat
menimbulkan konflik dengan status para petapa Buddhis,
yaitu seorang “yang tidak berumah”. Y.M. Ñāṇavimala
hanya akan membawa mangkuk untuk berpiṇḍapata dan

58
sebuah tas kecil yang berisi kebutuhan pokok. Bahkan,
beliau tidak menggunakan sandal. Begitu perampok
mencegat beliau dan menggeledah tasnya, tetapi tidak
menemukan apa pun yang berharga, meninggalkannya
dengan tangan kosong.

Untuk menjadi lebih bebas dan melepaskan


kemelekatan batin, Y.M. Ñāṇavimala biasanya tidak
akan memiliki tujuan tetap. Sesekali beliau akan tinggal
selama beberapa minggu di Vihara Siri Vajiraramaya di
Kolombo. Suatu pagi beliau meninggalkan vihara dan
berjalan di Jalan Vajira ke arah Jalan Galle. Seorang umat
Vihara Siri Vajirarama yang melihatnya berjalan di jalan,
menghampiri beliau dan menghormatinya. Melihat tas
dan mangkuknya tergantung di pundak, dia menyadari
bahwa beliau akan meninggalkan vihara dan bertanya
kepadanya: “Baiklah, bhante, saya melihat bhante telah
memutuskan untuk meninggalkan vihara dan kembali
berkelana. Ke manakah bhante akan menuju?” Y.M.
Ñāṇavimala secara spontan menjawab: “Saya belum
memutuskan. Saya akan memutuskan ketika saya tiba di
persimpangan jalan.”

Beliau akan mendapatkan makanan sehari-hari dengan


cara berpiṇḍapāta di kampung-kampung atau kota
sepanjang jalan yang beliau lalui. Hanya selama musim
hujan (vassa) beliau akan menetap di sebuah vihara
selama tiga bulan berturut-turut, sesuai dengan peraturan
yang telah ditetapkan; umumnya beliau akan menjalani
59
masa vassa di Island Hermitage. Untuk menjalani praktik
kehidupan pertapaan yang sulit seperti itu dalam jangka
waktu yang lama dapat cukup melelahkan bagi bhikkhu-
bhikkhu muda, terlebih lagi bagi seorang bhikkhu yang
sudah cukup tua. Akan tetapi, Y.M. Ñāṇavimala tetap
terus menjalani praktik semacam itu hingga pada tahun
1991, walaupun setelah tahun 1987, cidera pinggul
menghalangi beliau untuk mengembara dalam jarak
yang cukup jauh dalam sekali waktu. Beliau kemudian
menghabiskan empat tahun di Kolombo tepatnya di Vihara
Siri Vajiraramaya. Pada tahun 1995, beliau kembali ke
Island Hermitage, dan belakangan pindah ke pulau yang
lebih terpencil, Parappaduva, tempat beliau meninggal.

Ketika beliau bertemu dengan orang, Y.M. Ñāṇavimala


akan memotivasi mereka untuk mempraktikkan Dhamma,
gaya hidup yang sederhana, dan melepaskan semua
kemelekatan duniawi akan dapat mengarahkan seseorang
ke kedamaian yang lebih luhur, Nibbāna. Gaya hidup
pertapaan beliau sendiri dan kesejahteraan batin tentunya
memberikan contoh nyata atas sarannya kepada orang
lain. Beliau memberikan inspirasi kepada banyak bhikkhu
muda dan ketika beliau masih memiliki kekuatan tubuh
jasmani, akan sangat bahagia memberikan nasihat kepada
mereka bagaimana menjalani kehidupan kebhikkhuan
untuk mendapatkan manfaat yang maksimal. Kita enggan
untuk mengatakan “Semoga beliau merealisai Nibbāna!”
sebab beliau mungkin telah melakukannya, tetapi karena

60
ini adalah tradisi, marilah kita bersuara bersama-sama
dan mengatakan: “Semoga beliau merealisasi Nibbāna!”

61
Ajahn Brahm Bertemu Y.M. Ñāṇavimala

Catatan Editor: Hanya baru-baru ini ditemukan bahwa Ajahn


Brahm telah bertemu dengan bhikkhu Jerman nan agung,
Y.M. Ñāṇavimala, ketika saya melihat sesuatu yang telah
dituliskan oleh Bhikkhu Bodhi pada buku kenang-kenangan
ulang tahun ke-60 Ajahn, Emptiness and Stillness, yang baru
saja diterbitkan.

Karena itu, ketika Ajahn mengunjungi Vivekavana


untuk menerima Sanghika dana, dengan segala
62
kerendahan hati saya memintanya untuk menuliskan
kenangannya pada saat itu, sebab kami sedang berusaha
untuk mengumpulkan bahan tentang Bhante Ñāṇavimala
sebagai buku kenang-kenangan. Ajahn dengan senang
hati menulis kenangannya, yang mungkin bisa kita beri
judul:

Ceramah Terbaik yang Pernah Didengar Ajahn


Brahm
Saya bertemu Y.M. Ñāṇavimala hanya sekali, tetapi
pertemuan itu meninggalkan kenangan yang tak terlupakan.
Kira-kira pada tahun 1990, saya mengunjungi Sri Lanka
dan tinggal di sebuah vihara di Jl. Anderson, Nedimala.
Suatu sore, seorang bhikkhu Inggris dan saya, bersama
dengan seorang umat dari Australia, memutuskan untuk
berjalan ke Vajīrārāma to mengunjungi Y.M. Piyadassi.
Kami tiba dalam keadaan panas dan lelah, hanya diberi
tahu oleh Y.M. Piyadassī untuk duduk dan beliau akan
menyiapkan teh. Saya tidak tahu ternyata Mahāthera nan
agung itu membuat teh sendiri untuk kita. Saya sangat
kaget atas kerendahan hati semacam itu.

Setelah beberapa saat berdiskusi dengannya, beliau


mengatakan bahwa Bhikkhu Bodhi saat itu juga tinggal di
Vajirarama, baru saja tiba kembali di Sri Lanka dariAmerika
Serikat. Bhikkhu Bodhi adalah “bhikkhu pahlawan” saya
yang lain dan tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut
untuk bisa bersujud dan mengutarakan rasa terima kasih

63
saya kepadanya atas terjemahan begitu banyak sutta ke
dalam bahasa Inggris yang mudah dicerna.

Bhikkhu Bodhi kemudian menyebutkan bahwa Y.M.


Kheminda tinggal di ruangan sebelah. Y.M. Kheminda
telah menulis buku kecil yang luar biasa tentang
pentingnya Jhāna dan sebagai akibatnya, harus sangat
sabar atas kritikan yang tidak beralasan dari bhikkhu-
bhikkhu lain yang kurang berpengetahuan. Saya telah
mengaguminya selama bertahun-tahun dan dengan senang
hati bersujud di kakinya dan mengutarakan dukungan
saya atas keberaniannya untuk membela Dhamma yang
telah diajarkan oleh Sang Buddha.

Bhikkhu Bodhi kemudian menasihatkan bahwa kami


seharusnya bernamaskara kepada bhikkhu lain yang
belum pernah saya dengar sebelumnya, seorang bhikkhu
Jerman yang telah lanjut usia, bernama Y.M. Ñāṇavimala.
Hal itu seolah-olah Bhikkhu Bodhi menyisakan traktiran
terakhir yang terbaik. Saya ingat Bhikkhu Bodhi
mengatakan bahwa Y.M. Ñāṇavimala tidak banyak bicara
sehingga kami cukup masuk ruangan, bernamaskara dan
meninggalkan tempat. Bhikkhu Bodhi menunggu di luar.

Mungkin lebih dari satu jam barulah kami meninggalkan


ruangan. Apa yang terjadi di dalam rungan terus saya
ingat sebagai ceramah Dhamma terbaik yang pernah
saya dengar, kamma baik untuk bisa mendengarkannya!
Ceramah tersebut tidak menyia-nyiakan seluruh

64
perjalanan dari Australi ke Kolombo. Y.M. Ñāṇavimala
mengutip beberapa sutta bersama penjelasannya dari
pengalamannya sendiri ke dalam simfoni Dhamma yang
menyebabkan mata berbinar-binar, tampak seperti ada
Dhammacakka di mata saya. Mereka akan menyebutnya
“luar biasa.”

Saya sungguh sangat sedih atas kebaikan Bhikkhu


Bodhi. Ketika kami keluar dari ruangan tersebut,
beliau bertanya ke mana kami telah pergi. Ketika kami
menjawab bahwa kami baru saja mendengarkan ceramah
Dhamma dari Y.M. Ñāṇavimala, Bhikkhu Bodhi bersedih
dan mengatakan bahwa Y.M. Ñāṇavimala sangat
jarang memberikan ceramah seperti itu dan beliau telah
melewatkan kesempatan itu.

Saya tidak lagi punya kesempatan baik untuk bertemu


dengan Y.M. Ñāṇavimala tetapi pertemuan sekali itu tidak
akan pernah terlupakan. Sebuah foto Y.M. Ñāṇavimala
tergantung di Dānasāla kami di Perth bersama para
bhikkhu lain yang begitu agung dan memberikan inspirasi.

65
Ayah Spiritual Saya (Y.M. Ñāṇavimala)

Catatan Editor: Berikut ini adalah artikel lainnya yang


ditulis untuk mengenang Y.M. Ñāṇavimala, seorang bhikkhu
Jerman yang sangat dihormari yang meninggal pada tahun
2005. Kali ini, atikel ini ditulis oleh seorang wanita, Mrs.
Ayoma Wickramasinghe, yang telah cukup lama menjadi
dayaka Y.M. Ñāṇavimala. Ketika berada di Kolombo, Y.M.
Ñāṇavimala sering tinggal di paviliun rumah keluarga Mr.
Wickramasinghe di Kolombo 7, dan tinggal di sana untuk
beberapa saat. Juga selama beberapa tahun, beliau tinggal
di salah satu perkebunan Wickramasinghe dekat Horana, dan
karena itu, Mrs. Ayoma sangat dekat dengan beliau.

66
Namo Tassa Bhagavato Arahato
Sammāsambuddhassa

Y.M. Ñāṇavimala adalah salah satu guru yang sangat


saya sayangi yang telah meninggal pada tahun 2005. Guru
pertama saya adalah Y.M. Webu Sayadaw dari Burma.
Dalam pengamatan dan hubungan saya yang sangat
dekat dengan keduanya, saya yakin, bahkan saya tahu,
mereka telah menyelesaikan pengembaraan mereka di
alam saṃsāra yang sangat menakutkan, menyengsarakan
dan tanpa akhir ini. Mereka adalah pahlawan yang telah
menyucikan diri mereka sendiri sepenuhnya dengan
kebijaksanaan yang luar biasa dan tak kenal lelah dan
usaha yang tak henti. Betapa beruntungnya mereka!
Saya sangat berharap, dan berharap, saya dapat meniru
mereka sepenuhnya. Betapa mengagumkan telah mampu
menyempurnakan kedamaian batin, dengan tiada lagi
āsava yang mengganggu.

Pertemuan pertama dengan makhluk mulia, Y.M.


Ñāṇavimala Thera, sungguh sangat menakjubkan bagi
saya. Saat itu, hanya beberapa menit telah berlalu dari
jam dua belas siang di Kecamatan Hawa Eliya, Nuwara
Eliya. Beliau berjalan dengan mangguk digantungkan
di pundak. Pertama kali saya melihat beliau (saya telah
mendapatkan cerita tentang beliau dari teman akrab saya,
Geeta Sri Nissanka), tidak ada orang yang mengatakan
bahwa itu adalah beliau, tetapi saya tahu secara spontan.
Saya bilang kepada suami saya dengan sopan untuk
67
menghentikan mobilnya dan setelah pergi ke warung
terdekat dan membeli makanan, saya kembali dengan
segera dan mempersembahkan makanan itu kepada
beliau. Dengan tegas, beliau menolak makanan itu dan
berkata: “Para bhikkhu tidak menerima makanan setelah
jam dua belas siang.” Saya tersentak, walaupun tanpa
jam, beliau tahu waktu dengan tepat, yang mungkin saat
itu hanya beberapa menit berlalu dari tengah hari.

Setelah bertanya ke mana beliau akan pergi, dengan


tegas beliau mengatakan “Vajiraramaya di Hawa Eliya”.
Saya mengunjunginya di sana dua atau tiga kali dan
merasa bingung ketika beliau menolak hampir semua
persembahan. Hal ini cukup bertolak belakang dengan
bentuk praktik Y.M. Webu Sayadaw dari Burma, dengan
mettā yang begitu besar, menerima semua orang dan
persembahan mereka. Hanya belakangan saya menyadari
karena Bhikkhu Bodhi telah mendiskripsikan beliau:
“Jika kamu ingin mendapatkan ceramah dari Y.M.
Mahākassapa, kunjungilah Y.M. Ñāṇavimala—gaya
yang tegas, karakter petapa yang cukup serius, keyakinan
diri yang sangat kuat, gaya praktik yang sangat mandiri—
semua sifat Y.M. Ñāṇavimala ini mengingatkan akan
karakter Y.M. Mahākassapa.”

Sejak saat itu, saya bertemu dengan beliau dalam


tahun-tahun selanjutnya, sering kali tiba-tiba dan
tanpa diharapkan. Kami sangat bahagia karena kami
mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan beliau
68
di mana pun. Pada awalnya, kami bertemu di Vajirarama
dan belakangan di Island Hermitage dan kemudian
Parappaduwa. Suatu ketika, saya bertemu beliau di jalan
menuju Kandy dan mendapatkan kamma baik untuk
mempersembahkan dāna yang kemudian beliau makan
di pinggir jalan.

Suatu ketika, beliau tinggal di paviliun kami di Ward


Place, Kolombo (klinik kakek saya, yang diubah oleh
suami saya untuk bisa menyendiri) selama lebih dari
setahun, dan seperti yang saya ingat, beliau menjalani
masa vassa di tempat itu pula. Beliau juga menghabiskan
waktunya selama lebih dari satu tahun di tempat tinggal
kami di Perkebunan Pitipanna, dan pada tahun yang lain, di
tempat yang sama, di kuṭi yang menyenangkan dan cukup
besar, di bawah pohon beringin yang cukup rimbun, yang
dibangun khusus untuk beliau. Sekarang, kuṭi tersebut
disebut “Ñāṇavimala Thera Kuṭi”. Bhikkhu-bhikkhu
hutan masih menggunakan kuṭi tersebut, walaupun hanya
sesekali.

Beliau begitu berkarisma. Aura dan getarannya


meninggalkan kenangan yang tak terlupakan kepada
orang yang menemuinya. Karena beliau, saya
mendapatkan sepuluh atau lebih orang-orang yang sangat
menyenangkan, pengikut Dhamma yang sangat setia,
yang menjadi kalyāṇamitta (teman spiritual) saya seumur
hidup. Pengaruh bhikkhu yang sangat mengagumkan
ini pada kita sungguh sangat tidak bisa dipercaya. Kami
69
sangat mempercayai beliau sepenuhnya. Apa yang
beliau ajarkan kepada kami, biasanya akan kami lakukan
semaksimal mungkin. Beliau adalah “ayah” dan seorang
kalyaṇamitta bagi kami semua. Beliau memberikan
nasihat yang begitu berharga dan menyejukkan bagi
kami semua yang membantu kami begitu luar biasa,
memungkinkan kami semua untuk menghadapi masalah-
masalah kehidupan yang lebih serius.

Sebagai contohnya, beliau menasihatkan seorang


wanita paruh baya, yang suaminya telah menyiksanya
dengan memiliki selingkuhan di depan matanya sendiri,
untuk pergi dan menjalani kehidupan menyendiri sesuai
dengan Dhamma. Karena hal ini, dia menjadi luar biasa
dan menjadi guru Dhamma yang effektif hingga berusia
lebih dari 83 tahun di sebuah pusat meditasi yang cukup
terkenal.

Seorang wanita lainnya yang lebih muda sangat


merana ketika tunangannya dari Barat pergi dengan
wanita lain. Beliau menasihatinya dengan mengingatkan
dia untuk mengingat bagaimana dia, dirinya sendiri telah
melecehkan tunangannya yang terdahulu tepat sebelum
pernikahannya, dan dengan demikian, dia harus mampu
menghadapi akibatnya. Wanita muda ini, yang hampir
saja kehilangan akal sehatnya, menjadi begitu tekun
dalam praktik Dhamma dan menjadi seorang yogi dan
pembimbing Dhamma yang luar biasa.

70
Juga, beliau membimbing saya selama bertahun-
tahun untuk terbiasa menyendiri dan ketika beliau tahu
bahwa saya telah “siap” dan telah mengagumi sutta-sutta
Pali, beliau mengatakan kepada saya untuk menjalani
kehidupan selibat. Saya jawab: “Saya belum siap, bhante”
dan beliau menjawab: “Kita semua tidak pernah siap”
dan karena rasa hormat yang begitu dalam dan keyakinan
atas apa yang beliau ucapkan, saya menjalani kehidupan
selibat. Dan saya sangat bahagia karena saya telah
melakukannya. Kesempatan tersebut adalah kesempatan
yang paling luar biasa dan sangat menguntungkan dalam
praktik Dhamma dalam hidup saya. Sayangnya, saya
melepaskan praktik tersebut setelah setahun kedamaian
dan kebahagiaan yang luar biasa, tetapi saya kembali
menjalani kehidupan selibat beberapa tahun belakangan
dan akan melanjutkan praktik tersebut hingga akhir hayat
saya.

Menjelang wafatnya (karena beliau meninggal jauh


lebih belakangan, tetapi pada kesempatan tersebut,
beliau sakit parah), beliau mengatakan: “Kamu harus
menjadi contoh bagi seluruh anggota keluargamu. Kamu
harus menunjukkan mereka dengan cara hidup dan
mempraktikkan sang jalan.”

Caranya “melepaskan” keluarganya sendiri sungguh


sangat fenomenal. Semuanya “dipotong bersih” tanpa
ada kembali sama sekali, tidak ada surat, tidak ada kontak
sama sekali. Beliau menceritakan suatu pengalaman
71
ketika masih muda: seorang wanita cantik dari kotanya
menjadi sangat dekat dengannya. Suatu hari, beliau
melihat dia berbicara dengan pemuda lainnya dan menjadi
sangat cemburu. Saat itu, beliau menyadari kemelekatan
semacan ini memberikan penderitaan yang luar biasa,
dan beliau memutuskan untuk tidak mencari kepuasan
dalam hubungan atau kemelekatan. Saat itu juga, beliau
mengasingkan diri dan memutuskan hubungannya
sepenuhnya. Wanita itu sangat kecewa dan bahkan harus
dirawat di rumah sakit.

Beliau mengulanginya beberapa kali: “Kita seharusnya


tidak mengorbankan kemajuan sendiri demi kemajuan
orang lain (tidak peduli apa manfaatnya bagi orang lain,
meskipun hanya untuk sesaat). Beliau menekankan dengan
kuat dan berulang-ulang: “membaca sutta (khotbah Sang
Buddha) adalah kewajiban, sungguh sangat penting”.
Beliau sangat menghargai dan memuji pemahaman dan
kesukaan saya pada sutta.

Beliau mendorong saya begitu keras untuk praktik


secara mendalam dan mempelajari sutta. Saya kira beliau
sangat terkesan utamanya bagaimana saya mempelajari
teks Pāli dengan sungguh-sungguh dan secara mendalam.
Beliau memiliki pengetahuan yang sangat mendalam
tentang Sutta Piṭaka dan umumnya tahu berdasarkan bab
dan syair. Beliau sering mengutip dan memotivasi saya
untuk membaca sutta tertentu. Akan tetapi, beliau tidak
mengharapkan saya untuk menjelaskan teks Pāli kepada
72
yang lain, tetapi tetap tampak sederhanan dan tak terkenal
dan mengutamakan pentingnya praktik bagi diri sendiri.

Suatu hari kemudian, beliau mengatakan: “… tetapi


tidak dalam cara belajarnya para akademisi” dan beliau
mengatakan: “Saat ini sesungguhnya adalah waktu yang
tepat untuk mencapai sesuatu”. Saat itu, saya berusia
64 tahun. Beliau menyarankan: “Menyepilah selama
enam bulan dan selamatkan dirimu sendiri”. Ketika saya
berpikir: “Ha, beliau pikir saya bisa melakukannya dalam
enam bulan—suatu pencapaian yang luar biasa!” Beliau
membaca pikiran saya dan menimpali: “Tidak, bukan
enam bulan, tetapi satu tahun”.

Suatu ketika secara terpisah, beliau mengatakan


kepada saya: “Sekarang, kamu telah memahami dukkha
(kebenaran mulia tentang penderitaan); sekarang sudah
tidak ada yang perlu saya nasihatkan kepadamu; kamu
bisa mengalami kegiuran (pīti) setiap saat.” Lalu, saya
bertanya, “Setiap saat, bhante?” dan beliau menjawab:
“Tentu, seperti halnya menanam biji, kita harus
merawatnya dan menunggunya untuk tumbuh—biji
tersebut tidak dapat dikembangkan secara tergesa-gesa.”

Salah satu pengalaman yang beliau ceritakan kepada


saya adalah: Sesaat setelah perang selesai, minuman
keras secara alami menjadi sangat jarang. Pada suatu
malam, hanya beberapa botol yang tersisa di bar. Ketika
beberapa lelaki sedang mabuk, api melalap bangunan

73
tersebut. Orang lain berteriak “Keluar, keluar, bangunan
akan ambruk”, tetapi kemelekatan mereka begitu besar
sehingga mereka tetap terus minum dan semua orang mati
dilalap api—begitu mengerikan kekuatan dan renggutan
nafsu keinginan.

Suatu ketika, ketika beliau sedang mengembara


dalam waktu yang cukup lama di hutan, beliau menjadi
sangat kelaparan dan bertanya-tanya di mana beliau
akan bisa mendapatkan makanan selanjutnya. Tidak
ada orang di tempat itu sejauh berkilo-kilo. Tiba-tiba,
beliau menjumpai sebuah gubuk kecil dan seorang
upāsikā tua datang membawa makanan yang cukup
banyak dan mempersembahkannya kepada beliau. Beliau
bertanya bagaimana dia bisa mengetahui bahwa beliau
akan datang dan dia menjawab: “Ketika saya sedang
mempersembahkan bunga pagi ini, ada suara “seorang
bhikkhu akan datang melewati jalan ini, sediakanlah
makanan dan persembahkan makanan itu””.

Beliau membuat kami menyadari akan kemampuan


batin hanya untuk mengajarkan kami beberapa
aspek Dhamma. Suatu ketika, saat saya sedang
mengantarkannya ke Vihara Kelaniya, saya melakukan
ānāpānasati (meditasi pernapasan) dengan santai sebab
hal itu membantu saya berkonsentrasi dengan lebih baik
(Y.M. Webu Sayadaw menasihatkan untuk melakukan
anapanasati sepanjang waktu). Y.M. Ñāṇavimala Thera
mengatakan “Ketika sedang mengendarai mobil, tidak
74
baik melakukan meditasi anapanasati.” Bagaimana
beliau tahu? Bukankah hal itu adalah kekuatan batin?

Bhikkhu Bodhi menuliskan: “Y.M. Ñāṇavimala


tampaknya memiliki kesulitan untuk memahami karakter
dan status sosial seseorang sehingga setelah basa-basi yang
cukup singkat, beliau akan menyesuaikan pembicaraan
Dhammanya sesuai dengan kebutuhan orang itu persis
sama seperti cara yang paling cocok untuk kebutuhan
orang lain.”

Ketika beliau tinggal di paviliun rumah kami di


Kolombo, ibu saya terbaring sakit dan tidak sadarkan diri.
Beliau mengamati dan mempelajarinya dan berkomentar:
“Dia telah kehilangan daya intelektualitasnya, tetapi
batinnya tetap dijaga. Ketika dia meninggal, beliau
mengatakan, “Dia telah terlahir di alam deva, tetapi
tidak di alam deva yang tinggi.” Ketika ibu teman saya
meninggal (dia adalah seorang umat yang sangat setia),
beliau berkomentar: “Dia telah terlahir di alam deva yang
lebih tinggi.”

Beliau telah menceritakan kepada beberapa teman


saya tentang kelahirannya di masa lampau. Beliau
mengatakan di dalam kehidupannya yang lampau, beliau
telah menjadi seorang ayah pada suatu keluarga. Suatu
hari ketika sedang menaiki tangga, beliau jatuh dan
terkapar di tanah dalam kondisi yang sangat mengerikan.
Penderitaan keluarganya sangat meluluhlantahkan

75
dirinya. Betapa menderitanya kehidupan di dunia fana
ini! Sungguh sangat memilukan untuk mengumpulkan
sesuatu dari seorang murid sejati Sang Tathāgata. Satu-
satunya hiburan adalah “Betapa indahnya meraka telah
mengakhiri semua penderitaan”.

Berikut ini adalah beberapa nasihat bhante yang saya


ingat dari apa yang telah saya dengar selama empat puluh
hingga empat puluh lima tahun saya mengenal beliau:

1. Jadikanlah pengalamanmu sebagai petunjukmu

2. Vipassanā adalah melihat aniccatā dalam jhāna

3. Pikiran akan mengatasi semua kelemahan fisik

4. Satipaṭṭhāna dalam kehidupan perumah tangga:


selalu mengamati semua aktivitas pikiran dan
ucapan

5. Jika seseorang merasa ngantuk ketika sedang


melakukan anapanasati, berarti orang tersebut
tidak menikmatinya—nikmatilah ketika
melakukan hal itu!

6. Nimitta dalam bentuk cahaya dan sebagainya


adalah gangguan menuju Nibbāna. Nimitta dalam
satipaṭṭhāna adalah pikiran tentang perealisasian
dan sebagainya yang muncul (bukan kata-katanya
secara tepat, tetapi demikianlah yang saya pahami)

76
7. Sammādiṭṭhi harus dikembangkan dalam berbagai
cara. Karena itu, pelajari sutta dan hiduplah sesuai
sutta.

8. Semua sīla harus dijalankan (untuk menghancurkan


vyāpāda dan sebagainya)

Adalah penting untuk mempraktikkan semua bentuk


meditasi, bila tidak akan sulit menekan rintangan batin.
Yang terpenting dan utama adalah mettā bhāvana.
Mengembangkan mettā dapat menghancurkan lobha,
dosa, moha dan mengharapkan hal yang sama kepada
yang lain juga—untuk melakukan usaha yang sama.

“Kepemilikan ada penderitaan, meskipun yang paling


kecil”. Suatu ketika, seorang umat memberinya tali
untuk menjemur jubah. Pada suatu pagi, sebelum pergi
berpiṇḍapāta, beliau mencuci jubahnya dan setelah
menjemur jubahnya, beliau pergi. Ketika kembali, jubah
beliau telah berserakan di tanah. Seseorang telah mencuri
talinya.

Beliau sering membicarakan kekuatan mettacetovimutti


(kebebasan pikiran melalui cinta kasih). Salah satu topik
lain yang sering dibahas adalah penghancuran asmimāna
(kesombongan).

Sepanjang yang saya ingat, beliau sering mengutip


dari Majjhima Nikāya, Saṃyutta Nikāya dan Aṅguttara
Nikāya. Beliau menekankan beberapa kali untuk

77
Foto ini diambil di Kolombo pada tahun 1991
mempelajari Saṃyutta no. 35 (Saḷāyatana Saṃyutta).

Mengenai ānapānasati, beliau menasihatkan untuk


mempelajari Majjhima 107, 117, dan 125 dan Saṃyutta
22 dan 35.

Ketika beliau mengacu pada isi sutta, beliau selalu


78
mengatakan: “Ini dari sutta ini atau sutta itu”, karenanya,
kata-katanya bukan kebijaksanaan sendiri, melainkan
kata-kata Sang Buddha. Beliau menunjukkan kerendahan
hati dan rasa hormat yang begitu besar kepada Sang
Buddha: “Banyak bhikkhu saat ini menulis buku dan
artikel menggunakan nama mereka dan mengindikasikan
hal itu adalah pengetahuannya. Banyak buku telah ditulis:
“Satipaṭṭhāna oleh ini dan itu” walaupun itu adalah
Satipaṭṭhāna Sang Buddha. Tidakkah semua Dhamma
yang dibutuhkan untuk merealisasi Nibbāna telah
dijelaskan oleh Sang Buddha dengan detail dan jelas?
Pentingkah bagi seseorang untuk menjelaskannya?”

Dalam pengamatan saya, Y.M. Ñāṇavimala Thera


memfokuskan dirinya hanya pada penjelasan Sutta
Piṭaka. Beliau tidak pernah menyarankan pembagian
dan penyebarluasan tulisan-tulisan lain dan penjelasan-
penjelasan kuno seperti Abhidhamma, Visuddhimagga
dan sebagainya. Saya mungkin salah dalam hal ini.

Y.M. Ñāṇavimala memancarkan mettā dan kasih


sayang yang sesungguhnya kepada semua pengikutnya,
seperti seorang ayah yang sesungguhnya. Sebenarnya,
beliau memperhatikan kami semua melebihi ayah
kandung kami (semua orang suci melakukan hal ini karena
bentuk perhatian semacam ini berdasarkan pada realisasi
anattā dan bukan pada kepentingan pribadi). Ketika
beliau meninggal dunia, sungguh sangat menyedihkan—
melebihi ketika orangtua kami meninggal.
79
Saya masih merindukannya—petunjuknya yang
menyejukkan, kedamaiannya, perhatiannya yang
murni untuk kami semua. Sayangnya, selama beberapa
tahun dalam hidupnya, kami tidak diizinkan untuk
mengunjunginya atau membaur dengan beliau. Bhikkhu
yang merawatnya berpikir bahwa demi kepentingan
beliau, beliau seharusnya tidak diganggu. Banyak
penyokong dan bhikkhu hutan yang mendapatkan
petunjuk dari beliau, dengan demikian, sangat menderita
karena tidak bisa melihat atau menghubungi beliau.

Muridnya yang paling dekat adalah Bhante Ñāṇaloka


dan Bhante Upasama. Di antara murid awamnya
adalah Brindley Ratwatte (belakangan menjadi Bhante
Siddhartha), Mr. Damayanthi Ratwatte, Sylvia Gunatilleke,
Janaki dan Andy De Silva, Nirmal Sonnadars, Kusuma
Abeysinghe, Komi Mendis, Sanath, diri saya sendiri dan
banyak lainnya yang tidak saya ketahui.

Saya mohon maaf kepada bhikkhu nan mulia dan


putra sejati Sang Tathāgata, Y.M. Ñāṇavimala Thera atas
kesalahan atau misinterpretasi dalam kata-kata saya,
dan juga kepada para pembaca seandainya saya telah
menyebabkan ketidakbahagiaan kepada mereka.

80
Nasihat Y. M. Ñāṇavimala

Pengantar
Y. M. Ñāṇavimala Mahāthera (1911-2005) adalah
seorang bhikkhu berkebangsaan Jerman yang menjalani
kehidupan monastik di Sri Lanka sejak 1955. Setelah dua
belas tahun belajar dan bermeditasi di Island Hermitage
dekat Dodanduwa di bagian Selatan Sri Lanka, dia
mengembara tanpa alas kaki dari satu tempat ke tempat
yang lain tanpa henti. Harta kekayaannya hanyalah tiga
jubah, patta untuk berpindapata dan beberapa kebutuhan
dasar.

Kebiasaan praktik Y. M. Ñāṇavimala adalah hanya


tinggal selama semalam di tempat mana pun. Beliau
akan tinggal untuk beberapa saat jika kondisinya cukup
kondusif untuk bermeditasi, atau dia memiliki sesuatu
untuk dikerjakan seperti menyulam jubah, atau ketika
sedang sakit. Ketika wajib tinggal selama masa vassa,
beliau akan tinggal selama tiga bulan di suatu tempat
dengan mengedepankan kesunyian dan mendedikasikan
dirinya untuk bermeditasi.

Y. M. Ñāṇavimala terus mengembara hingga beliau


sangat tua. Karena kesehatan yang terus menurun, dia
menghabiskan beberapa tahun terakhirnya di Parapaduwa,
sebuah pulau yang berdekatan dengan Island Hermitage.

81
Y. M. Ñāṇavimala cukup terkenal dan sangat dihormati
di seluruh Sri Lanka. Sikapnya yang tenang, keinginan
yang sedikit dan kegigihannya dalam praktik memberikan
keyakinan kepada mereka yang pernah bertemu dengan
beliau. Warisan yang ditinggalkan oleh Y. M. Ñāṇavimala
adalah keteladanan hidup yang telah beliau jalani—
sesuatu yang dapat diteladani oleh yang lainnya.

Y. M. Ñāṇavimala tidak memiliki murid, tidak juga


memberikan ajarannya secara formal. Namun, beliau selalu
sangat dermawan dalam membagikan kebijaksanaannya
dengan mereka yang memiliki ketertarikan yang murni
pada Dhamma.

Ajaran berikut ini adalah catatan yang dibuat oleh


seseorang berkebangsaan Australia, yang merupakan
mantan Bhikkhu Chittapala setelah berdiskusi dengan Y.
M. Ñāṇavimala di Vajirarama, Colombo pada tahun 1981
dan 1984.

Karena banyak istilah Pāli yang dipergunakan, daftar


kosakata telah disertakan di akhir catatan ini.

Nasihat Y.M. Ñāṇavimala


Buddha Dhamma berbeda dengan agama Hindu
yang membangun dunia kebahagiaan dan kedamaian.
Dhamma menunjukkan pada dukkha. Kita harus
menjadi independen dari semua yang bersifat eksternal
dalam mengikuti Dhamma. Kebahagiaan kita tidak
82
dalam keadaan meditasi yang tinggi sebab hal ini dapat
menjadi objek kemelekatan dan juga kekecewaan yang
baru. Kebahagiaan kita adalah dalam mempraktikkan
Dhamma, pengetahuan bahwa setiap harinya kita tidak
menyerahkan diri pada nafsu indra dan kemarahan kita
dan dalam menjaga pikiran sendiri untuk tetap murni.
Kita harus belajar untuk tidak bersenang-senang dalam
apa pun sebab semua pengalaman hanya berlangsung
sesaat dan tidak dapat terus bertahan.

Ada bahaya dalam arañña yang dirawat dengan baik.


Kita senang karena memiliki kuṭi yang bagus, kesunyian
dan makanan-makanan tertentu. Lalu, ketidaksukaan
atau kebencian muncul ketika kondisi-kondisi semacam
ini lenyap. Para bhikkhu di zaman Sang Buddha hidup
di hutan, hidup tergantung pada piṇḍapāta. Mereka juga
memili penyakit yang harus mereka hadapi, sama halnya
seperti kita, tetapi mereka belajar untuk menerima apa
pun yang muncul. Kita hendaknya mengembangkan
ketidakmelekatan, tidak peduli terhadap kondisi eksternal
apa pun yang ada. Semua yang di luar adalah terkondisi
dan selalu berubah. Kita tergantung pada kamma lampau
kita. Kita hendaknya berhati-hati dalam merawat tubuh
kita, tetapi kita seharusnya tidak mengumpulkan kondisi
untuk tubuh yang baru. Tubuh itu akan sakit, tua dan mati
seperti halnya tubuh ini.

Belajarlah untuk hidup sekarang ini. Merancang


rencana akan mengganggu pikiran. Hiduplah dengan apa
83
pun yang muncul—berpalinglah dari segala sesuatu—
kembangkan nibbidā dari hari ke hari—kita hendaknya
mengembangkan hal ini sejak awal—untuk belajar dalam
kesunyian—jika kita mati sendirian, kita harus belajar
untuk hidup sendiri. Belajarlah, tinggallah di tempat yang
sesuai bersama seorang guru. Jangan melanggar vinaya,
apa pun alasannya. Jangan membuat perjanjian dengan
para dāyaka. Bahkan, kita hendaknya tidak berbicara
dengan mereka. Kita hanya perlu berkonsentrasi untuk
menjadi puññakkhettaṃ. Berbagai bentuk komunikasi,
surat dan sebagainya hanyalah belenggu baru dan tidak
akan membantu membebaskan kita. Sederhanakanlah
kepemilikan kita sehingga apa yang kita miliki tidak
menjadi beban pikiran kita. Hanya ada sedikit gangguan
praktik vinaya jika kita hanya memiliki tiga jubah, tanpa
sandal dan tidak menerima undangan, dan sebagainya.

Kebahagiaan datang dari mempraktikkan Dhamma.


Belajarlah untuk melihat kotoran batin sebagai sesuatu
yang tidak kekal, bukan milikmu, sehingga kotoran
batin itu tidak begitu mengganggu. Jika kita tidak bisa
melakukan bhāvanā seperti yang kita harapkan, terimalah
kenyataan itu—yaitu segala sesuatu sebagaimana adanya.
Kita harus menjadi independen dari apa pun yang bersifat
eksternal dari diri kita.

Dalam lima tahun pertama, belajarlah untuk menerima


apa pun keadaan yang ada—lihatlah tugas-tugas antara
guru dan murid dengan benar. Jika kita berlatih dengan
84
benar, kita harus mampu berpisah dengan guru setelah
lima tahun tersebut. Ada bahaya dalam kesunyian yang
dipegang secara salah, jika kita tidak bahagia atau bahagia
menerima tamu, atau bila kita tidak bahagia atau bahagia
tidak menerima tamu, belajarlah melihat bahwa semua
kondisi mental ini sebagai dukkha.

Seorang bhikkhu seharusnya hanya melihat pada saat


sekarang ini. Kita telah putus dengan masa lampau kita,
keluarga dan teman-teman. Mengapa memperbaharui
belenggu lama atau mengambil yang baru? Jangan
kembali kepada apa yang telah kita tinggalkan. Pikiran-
pikiran tentang masa yang akan datang, harapan, apa
yang akan saya alami, semuanya didasari oleh pikiran
jahat, oleh kemelekatan. Kita hendaknya hanya bertujuan
untuk memiliki kondisi pikiran yang menyenangkan di
saat sekarang ini, tanpa keserakahan, kemarahan atau
kebodohan batin. Hal ini hanya dapat mengondisikan
kebahagiaan di masa yang akan datang. Kita tidak dapat
melakukan lebih dari itu.

Seorang bhikkhu hendaknya tidak memiliki pikiran


yang bersifat depresi, ketidakbahagiaan atau kekecewaan.
Setelah mempelajari Dhamma Sang Buddha, kita
hendaknya mengimplementasikan ajaran tersebut. Setelah
mencapai kondisi ini, sebagai seorang bhikkhu, jangan lagi
kembali ke masa lampau. Jika Anda di tempat yang cocok
dengan seorang guru, kesunyian dan sebagainya, jangan
mengharapkan tempat yang lainnya. Pelajarilah Dhamma
85
dan praktikkan. Tidak ada hal lain yang memberikan
kebahagiaan. Kita hendaknya melepaskan kenyamanan
makanan dan tempat tinggal. Hal ini sangat membantu
untuk melihat dukkha. Jangan mencari kebahagiaan yang
berkaitan dengan dunia ini. Carilah kebahagiaan pikiran
yang bebas dari kotoran batin.

Cukup penting untuk memiliki sukha dalam


kehidupan bhikkhu ini. Tanpa sukha kita tidak dapat
mengembangkan bhāvanā. Pertimbangkanlah berkah
yang telah kita dapatkan, bahwa kita telah mencapai
begitu jauh ke dalam kondisi kebhikkhuan dan memiliki
kesempatan untuk mempraktikkan Dhamma. Merasalah
bahagia meskipun ketika sedang duduk membaca
Dhamma dalam bahasa Pāli. Ketika mempelajari suatu
bahasa, kita awalnya mempelajari tata bahasa dan secara
terus menerus mengacu pada kamus untuk mendapatkan
arti sebuah kalimat. Belakangan, bersama dengan praktik,
kita dapat mengetahui arti seluruh kalimat yang ada.
Demikian pula dengan berbagai dhammasaññā. Kita terus
menerus diperkenalkan pada objek hingga kita merasa
cukup dalam praktik. Kemudian, kita segera melihat sifat
alami objek, yaitu asubha, anicca dan sebagainya.

Hidup dalam kesunyian di hutan adalah sangat bagus


sebab kita merasa dekat dengan Sang Buddha dan murid-
murid awalnya. Setelah memiliki kamma yang baik
untuk hidup dalam kondisi yang demikian, kita harus
merenungkan dengan bijaksana dan berjuang ketika
86
kita masih muda. Kita akan menjadi tua dengan segera
dan tidak mampu praktik dalam cara yang sama. Jika
gangguan internal apa pun muncul, jangan lupa untuk
mengonsultasikannya dengan seorang kalyāṇamitta.
Kadang kala, sesuatu terkunci di dalam dan perlu
didiskusikan untuk bisa membuatnya keluar.

Teruslah merenungkan bahaya kāmaloka dan bahaya


kāmasukha. Bahkan jika hanya pemikiran tentang seorang
wanita muncul, belajarlah melihat objek pikiran Anda
sebagai tumpukan sampah. Jika nafsu keinginan yang
begitu kuat muncul (bukan tidak biasa ketika kita hidup
sendiri mencoba untuk melakukan bhāvanā), cobalah
lakukan caṅkamana atau bekerja untuk melenyapkan
nafsu tersebut. Usahakan untuk tidak jatuh ke dalam
kesalahan yang serius.

Segalanya adalah penderitaan dan kita harus


belajar untuk tidak merasa senang pada apa pun. Akan
tetapi, pada awalnya kita harus merasa senang dalam
meditasi kita, dan tetaplah waspada akan kemelekatan
terhadap meditasi. Selain nekkhamma, penghancuran
kāmārammaṇa, dikembangkan, kita tidak akan mampu
melepaskan loka ini. Di dalam meditasi, jangan mencoba
untuk mengembangkan nimitta seperti yang dikatakan
dalam Visuddhimagga, tetapi berusahalah untuk melihat
bahwa pikiran bebas dari nīvaraṇa. Lalu, kita dapat
merasa senang terhadap kemurnian pikiran yang berasal
dari jhāna. Jhāna adalah samādhi yang tidak memiliki
87
hubungan dengan loka ini.

Jangan mencoba untuk mendapatkan hasil secara


kilat. Setelah mendedikasikan hidup kita pada Buddha-
Dhamma, tetaplah praktik. Jangan genggam pengalaman
apa pun, nimitta dan sebagainya sebagai suatu pencapaian.
Jangan mencoba untuk memaksa lamanya duduk.
Pergunakan mettā untuk menenangkan pikira sebelum
ānāpānasati. Jika pikiran terlalu kacau, cobalah baca
gāthā atau lakukan caṅkamana. Kita harus menggunakan
semua kammaṭṭhāna yang berbeda untuk memerangi
kotoran batin yang berbeda ketika kotoran batin tersebut
muncul. Mettā adalah meditasi yang paling mudah yang
dapat menghasilkan kebahagiaan yang luar biasa.

Kehidupan bhikkhu adalah kehidupan yang


aktivitasnya terbatas agar kita dapat merenungkan
penderitaan. Sapulah daerah sekitar kuṭi dengan hati-
hati atau pergunakanlah waktu membersihkan ruangan
dengan penuh perhatian. Kita dapat merenungkan anicca
pada daun-daun yang jatuh dan suññatā pada ruangan
yang kosong. Kita harus menghormati dan merawat
hak milik Saṅgha—hak milik tersebut berfungsi sedikit
seperti tentara.

Dalam tahun-tahun pertama harus ada ketenangan


dan kesempatan untuk merenungkan aplikasi terhadap
praktik sehingga kita dapat memenuhi indriyasaṃvara
dan juga tidak meninggalkan sesuatu yang tidak lengkap

88
dalam latihan vinaya kita dan tugas-tugas kita kepada
guru. Tempat tinggal kita yang sekarang adalah hasil dari
kamma kita, sehingga kita harus melakukan berbagai cara
untuk mengatasi masalah-masalah kita.

Di desa, kita harus menghindari percakapan non


Dhamma, walaupun wanita dapat juga diberi wejangan
Dhamma. Adalah baik untuk membaca beberapa bait
tentang mātugāmo dan asubha sehingga bisa melekat
pada pikiran kita. Lihatlah asubha pada bagian luar:
kulit, rambut dan sebagainya. Dapatkan asubhanimitta
ke dalam pikiran kita. Ketika kita mempraktikkan sedikit,
kita dapat melihatnya tetapi jika rāga muncul, cobalah
lakukan perenungan internal yang dikembangkan. Cukup
sulit untuk tidak melihat atau berbicara pada wanita, tetapi
kita harus mencoba untuk memusatkan semua perhatian
kita pada praktik. Ada baiknya dari waktu ke waktu untuk
meluangkan waktu untuk tidak bicara.

Tubuh ini telah dikondisikan melalui kehidupan


yang tak terhitung jumlahnya dengan dorongan seksual
sebagai sebab utamanya. Anusaya sangat sulit dilepaskan,
khususnya saat kita masih muda. Melihat wanita hanya
akan menyuburkan rāgānusaya. Tubuh ini sudah cukup
menjadi gangguan dan dukkha. Mengapa Anda ingin
gangguan lagi? Tindakan-tindakan dalam kehidupan pada
umumnya hanya untuk menjaga kelangsungan tubuh
ini. Tubuh membutuhkan dukungan fisik, dan dengan
demikian kita tidak dapat menghindari untuk bertemu
89
wanita, dan sebagainya, yaṃ kiñci dukkhaṃ sambhoti,
sabbaṃ āhāra-paccaya (Penderitaan apa pun yang mucul,
semuanya didukung oleh beberapa kondisi).

Tubuh ini tidak pernah berhenti memberikan gangguan.


Bahkan jika kita duduk dalam meditasi yang dalam
selama lima atau enam jam, terasa hanya beberapa menit
dan kemudian kita kembali pada dukkha tubuh ini lagi.
Dengan demikian, kita harus terus menerus merenungkan
anicca dan melihat bahwa tidak ada pengalaman yang
dapat digenggam. Aniccasaññā dimulai dari cara yang
umum, yaitu melihat bahwa kita harus terus mengulangi
proses kehidupan yang sama dari hari ke hari—semua
untuk apa? Di kemudian hari, perenungan ini akan menjadi
lebih spesifik, yaitu melihat muncul dan lenyapnya napas.

Saṅgha telah hancur, karena itu kita harus berusaha


sendiri. Sepanjang kita berusaha, paṭisotaṃ, kita
melakukan sesuatu yang tepat sebagai anggota Saṅgha.
Bahkan jika seluruh Saṅgha jelek, kita tahu bahwa
setidaknya satu orang berusaha.

Pejuang kotoran batin: walaupun membutuhkan


kita, kita hendaknya membuat kondisi yang baik untuk
kelahiran kembali kita. Bila kita hanya menuruti nafsu
keinginan kita, kita tidak dapat mengatakan di mana
kita akan dilahirkan kembali. Setiap hari kita harus
merenungkan apakah ada kotoran batin yang telah muncul
yang akan menjadi rintangan seandainya kita mati.

90
Seandainya ada, kita harus bertekad bahwa rintangan ini
tidak akan muncul besok. Kita harus secara terus menerus
memeriksa pikiran untuk melihat bahwa kemelekatan
tidak muncul.

Dukkha: Kita tidak dapat berharap untuk tinggal di


suatu tempat untuk selamanya dan ketika kita mencari
senāsana yang baru, kita tidak dapat berharap menemukan
tempat yang cocok.

Rasa sakit di tubuh: berbaringlah dengan lurus, benar-


benar rileks, lihatlah tubuh kita dari atas. Sadari rasa sakit
ketika sakit itu muncul. Terimalah rasa sakit tersebut,
lihatlah bagaimana rasa sakit itu datang dan pergi, berbeda
kekuatan pada saat yang berbeda. Lihatlah rasa sakit itu
sebagai anicca, dukkha dan anattā. Jika terlalu sakit untuk
melakukan ānāpānasati, bermeditasilah sesuatu objek
yang sebelumnya telah kita kembangkan untuk membuat
pikiran menjadi bahagia, yaitu mettā, buddhānussati.
Lalu, kembalikah kepada napas. Pergunakan seluruh
waktu meditasi untu memerangi kotoran batin tertentu
yang muncul.

Belajar: bacalah berbagai sutta dan pilihlah bagian


yang paling penting untuk praktik. Tidak berguna
sekedar membaca dan membaca sebab kita cenderung
lupa. Kelompokkan bagian yang berguna di bawah
suatu judul. Belajar dan menghafal adalah sarana yang
berguna hanya pada waktu-waktu tertentu. Praktik

91
adalah yang paling penting. Belajar dapat menjadi hanya
piyarūpaṃ sātarūpaṃ yang baru, suatu kondisi untuk
kemelekatan. Memikirkan atau khawatir akan kata-
kata dapat menjerumuskan pada arah yang salah, kita
mungkin menjadi cendikiawan. Berharap mendapatkan
‘ide yang benar’ kita melenceng dari ‘tanda’. Berharap
mendapatkan ‘tanda’, kita melenceng dari ‘ide yang
benar’. Menghafalkan sangat berguna untuk memerangi
thīnamiddha (suatu bahaya yang luar biasa ketika
kita hidup sendirian). Merenungkan Dhamma akan
menyadarkan pikiran.

Sīla adalah dasar dan harus dilaksanakan dengan


sempurna. Jika kadang kala terjadi pelanggaran
Pātimokkha yang ringan, pelanggaran tersebut dapat
dibenahi. Pātimokkha hanya berhubungan dengan
ucapan dan badan jasmani, tetapi sepuluh kammapatha
hendaknya dilaksana dengan baik. Pikiran adalah yang
paling penting untuk dijaga, sebab ucapan dan perbuatan
kita bersumber pada pikiran.

Jangan biarkan vinaya menjadi momok. Perbedaan


dalam praktik tidak begitu penting. Jika praktik
terpengaruh dan kita kokoh dalam praktik, itu sudah
cukup.

Cārika: cukup sulit ketika masih muda keluar sendirian.


Saya tidak akan menasihatkan cārika sama sekali sebab
kita bertemu banyak hal, kita dihadapkan secara terus

92
menerus dengan objek indra. Sebelum keluar, kita harus
kokoh dalam asubhasaññā dan aniccasaññā. Dalam
cārika, kita harus merenungkan dengan baik apakah pikiran
berkembang dengan baik atau apakah pikiran terpengaruh
oleh berbagi objek. Jika demikian, kita harus kembali ke
tempat yang sunyi. Praktik satipaṭṭhāna kita harus kuat
sepanjang hari. Di tempat yang tenang, mungkin, kita
merasa bahwa beberapa ringtangan telah dilenyapkan,
tetapi dalam cārika rintangan yang baru dapat muncul.
Setelah melihat masalah kita sendiri, kemudian kita
hendaknya mencoba untuk mengatasinya. Ketika dalam
cārika, kita hendaknya memberitahukan dari mana kita
dan siapa guru kita dan sebagainya, ketika kita sampai di
vihara lain. Bernamaskaralah walaupun kepada bhikkhu
yang jelek karena kita saat itu bernamaskara kepada
Saṅgha. Jika kita belum mendapatkan nissayavimutti,
kita harus tinggal dekat dengan guru.

Makanan: jangan terlalu memikirkan makanan


atau tubuh. Tubuh bukan milik kita, mengapa harus
melekat? Jangan membuat perjanjian dengan para
dāyaka dan sebagainya. Belajarlah menghindari hal ini
sejak awal. Hindari dāna khusus. Kembangkanlah rasa
ketidakmelekatan. Makanlah dengan penuh perhatian
dengan merenungkan tujuan yang sebenarnya untuk
apa makan. Jangan biarkan kotoran batin tumbuh
berkembang. Jika dalam piṇḍapāta kita mendapatkan
banyak, sedikit, atau tidak sama sekali, kembangkanlah

93
rasa ketidakmelekatan dalam cara yang sama. Berkahilah
rumah-rumah itu meskipun saat kita tidak mendapatkan
apa pun. Kita seharusnya tidak menunggu terlalu lama
dan hanya sebentar saja di depan warung atau toko untuk
melihat jika ada dana dadakan.

Pencapaian: jangan memberitahukan pencapain kita


meskipun pada diri kita sendiri. Hal itu dapat menghalangi
kemajuan dan memperkuat ‘asmimāna’. Waktulah yang
akan mengatakan apakah kita telah mencapai ini atau itu.
Ingatlah perumpamaan gagang kapak. [Kita tidak bisa
melihat surutnya gagang kapak hari demi hari, hanya
setelah sekian lama karena selalu dipergunakan. Demikian
pula, kita tidak dapat melihat surut atau melemahnya
kotoran batin setiap harinya, hanya setelah sekian lama
karena selalu tekun dalam praktik.]

94
Daftar Kosakata Pāli

Anattā—tanpa aku
Anicca—ketidakkekalan
Aniccasaññā—persepsi ketidakkekalan
Anusaya—tendensi laten
Araññā—vihara hutan
Asmimāna—kesombongan tentang ‘keakuan’
Asubha—sifat tubuh yang tidak menarik
Asubhasaññā—persepsi tentang sifat tubuh yang tidak
menarik
Ānapānasati—kesadaran pada napas
Bhante—Yang Mulia, ungkapan rasa hormat
Bhāvanā—meditasi, pengembangan mental
Bhikkhu—petapa Buddhis
Buddha—orang yang sepernuhnya tercerahkan
Buddhānussati—perenungan akan kebajikan-kebajikan
Sang Buddha
Cārika—mengembara
Dāna—makanan, persembahan
Dāyaka—penyokong
Dhamma—ajaran, segala sesuatu sebagaimana adanya
Dhammasaññā—persepsi tentang segala sesuatu
sebagaimana adanya
Dhammapada—Kumpulan syair-syair Sang Buddha
Dukkha—penderitaan
Gātha—syair
Indriyasaṃvara—pengendalian indra
Jhāna—konsentrasi absorpsi
Kalyāṇamitta—teman spiritual
Kamma—perbuatan, tingkah laku
Kammapatha—latihan prilaku bermoral: menghindari
pembunuhan, pencurian, perbuatan asusila, berbohong,
menfitnah, ucapan kasar, gossip, iri hati, niat jahat dan
pandangan salah
95
Kammaṭṭhāna—objek meditasi
Kāmaloka—alam nafsu keinginan
Kāmārammaṇa—objek nafsu keinginan
Kāmasukha—kenikmatan nasfu seksual
Kuṭi—gubuk atau tempat tinggal para bhikkhu
Loka—dunia, alam
Mahāthera—bhikkhu yang telah diupasampada selama
20 tahun atau lebih
Maraṇassati—perenungan terhadap kematian
Mettā—kasih sayang
Nekkhamma—pelepasan
Nibbidā—ketidakmelekatan, rasa tidak tertarik
Nimitta—tanda
Nissayavimutti—bebas dari ketergantungan
Ñāṇavimala—kebijaksanaan yang tak ternoda
Nīvaraṇa—rintangan dalam bermeditasi
Pātimokkha—aturan kehidupan monastik
Paṭisotaṃ—melawan arus
Mātugāmo—wanita
Pāli—bahasa Kitab Suci agama Buddha prasektarian
Piṇḍapāta—berkeliling mendapatkan dāna makanan
Piyarūpaṃ sātarūpaṃ—bentuk yang menyenangkan dan
disayangi
Puññākkhettaṃ—ladang kebajikan
Rāga—nasfsu indriawi
Rāgānusaya—tendensi laten akan nafsu indriawi
Caṅkamana/Sakmana (Sinhala)—meditasi jalan
Samādhi—konsentrasi
Saṅgha—komunitas para bhikkhu
Saññā—persepsi
Satipaṭṭhāna—pengembangan perhatian
Senāsana—tempat tinggal
Sīla—moralitas
Sukha—kebahagiaan
Suññatā—kekosongan
Sutta—khotbah
96
Thīnamiddha—kemalasan dan tidak mempunyai
semangat
Uddhacca—kegelisahan batin
Vandanā—hormat, memberikan hormat, namaskara
Vassa—retret selama musim hujan
Vinaya—peraturan kehidupan monastik
Visuddhimagga—Jalan Kesucian
Viveka—ketenangan, kesunyian.

97

Anda mungkin juga menyukai