Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

“Emosional,Spiritual and Adversity Quotien”

OLEH :

KELOMPOK 1

FIRA FARIZKA (18031061)

MIFTAHUL JANNAH (18031069)

DIAH RAHMAH SUCI (18031100)

NIFHA ELFINA NOVIANTY (18031074)

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2019
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam
semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang
kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
baik itu berupa sehar fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah mata kuliah Belajar dan Pembelajaran dengan judul
“Emosional,Spiritual and Adversity Quotien”

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada
makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada dosen belajar
dan pembelajaran kami Ibu Dra.Heffi Alberida,M.Si. yang telah membimbing kami dalam
menulis makalah ini.Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Padang,30 April 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
B. TUJUAN PENULISAN
C. RUMUSAN MASALAH

BAB II : PEMBAHASAN

A. DEFINISI EMOSIONAL,SPIRITUAL and ADVERSITY QUOTIENT.


B. PENERAPAN EMOSIONAL,SPIRITUAL and ADVERSITY QUOTIENT
PADA PEMBELAJARAN BIOLOGI.

BAB III : PENUTUP

Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan berkontribusi besar dalam proses pengembangan potensi seseorang dari
aspek fisik, emosional, spiritual, intelektual, dan sosial.Lebih dari pada itu,
pendidikan sangat berguna bagi seseorang menghadapi era globalisasi yang utuh
dengan kompetisinya.Selain itu, era ini menuntut manusia untuk optimal sehingga
mampu memperoleh pekerjaan.Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(IPTEK), tentunya menjadi tantangan bagi manusia. Karena itu, menjadi keharusan
dalam dunia pendidikan untuk mengedepankan ketrampilan. Dengan demikian dapat
menghasilkan output yang kompeten, inovatif, tangguh, kompetitif dan mampu
menjadi Bunglon dalam berbagai situasi dalam suatu lembaga dan pekerjaannya
Untuk mencapai output yang maksimal, tentunya memerlukan lulusan-lulusan yang
memiliki karakter tangguh terhadap tantangan yang dihadapinya. Kecerdasan
kemampuan atau Adversity Quotient (AQ) telah disarankan penerapannya dalam
dunia pendidikan, ini dikarenakan peserta didik lebih tangguh terhadap tantangan.

B. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi dari emosional,spiritual and adversity quotient.
2. Untuk mengetahui penerapan emosional,spiritual and adversity quotient dalam
pembelajaran biologi.
C. Rumus Masalah
1. Apakah pengertian dari emosional, spiritual and adversity quotient ?
2. Bagaimana perpaduan antara emosional, spiritual and adversity quotient ?
3. Bagaimana aplikasi antara emosional, spiritual and adversity quotient ?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Emosional,spiritual and adversity quotient.


1. Kecerdasan Emosional (EQ)

Kecerdasan emosional (EQ) merupakan kemampuan seseorang bersikap dan


bertindaksecara bijak.kecerdasan emosional mencakup kemampuan memahami diri
sendiri (intra personal) dan orang lain (interpersonal).
Steiner (1997) menjelaskan pengertian kecerdasan emosional adalah suatu
kemampuan yang dapat mengerti emosi diri sendiri dan orang lain, serta mengetahui
bagaimana emosi diri sendiri terekspresikan untuk meningkatkan maksimal etis
sebagai kekuatan pribadi.Senada dengan definisi tersebut, Mayer dan Solovey
(Goleman, 1999; Davies, Stankov, dan Roberts, 1998) mengungkapkan kecerdasan
emosi sebagai kemampuan untuk memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan
orang lain, dan menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memadu pikiran dan
tindakan. Berbedadengan pendapat sebelumnya, Patton (1998) mengemukakan
kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk mengetahui emosi secara efektif guna
mencapai tujuan, dan membangun hubungan yang produktif dan dapat meraih
keberhasilan.
Sementara itu Bar-On (2000) menyebutkan bahwa kecerdasan emosi adalah
suatu rangkaian emosi, pengetahuan emosi dan kemampuan-kemampuan yang
mempengaruhi kemampuan keseluruhan individu untuk mengatasi masalah tuntutan
lingkungan secara efektif.
Dari beberapa pengertian tersebut ada kecenderungan arti bahwa kecerdasan
emosional adalah kemampuan mengenali perasaan sendiri dan perasaan orang
lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, kemampuan mengolah emosi dengan baik
pada diri sendiri dan orang lain.
Diantara seseorang yang memeiliki kecerdasan emosional adalah : (1) bisa
tampil dengan bijak dalam semua situasi,(2) mudah bergaul dan mudah membuat
orang simpatik,(3) mengambil keputusan dengan tenang dan bijak,(4) tidak rela
mengganggu,menyakiti,merusak dan mengeksploitasi orang lain atau kepentingan
umum.Faktor-faktor yang berhubungan dengan EQ ini adalah : (1) kesadaran diri,(2)
pengaturan diri,(3) motivasi diri,(4) empathy dan (5) sosial.

2. Kecerdasan Spiritual (SQ)


Kecerdasan spiritual (SQ) merupakan kemampuan seseorang untuk
menjadikan seluruh aktifitas hidupnya sebagai ibadah.Ciri terpeting dari SQ ini
melandaskan perbuatan atas kebenaran dan ke ikhlasan.Orang yang cerdas secara
spiritual akan bekerja optimal,tanpa pengaruh orang-orang lain yang bekerja
bermalas-malasan atau tanpa pengaruh cercaan atau pujian orang lain.
Kecerdasan Spiritual (Spiritual Quotient disingkat SQ) adalah kecerdasan
untuk memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan
perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk
menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding dengan
yang lain (Zohar, 2001).
SQ adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan Intellegent Quotient
(IQ) dan Emotional Quotient (EQ) secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan
tertinggi kita, karena SQ merupakan landasan dan sumber dari kecerdasan yang lain.
Ciri-ciri dari kecerdasan spiritual yang telah berkembang dalam diri seseorang
adalah sebagai berikut  (Zohar, 2001):

a. Kemampuan bersifat fleksibel

b. Tingkat kesadaran diri yang tinggi

c. Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan

d. Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit

e. Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai

f. Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu

g. Kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal

h. Kecenderungan nyata untuk bertanya “mengapa” atau “bagaimana” jika


untuk mencari jawaban-jawaban yang mendasar.

i. Menjadi apa yang disebut oleh para psikolog sebagai bidang mandiri, yaitu
memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi.
Menurut  (Khavari, 2010),  ada  beberapa  aspek  yang menjadi dasar
kecerdasan spiritual, yaitu:

a. Sudut  pandang  spiritual-keagamaan,  artinya  semakin  harmonis  relasi


spiritual-keagamaan  kita  kehadirat Tuhan,  semakin  tinggi  pula tingkat
dan kualitas kecerdasan spiritual kita.

b. Sudut  pandang  relasi  sosial-keagamaan,  artinya  kecerdasan  spiritual


harus  direfleksikan  pada  sikap-sikap  sosial  yang  menekankan  segi
kebersamaan dan kesejahteraan sosial.

c. Sudut  pandang  etika  sosial.  Semakin  beradab  etika  sosial  manusia


semakin berkualitas kecerdasan spiritualnya.

3. Adversity Quotien

Adversity Quotient atau sering disingkat AQ merupakan istilah baru


kecerdasan manusia yang diperkenalkan oleh Paul G. Stoltz pada tahun 1997 dalam
bukunya berjudul Adversity Quotient : Turning Obstacle into Opportunities. Kata
adversity berasal dari bahasa Inggris yang bermakna kegagalan atau kemalangan. 

Dalam terminology, istilah AQ memiliki pemahaman sebagai kemampuan


seseorang dalam menghadapi perjuangan dan mengatasi kesulitan ataupun masalah
menjadi sebuah peluang demi pencapaian lebih besar. Stoltz (2000) mendefinisikan
pemahaman AQ sebagai kemampuan seseorang dalam mengamati dan mengolah
kesulitan dengan kecerdasan yang dimiliki menjadi tantangan yang perlu diselesaikan.
Dengan demikian AQ merupakan kecerdasan yang digunakan oleh seseorang agar
dapat bertahan dan mampu mengatasi hambatan/kesulitan yang di hadapi.

Berikut ini beberapa pengertian Adversity Quotient (AQ) dari beberapa


sumber buku referensi:

a. Menurut Leman (2007:115), adversity quotient secara ringkas, yaitu


sebagai kemampuan seseorang untuk menghadapi masalah. Beberapa
definisi di atas yang cukup beragam, terdapat fokus atau titik tekan, yaitu
kemampuan yang dimiliki seseorang, baik fisik ataupun psikis dalam
menghadapi problematika atau permasalahan yang sedang dialami.
b. Menurut Nashori (2007:47), adversity quotient merupakan kemampuan
seseorang dalam menggunakan kecerdasannya untuk mengarahkan,
mengubah cara berfikir dan tindakannya ketika menghadapi hambatan dan
kesulitan yang bisa menyengsarakan dirinya. 

c. Menurut Wangsadinata dan Suprayitno (2008), Adversity Quotient adalah


suatu kemampuan atau kecerdasan ketangguhan berupa seberapa baik
individu bertahan atas cobaan yang dialami dan seberapa baik kemampuan
individu dapat mengatasinya. 

Dalam perspektif pendidikan, AQ merupakan kemampuan yang diperlukan


demi perjuangan ketika peserta didik mengahadapi kesulitan dalam seluruh aspek
pembelajarannya. Dengan demikian aspek AQ menurut Phoolka dan Kaur (2012)
dapat digunakan untuk melakukan prediksi terhadap kemampuan dan ketekunan
seseorang serta dapat digunakan dalam meningkatkan efektivitas tim, hubungan,
keluarga, komunitas, budaya, masyarakat dan organisasi.

 Bentuk dan Tipe Adversity Quotient 

Stoltz membagi tiga tipe manusia yang diibaratkan sedang dalam


perjalanan mendaki gunung yaitu quitter, camper, dan climber. Adapun
penjelasan bentuk dan tipe Adversity Quotient adalah sebagai berikut (Stoltz,
2000:20):
a. Quitters (orang-orang yang berhenti)
Mereka adalah orang yang berhenti dari pendakian (dalam analogi
pendakian gunung sebagaimana tersebut diatas). Quitters bekerja sekadar
cukup, sedikit memperlihatkan ambisi, semangat yang minim, dan mutu di
bawah standar. Orang-orang jenis ini berhenti ditengah proses pendakian,
gampang putus asa, menyerah. 
b. Campers (orang-orang yang berkemah).
Mereka adalah orang yang cukup memiliki motivasi, sudah menunjukkan
upaya dan mencoba, namun tak cukup sungguh-sungguh mengejar cita-cita
sehingga sering kali memilih berhenti pada suatu titik karena merasa capai
atau bosan dengan tantangan yang dihadapi. 
c. Climbers (orang-orang pendaki).
Mereka adalah orang yang diramalkan dapat mencapai kesuksesan. Mereka
tak pernah menyerah pada kesulitan. Terus berjuang dalam mengejar cita-
cita, kreatif, memiliki motivasi yang tinggi, dan optimis. Climbers adalah
pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan, dan tidak pernah
membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisik atau mental, atau
hambatan lain menghalangi pendakiannya.
 Faktor Pembentuk Adversity Quotient 
Faktor-faktor pembentuk adversity quotient adalah sebagai berikut (Stoltz,
2000:92) :

a. Daya saing.
Adversity quotient yang rendah dikarenakan tidak adanya daya saing
ketika menghadapi kesulitan, sehingga kehilangan kemampuan untuk
menciptakan peluang dalam kesulitan yang dihadapi. 
b. Produktivitas.
Penelitian yang dilakukan di sejumlah perusahaan menunjukkan bahwa
terdapat korelasi positif antara kinerja karyawan dengan respon yang
diberikan terhadap kesulitan. Artinya respon konstruktif yang diberikan
seseorang terhadap kesulitan akan membantu meningkatkan kinerja lebih
baik, dan sebaliknya respon yang destruktif mempunyai kinerja yang
rendah. 
c. Motivasi.
Seseorang yang mempunyai motivasi yang kuat mampu menciptakan
peluang dalam kesulitan, artinya seseorang dengan motivasi yang kuat
akan berupaya menyelesaikan kesulitan dengan menggunakan segenap
kemampuan. 
d. Mengambil risiko.
Seseorang yang mempunyai adversity quotient tinggi lebih berani
mengambil risiko dari tindakan yang dilakukan. Hal itu dikarenakan
seseorang dengan adversity quotient tinggi merespon kesulitan secara lebih
konstruktif. 
e. Perbaikan.
Seseorang dengan adversity quotient yang tinggi senantiasa berupaya
mengatasi kesulitan dengan langkah konkret, yaitu dengan melakukan
perbaikan dalam berbagai aspek agar kesulitan tersebut tidak menjangkau
bidang-bidang yang lain. 
f. Ketekunan.
Seseorang yang merespon kesulitan dengan baik akan senantiasa bertahan. 
g. Belajar.
Seseorang yang merespon secara optimis akan banyak belajar dan lebih
berprestasi dibandingkan dengan seseorang yang memiliki pola pesimistis.
 Cara Menumbuhkan Adversity Quotient 

Menurut Stoltz, cara menumbuhkan dan mengembangkan Adversity


Quotient dapat dilakukan dengan istilah LEAD (Listened, Explored, Analized,
Do) yaitu :

a. Listened (dengar) 

Mendengarkan respon terhadap kesulitan merupakan langkah yang


penting dalam mengubah AQ individu. Individu berusaha menyadari dan
menemukan jika terjadi kesulitan, kemudian menanyakan pada diri sendiri
apakah itu respon AQ yang tinggi atau rendah.

b. Explored (gali) 

Pada tahap ini, individu didorong untuk menjajaki asal-usul atau


mencari penyebab dari masalah. Setelah itu menemukan mana yang
merupakan kesalahannya, lalu mengeksplorasi alternatif tindakan yang tepat.

c. Analized (analis) 

individu diharapkan mampu penganalisis bukti apa yang menyebabkan


individu tidak dapat mengendalikan masalah, bukti bahwa kesulitan itu harus
menjangkau wilayah lain dalam kehidupan, serta bukti mengapa kesulitan itu
harus berlangsung lebih lama dari semestinya. Fakta fakta ini perlu dianalisis
untuk menemukan beberapa faktor yang mendukung AQ individu.

d. Do (lakukan) 

Terakhir, individu diharapkan dapat mengambil tindakan nyata setelah


melewati tahapan-tahapan sebelumnya. Sebelumnya diharapkan individu
dapat mendapatkan informasi tambahan guna melakukan pengendalian situasi
yang sulit, kemudian membatasi jangkauan keberlangsungan masalah saat
kesulitan itu terjadi.
B. Perpaduan Emosional,spiritual,and adversity quotient
Hetzel dan Stranske (2007) mengatakan bahwa harusnya aspek pedagogi
dalam pendidikan yang baik adalah tentang mengidentifikasi dan memaksimalkan
potensi kognitif dari peserta didik (IQ), memperkuat manajemen emosi dan
kemampuan interpersonal (EQ), ketekunan berkembang (AQ) dan akhirnya
membantu mengembangkan kehidupan spiritual (SQ). Dengan demikikian,
pemberdayaan sangat diperlukan sehingga memberikan kontribusi dalam
pendidikan untuk menghasilkan tenaga terampil dan tangguh dalam dunia kerja.
Perlu diingat bahwa perpaduan AQ dengan IQ, EQ dan SQ bukan saja
berguna bagi pendidikan namun bagi semua orang. Sebagai contoh, semakin tinggi
seseorang dalam karirnya
C. Penerapan Emotional,Spiritual,and Adversity Quotient Pada Pembelajaran Biologi.
1. Dalam penerapan EQ di dunia pendidikan maka seorang pendidik harus lebih
banyak memotivasi, menasehati dan mengajarkan kepada siswanya agar selalu
bersemangat, menahan emosi agar menjadi seorang yang berjiwa sosial yang
baik.
2. Penerapan Spiritual Quotient dalam belajar yaitu seringnya melatih siswa
dengan kegiatan keagamaan dan menambahkan pemahaman keagamaan pada
mereka, maka kecerdasan spiritual mereka akan terbangun dan dengan
sendirinya siswa tersebut memiliki hati yang bersih dan jujur.Contoh nya
adalah dalam pembelajaran ilmu Biologi kita sebagai guru dapat mengaitkan
teori-teori yang ada pada ilmu Biologi dengan Sang Pencipta sebagaimana
diketahui bahwa Biologi ini ilmu yang membahas tentang makhluk hidup dan
makhluk hidup diciptakan oleh Allas swt.
3. Penerapan Adversity Quotient dalam belajar yaitu membantu siswa untuk tidak
mudah menyerah dan tidak putus asa terhadap masalah-masalah dalam belajar
nya.contoh nya dalam pembelajaran biologi mahasiswa dituntut untuk
mengerjakan laporan praktikum dan mencari bahan yang akan di
praktikumkan,hal tersebut haruslah dilakukan karena itu adalah sebuah
tantangan atau masalah yang harus diselesaikan agar mendapatkan nilai yang
maksimal.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Definisi Emotional,Spiritual and Adversity Quotient.


a. Pengertian Emotional Quotient adalah kemampuan mengenali perasaan
sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri,
kemampuan mengolah emosi dengan baik pada diri sendiri dan orang
lain.
b. Pengertian Spiritual Quotient adalah kemampuan seseorang untuk
menjadikan seluruh aktifitas hidupnya sebagai ibadah.
c. Penertian Adversity Quotient adalah kemampuan seseorang dalam
mengamati dan mengolah kesulitan dengan kecerdasan yang dimiliki
menjadi tantangan yang perlu diselesaikan.
2. Penerapan Emotional,Spiritual and Adversity Quotient dalam pembelajaran
Biologi haruslah ada dalam kegiatan pembelajaran,bukan hanya,EQ saja,SQ
saja atau AQ saja namun ketiga komponen kecerdasan itu haruslah di asah atau
dikolaborasikan dalam kegiatan pembelajaran,khususnya dalam pembelajaran
Biologi.
DAFTAR PUSTAKA

Lufri.2007.Strategi Pembelajaran Biologi Teori,Praktik,dan Penelitian.Padang : UNP Press.

https://www.kajianpustaka.com/2014/01/kecerdasan-spiritual.html

https://belajarpsikologi.com/pengertian-kecerdasan-emosional-eq/

https://www.kajianpustaka.com/2017/09/adversity-quotient-aq.html

http://jafarsidikmakulau.blogspot.com/2014/01/penerapan-iq-eq-dan-sq-dalam-dunia.html

Anda mungkin juga menyukai