Tema : Hipertensi
Hubungan Antara Kecemasan Dengan Kualitas Tidur Pada Penderita Hipertensi
Disusun Oleh :
Nama : Uswatun Khoirun Nisa
Nim : 40901800099
A. Latar Belakang
Hipertensi adalah keadaan diaman tekanan darah seseorang mengalamai
peningkatan yang akan memberikan gejala lanjut pada organ tubuh. Hipertensi juga
dapat menimbulkan kerusakan yang berat seperti, stroke ( terjadi pada otak dan
menyebabkan kematian yang tinggi ), penyakit jantung coroner ( terjadi kerusakan
pembuluh darah jantung ), dan hipertofi ventrikel kiri ( terjadi pada otot jantung ).
Hipertensi juga dappat menyebabkan penyakit yang lain seperti, penyakit gagal ginjal,
penyakit pembuluh dan penyakit – penyakit yang lain. ( Syahrini et al., 2012 ).
Hipertensi dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu hipetensi primer ( esensial ) tidak
diketahui penyebabnya, sedangkan hipertensi sekunder penyebabnya seperti, penyakit
renal atau penyakit yang lain. ( Kowalak,2011; Nurarif, 2015 ).
Kejadian hipertensi di seluruh dunia mencapai lebih dari 1,3 milyar orang,
yang mana angka tersebut menggambarkan 31% jumlah penduduk dewasa di dunia
yang mengalami peningkatan sebesar 5,1% lebih besar dibanding prevalensi global
pada tahun 2000-2010 ( Bloch, 2016 ). Pada rentang tahun yang sama, kejadian
hipertensi ini lebih tinggi terjadi pada penduduk di negara berkembang dibandingkan
negara maju bahkan nyaris sebanyak 75% penderita dengan hipertensi tinggal di
negara berkembang (Mills, 2016) dan terjadi peningkatan sebanyak 8,1%. Sementara
menurut hasil Riskesdas 2013 kejadian hipertensi di Indonesia berada dalam peringkat
ke 6 dari 10 kategori penyakit tidak menular kronis. Prevalensi kejadian hipertensi di
Indonesia yang didapatkan dari hasil pengukuran tekanan darah pada penduduk
berusia ≥18 tahun mengalami penurunan dari 31,7% pada tahun 2007 menjadi 25,8%
(Kemenkes RI, 2013). Profil kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2016
menyebutkan kasus tertinggi penyakit tidak menular (PTM) adalah kelompok
penyakit Hipertensi yang menempati proporsi terbesar dari seluruh PTM yang
dilaporkan, yaitu sebesar 60%, sedangkan urutan kedua terbanyak adalah Diabetes
Mellitus sebesar 16,42 %. Dua penyakit tersebut menjadi prioritas utama
pengendalian PTM di Jawa Tengah. Pengendalian PTM dapat dilakukan dengan
intervensi yang tepat pada setiap sasaran atau kelompok populasi tertentu sehingga
peningkatan kasus baru PTM dapat ditekan (Dinas Kesehatan Provinsi Jateng, 2016).
Ada beberapa faktor yang menimbulkan hipertensi yaitu faktor yang dapat
dikendalikan dan faktor yang tidak dapat dikendalikan. Faktor yang tidak dapat
dikendalikan adalah faaktor keturunan dan usia yang lanjut. Sedangkan factor yang
dapat dikendalikan adalah obesitas, kebiasaan merokok, asupan natrium, lemak jenuh,
kafein dan alkohol dalam jumlah yang besar, kurang olahraga dan gaya hidup yang
tidak baik (Kowalak, 2011; Irianto, 2015). Orang yang memiliki penyakit hipertensi
kemungkinna akan akan mengalami cemas akibat penyakit hipertensi yang
dialaminya dan biasanya memerlukan pengobatan yang lama, komplikasi hipertensi
yang menyebabkan kematian dan memperpendek usia (Laksita, 2016). Menurut
Suaryanto (2015), bahwa pasien yang mempunyai penyakit hipertensi dapat
mengalami kecemasan yang tinggi.
Kecemasan adalah Bahasa sehari – hari yang digunakan untuk
menggambarakan tentang keadaan seseorang yang khawatir, rasa takut, gelisah dan
tidak tentram terkadang juga disertai dengan berbagai keluan fisik (Gunannrsa, 2014;
Hidayat, 2011; Pieter, 2011). Orang yang mengalami masalah psikologis kecemasan
biasanya sulit untuk tidur (Wahyudi, 2016; Widianti, 2010).
Tidur atau istirahat adalah keadaa dimana terjadi perubahan kesadaran ketika
persepsi dan reaksi individu terhdap menurunnya lingkungan, aktifitas fisik yang
minimal, level kesadaran yang bervariasi dan perubahan fisiologis tubuh. Tidur adalah
kebutuhan dasar yang harus dipenuhi karena dapat membuat perasaan tenang secara
fisik maupun mental, dan dapat meningkatkan kemampuan serta konsentrasi saat
melakukan aktivitas sehari – hari (Wahyudi, 2016; Widianti, 2010).
Tidur juga berfungsi untuk dapat menekan tekanan darah dengan mengurangi
sekresi katekolamin, katekolamin itu sendiri berfungsi untuk meningkatkan denyut
kerja jatung dan dapat menyebabkan vasokontriksi yang dapat meningkatkan tekanan
darah (Ardiyansyah, 2012; Liu, 2016).
B. Rumusan Masalah
Berdasarakan latar belakang diatas didapakan rumusan masalah Hubungan Antara
Kecemasan Dengan Kualitas Tidur Pada Penderita Hipertensi.
C. Tujuan Penulisan
a. Tujuan Umum
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui Hubungan Antara Kecemasan
Dengan Kualitas Tidur Pada Penderita Hipertensi.
b. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui tingkat kecemasan pada penderita hipetensi
2. Untuk mengetahui kualitas tidur pada penderita hipertensi
3. Utuk mengetahui hubungan anatara kecemasan dengan kualitas tidur pada
penderita hipertensi
D. Manfaat Penulisan
1. Untuk pengetahuan dan pengalaman mengenai kecemasan dengan kualitas tidur
pada penderita hipertensi.
2. Untuk informasi masyarakat tentang kecemasan dengan kualitas tidur pada
penderita hipertensi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
a) Kecemasan Pada Pasien Penderita Hipertensi
1. Pengertian Kecemasan
Kecemasan adalah suatu kejadian yang mudah terjadi pada seseorang
karena suatu faktor tertentu tidak spesifik (Sari & Batubara, 2017).
Anxietas/kecemasan adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir
yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Kecemasan
merupakan respon yang tepat terhadap ancaman, tetapi kecemasan dapat
menjadi abnormal apabila tingkatannya tidak sesuai dengan porsi ancamannya
ataupun datang tanpa adanya sebab tertentu (Nevid, Rathus, & Greene, 2006).
Syamsu Yusuf menyatakan anxiety (cemas) yaitu ketidakmampuan
neurotic, merasa terganggu, tidak matang dan ketidakberdayaan dalam
menghadapi kenyataan yang ada (lingkungan), kesulitan dan tekanan
kehidupan sehari-hari. Sependapat dengan pernyataan tersebut, Kartini
Kartono menjelaskan bahwa kecemasan adalah suatu bentuk ketakutan dan
kerisauan dengan hal-hal tertentu tanpa kejelasan yang pasti. Dikuatkan oleh
Sarlito Wirawan bahwa kecemasan merupakan ketakutan yang tidak jelas pada
suatu objek dan tidak memiliki suatu alasan tertentu (Annisa & Ifdil, 2016).
2. Klasifikasi Kecemasan
Gail W. Stuart (dalam Annisa & Ifdil, 2016) membagi kecemasan (anxiety)
dalam respon perilaku, kognitif, dan afektif, diantaranya.
a. Perilaku, berupa gelisah, tremor, berbicara cepat, kurang koordinasi,
menghindar, lari dari masalah, waspada, ketegangan fisik, dll.
b. Kognitif, berupa konsentrasi terganggu, kurang perhatian, mudah lupa,
kreativitas menurun, produktivitas menurun, bingung, sangat waspada,
takut kehilangan kendali, mengalami mumpi buruk, dll.
c. Afektif, berupa tidak sabar, tegang, gelisah, tidak nyaman, gugup,
waspada, ketakutan, waspada, kekhawatiran, mati rasa, merassa bersalah,
malu, dll.
3. Aspek Kecemasan
Greenberger dan Padesky (dalam Fenn & Byrne, 2013) menjabarkan bahwa
ada empat aspek kecemasan yaitu:
a. Physical symptoms atau reaksi fisik yang terjadi pada orang yang cemas,
seperti telapak tangan yang berkeringat, otot tegang, jantung berdebar,
sulit bernafas, pusing ketika individu menghadapi kecemasan.
b. Thought, yaitu pemikiran negatif dan irasional individu berupa perasaan
tidak mampu, tidak siap, dan merasa tidak memiliki keahlian, seperti tidak
siap dalam menghadapi wawancara kerja, tidak yakin dengan
kemampuannya sendiri. Pemikiran ini cenderung akan menetap pada
individu, jika individu tidak merubah pemikiran menjadi sesuatu yang
lebih positif.
c. Behavior, individu dengan kecemasan akan cenderung menghindari situasi
penyebab kecemasan tersebut dikarenakan individu merasa dirinya
terganggu dan tidak nyaman seperti keringat dingin, mual, sakit kepala,
leher kaku, dan juga gangguan tidur saat memikirkan dunia kerja kelak.
Perilaku yang muncul seperti kesulitan tidur saat memikirkan pekerjaan.
d. Feelings, yaitu susana hati individu dengan kecemasan cenderung meliputi
perasaan marah, panik, gugup yang dapat memunculkan kesulitan untuk
memutuskan sesuatu seperti perasaan gugup saat ada perbincangan dunia
kerja.
4. Jenis Kecemasan
Kecemasan dibagi menjadi beberapa jenis. Menurut Spilberger (dalam
Triantoro Safaria & Nofrans Eka Saputra, 2012) menjelaskan kecemasan
dalam dua bentuk, yaitu:
a. Trait anxiety
Setiap individu mempunyai intensitas rasa cemas tersendiri. Trait anxiety
adalah suatu respon terhadap situasi yang mempengaruhi tingkat
kecemasannya. Individu yang memiliki trait anxiety tinggi, maka ia akan
lebih cemas dibandingkan dengan individu yang trait anxietynya rendah.
b. State anxiety
Kondisi emosional setiap dalam merespon suatu peristiwa berbeda. State
anxiety adalah respon individu terhadap suatu situasi yang secara sadar
menimbulkan efek tegang dan khawatir yang bersifat subjektif.
2. Tahapan Tidur
Tidur terbagi dalam dua fase, yaitu nonrepid eye movement ( NREM ) dan
repid eye movement ( REM ). Tidur dimulai dari status NREM yang tebagi
dalam 4 tahap. Kualitas tidur dari tahap 1 sampai tahap 4 bertambah lebih
dalam (Potter & Perry, 2005).
a. Tahap 1 NREM merupakan periode transisi menuju saatnya tidur, saat
individu dapat dengan mudah terbangun (Maas, 2011). Pada tahap ini
terjadi pengurangan aktivitas fisiologis, seperti pengurangan tanda – tanda
vital dan metabolisme (Saryono & Widianti, 2010).
b. Tahap 2 NREM dianggap sebagai periode tidur ringan dengan fase
relaksasi yang sangat besar (Maas, 2011). Tahap ini disebut sebagai tahap
tidur bersuara, tahap ini berakhir 10 – 20 menit. Fungsi tubuh dalam tahap
ini menjadi lambat (Saryono & Widianti, 2010).
c. Tahap 3 NREM merupakan fase pertama tidur dalam, otot – otot menjadi
rileks sehingga sulit dibangunkan. Tanda – tanda vital mnurun namun
tetap teratur. Tahap ini berakhir dalam 15 – 30 menit.
d. Tahap 4 NREM merupakan periode tidur paling dalam. Tahap ini
merupakan tahap terbesar terjadinya pemulihan, tanda – tanda vital
menurun secara bermakna. Pada tahap ini terjadi tidur sambal berjalan dan
enuresis. Tahap 3 dan 4 NERM seringkali disebut sebagai “tidur
gelombang lambat” karena pada fase ini gelombang lambat ditunjukkan
dalam aktivitas elektroenselografi (EEG) ( Saryono & Widianti; Maas,
2011).
Keempat tahap dari fase tidur NREM diikuti oleh fase tidur REM.
Tingkat terdalam relaksasi tubuh terjadi selama fase tidur REM, tetapi
aktivitas EEG serupa dengan pola yang terlihat selama terjaga. Selama
fase tidur REM, frekuensi pernapasan, denyut jantung, dan tekanan darah
menjadi sangat bervariasi, tidak teratur, dan meningkat secara berkala
(Maas, 2011). Sekresi lambung juga mengalami peningkatan. Pada tahap
ini, individu akan mengalami mimpi. Tahap ini berakhir dalam 90 menit
(Saryono & Widianti, 2010).
3. Gangguan Tidur
Menurut (Maas, 2011) gangguan tidur dibagi menjadi 3 yaitu :
a. Insomnia
Insomnia adalah ketidakmampuan untuk tidur walaupun ada keinginan
untuk melakukannya.
b. Hipersomnia
Hipersomnia dicirikan dengan tidur lebih dari 8 atau 9 jam perperiode 24
jam, dengan keluhan tidur yang berlebihan.
c. Apnea tidur
Apnea tidur adalah berhentinya pernapasan selama tidur. Gangguan ini
diidentifikasi dengan adanya tanda gejala, yaitu mendengkur, berhentinya
pernapasan minimal 10 detik, dan rasa ngantuk disiang hari yang luar
biasa.
e. Gaya hidup
Kelelahan yang dirasakan seseorang dapat pula memengaruhi kualitas
tidur seseorang. Kelelahan tingkat menengah orang dapat tidur dengan
nyenyak. Sedangkan pada kelelahan yang berlebih akan menyebabkan
periode tidur REM lebih pendek (Asmadi. 2008).
f. Obat – obatan
Obat – obatan yang dikonsumsi seseorang ada yang berefek menyebabkan
tidur, adapula yang sebaliknya mengganggu tidur (Asmadi. 2008).
c) Hipertensi
1. Pengertian Hipertensi
Hipertensi atau yang biasa disebut tekanan darah tinggi merupakan
peningkatan tekanan darah sistolik di atas batas normal yaitu lebih dari 140
mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg (WHO, 2013; Ferri,
2017).
Penyakit hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah salah satu jenis
penyakit yang mematikan di dunia dan faktor risiko paling utama terjadinya
hipertensi yaitu faktor usia sehingga tidak heran penyakit hipertensi sering
dijumpai pada usia senja/ usia lanjut (Fauzi, 2014), sedangkan menurut Setiati
(2015), hipertensi merupakan tanda klinis ketidakseimbangan hemodinamik
suatu sistem kardiovaskular, di mana penyebab terjadinya disebabkan oleh
beberapa faktor/ multi faktor sehingga tidak bisa terdiagnosis dengan hanya
satu faktor tunggal (Setiati, 2015).
2. Etologi Hipertensi
Menurut Smeltzer (2013), berdasarkan penyebab terjadinya, hipertensi
terbagi atas dua bagian, yaitu :
a. Hipertensi Primer (Esensial)
Jenis hipertensi primer sering terjadi pada populasi dewasa antara 90% -
95%. Hipertensi primer, tidak memiliki penyebab klinis yang dapat
diidentifikasi, dan juga kemungkinan kondisi ini bersifat multifaktor
(Smeltzer, 2013; Lewis, Dirksen, Heitkemper, & Bucher, 2014).
Hipertensi primer tidak bisa disembuhkan, akan tetapi bisa dikontrol
dengan terapi yang tepat. Dalam hal ini, faktor genetik mungkin berperan
penting untuk pengembangan hipertensi primer dan bentuk tekanan darah
tinggi yang cenderung berkembang secara bertahap selama bertahun-tahun
(Bell, Twiggs, & Olin, 2015).
b. Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder memiliki ciri dengan peningkatan tekanan darah dan
disertai penyebab yang spesifik, seperti penyempitan arteri renalis,
kehamilan, medikasi tertentu, dan penyebab lainnya. Hipertensi sekunder
juga bisa bersifat menjadi akut, yang menandakan bahwa adanya
perubahan pada curah jantung (Ignatavicius, Workman, & Rebar, 2017).
3. Klasifikasi
Klasifikasi Hipertensi dibagi menjadi 4 kategori dimana ada normal,
prehipertensi, hipertensi stadium 1 dan hipertensi stadium 2. Hipertensi ringan
atau sedang umumnya tidak menimbulkan gejala yang terlihat apabila tekanan
darah tinggi dirasakan semakin berat atau suatu keadaan yang krisis dari
tekanan darah itu sendiri.
Klasifikasi Hipertensi Pada Orang Dewasa
5. Komplikasi Hipertensi
Komplikasi hipertensi berdasarkan target organ, antara lain sebagai berikut
(Irwan, 2016):
a. Serebrovaskuler: stroke, transient ischemic attacks, demensia vaskuler,
ensefalopati.
b. Mata : retinopati hipertensif
c. Kardiovaskuler : penyakit jantung hipertensif, disfungsi atau hipertrofi
ventrikel kiri, penyakit jantung koroner, disfungsi baik sistolik maupun
diastolik dan berakhir pada gagal jantung (heart failure).
d. Ginjal : nefropati hipertensif, albuminuria, penyakit ginjal kronis. e. Arteri
perifer : klaudikasio intermiten.
B. Kerangka Teori
1. Klasifikasi Kecemasan
Perilaku Kualitas Tidur
Kognitif
Afektif
2. Aspek Kecemasan
Physical symptoms
Thought
Behavoir
Feelings
Tidak menunjukkan
kekurangan tidur dan
tidak mengalami
masalah tidur
Kecemasan
1. Jenis Kecemasan
Trait anxiety
State anxiety
2. Faktor Yang Mempengaruhi
Kecemasan
Pengalaman negative
pada masa lalu
C. Hipotesis
Berdasarakan kerangka teori diatas dapat dirumuskan suatu hipotesis penelitian ini
yaitu :
H(a) : adanya hubungan antara kecemasan dengan kualitas tidur pada penderita
hipertensi.
H(0) : tidak adanya hubungan antara kecemasan dengan kualitas tidur pada penderita
hipertensi.
BAB III
METODOLOGI
D. Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan definisi berdasarkan karakteristik yang diamati dari
sesuatu yang didefinisikan tersebut. Definisi operasioanal bermanfaat untuk
mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan terhadap variabelvariabel yang
diteliti serta untuk pengembangan instrumen. Definisi operasional yang tepat maka
ruang lingkup atau pengertian variabel-variabel yang diteliti menjadi terbatas dan
penelitian akan lebih fokus (Riyanto, 2011).
No Variabel Definisi Parameter Alat Ukur Skor
. Operasional
1. Ibu – ibu Ibu – ibu berusia Usia Akta / KTP Dalam
masyaraka 50-60 tahun pertengaha tahun
t sekitar yang aktif n (50-60)
dimasyarakat tahun
2. Hipertensi Keadaan dimana Ringan, Tensimeter -Naik
ibu – ibu sistolik dan -Turun
masyarakat (140-159 Stetoskop -Tetap
sekitar mmHg),
mengalami diastolik
peningkatan (90-99
tekanan darah mmHg)
diatas normal Sedang,
yaitu sistolik sistolik
140-160 mmHg (160-179
dan diastolik 90- mmHg),
110 mmHg diastolik
(100-109
mmHg)
Berat,
sistolik
(180-209
mmHg),
diastolik
(110-120
mmHg)
F. Pengumpulan Data
1. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat-alat yang digunakan untuk pengumpulan data,
instrumen ini berupa kuesioner (daftar pertanyaan), formulir observasi, ataupun
formulir-formulir lain yang berkaitan dengan pencatatan data (Notoatmodjo,
2010:152). Dalam penelitian ini, peneliti mengambil instrumen observasi.
Observasi adalah pengamatan secara langsung mengawasi perlakuan yang
diberikan pada responden (Notoatmodjo, 2010: 152). Alat ukur yang digunakan
dalam penelitian ini adalah lembar wawancara, lembar observasi pengukuran
tekanan darah, tensimeter jarum dan stetoskop untuk mengukur tekanan darah,
Standar Operasional Prosedur (SOP) pengukuran tekanan darah, Standar
Operasional Prosedur (SOP). Teknik observasi dilakukan untuk mengetahui
bagaimana perubahan tekanan darah yang terjadi. Teknik wawancara untuk
mendapatkan informasi objektif mengenai data umum atau data dasar riwayat
penyakit hipertensi.
G. Penyajian Data
Teknik pengolahan data yang digunakan pada studi kasus ini adalah teknik
non-statistik, yaitu pengolahan data tidak menggunakan analisis statistik, tetapi
dengan naratif dan teknik ini dapat dilakukan dengan pengambilan kesimpulan umum
dan dijelaskan berdasarkan hasil-hasil observasi khusus (Notoatmodjo, 2010:172).
Pengolahan data diambil dari hasil lembar observasi tekanan darah sebelum dan
sesudah dilaksanakan penelitian sehingga dapat ditarik kesimpulan adanya hubungan
antara kecemasan dengan kualitas tidur. Kesimpulan ini dilihat dari apakah ada
penurunan nilai tekanan darah setelah dilakukan penelitian. Data yang telah
terkumpul, dilakukan pengecekan ulang terhadap kelengkapan data dan hasil
pengukuran tekanan darah kemudian dideskripsikan.
Penyajian data penelitian merupakan cara penyajian dan penelitian dilakukan
melalui berbagai bentuk, (Notoatmodjo, 2010:188). Penelitian ini menggunakan
penyajian data dalam bentuk narasi yaitu penyajian data hasil penelitian dalam bentuk
uraian kalimat dan penyajian dalam bentuk wawancara kepada penderita hipertensi.
6. Resiko
Peneliti harus hati-hari mempertimbangkan resiko dan keuntungan yang berakibat
kepada subyek pada setiap tindakan.
7. Right to self determination
Subyek penelitian tidak boleh dipaksa untuk menjadi responden tanpa ada sanksi
apapun. Subyek harus diperlakukan secara manusiawi. Subyek mempunyai hak
memutuskan apakah mereka bersedia menjadi subyek ataupun tidak, tanpa adanya
sanksi apapun atau akan berakibatpada kesembuhannya.
8. Right to full disclosure
Subyek memiliki hak untuk mendapat jaminan dari perlakuan yang diberikan.
Peneliti harus memberikan penjelasan secara rinci dan bertanggung jawab jika ada
sesuatu yang terjadi pada subyek.
9. Right in fair treatment
Subyek harus diberlakukan secara adil baik sebelum, selama, dan setelah keikut
sertaannya dalam penelitian tanpa adanya diskriminasi apa bila ternyata mereka
tidak bersedia atau dikeluarkan dari penelitian.