Anda di halaman 1dari 67

Sepilihan Fiksi #dirumahaja vol.

CERITA DARI JAUH


dan kisah-kisah lainnya

• Adam Zainal • Aflaha Rizal • Agnicia Rana • Aya Canina •


• Ganang Ajie Putra • Joan Oktavianie • Muhamad Wahyudi •

2
Cerita dari Jauh dan kisah-kisah lainnya
Pertama terbit: April 2020
Desain Sampul: Dialog Warna
Tata Letak: Ganang Ajie Putra

Hak cipta seluruh karya ini menjadi milik penulis masing-masing. Seluruh karya dalam
kumpulan cerpen ini bisa disebarkan, dicetak, hingga disalin secara bebas, selama Anda
mencantumkan nama penulis.

3
PARA PENULIS

Adam Zainal. Seorang pemuda yang lahir pada Maret 1991 di sebuah tepi pantai sepi nan
indah pedalam Nanggroe Antah Beurantah, Bireuen, Aceh, yang menyisakan waktu luang di
sela-sela kesibukannya sebagai nelayan dan buruh harian lepas untuk menulis.

Aflaha Rizal. Lengkap dengan Aflaha Rizal Bahtiar, lahir di Bogor, 26 Agustus 1997.
Merupakan mahasiswa semester akhir Komunikasi, di Universitas Pancasila. Karya yang telah
diterbitkan berupa kumpulan cerpen secara indie: Cuaca Sama (2016), Cuaca Sama II (2017)
dan buku puisi terbarunya tahun ini, Kenangan Tidak Terbuka (Kuncup, 2019). Puisi yang lain
masuk pada antologi, media online, dan pernah terbit di Radar Selatan (2019), dan Koran
Tempo (2019). Cerpen terbarunya kini sedang diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris tahun ini,
oleh Inter Sastra. Juga pernah diundang di Festival Sastra Bengkulu 2019 sebagai penulis
terbaik. Instagram: @Aflaha_meteora. Medium: Aflaharizal87

Agnicia Rana. Wanita malam yang suka menyelami pikiran lelaki. Berfantasi adalah kerja
sampingannya. Kau bisa menyelaminya lebih dalam di beyondiary.wordpress.com. Jangan lupa
mampir!

Aya Canina. Sedang asyik bersama Amigdala (@musikamigdala). Buku puisi pertamanya, _Ia
Meminjam Wajah Puisi_ (Basabasi, 2020), baru saja terbit.

Ganang Ajie Putra. Pria jantan kelahiran Jakarta yang menetap di Bogor. Suka menulis dan
buang air. Suami siaga yang sayang istri dan anaknya.

Joan Oktavianie. Lahir di Bandung, sedang merantau di Jakarta. Waktu kecil, kalau nakal dan
habis dimarahi, dia akan bilang pada mamanya sambil menangis, “Mama, yang tadi nakal itu
bukan aku, tapi iblis.”

Muhamad Wahyudi. adalah pedagang yang senang menulis. lahir dan besar di Medan, saat ini
berdomisili di Cilacap.

4
Kata Pengantar

Beberapa waktu lalu, ketika pandemi COVID-19 mulai memaksa kita untuk
mengarantina diri, saya menemukan penulis-penulis baik hati yang mengumpulkan karya
terjemahannya, yang diberi judul Sepilihan Fiksi #dirumahaja vol. 1, dan membagikannya secara
cuma-cuma. Saya menjadi satu dari sekian banyak yang berbahagia sewaktu menunggu bit-per-
bit jatuh hingga mendarat seutuhnya ke dalam memori ponsel saya. Kejemuan yang hampir
menelan saya bulat-bulat, agaknya mengistirahatkan diri sejenak.
Setelah selesai melahap seluruh cerita dalam sepilihan fiksi tersebut, saya mulai terpikir
untuk melakukan hal yang sama. Lantas saya menghubungi penggagas Sepilihan Fiksi
#dirumahaja vol. 1 dan 2, mas Doni Ahmadi dan mas Aris Rahman, untuk menanyai bolehkah
kiranya saya mengikuti jejaknya untuk melakukan hal yang sama. Dan respon dari mas Doni dan
mas Aris amatlah baik. Saya diizinkan dan bahkan didukung penuh oleh mereka. Saya
menyadari bahwa melakukannya seorang diri, tentu bisa-bisa saja. Namun bila dirayakan
bersama-sama, pasti akan lebih menyenangkan rasanya. Maka, saya mencoba menghubungi
beberapa teman dekat saya, menanyai sudikah mereka saya repotkan dengan menyumbangkan
beberapa cerpennya pada saya. Ternyata, mereka dengan senang hati untuk membantu saya.
Maka, tidak berlebihan rasanya saya ucapkan terima kasih pada teman-teman saya, Mas Yudi,
Joan, Aya, Aflaha, Rana, juga Adam, yang menjadi kontributor pada kumpulan kisah ini, juga
Wisnu/Dialog Warna untuk desain sampulnya, karena telah bersedia berbagi pada saya, juga
pada kalian.
Kini, tibalah dalam genggaman kalian, kumpulan kisah ini sebagai pelipur lara di tengah
pandemi yang masih menggelora. Secara bentuk, kumpulan kisah ini tidak berbeda dengan
sepilihan fiksi #dirumahaja vol. 1 dan 2. Hanya ada sedikit perbedaan pada isi, di mana
seluruhnya merupakan karya orisinal dan tidak memiliki tema yang khusus. Barangkali,
sepilihan kisah ini tidak bisa memuaskan nafsu batin kalian akan bacaan yang sempurna. Tetapi
kami yakin, cinta yang kami titipkan di sini, sedikit-banyak mampu menjelma penyelamat bagi
kalian yang sedang khawatir bertambah gemuk karena terjebak dalam siklus makan-tidur yang
panjang. Semoga segala kesulitan yang diratapi bersama-sama ini segera menutup usianya.

Cibinong, April 2020


Ganang Ajie Putra

5
Daftar Isi

Para Penulis – 4
Kata Pengantar – 5
Daftar Isi – 6

Solusi Curi Bibir Mbah Talijo – 7


Arkais – 12
Jalan Sunyi Kota C – 13
Balada Lampu Jalan – 18
Pada Sebermula Bunga – 22
Jeruji Bercelah – 29
Asa di Tanduk Damai – 34
Kisah untuk Kekasihku yang Sudah Mati – 42
Cerita dari Jauh – 47
Resep Pancake – 51
Sepeda Pak Buyung – 55
Peluh – 59
Teguran dari Nyonya Istana – 62

6
Solusi Curi Bibir Mbah Talijo
Pencerita: Ganang Ajie Putra

Aku amat menyukai kenyal bibirnya. Tetapi bibir selalu punya cara dalam memilih siapa
yang ia kehendaki untuk merenggutnya. Maka ia memilih menyerahkan nasib bibirnya pada
bibirnya sendiri.

"Kau boleh melumatnya, asal kau tanya lebih dulu, apakah ia rela membiarkan kau yang
menghabisinya," katanya pada suatu waktu.

Aku kehabisan akal. Bagaimana caraku bertanya pada bibirnya yang tidak punya bibir
lagi? Tetapi aku begitu mengidamkannya. Biar bagaimana pun aku harus bisa mencuri bibir
legitnya.

Aku memutuskan untuk pergi mengembara. Kudengar, di Bekasi, di dekat tempat


pembuangan sampah, ada seorang dukun yang lihai perihal bagaimana cara mencuri bibir dengan
baik dan benar. Konon, kehebatannya sudah termasyhur sampai ke Eropa. Sebab katanya, dulu
ada orang berambut kuning datang padanya. Beberapa bulan kemudian, tiba kabar kalau si
rambut kuning dan seorang dengan bibir yang sebelumnya hendak ia curi, sudah memiliki
seorang anak.

Dukun itu bernama Mbah Talijo. Aku heran mengapa nama sejawa itu ada di tanah
sunda. Mungkin ini karena pancasila. Atau hanya karena memang ia orang Jawa. Begitulah.
Seperti sudah menjadi rahasia umum kalau orang Jawa adalah penjelajah yang gagah berani.
Mereka ada di mana-mana. Dari Sumatera sampai Papua, bahkan sampai di Suriname. Cuma
Bekasi, tentu bukan perkara dahsyat. Baru aku sadari kalau ternyata orang Jawa tidak kalah
dengan orang Cina yang ada di hampir seluruh dunia. Tapi itu tidak penting. Yang penting
adalah bagaimana caraku mencuri bibir perempuan idamanku.

Seperti dukun-dukun pada umumnya, ia tahu apa maksud dan tujuanku mendatanginya
bahkan sebelum bibirku memainkan perannya. Sebab baru satu ayunan kaki melewati batas
teritorial kekuasaannya, ia sudah bertanya "Siapa nama perempuan yang ingin sampeyan curi
bibirnya?" Hebat sekali pikirku. Ini pasti dukun yang paling moncer.

7
Awalnya aku agak meragukannya. Sebab ia tidak seperti tampilan dukun pada umumnya.
Aku bahkan penasaran apakah ia benar seorang dukun atau malah tukang pijat. Sebab untuk
seorang dukun, ia sama sekali tidak memiliki tampilan yang dukun banget. Dia tidak gondrong,
tidak pakai cincin batu akik besar yang penuhi seluruh ruas jarinya, bahkan tidak ada dupa dan
kemenyan. Pakaiannya simpel saja. Singlet merah dengan gambar seorang lelaki pakai jas di
bagian depan, dan logo partai di bagian belakang. Celana panjang hitam berbahan satin, rokok
kretek yang menyelip di antara telunjuk dan jari tengahnya, kacamata hitam, serta peci yang
melindungi sembilan puluh persen rambutnya dari sinar lampu yang redup di ruangannya.
Bahkan di depan rumahnya sengaja ia pasang sebuah papan persegi panjang dengan tulisan
Solusi Curi Bibir Mbah Talijo lengkap dengan nomor telepon yang tertera di bawahnya.
Tampilannya persis seperti papan iklan jasa pijat. Tidak seperti dukun yang selalu
menyembunyikan identitas ahlinya sebagai seorang dukun, yang bahkan kadang-kadang
menyamar dan mengaku sebagai ahli agama. Atau mungkin memang selama ini aku ditipu
televisi.

"Namanya Nirmala, Mbah."

Begitu jawabku seusai memberikan selembar foto milik Nirmala, perempuan yang aku
idamkan.

Responnya persis seperti dukun-dukun dalam sinetron. Ia mengambil foto itu,


meletakkannya di meja, mengelus-elus dagunya seakan ada janggut yang menggantung di sana—
padahal tidak, memiringkan kepalanya ke kiri lalu ke kanan, sambil memandang dalam-dalam
foto Nirmala, perempuan yang aku idamkan. Setelah itu ia memejamkan matanya. Menghela
napas panjang, dan membuangnya pelan-pelan.

Aku menatapnya dengan penuh kecemasan. Dadaku berdegup kencang menanti sabda
apa yang akan dikeluarkan oleh mbah Talijo. Waktu terasa lama sekali sewaktu aku menunggu
bibirnya terbuka. Rasanya ingin kucuri saja bibirnya, lalu kupaksa ia segera megap-megap
menyusun kata-kata. Namun bagaimana mungkin aku mencuri bibir seorang ahli pencuri bibir.
Itu serupa berteriak meminta uang pada pesawat yang terbang membelah langit. Maka aku
memilih untuk sabar menunggu bibirnya bekerja. Sebab aku takut kualat.

8
Jangan pernah macam-macam dengan dukun. Kalimat itu terus terngiang di kepalaku.
Aku pernah dengar cerita, dulu, ada seorang lelaki yang amat menggilai seorang perempuan.
Namun sayangnya, perempuan itu tidak menyukainya. Lelaki itu lalu datang kepada seorang
dukun. Dalam ilmu perdukunan, memang ada dukun yang khusus melayani permintaan perihal
permasalahan cinta.

Mereka disebut dukun cinta. Salah satu ilmu yang terkenal dalam dunia perdukuncintaan
adalah ilmu pelet. Menurut cerita, ilmu pelet merupakan sebuah sihir yang mampu membuat
seseorang menjadi jatuh cinta, bahkan tergila-gila kepada orang yang memeletnya, meskipun
sebelumnya orang tersebut sama sekali tidak mencintainya. Kepercayaan itu lah yang membuat
sang lelaki datang dan meminta kepada dukun cinta itu agar perempuan yang ia gilai juga
menggilainya. Namun ternyata, perempuan yang hendak ia pelet itu malah kawin dengan dukun
cinta yang ia sewa jasanya. Kesal dengan ketidakprofesionalan dukun cinta itu, sang lelaki
berniat membunuh dukun sialan yang telah merebut perempuan yang ia gilai tersebut. Tapi baru
saja ia berangkat, tubuhnya tersambar truk yang melaju kencang dan ugal-ugalan. Makanya, aku
takut macam-macam dengan mbah Talijo. Apalagi mencuri sesuatu yang amat berharga dan
menjadi penghasilan utama baginya.

Urusan Mbah Talijo dengan foto Nirmala, perempuan yang aku idamkan, tampaknya
telah selesai. Kepalanya menunduk, disangga telapak tangannya yang sigap menyambar jidatnya.
Sedang tangan yang lain, bergerak menuju bibirnya, memberikan pelayanan manis berupa
hisapan sebatang kretek yang abunya telah mengejar sisa tembakaunya. Ia lantas menggeleng-
gelengkan kepalanya dibarengi dengan kepulan asap yang keluar dari mulutnya. Semua itu
semakin membuat kulit di keningku berlipat-lipat. Apa sebenarnya yang telah diterawang oleh
mbah Talijo?

"Sampeyan belum tahu?"

Aku menggeleng. Jelas saja aku belum tahu. Aku bahkan belum tahu, belum tahu apa
yang mbah Talijo maksud. Bagaimana mungkin aku bisa tahu sesuatu yang belum aku tahu dari
seseorang yang sudah tahu tetapi belum memberi tahu. Kepalaku pening. Ternyata dukun sama
saja dengan dokter. Selalu bertanya "sakit apa?" padahal jelas kita datang ke dokter untuk tahu
apa kiranya sakit yang kita derita.

9
"Bibir yang hendak sampeyan curi ini, sudah dicuri orang lain."

Mendengar itu, seperti ada sebuah kembang api pada perayaan malam tahun baru yang
melesat dari dalam tubuhku dan meledak ketika sampai di ubun-ubun kepala. Aku bertanya pada
mbah Talijo, siapa yang telah mencurinya. Namun ia tak menjawab apa-apa. Ia hanya berpesan
padaku supaya memperbesar sabar dan membuat diriku kuat.

Aku memutuskan untuk segera pergi dari rumah mbah Talijo untuk menemui Nirmala,
perempuan yang aku idamkan. Aku ingin meminta penjelasan, mengapa ia tidak menjaga
bibirnya untuk bibirku.

Sebelum sampai di ujung pintu, mbah Talijo menyampaikan kalimat terakhirnya untukku,
"ada bibir yang mesti sampeyan taklukkan."

Aku tidak menghentikan langkahku dan menanyakan bibir siapa yang mesti aku
taklukkan. Tubuhku yang sudah telanjur memanas ini tidak bisa dipadamkan oleh selain
penjelasan dari bibir Nirmala, perempuan yang aku idamkan. Itu pun kalau bibirnya masih ada.

Malam harinya aku datang menemui Nirmala, perempuan yang aku idamkan. Tanpa
basa-basi, telinganya langsung kutodong dengan bibirku. Ia hanya menangis sewaktu aku
memberondongnya dengan berbagai macam pertanyaan. Ia tidak bisa menjawab satu pun tanya
yang aku lemparkan ke wajahnya.

"Bibirku telah dikuasai oleh bibir yang memberiku bibir. Aku tidak bisa lagi memberikan
bibirku pada siapapun tanpa seizin bibir yang telah merenggut bibirku. Aku menyesal, mengapa
tidak sejak dulu kuserahkan bibirku pada bibirmu, lalu kita pergi jauh sebelum kesadaran mereka
akan berharganya sepotong bibirku. Namun kau harus tahu, memanglah pada setiap bibir seorang
perempuan, selalu ada bibir lain yang menguasainya. Kau hanya perlu tahu bagaimana cara
merebutnya kembali. Sekarang sungguh sudah terlambat untuk berdebat. Aku tidak bisa lagi
memberikan bibirku untuk bibirmu. Kecuali…"

Kami bertengkar hebat malam itu. Aku meminta pertanggungjawaban pada bibir
Nirmala, perempuan yang aku idamkan. Mengapa ia tega-teganya menggoda bibirku, lalu
menghilang setelah bibirku mengejarnya. Namun setelah kuketahui siapa yang mencuri bibirnya
dari bibirku, dan apa tujuannya menyembunyikan bibirnya, kuputuskan untuk membiarkan bibir

10
itu pergi jauh. Sebab aku menyadari betapa sulitnya bibir itu untuk bibirku rebut dari bibirnya.
Biar tinggi gunung kudaki, dalam laut kuselam, bibir itu tak akan mampu kucuri meski dalam
gelap malam.

Kalimalang, 2019

11
Arkais
Pencerita: Joan Oktavianie

Nona! Bangun, Nona! Beberapa jongos berhamburan masuk ke kamar nonanya di suatu
pagi buta. Perempuan yang dipanggil nona itu membuka mata dengan perlahan. Meregangkan
badan ke kiri dan ke kanan sebelum bertanya ada apa. Benda sakral keluarga ini telah dicuri,
saksi seorang jongos histeris.

Nona menarik napas dalam-dalam. Mengangkat kedua alisnya sedikit untuk kemudian
mengeluhkan keteledoran orang tuanya yang terlalu menggembar-gemborkan kepemilikan
mereka akan benda sakral itu. Meski telah turun-temurun, baru kali ini keberadaannya
diumumkan. Entah kebanggaan atau kenaifan yang melatarbelakangi tindakan kedua orang
tuanya itu.

“Biarlah dicuri. Jikalau memang benda itu milik keluarga kami, ia akan kembali dan
mengutuk siapapun yang dengan tidak bijak mengambilnya dari kami.”
Tak lama setelah kutuk itu diucap, dari penjuru desa yang lain, tersiar kabar seorang
pemuda yang segar bugar mendadak mati ketika sedang mandi. Curiga dengan kabar tersebut,
Nona segera mengirim seorang utusan untuk mencari keberadaan benda sakral keluarganya di
kediaman si pemuda. Benar saja. Benda sakral itu tersimpan di sudut lemari pakaian yang berbau
apak.
Setelah berhasil menemukan yang dicari, si utusan kembali pulang. Tapi di
tengah perjalanan, ia mesti mati bersama kudanya terkena sambaran petir. Utusan kedua pun
segera dikirim demi melanjutkan tugas pendahulunya. Tapi nahas, dia tersesat di hutan terlarang,
menjadi gila, lalu bunuh diri. Nona masih ingin mengirim utusannya yang lain, tapi ia sadar tak
ada lagi yang cukup angkuh jika harus berhadapan dengan malaikat maut. Mereka semua takut
mati kena kutuk.

Akhirnya, setelah bercakap-cakap dengan arwah para leluhur, Nona mengumumkan,


“Biarlah benda sakral keluargaku itu hilang ditelan bumi. Telah kuyakini bahwa yang sakral itu
kata-kata dan doa, bukan pusaka belaka. Sungguh aku malu mengakuinya. Aku telah lalai dalam
bertutur hingga menimbulkan bencana, namun menyalahkan sesuatu yang kuciptakan sendiri.”

Jakarta, 2020

12
Jalan Sunyi Kota C
Pencerita: Muhamad Wahyudi

Langit murung. Seperti seseorang telah membeli seluruh cat air abu-abu yang ada di bumi
lalu menyapukannya pada rimbun awan di pucuk-pucuk pohon. Sementara itu helaian cahaya
menusuk mendung, bagai kain-kain raksasa terberumbun. Jalanan menuju kota C begitu senyap
dan lurus. Hanya ada sawah serta bilah-bilah cahaya tadi di kedua sisi jalan yang beku. Untuk
kesekian kalinya, temanku yang mengemudi meludah dari jendela. Ia melongokkan kepala lalu
berteriak tidak jelas, lalu memasukkannya kembali sembari mengusap hidung.

“Kau tahu, perjalanan panjang selalu membuat frustasi,” kilahnya. Aku mengiyakan.

Pada dasarnya kepalaku juga pusing memikirkan apa yang akan kami lakukan. Dave
mengajakku memancing karena ia baru membeli alat pancing mahal, karena bosnya di tempat
kerja yang baru ternyata gemar memancing. Menjadi penting bagi bawahan untuk terlibat aktif
dalam pembahasan hobi si bos, dalam kadar yang sopan tentunya; tak terlalu tahu, tapi jangan
tidak tahu. Masalahnya tak ada dari kami berdua yang pernah memancing. Pun begitu, ia
langsung mengajakku ke laut. Barangkali ia akan loncat bunuh diri sekiranya tak dapat ikan
hingga sore.

Sementara di depan sana, lima-enam polisi bersiaga dengan rompi hijau. Salah satunya
mengayun-ayun tongkat berwarna merah. Dave melambat lalu berhenti tepat di depan mereka. Ia
membuka kaca dan cengenges. Salah satu dari polisi-polisi itu memberi hormat dan kami merasa
terhormati. Selagi Dave menunjukkan surat-surat yang diminta, aku terbius lambaian tongkat
merah menyala tadi.

“Jangan bilang kalian ingin memancing,” ujar polisi.

“Apakah di laut Kota C tidak ada ikannya?” balas Dave.

“Bukan. Bukan ikan. Saya tak tahu soal ikan. Tapi cuaca ini bisa saja semakin buruk.”

Pak Polisi menengadah, mengatup tangan di atas matanya, menerawang ke arah laut lalu
kembali melongok ke jendela mobil.

“Maaf apakah saya mengenal kalian?”

13
“Teman masa kecil, mungkin?” seloroh Dave.

“Bukan, saya kecil di daerah Selatan, tak mungkin orang-orang kumal seperti kalian
teman masa kecil saya.”

Dave mengedikkan bahu. Aku mematikan AC mobil karena angin dari luar terasa lebih
dingin. Sialnya, polisi ini seperti mencurigai kami habis berbuat yang tidak-tidak. Ia masih saja
memelototi seluk-beluk mobil Dave. Dan itu membuat angin dari luar semakin menusuk
tengkuk.

“Kalian pernah masuk penjara, ya?”

Sembarangan sekali. Aku ingin muntab tapi Dave malah cengar-cengir.

“Saya akan melihat bagasi kalian.”

Dave menemani polisi tersebut dan aku mulai kedinginan akibat jendela yang tak
tertutup. Aku mencari-cari jaket agar bisa ikut keluar, tapi mereka malah sudah kembali. Polisi
itu kemudian mewanti kami perihal pembunuh gadis kecil yang buron, yang disinyalir
berkeliaran atau bersembunyi di ceruk-ceruk sepi Kota C.

Kami dibolehkan pergi setelah sebelumnya bertukar terima kasih. Mobil berserdawa, lalu
terbatuk, lalu secara memprihatinkan bergerung-gerung mesinnya. Sepanjang jalan setelahnya,
gadis kecil berbaju merah berkibar-kibar di sebuah tiang. Pada dasarnya aku tahu itu hanyalah
kain-kain pengusir burung pemakan padi. Tonggak kayu dibentuk dengan cermat serupa
manusia, bajunya diambil dari kaus kampanye partai penguasa. Tidak ada yang menyeramkan,
hanya saja citra yang timbul bila ada gadis kecil bernasib malang adalah selalu saja yang
mengenakan gaun merah. Cerita tua Little Red Riding Hood patut disalahkan atas ini.

Pemandangan berganti, kali ini tebing-tebing kokoh menmenuhi kanan-kiri. Tikungan


tajam menjadi-jadi. Beberapa kali aku rasakan ban mobil Dave tergelincir. Sepertinya hujan baru
saja lewat. Aspal masih basah dan kabut kian pekat. Aku melihat wajah Dave dan ia sepertinya
mulai gamang. Nissan tua miliknya berdecit dan melambat.

“Aku tak ingin menjadi hantu disini,” wantiku.

14
“Setidaknya…” lanjutku, “aku ingin mati di rumah saja kalau bisa.”

“Kau bodoh. Dibandingkan waktu dan caranya, tempat adalah yang paling mungkin
untuk kita rencanakan perihal kematian kita. Dan kau memilih sesuatu yang membosankan
seperti itu?”

“Kau bisa memilih waktu, cara dan tempatnya bila kau bunuh diri,” jawabku.

“Bunuh diri bukan kematian, bunuh diri adalah menyerah.”

“Tidak semua menyerah itu buruk, kok.”

“Tapi tidak menyerah juga hal yang baik, kan?” tukasnya. Aku tak membalas apa-apa
lagi. Perutku sudah mual dan jalanan terasa bergelombang.

Sebuah lampu menyorot dari balik kabut, membutakan mata kami, dan memaksa mobil
tua Dave bergeliat hingga menyerempet pembatas jalan. Sebuah truk menyeruak dari balik kabut,
mengklakson dengan keras seperti seekor paus yang angkuh memperingatkan ikan sardin untuk
minggir. Nyaris saja nyawa dua ikan sardin ini gepeng menjelma ikan asin. Kami berhenti di
bahu jalan dengan jantung yang sepertinya tertinggal beberapa meter di belakang.

Setelah mengambil waktu untuk menarik napas, Dave mencoba menjalankan mobilnya.
Berfungsi seperti biasa, tetapi rongsokan ini sedikit megal-megol. Kami memutuskan terus lanjut
sampai bertemu tempat yang lengang untuk membetulkannya. Sepuluh menit setelah diaduk-
aduk dalam mobil, tampak sebuah bangunan yang mirip kedai minum di sisi kiri jalan. Tebing di
sekitarnya tenggelam ke belakang, menyisakan cukup ruang di sisi jalan untuk dibangun sesuatu.
Aku tak begitu yakin mereka menjual apa namun di bagian depan mereka meletakkan lemari
pajang yang isinya berbagai minuman soda. Di samping kios ada perlengkapan panggangan,
sepertinya untuk membakar jagung atau sosis.

Kami mampir dan langsung menyampaikan masalah. Lelaki tua pemilik kios yang
telanjang dada, dengan jins kaku penuh bercak dan sebuah topi bundar yang tergantung di
belakang kepala, membolehkan kami mengutak-atik rongsokannya Dave di halaman.

15
Ia memanggil seseorang, sekali. Dua kali. Tak ada jawaban, lalu ia bersungut-sungut dan
memilin topi bundarnya di genggaman. Seorang anak laki-laki keluar sebelum pemilik kios
sampai. Begitupun, kepalanya tetap kena hantam pakai topi si tua tadi.

“Bodoh kau ya! Pemalas! Ambil kopi panas untuk mereka!”

Aku sejujurnya tak ingin minum atau beli apa-apa, tapi tentu tak tahu diri bila ada yang
utak-atik disini dengan gratis. Aku berbisik-bisik pada Dave bahwa bisa jadi si tua ini termasuk
jenis orang yang menebar paku di sisi jalan agar orang-orang berhenti di kiosnya. Dave setuju.

Anak kecil itu kembali lagi setelah beberapa menit. Saat itu kami berdua sudah berhasil
mendongkrak mobil. Si anak meletakkan gelas di atas kursi. Dari bibir gelas, uap panas
meloloskan diri. Aku mendekatinya, entah kenapa ingin memberinya uang karena dalam batinku
pastilah anak itu tak pernah diberi uang jajan oleh si tua tadi. Namun tak jadi. Lagipula aku juga
butuh untuk beli makanan anjingku saat pulang nanti. Memikirkannya, aku jadi ragu apakah
sudah mengikatnya atau belum saat pergi. Bisa gawat kalau ia menggigit orang lagi.

“Dasar tolol! Sudah kubilang kopi!” gelegar suara lelaki tua itu mengagetkan kami. Aku
melihat ke gelas dan ternyata itu memang teh. Sebenarnya aku suka-suka saja. Dave malah tak
menunjukkan minat untuk minum. Tapi aku tahu ada orang-orang macam begini. Suka
membikin-bikin perkara agar stresnya hilang. Ia kembali memukuli si anak dengan topi
bundarnya. Sekilas, aku melihat memar-memar di lengan anak tersebut, tetapi mungkin aku salah
lihat. Kabut masih tebal dan mendung tak kunjung terangkat. Belum lagi tak ada penerangan
jalan dan lampu dari kios reyot tak bisa diharapkan.

Setelah puas memukuli anak laki-laki, ia meminta maaf pada kami, berkata bahwa si
anak memang bodoh dari lahir. Ia berniat membuka rantai lemari pajang untuk memberi Coca
Cola, namun aku menolak. Dari depan, Dave bersorak. Ban yang bermasalah telah sukses
dicopot dari kedudukannya. Aku meminum tehku, membayar dengan recehan yang tersisa di
kantung, lalu menyusul Dave. Setelah ban serep dipastikan layak jalan, kami segera pamit. Pak
tua itu menggerutu, mungkin berharap kami membeli mi gelas atau tambah kopi. Si anak laki-
laki mengintip dari balik pintu, aku tersenyum padanya, namun ia menghilang ke dalam.

16
Selagi Dave menghidupkan mesin, aku mengusulkan untuk kembali. Ia sepakat. Kami
memutarkan moncong mobil lalu melaju ke arah pulang. Tepat sebelum pemandangan tebing di
sisi jalan berakhir, kami berpapasan dengan dua mobil polisi. Sirene mereka bising dan lampu
rotatornya kelap-kelip. Cahaya merah berputar-putar di pelupuk mata dan membuat pusing.

“Di belakang mobil polisi… gadis kecil,” Dave berkata sesuatu tapi suaranya kalah
nyaring. Mobil-mobil polisi berlalu dan aku jadi lupa untuk apa kami ke kota ini.

**

Cilacap, 2019

17
Balada Lampu Jalan
Pencerita: Aya Canina

Ada lampu jalan yang tak pernah paham mengapa setiap malam ia harus menyalakan
sebagian tubuhnya untuk mereka yang disebut manusia, padahal berdiri mematung pun sama
sekali bukan kemauannya. Ditakdirkan menjadi penonton setia jalanan dua puluh empat jam
tujuh hari dalam seminggu jelas bukan cita-citanya.

Dulu, di minggu-minggu pertama ia berdiri di tempatnya, di sebelah sebuah tong sampah


yang tak terjamah di suatu jalan panjang, lebar, dan kumuh di pinggir kota yang tidak terlalu
pinggir tapi miskin, ia melihat tiga perempuan berbeda di malam berbeda berjalan sempoyongan
tak kuat menahan luka yang tak mampu ditutupi bahkan oleh lebih dari lima gelas arak murah
yang biasanya mereka beli di warung di ujung jalan itu. Sudah genap lima kali ia menyaksikan
lelaki-lelaki di bawah umur yang merasa bangga dengan tubuh kurus tak berotot dipenuhi tato
yang dibuat tanpa restu dari orang rumah. Kadang-kadang satu-dua anak perawan dari kampung
entah mana ikut-ikutan merasa perlu bergabung dengan mereka yang pekerjaan rumah dari
gurunya tadi pagi saja belum tentu dikerjakan. Si lampu jalan hanya mampu berharap ada yang
lekas datang membubarkan perkumpulan tak perlu itu.

Ketika subuh saat matahari bahkan masih mematut-matut diri di punggung bulan, ia
sudah disuruh berangkat tidur oleh petugas setempat yang tak juga paham mengapa musti
menidurkan tubuh yang sudah sukarela menyala semalaman itu. Biasanya tepat saat seru-seruan
dari masjid sudah terdengar, ia bersiap untuk ritual itu. Tanpa dongeng, tanpa selimut, tanpa
kecup. Sekitar pukul enam ia sudah menutup matanya. Kadangkala ia minta dininabobokan
embun pagi, itupun kalau si embun mau menyempatkan diri. Lain waktu ia cuma minta matahari
untuk tidak perlu terlalu naik darah, sebab kalau sudah begitu, tidurnya bisa sangat terganggu.
Para pengendara kuda besi akan mulai mengumpat, menyumpah-serapahi teman baiknya, jalan
raya, yang juga tak tahu mengapa harus berlapang dada diinjak dilindas digilas para penggila
hari, padahal belum tentu para manusia itu hidup sampai petang nanti.

Ia ingin sekali bermimpi, setidaknya satu kali dalam seminggu, bertemu dengan
perempuan yang berjalan anggun tidak sempoyongan memakai sepatu datar berbalut gaun pesta
atau tak apalah dengan hak lima sentimeter, asal tanpa umpatan dan sumpah serapah yang

18
dibuat-buat, atau lelaki baik-baik yang menggenggam segelas kopi seduh menunggu jemputan di
bawah tubuhnya.

Dua belas jam dengan tidur cukup tapi kurang berkualitas, ia musti bangun dengan
kondisi sakit kepala atau sakit pinggang karena seringnya para pekerja pabrik yang lelah
menggunakannya sebagai penyangga, tempat rebah sejenak. Untung dia tidak alergi debu.
Dadanya didesain untuk kebal terhadap sengit siang yang tak henti-hentinya mengeluarkan
aroma tak sedap dan memproduksi berbagai macam asap: asap rokok, asap motor, asap pabrik.

Ia tak bisa bangun sendiri. Ia cuma bisa menunggu sampai ada manusia yang menyadari
kehadirannya, mengetuk tubuhnya satu kali, memastikan matanya terbuka seutuhnya tanpa
kedap-kedip minta tidur lagi, lantas kembali berlalu tanpa perlu memikirkan dirinya akan
sarapan apa malam itu. Ia tahu, ia tak boleh mengemis. Maka ia katakan kepada angin yang
biasanya mulai berhembus lebih kencang selepas adzan maghrib, “jangan kau kocok-kocok
perutku. nanti bunyi. Aku malu kalau sampai pohon-pohon mendengar isinya yang kosong.
Keroncongan sepanjang waktu.”

Ia sebetulnya tidak betul-betul sendirian. Ia punya beberapa kawan, tapi mereka


ditempatkan paling dekat seratus meter dari tempatnya berdiri. Apalah enaknya mengobrol
dengan berteriak? Paling-paling kalau ada gosip panas yang kebetulan terjadi di hadapannya dan
temannya tak bisa menyaksikan, ia semangat berseru menceritakan tontonan asyik itu kepada
angin yang barangkali ketika sedang jalan-jalan sore mau meneruskan cerita itu kepada kawan-
kawannya Seperti malam keenam puluh, ketika ia harus semakin terjaga karena langit malam
semakin pekat. Tubuhnya merasa geli digelitik sebuah tubuh yang didekap sebuah tubuh lain
yang tak bisa ia dengar degupnya tapi tahu bahwa sedang terjadi sesuatu antara dua tubuh itu.
Sesuatu yang syahdu, menggebu, seru, dan sembunyi-sembunyi. Kedua tubuh itu berpikir ia tak
punya mata, jadi mereka berani saja menyanyikan lagu saru yang entah boleh atau tidak dilihat
olehnya yang baru berumur jagung itu.

“Nona manis,” si tubuh jantan berkata setengah merayu sambil membelai rambut si tubuh
betina. “Maukah kau membagi gincu di bibirmu untuk bibirku?”

“Apa jaminannya?” si tubuh betina bertanya tajam. “Ada banyak bekas gincu yang sudah
kau hapus bersih sebelum menemuiku malam ini”

19
“Tapi, aku mencintaimu”

“Aku juga…”

Si lampu jalan terkesiap, ikut berdebar. Ia mengedip-ngedipkan tubuhnya sendiri. Dua


tubuh itu mendadak takut, lalu pergi sebelum segalanya makin seru. Takut ada manusia lain
datang dan serta merta ikut campur dalam urusan intim ini. Padahal biar saja, toh ia pasti
menutup mulut, sudah lihai menjaga puluhan rahasia. Esok lusa ketika umurnya sudah mencapai
seratus hari, ia akan menjadi seorang penjaga rahasia ulung. Jauh lebih ulung dari pohon yang
sangat comel, yang suka menyuruh anak-anaknya pergi mengabarkan berita tak pasti, gosip
miring milik orang biasa yang tak punya kesempatan masuk tivi.

Kadang-kadang kalau sedang bosan, ia suka penasaran dengan cerita kawan-kawannya


yang ditempatkan berkilo-kilometer darinya. Di terowongan, jembatan penyebrangan, jalanan
sepi di sisi perlintasan kereta api, persimpangan jalan, atau di kuburan kecil di pinggiran kota
yang tidak terkenal karena tidak angker (lebih tepatnya tidak ada orang yang mau membumbui
cerita-cerita di sana sehingga tidak pernah masuk teve).

Ia pernah sekilas mendengar cerita dari kawannya (lagi-lagi mengandalkan angin si


pembawa kabar), si lampu persimpangan jalan, mengenai dua pasang kaki yang pernah bersandar
di tubuh temannya itu untuk merencanakan perpisahan. Nona yang tidak cantik tapi menggoda
itu bilang ingin melancong ke suatu tempat yang mengharuskannya melalui sisi kanan jalan,
sementara lelaki yang suka menggoda itu pura-pura tak setuju dengan permintaan sang nona.
Berbasa-basi melankoli untuk kemudian menyetujui keinginan sang nona, tentu dengan juga
berpura-pura berduka. Ia bilang lebih ingin melanjutkan hidup di sisi kiri jalan, sebab
kelihatannya di sana lebih aman baginya.

“Nona manis,” sang lelaki berkata setengah merengek sambil membelai rambut sang
nona. “Tak maukah kau menetap saja bersamaku? Aku bisa merana kalau nanti satu waktu
merindukanmu.”

“Aku harus pergi,” jawab sang nona datar. “Aku mau menuju kota yang jalanannya lebih
semarak dan lampu-lampunya lebih terang.”

“Tapi, bukankah kau mencintaiku?”

20
“Ya, aku mencintaimu. Dan kau mencintaiku seperti kau mencintai gincu-gincu wanita
lainnya.”

Sejenak si lampu persimpangan jalan memandangi mereka berdua. Tak paham, ia


mengerjap-ngerjap begitu lama sampai membuat sapasang kaki itu menggigil ketakutan dan
memutuskan untuk lekas pergi ke sisi jalan yang telah diputuskan masing-masing.

Terbahak-bahak si lampu jalan oleh cerita kawannya itu. Lain lagi cerita yang ia dapat
dari kawannya yang lain, yang lebih tepat disebut keluhan. Ialah si lampu terowongan yang tak
berkaki, yang mudah sekali bosan dan kurang tidur, sebab tiap hari ia disuguhkan pemandangan
yang itu-itu saja. Lalu lalang mobil yang tak kedengaran cakapnya; dari yang kecil sampai yang
berbodi besar, dari yang mengilap sampai yang hampir seluruh bodinya dimakan debu.

Lain waktu ia mendengar rumor dari kawan favoritnya, si lampu kuburan-yang-tak-


terkenal, mengenai dedemit yang tiap malam keluar dari rumah mereka. Ia menyaksikan para
dedemit itu berkumpul berpindah-pindah dari satu nisan ke nisan lainnya. Merayakan kematian,
menertawakan orang hidup. Para dedemit itu tampak berbahagia, saling berbagi meski berbeda
jenis: kuntilanak, genderuwo, sundel bolong, tuyul. Mereka merasa tak perlu mengganggu orang
hidup, buang-buang waktu. Buat apa mengganggu, toh cepat atau lambat satu persatu akan jadi
teman main, teman nongkrong bareng, pikir mereka. Itulah sebabnya kuburan itu tak pernah
terkenal, tak dihiraukan, tak pernah jadi destinasi program horror komersil. Damai sentosa meski
nisan-nisan baru terus bertambah.

***

Demikianlah. Hari-hari si lampu jalan diisi dengan bangun malam tidur pagi. Membakar
diri malam-malam, meninabobokan diri sendiri di ganasnya siang. Sarapan dengan apapun yang
bisa ditangkap. Tidak diizinkan untuk keluar dari keteraturan. Mengikuti jam bangun-tidurnya
matahari-bulan. Ditakdirkan menjadi penonton peristiwa seumur hidup.

Bandung, 2017

21
Pada Sebermula Bunga
Pencerita: Aflaha Rizal

Maka inilah yang harus kuceritakan tentang kota yang dahulu murung, penuh kekerasan,
kerakusan manusia yang kerap membuatku berteriak “Bangsat”, dan perempuan-perempuan
yang gila. Tidak, perempuan gila yang kumaksud bukan perempuan yang gila dan hidup di
jalanan bagai pakaian robek dan bau yang menyengat yang tak pernah mandi. Tetapi
perempuan gila dengan kehidupan kotanya, tentang lelaki yang mereka suka dan tiada ku tahu
harus berkata apa, dan objek mereka yang hanya pemuas nafsu saja. Dan inilah, kuberikan
kisah yang akan kau tahu, bahwa ada keajaiban pada sekuntum bunga yang memekarkan
kebahagiaan yang menuntaskan kemurungan hidup ini.

_________

Pada sebermula bunga, kota ini ramai sekali. Tidak pernah hujan, dan selalu panas
menyengat setiap hari. Pagi yang membuka tiada matahari yang hangat dengan suasana dingin.
Pada jam lima pagi, matahari sudah keluar dan langsung panas seperti waktu di jam dua belas
siang. Betapa gilanya bukan, kota yang dipenuhi tempat peruntungan dan segala kebahagiaan
semu di dalamnya, juga matahari yang sudah terbit di jam lima pagi? Juga pekerjaan yang harus
mereka kerjakan, seperti juga aku. Aku harus masuk kantor di jam setengah enam siang
(barangkali tidak dengan jam setengah enam pagi) saat matahari itu sudah panas. Itu juga sudah
kesiangan kata atasan, dan aku harus berangkat lebih pagi. Harus jam berapa lagi kah aku harus
berangkat?

Sungguh, aku tidak dapat membayangkan kelak akan bekerja dan berangkat di jam tiga
pagi, yang konon katanya menampakkan matahari pagi. Tetapi aku tidak mampu menjalankan itu
karena aku masih tidur nyenyak dari ganasnya kota dan pekerjaan. Juga diri sendiri, yang belum
menikah dan tidak dapat menahan seseorang dengan nafsunya yang menggebu-gebu. Ya, di kota
ini, perihal apa saja ada. Bahkan perempuan dalam cinta satu malam dapat kau temukan dengan
bayaran yang pas. Tetapi tidak bagi aku yang orang kecil ini, yang mengontrak dan tinggal di

22
daerah jauh demi sesuap nasi dan uang yang kukirim pada orang tua di kampung. Aku tidak
dapat menemukan itu semua selain makanan cukup, ongkos cukup, dan bayar kontrakan cukup.

Membayar kontrakan satu bulan cukup berat bagiku, karena uang gajiku akan habis
seketika dengan bayaran ini dan itu. Sempat terlintas aku ingin membayar kontrakan selama satu
tahun penuh, tetapi amat mahalnya yang tidak dapat ku jangkau dengan kepala. Aku tidak bisa
dan tidak mampu untuk itu. Maka aku akan menceritakan, bagaimana bunga itu melenyapkan
segala kepedihan dan kemurungan yang ada. Bunga itu tumbuh di belakang kontrakanku tanpa
adanya bibit atau perawatan dariku sendiri. Ia tumbuh sendiri dengan mekar indahnya, lalu
membuat segalanya yang ada di kota bertambah bahagia, mekar, dan tidak ada kemiskinan yang
menimpa lagi.

Orang-orang miskin yang ada di jalan dan tinggal di tempat kumuh, yang tentu saja
terlihat puncak gedung yang mencakar langit itu, dijadikan sebagai karyawan dengan jabatan
yang tinggi. Juga ada yang disekolahkan dengan gratis sampai jenjang tinggi, bahkan sampai
dibiayai ke luar negeri. Juga aku demikian, yang mulai mendapat gaji tinggi dan memiliki rumah
sendiri dengan cicilan selama satu bulan berkat bunga yang tumbuh itu, yang kuberi nama
“Sebermula Bunga”. Berwarna merah, bercampur ungu, dan daun bunga yang sedikit kehijauan.
Sebuah keajaiban dari penderitaan mulai terlihat, dan kulihat kota itu betapa mekar dan tiada
permusuhan di sana. Orang-orang saling menghormati dan tidak ada penjatuhan nama di tempat
kerja, yang sempat ku lihat dan menimpa padaku. Apakah ini berkat tangan Tuhan agar tidak ada
penderitaan bagi hamba-hamba-Nya yang hidup dan sedang mengarungi peruntungan ini?

Aku tidak memikirkan tentang perihal itu. Yang kudapati, bunga itu mekar dengan
cantiknya, juga mengubahnya jadi sekuntum kebahagiaan dan tiada penderitaan di kota ini lagi.
Kubiarkan mereka tumbuh banyak dan jadilah ladang taman bunga di halaman belakang
kontrakan tempatku itu. Pada saat itu, aku memberanikan diri untuk mencabut bunga-bunga itu
dan menanami mereka tepat di belakang halaman rumah baruku, yang telah kubeli dengan jerih
keringat bekerja. Dengan beberapa menit terjadinya kota yang murung lagi, dan mekar kembali
kota itu, kota yang kembali bahagia.

Sejak itu aku pastikan, bunga itu adalah jelmaan tangan semesta yang melahirkannya
secara tanpa rencana dari tangan manusia. Bunga-bunga itu kini makin cantik di halaman

23
pekarangan rumah belakangku, yang tenang dan kurawat dengan baik. Kujadikan diriku adalah
utusan Tuhan selain Nabi yang menjadi panggilan orang-orang yang menyeru, kujadikan diriku
utusan Tuhan yang melindungi bunga-bunga dan melahirkan kota yang bahagia ini.

“Hari ini indah ya, Pak,” ucap seorang supir taksi yang membawaku melintasi jalanan
kota. “Saya belum pernah melihat kota sebahagia ini. Bahkan orang-orangnya sendiri. Ditambah
tidak menyangka juga, presiden yang memimpin negara ini dan berpusat di kota ini,
menyelesaikan perkara yang tidak hanya janji. Orang-orang korupsi sudah dipenjara di tempat
yang mematikan, dan kejahatan hak asasi masa lalu telah diungkap siapa orang-orangnya.”

Seorang lelaki yang rambutnya botak itu, berkata padaku tentang bahagianya perkara
yang pernah merumitkan kepala. “Juga pajak-pajak direndahkan, bagi orang miskin yang
mendapat pekerjaan di tempat baik, diberikan keringanan membayar pajak. Bahkan harus bayar
lima ribu saja.”

“Iya, saya juga, Pak. Saya bayar pajak saja sepuluh ribu.”

Orang-orang tidak tahu, berkat bunga inilah yang tumbuh dibelakang rumahku,
Sebermula Bunga. Bunga yang mula-mula tumbuh sendiri dan mekar sendiri, dan melahirkan
banyak bunga yang serupa tanpa rencana. Seakan Tuhan dan malaikat berbaik hati pada kota ini
yang mengurangi penderitaan dan kemurungan, tiada permusuhan, bahkan kelompok yang
merasa dekat dengan Tuhan juga tidak ada ada lagi. Orang-orang saling mengasihi, dan makhluk
yang beragama itu berteman dengan makhluk beragama lain, dengan makan bersama di
rumahnya dengan kadar dan batas-batas tertentu.

Seorang supir taksi itu tersenyum, ia berharap kota ini akan terus seperti ini. Dengan
presiden yang baik, tidak ada kejahatan kriminal, bahkan pelaku korupsi akan dipenjarakan di
tempat mematikan. Sudah kulihat, bagaimana wajah-wajah koruptor itu menderita dan
ditempatkan di penjara yang tidak pernah mereka bayangkan, juga tidak seperti dulu. Kamar
yang bagus seperti hotel, fasilitas, bahkan tempat bercinta untuk napi koruptor. Mereka
dipenjarakan di tempat yang penuh bau bangkai, tikus yang lewat, dan kalajengking yang
sesekali muncul di tengah jam tidur mereka.

24
“Beberapa dari mereka bahkan ada yang mati, Pak,” ucap saya. “Mati disengat
kalajengking di penjara.”

“Hahahaha biar mampus mereka itu!” seru sang supir taksi.

Ku lihat kembali kota ini lagi, tempat para peruntungan bagi perantauan. Tidak ada
permusuhan, kebaikan saling berselimutkan di atas awan sana yang kemudian melahirkan senja.
Senja berona merah, senja yang amat indah.

__________

Maka pada sebermula bunga inilah, bunga yang melahirkan banyak kebahagiaan. Kota ini
mendapat julukan sebagai kota yang dilindungi para malaikat yang berbaik hati, dengan
perintah Tuhan untuk melindungi kota yang indah ini. Para perempuan yang hidup dengan gaya
hidupnya perlahan memudar, menerima orang-orang tanpa adanya kelas-kelas tertentu. Juga
lelaki itu, yang hidup dengan perempuan yang dahulu tidak mau lelaki miskin selain lelaki kaya
untuk kebutuhannya.

Aku mulai merawat bunga-bunga itu dengan segala keluasan cinta yang tumbuh. Seperti
hikayat tentang orang-orang yang hidup dengan bunga, bila dengan kekasihnya para lelaki
memberikan bunga sebagai lambang cinta. Aku cabut bunga itu dan kuberi kepada istriku, yang
satu bulan lalu kukawinkan. “Bunga ini indah sekali,” ucap istriku. Hidungnya mulai mencium
wangi bunga itu, wangi yang katanya dari surga tempat Nabi Adam yang tergoda memakan buah
Kuldi dan dibuang ke bumi. Kubiarkan senyum istriku itu mengembang seperti bunga yang
mekar di tangannya itu. “Lihat, bunga ini bergerak, seperti menari-nari.” Terpana matanya
melihat bunga-bunga itu menari, seperti diiringi bunyi musik. Bunga yang alangkah bahagia
hidup di bumi ini.

Pada malam itu, telah mekar bunga itu yang menari-nari di belakang halaman, yang
diterjang angin malam. Di saat bercinta, bunga-bunga yang mekar itu alangkah seperti menerima
perihal percintaan kami. Mereka menyetujui adanya bercinta di tempat yang bahagia ini.
Kubiarkan mereka menari-nari, dengan batang yang bergoyang-goyang.

_________

25
Tapi alangkah kejamnya kebahagiaan dan ketenangan yang hanya datang sementara. Bunga-
bunga itu kemudian layu, dengan bantuan cuaca atau memang ada seseorang yang memberikan
racun pada bunga-bunga itu. Aku melihat semua berubah dengan cepat, kota yang tenang
seperti dulu lagi. Memaksa orang-orang bekerja satu harian penuh bahkan sampai meninggal,
dan orang-orang korupsi kembali dan diberikan penjara di tempat yang mewah. Seorang
presiden bahkan memanggil intel untuk segera memberangus orang-orang yang berseberangan
dengan ideologinya, demo dan kebakaran massa ada di mana-mana. Kota ini berubah demikian
cepat, aku tidak tahu siapa yang telah kejam dengan bunga-bunga yang diberi layu ini. Aku
tidak mau menyalahkan Tuhan, Tuhan begitu baik dan tidak pernah kejam kepada manusia di
bumi ini. Apakah ada seseorang yang sengaja membunuh bunga-bunga ini?

Dan aku tidak tahu tentang bunga ini yang tiba-tiba layu, yang kemudian menyebabkan
kota seperti dahulu lagi. Bisakah kebahagiaan dan ketenangan di kota ini berakhir selamanya?
Namun, selalu ada masa tentang kebahagiaan. Orang-orang yang kutemukan, yang sempat
bahagia atas bunga yang tumbuh itu, berubah menjadi seseorang yang kejam dan menjatuhkan
orang-orang lagi. Kemudian perempuan-perempuan yang menerima siapapun tanpa kelas,
sekarang berubah seperti dulu lagi. Memenuhi gaya hidup yang mekar di kota ini, dan
melacurkan diri sendiri kepada orang lain dengan uang berlimpah.

Istriku demikian, banyak memakiku dan menindasku. Katanya, aku bukan lelaki yang
pandai mencari uang dan tidak seperti suami-suami lain. “Lihat, mereka saja punya mobil. Masa
kita tidak bisa? Aku malu sama tetangga!” kata-kata itu seperti mata pisau yang menghunjamku.
Aku tak mampu menerima ujarannya itu, aku tidak bisa memarahinya. Untuk rumah yang telah
kubeli ini akan dicabut bila tidak bisa membayar lagi. Pekerjaan telah tiada, perusahaan
mengadakan PHK kepada setiap karyawan yang telah lama bekerja. Betapa cepat kebahagiaan
kota ini dari Sebermula Bunga yang tumbuh itu. Warna-warna itu telah menggelap, seperti warna
kegelapan di tempat menderita. Aku yakin, ada seseorang yang menghancurkan kehidupan
bahagia ini, agar kelak kota atau setiap tempat jatuh dan hidup seperti sedia kala lagi. Penuh
pembantaian dan penindasan. Kebahagiaan, alangkah cepatnya memudar dengan waktu yang
tidak dapat disangka-sangka, di saat waktu sedang baik-baik saja dan tidak ingin ada bencana.

Apakah ini tangan Tuhan yang bekerja? Tidak! Kupastikan tangan Tuhan itu baik kepada
setiap orang-orang di bumi ini, yang berdosa maupun yang suci sekalipun. “Kita cerai!” teriak

26
istriku dengan layangan kata-kata itu, bagai pisau tajam yang terasah yang membuat setiap
goresan cepat berdarah. Aku tahu betapa berdarahnya dadaku akan perubahan yang cepat ini,
bahkan istriku sendiri yang penuh dengan cinta dan menerima setiap apa yang ada di kehidupan
ini. Apakah ini sebuah ujian yang harus dipegang manusia, agar tak berpegang dalam waktu
panjang pada kebahagiaan yang nyatanya semu?

Seperti yang diungkapkan manusia-manusia lain, tentang ujian atau penderitaan kepada
manusia lain. Namun aku yakin, ini bukan ujian dari Tuhan, ini ujian dari manusia yang berani
menumpaskan kebahagiaan kota yang dahulu murung ini, dengan tumbuhnya bunga yang
sendirinya itu di rumah kontrakan sewa sebelum membeli rumah ini. Aku terdiam dengan
perceraian istriku dari mulutnya, dengan alasan hanya tidak memiliki mobil dan mendengar
ucapan dari tetangga yang pesong itu.

___________

Dan pada akhirnya, kota kembali murung dan penuh pembantaian lagi. Penderitaan ada di
mana-mana lagi. Orang-orang miskin yang disekolahkan tinggi mulai dipersulit, hingga mereka
putus sekolah dan menjadi pengangguran, bahkan harus merelakan ijazah sarjana yang mereka
kejar. Mereka yang bekerja di kantor dengan gaji yang cukup, orang-orang miskin itu, mulai
dipecat karena tidak punya ijazah dan sistem telah berubah kembali. Betapa gilanya kota ini
lagi, betapa rumitnya kehidupan yang dicekik setiap saat seperti tidak nyaman tidurnya. Berkali-
kali aku ingin pulang ke kampung saja, aku sudah menyerah di kota ini.

Dengan pernikahan yang belum sempat memiliki anak dan sudah cerai ini, aku seperti
lelaki yang gagal berkali-kali di kota ini, perihal uang yang mesti kudapatkan dari bekerja lagi.
Tetapi, aku telah di PHK dan sudah tidak akan bekerja lagi. Betapa kota dan orang-orang yang
bekerja di gedung ini seperti binatang, rakus semua tiada puas. Mereka hanya ingin bahagia
dengan cara tidak peduli dengan orang lain apalagi nasibnya.

Sudah kuputuskan kampung satu-satunya cara untuk pulang. Lagipula tabungan sudah
cukup, aku akan beralih menjadi petani yang tentram di dekat pegunungan. Tidak ada paksaan

27
waktu. Aku merindukan senyum sederhana mereka di kampung yang tidak memiliki apa-apa
selain hidup tenang yang jauh dari terpaan berat selain makanan dan minum yang cukup. Aku
sudah merindukan ibu di sana, yang telah kutinggalkan lama demi merantau di kehidupan yang
amat gila ini. Kupikir, kampung menjadi salah satu cara untuk pulang dan hidup tua di tanah
asalnya, bukan di kota ini lagi, yang semenjak murung dan bahagia lalu murung lagi. Kelak akan
kuceritakan, bahwa aku pernah bertemu bunga yang pernah membuat kota bahagia dan tiada
kekerasan disana. Bunga yang kuberi nama Sebermula Bunga. Aku tahu ini akan menjadi
dongeng omong kosong orang-orang tua yang hidup bukanlah fantasi selain uang yang nyata.
Aku tidak peduli, dongeng ini amat indah dan kelak harus mereka dengar.

Kutinggalkan rumah yang besar itu, yang telah dicabut dan tak sanggup bayar lagi.
Pekerjaan sudah tidak ada di kota ini, kota ini akan kuucapkan selamat tinggal dengan panah
yang menusuk perlahan-lahan. Mantan istriku telah pergi, dengan kabar yang cepat, ia menikah
lagi dengan seorang pengusaha kaya yang melimpah hartanya itu. Kesakitan harus kulenyapkan
saat sudah sampai di kampung nanti. Aku akan menjadi anak kampung seutuhnya dan menjadi
petani seumur hidup, dan tak ingin apa-apa atau perihal lain yang hanya kebahagiaan semu.

Sebermula Bunga yang layu masih tertanam di sana. Tetapi sudah mati bunga itu, bunga
ajaib yang pernah membuat kota ini berubah.

28
Jeruji Bercelah
Pencerita: Agnicia Rana

Hari ini tepat hari ke-21 aku mendekam di antara bising yang jarang ditemani ketegangan
yang menjalar. Beberapa waktu lalu aku masih bebas bercengkrama dengan tukang jual ayam
dan sayuran di pasar. Sekarang hari-hariku hanya seputar kamar kecil ini, ditemani makanan
kaleng yang kurang bumbu, pun beras yang dihemat, dan air masak seadanya. Aku pun semakin
rajin termenung menatap langit-langit yang berdebu dan hampir rubuh. Tak apa. Setidaknya aku
masih hidup, dan tak pusing jika kehujanan di jalan.

“Pergilah kau, ke pasar!” katanya memecah kesunyian dengan intonasi setengah


membentak.

“Masih ada ikan kaleng. Saus juga masih ada setengah botol.” Aku menjawab, sambil
melipat baju dan menatanya di lemari.

“Tiga minggu, hey, tiga minggu aku makan itu terus sampai mati rasa lidahku!”

“Perutmu masih berasa lapar toh? Belum mati rasa lambungmu, tak usah banyak bacot!”
Aku membentaknya, ia balas dengan tamparan di pipi kiriku.

Tak apa, sudah biasa. Sudah terlalu biasa. Dari pada tinggal di jalan, mati dimakan debu
dan gemerisik jalanan, aku lebih suka di sini, di tempat ini bersama setan satu itu. Setidaknya
kemaluannya masih bisa bangun jika diusik.

Tak usah kuceritakan, kau pasti sudah menebak-nebak bahwa ia adalah pasanganku,
bukan?

Dan benar, ia adalah pasanganku yang sudah lebih dari lima tahun ini hidup bersamaku.
Kerjaanya menghisap cerutu bekas yang ia curi dari bosnya sebelum ia ditemukan tak waras. Ya,
setan itu pernah gila, karena duburnya berdarah diperawani bosnya yang sialan itu—baru aku
sadari ada orang lain yang seperti dirinya.

Dulu ia sering bercerita, rasanya menyakitkan, dan ia tak mau mengulangnya lagi—tidak,
sampai ia benar-benar mati. Belakangan setelah dua bulan bersamanya, aku baru tahu rasanya.

29
Panas, menyakitkan, sungguh menyiksa dengan sensasi yang entah apa—percaya padaku,
rasanya seperti... antara surga dan neraka tak jauh berbeda. Anehnya, lama-lama aku terbiasa.
Apa aku masih waras?

“Nti, Nti, mau kusodok boolmu? Pergilah ke pasar, Nti!”

Aku menatapnya sinis, membuka celanaku—sekaligus celana dalam yang jarang-jarang


kupakai, lalu berbalik membelakanginya, dan menyodorkan pantatku tanpa malu-malu. Dia
mendesah, menghela napasnya, kemudian berdiri menuju arahku. Yang ia lakukan hanya
memasukkan jarinya sambil menggerak-gerakannya di dalam situ, kemudian mendorongku
hingga jatuh dan pergi ke kamar mandi. Jancuk!

Tak lama aku bangun, menunggu ia keluar dari kamar mandi untuk membersihkan sisa-
sisa kelakuan bejatnya. Ia keluar, dan seperti biasa ia lupa menyiram jamban.

“Bedebah! Kencingmu bau!” Ia tak menghiraukanku, malah duduk sambil menatap


televisi yang aku yakin tak ia pahami isinya.

Aku memang tak lebih dari babu di matanya. Pagi aku disuruh masak dan menyiapkan
kopi, lain waktu ketika baju bersihnya habis aku disuruh mencuci baju kotornya, seringkali aku
disodok berkali-kali dari belakang—kadang dari depan demi memenuhi gairah bercintanya.

Namanya Rustam, dengan perawakan yang tinggi dan kurus, berkulit sawo matang nan
mengkilat. Di balik bajunya menyembul otot yang keras, hasil diperah kehidupan. Namun
belakangan, otot itu mulai kendor karena terpenjara dalam ruangan ini selama tiga minggu ke
belakang—dan masih sampai dua minggu ke depan. Yang tersisa hanya otot pantat dan
selangkangan yang masih ia latih tiap malam.

Dulu, lima tahun yang lalu, ia sangatlah manis dan rupawan. Ia bawakan nasi bungkus
dari warung di pinggir jalan dan sebotol teh manis kemasan untukku yang saat itu tak berduit.
Lain waktu ia bawakan pula aku sate kambing—yang membuatku pusing setelah memakannya.
Aku selalu lupa punya darah tinggi, dan nampaknya ia sengaja melakukannya agar dapat dengan
mudah menelanjangiku. Tapi tak apa, seringkali aku yang minta ditelanjangi. Dipereteli satu per

30
satu dari atas ke bawah, karena aku selalu suka tatapan tajam penuh amarah yang keluar darinya
tiap kali melihatku telanjang. Mungkin itu caranya balas dendam.

Kami tak pernah menyatakan perasaan satu sama lain. Mungkin ia suka padaku, atau
lebih aku tak tahu—dan tak peduli. Selama dahaga masih dapat disalurkan, mengapa tidak
diteruskan? Meski bukan suka apalagi sayang, namun ia membutuhkanku. Ia membutuhkanku
untuk memenuhi segala kebutuhannya. Sebagai gantinya, ia dedikasikan uangnya padaku—
meski tak banyak, sekali lagi setidaknya aku tak hidup di jalan tempat ia menemukanku.

Aku jadi teringat lima tahun yang lalu di hari pertama kami bertemu. Malam itu, aku
tengah bersiap mengamen di lampu merah. Seperti biasa, aku mengenakan baju yang gemerlap
dan make up mencolok—hasil menguntit di salon sebrang lampu merah, siap menggoda supir di
jalan. Aku memainkan peranku begitu hebat, hingga mungkin ia tertarik, seperti lelaki-lelaki
sebelumnya yang terang-terangan datang. Sayang mereka tak berduit. Mau ngentot kok gratis?
Tubuhku ini masih suci, harganya mahal!

Ya. Memang aku masih suci, karena takut digerayangi hingga dibobol. Terlebih
kebanyakan lelaki disana berbadan bau dan tambun, tak seperti Rustam. Pasti isi
selangkangannya juga gemuk. Aku tak bisa membayangkan rasanya dibobol oleh lelaki jenis itu.
Meski belakangan aku tahu—tapi kau jangan bilang-bilang Rustam, ya, bahwa ternyata tak
semua kelamin lelaki digambarkan dari bentuk tubuh yang punya. Aku baru tahu ini ketika
menyeludupkan lelaki bertubuh besar dan pendek. Ternyata isinya tak sebesar yang
kubayangkan—justru sebaliknya.

Singkatnya, ia datang padaku, lalu bertanya namaku. Aku tersenyum ketika menjawab. Ia
balik tersenyum. Keesokan harinya ia datang dan membawakanku nasi bungkus. Satu bulan
kemudian ia membantuku bayar kontrakan, dan mulai sering mampir. Ia pun selalu membayar
setoran hasil mengamenku ke Abah, dan bulan-bulan berlalu hingga aku dibawa ke tempatnya
ini. Menjadi babunya, mendedikasikan diriku untuknya.

Ia bukan orang yang pemalas, sampai ia dihadapkan pada kenyataan bahwa ia dipecat
karena PHK besar-besaran di perusahaan tempat ia bekerja. Sejak saat itu ia jadi Rustam yang
sekarang.

31
“Susah, goblok, cari kerjaan jadi satpam! Kebanyakan dari mereka penasaran dengan
lubang pantat!” Katanya waktu itu. Aku diam sejenak, kemudian menghampirinya dan melucuti
bajunya satu-satu. “Tenang, kita nikmati dulu malam ini.” Dan itu kali pertama ia menolakku.
Sejak saat itu, aku semakin lihat kemarahannya. Lubang pantat sialan!

Waktu pun berlalu, beberapa bulan kemudian ia dapat pekerjaan baru sebagai tukang
bangunan di proyek-proyek besar Jakarta. Itulah yang membuat kulitnya mengkilat dan otot-otot
menyembul keluar tubuhnya. Meski dibayar perhari, namun ia selalu dipanggil lagi. Kerjanya
cepat, katanya. Bahkan ia mampu menggendong empat karung semen dengan satu pundaknya.

Kehidupan semakin berantakan sejak itu. Kami pun dipaksa hidup semakin pas-pasan.
Lain waktu ia pernah tanya padaku, “Kau mau hidup begini terus, Nti?” Aku diam, tak mampu
menjawab, walau dalam hati aku bilang tidak—aku malah balik bertanya, “Kau tak mau cari
istri?” Ia diam, lalu menyernyitkan dahinya, kemudian marah padaku. Aku tak tahu pasti apa
yang membuatnya marah. Bukankah tinggal menjawab iya atau tidak saja?

“Nti, ke pasarlah, Nti!” Tiba-tiba saja dia membuka pintu kamar mandi membuatku
kaget.

“Ke pasar sana sendiri! Aku tak mau mati di jalan.”

“Kau tak akan mati, goblok! Kelaparan yang akan buat kau mati!” Ia menghampiriku
yang sedang jongkok di atas jamban, tak membiarkanku membersihkan diriku dan langsung
menarik tubuhku.

“Kau yang pergi, bangsat!”

“Kau ini apa, Nti? Kau aku bayar untuk...”

“Untuk jadi babu! Cari istri sana!”

Ia menarik napasnya, mengumpulkan amarahnya, dan membentakku hingga muncrat air


liurnya, “Kupotong titit kau sekali lagi kau bilang istri!”

Aku diam lalu beranjak menjauhinya, dan seketika mematung.

32
Apa bedanya aku dengan babu? Dikurung dalam jeruji bercelah ini bersama lelaki laknat.
Meski aku dapat menghirup sebanyak apapun oksigen yang kumau, tetap aku ini babunya!
Bahkan tugas babu bukan untuk bercinta dengan majikannya, bukan? Lalu aku apa kalau bukan
babu? Memasak untuknya, mencuci bajunya, membersihkan tempat tidurnya, dan melakukan
segala hal yang dilakukan babu. Aku jelas babu karena aku tak akan pernah bisa jadi istrinya,
bukan?

“Lebih baik kau potong saja, Rustam.” Aku berbalik menatapnya lekat-lekat. “Kau ambil
untuk makan siangmu pun tak apa. Toh sejak kau datang, ia tak lagi berguna.”

Jakarta, 2020

33
Asa Di Tanduk Damai
Pencerita: Adam Zainal

Ada sekelumat asa, harapan, juga kecewa pada jiwa-jiwa yang tulus. Mereka tidak faham
apa yang disebut dengan politik, yang mereka tahu jubah dan Peci adalah kebaikan (tanda
kesucian), juga alas untuk menjanjikan kemakmuran, kesejahteraan, terlepas siapa insan yang
mengenakan jubah dan peci suci tersebut.

Suatu ketika aku ikut menyeruput kopi bersama beberapa tokoh atau peutuha (tetua) di
kampungku. Mereka adalah Apa Suman, Abu Li Pirak, Lem Dawod, dan Bang Seuhak. Tiada
yang lebih tulus sebuah diskusi yang temui selama ini selain ungkapan-ungkapan yang keluar
dari masyarakat kelas bawah. Apa yang disampaikan oleh mereka adalah kebenaran yang
mungkin sudah bertahun-tahun dipendam di hati nan dalam. Aku mengamati dengan seksama
setiap pemaparan SKS demi SKS yang disampaikan Apa Suman Cs dan rekan-rekan sejawatnya.
Ia terlihat begitu santai, dan setiap penyampaiannya sangat terarah. Aku hanya bisa mengiyakan
apa yang dia utarakan kepadaku.

Di sisi kananku, Abu Li Pirak dan Bang Seuhak juga ikut menyeruput kopi di petang itu.
Kopi, iya kopi. Minuman yang sudah menjiwai setiap individu yang lahir di bumi Serambi
Mekkah tersebut. Di meja bundar itu, adalah tempat para “Peutuha” gampongku berkonferensi,
bersosialisasi, berimajinasi, berhalusinasi, berkonsolidasi, berkompetisi dalam mencurahkan
segenap emosi, ekspresi, juga diskusi. Sedang aku hanya mengamati dan menulis kata demi kata
yang mereka utarakan, di samping aku juga menyadari bahwa diriku adalah anak kamarin sore.

“Suman. Kenapa kau terus-menerus membenci mereka yang memakai Peci (kopiah)?"
tetiba Abu Li bertanya.

"Bukankah memakai peci itu sebuah kehormatan, dalam kehidupan masyarakat kita
(Aceh)?” lanjut Abu Li, seraya memanggil bang Matnu.

Bang Matnu adalah seorang barista ulung di gampongku, warung kopinya sudah berumur
puluhan tahun, dia adalah pemilik racikan kopi seadanya. Bawaannya humoris dan bijaksana,
semasa mudanya, Bang Matnu sudah merantau ke banyak daerah, dan negara-negara maju,
seperti Jepang, Brunai, Thailand, juga Malaysia. Ia juga lama berkelana di ibukota Jakarta.

34
Baginya, tanoh ie (tanah air) adalah nyawa, ia kembali ke kampung atas alasan jiwa, ikatan hati
dan raga.

“Begini, Abu. Saya tak seluruhnya membenci para dedenyut ber-Peci. Hanya saja, aku
membenci kelompok manusia yang bersembunyi di balik Peci atas beragam kejahatan yang
dilakukannya,” timpal Apa Suman, ia menjawab pertanyaan Abu Li, sembari menyulut sebatang
“rukok ôn” (rokok daun-red).

Bang Mantu berjalan menghampiri meja kami, Aku dan Apa Suman memesan kopi
sareng, sedang Abu Li dan bang Seuhak juga memesan kopi. Mereka memesan kopi pancong
racikan seadanya. Kini, para peutuha itu mulai melanjutkan kembali perbincangannya, sedang
aku masih khusyuk dengan gawaiku. Barangkali, di sana aku memang ditakdirkan untuk menjadi
pendengar yang budiman.

“Namun, Suman. Bukahkah yang berbuat jahat itu tidak seluruhnya bersembunyi di balik
Jubah dan Peci? Menurutku, hanya sebahagian saja yang menutupi diri dengan dalil agama atas
kebejatannya,” tambah Abu Li.

“Tentu, Abu. Tapi, penjahat di luar negeri memang tak ber-Peci. Sebab agama mereka
beda dengan kita, dan mereka tak pernah bersembunyi di balik pakaian suci atas kejahatan yang
mereka lakukan. Beda sekali dengan di Nanggroe kita, para penjahat selalu berlindung di
belakang Agama. Kayoe teuh keu ureung meu-Peci daripada keu Beulaga,” urai Apa Suman
menggelitik. Bawaan tetap santai, dia sangat mahir dalam menyampaikan sesuatu.

“Tidak, Suman. Kau jangan menyamakan saudara kita seu-Nanggroe dengan penjahat di
Eropa sana. Sejahat apupan orang kita, mereka masih tetap mengingat Tuhan, dan tak pernah
keluar dari islam,” timpal Abu Li.

“Ho, Abu. Kita tidak sedang membahas tentang perbedaan agama. Atas nama
kemanusian, saya tetap membenci setiap pelakunya. Sebab kejahatan bukan didongkrak atau
didorong dari sebab musabab agama yang diyakini seseorang,” sergah Apa Suman.

“Jangan mengelak, Suman. Apapun yang kita lakukan tidak terlepas dari norma dan nilai-
nilai agama, baik itu berupa kejahatan ataupun kebaikan. Aku tak setuju jika kau mangklaim
orang yang berpeci itu sebagai orang yang berlaku jahat,” ujar Abu Li lagi. Suasana sedikit

35
menegang, raut muka Abu Li kian menyala, sorot matanya menantang Apa Suman. Sedang Apa
Suman masih terlihat santai dan sesekali menyengik senyum ke atasku dan bang Seuhak.

Aku membalas sinis, senyum Apa Suman dan berkedip mata kearahnya, pertanda
memberi kode untuk melanjutkan percakapannya dengan Abu Li. Lalu Abu Li menatapku
girang, sepertinya dia tahu bahwa kali ini aku sedikit berpihak kepada Apa Suman, namun bukan
masalah, sebab dia mengerti betul bagaimana perangaiku.

“Abu. Jangan emosi, Abu. Sudah dari tadi saya katakan, bahwa saya tak seluruhnya
membenci orang yang ber-Peci dan berjubah suci. Saya hanya membenci mereka yang berbuat
kejahatan serta bersembunyi di balik pakaian suci. Supaya apa? Supaya mereka dianggap sebagai
pejuang, juga sebagai mujahid?” papar apa Suman seraya melayangkan kembali pertanyaan
kepada Abu Li.

“Iya, Suman. Aku mengerti, tapi tak bisa menerima perkataanmu itu, sebab aku sudah
menggunakan Peci selama 45 tahun. Aku juga bahagian dari orang yang berpeci, Suman,” jawab
Abu Li sedikit terbata-bata.

“Baiklah, Abu. Saya tak akan melanjutkan lagi percakapan tentang Peci dan Jubah suci
pujaan, Abu,” sahut Apa Suman.

Suasana mulai hening, keduanya tak lagi melanjutkan percakapan, bang Seuhak menatap
ke atasku dengan menyeduhkan sedikit senyum. Aku mengangguk, berharap bang Seuhak bisa
membuka diskusi baru di petang itu.

“Abu, ada benarnya yang dikatakan oleh Apa Suman. Kenapa Abu harus marah dan
emosi, bukankah negeri kita ini Peci dan Jubah bahagian dari simbol, seperti simbol pancacita?”
tetiba bang Seuhak berkata seraya mengisi kembali tabir hening meja bundar tersebut. Aku
terkekeh mendengar perkataan bang Seuhak, tak biasanya dia menyahuti dan sepaham dengan
Apa Suman. Kebiasaan mereka sering bertekak alot dengan isme mereka masing-masing.

“Cukup, Seuhak. Kau jangan terpengaruh dengan aliran si Suman, nanti kau bisa sesat.
Doktrinnya terlalu ke kiri,” urai Abu Li kemudian.

“Kan bagus kiri,” sanggahku.

36
“Kalian berdua memang satu aliran, sama-sama sesat,” sambung Abu Li menyalak.

“Kiri jalan terus, Abu. Kita tak perlu buang-buang waktu di lampu merah,” timpalku
singkat. Apa Suman dan bang Seuhak tertawa terpingkal-pingkal mendengar perkataanku,
sedang Abu Li memasang wajah suram, sorot matanya masih murung dan mengenaskan.

“Hak ek ta mariet ngon aneuk miet budok lage kah,” lanjut Abu Li dengan bahasa
Acehnya yang khas, seraya meneguk kopi.

“Sudah, Nyak Dam. Cukup, biarkan Abu Li menikmati masa tuanya untuk sebentar lagi.
Dia juga butuh kebahagian seperti kita,” ujar Apa Suman kemudian.

“Kau pikir aku tak pernah bahagia, Suman? Aku ini orang yang paling bahagia di
kampung ini, di samping dermawan dan murah hati. Tak sama dengan kau, OKB (orang kaya
baru), tapi pelit dan kikir,” kata Abu Li.

Matahari mulai meranjak ke arah barat langit Aceh, kini suasana warung kopi bang
Matnu kembali menyala, Apa Suman dan Abu Li Pirak mulai membuka tajuk diskusi baru, aku
dan bang Seuhak hanya menjadi pendengar yang Budiman.

“Siapa yang pelit dan kikir, Abu? Bukankah Abu yang sudah di cap sebagai orang pelit
dan tamak di kampung ini. Rugi, Abu, Boinahmu hampir setengah kampung ini, tapi kau tak
kunjung juga ke tanah suci. Abu tunggu apalagi, harta tidak dibawa mati. Liang lahat hanya
butuh sehelai kain kafan, bumi tak butuh kekayaan kita,” sindir Apa Suman.

“Barangkali Tuhan belum menghendaki aku untuk ke tanah suci, Suman,” balas Abu Li
singkat dengan nada merendah.

“Tuhan akan menghendaki apa yang kita minta, Abu. Mungkin Abu tak punya niat atau
tak pernah berdo’a untuk bisa naik haji,” timpal Apa Suman lagi.

“Tentu. Kapan Abu Li hendak berdo’a, dia sering lupa jalan menuju ke Meunasah,
padahal usianya sudah teramat lanjut,” pungkas bang Seuhak.

37
“Seuhak. Ibadah itu antara manusia dan Tuhan. Kau tak perlu meng-investigasi ibadah
orang lain. Ibadah bukan perkara yang wajib dipamerkan,” jawab Abu Li, seraya mencoba untuk
membela diri.

“Lantas untuk apa ada Meunasah, Abu?” tanyaku kemudian.

“Ya, untuk ibadah,” jawabnya singkat.

“Apakah ibadah di Meunasah masuk dalam katagori pamer?” tanyaku lagi.

“Tentu tidak, nyak Dam,” helanya.

“Lantas! Kenapa Abu tak pernah ke Meulasah?” potong Apa Suman dengan pertanyaan.

“Cukup, Suman. Kau tak perlu cari gara-gara denganku,” imbuh Abu Li.

“Tidak, Abu. Saya tak cari gara-gara dengan Abu,” jawab Apa Suman santai.

Senja kala langit Aceh merekah jingga, matahari mulai tenggelam dalam peraduan
petang. Kami mulai beranjak untuk kembali, dan diskusi petang itu barangkali dinyatakan sudah
usai. Namun, raut-raut keriput itu tak sedikitpun menyulutkan dendam dan permusuhan, mereka
kembali tertawa sambil berjalan menuju arah pulang.

Mula-mula di suatu malam di tempat yang sama, ketika diskusi sepatang tadi dinyatakan
usai, para peutuha kampung tak pernah kehabisan materi dalam berdiaog, mereka selalu punya
tajuk yang hendak dibahas dan diperdebatkan. Bertemu lah kembali mereka di meja konsolidasi
warung kopi bang Matnu di malam itu. Lalu aku ikut bergabung dan nimbrung di antara Apa
Suman, Abu Li, bang Seuhak dan Lem Dawod. Mereka adalah tokoh-tokoh tesohor di Sagi kami.
Awal mula Lem Dawod membuka haba mengenai perkara Nanggroe dan Martabat, tepat
menjelang HUT Kemerdekaan Indonesia yang Ke-73. Sikap nasionalisme mereka masih kuat
dan kental, mereka adalah tokoh-tokoh yang berjiwa patriot.

"Suman. Kau tahu makna Martabat?” Tetiba Lem Dawod bertanya kepada Apa Suman
sebelum mereka membuat Gapura Merah Putih dari batang Bambu untuk menyambut 17
Agustus.

38
“Bagiku martabat adalah prinsip, kehormatan yang wajib dijaga hingga mati. Lebih baik
mati di dalam perang daripada sengsara di dalam damai,” jawab Apa Suman.

Pasca perdamaian GAM dan RI, kata Apa Suman, “Kita Aceh hidup seperti di dalam
mimpi dan angan-angan yang besar. Bermakna kita hidup dalam aspek penuh kepura-puraan dan
tipu daya muslihat. Buktinya, sampai dengan hari ini (puluhan tahun damai Aceh) masih banyak
butir-butir MOU Helsinki yang belum di Implementasikan dan jauh dari kata terealisasi,”
katanya.

“Mengingat masa dan waktu yang lama ini, Pemerintah Aceh belum mampu membawa
perubahan baru untuk Aceh, baik dalam sektor pembangunan manusia, ekonomi, Kesejahteraan,
Insfrastuktur, dan sebagainya. Kita terlalu nyenyak tidur, juga larut dalam mimpi
berkepanjangan,” sahutnya Apa Suman ketus.

“Selama damai ini ada, telah dibuka tabir kelam untuk anak kita hari ini? Mereka tidak
lagi hidup dalam tekanan moral, perang dan kejamnya kehidupan, bahkan tak pernah
menyaksikan kedikdayaan para serdadu, juga perjuangan, serta penyiksaan yang tak
manusiawi?” Pungkas Lem Dawod.

"Benar. Tepat sekali, Dawod. Kau tahu? Perdamaian adalah akhir dari perang dan
penjajahan. Dan hari ini kita masih saja dijajah dengan cara-cara yang baru, bahkan orang-orang
kita Aceh juga ikut andil dalam penjajahan tersebut. Jika berdamai hanya untuk mengakhiri
perang dan menerima kezaliman tipudaya ini, lebih baik kita mati saja sebelum damai itu ada,”
pungkas Apa Suman.

"Sebagai seorang Teuntra Nanggroe aku malu dengan perdamaian ini, bahkan malu
dengan anak dan cucuku, Dawod. Apakah Hasan Tiro pernah menyuruh kita pulang atau
berdamai dengan musuh?" tanya Apa Suman kemudian.

"Tidak Suman. Hasan Tiro sudah berjuang dan mengajak bangsa ini menuju jalan
perjuangan yang bermartabat, namun selepas ia berpulang kepangkuan Allah SWT, idealisme
GAM dan bangsa Aceh itu sedikit demi sedikit mulai terkikis, barangkali sebahagian kita terlena
dengan bantuan dan segopok rupiah dari Jakarta, lalu butir-butir perjanjian di Helsinki tersebut
tak kunjung di-implementasi dan direalisasi,” sergah Lem Dawod.

39
“Barangkali tentu, Dawod. Tapi sekarang GAM sudah terkotak-kotak, berkolompok-
kelompok. Ini akibat dari ego sektoral dari tubuh GAM itu sendiri. Bahkan kau, adalah salah satu
Teuntra Nanggroe yang mendapat syufa'at dari perdamaian ini,” tandas Apa Suman.

"Sedang di sana, di seluruh Bumoe Meutuah ini masih banyak Teuntra-Teuntra


Nanggroe, yatim Syuhada, Inong Bale, dan korban konflik yang masih berkutat dengan sejarah
luka, sengsara, dan sebahagian bergulat dengan kekayaan, juga kedikdayaan orang lain yang kita
cari di parlemen hanya untuk menopang hidup bersama keluarga. Mereka rakyat Aceh masih
dalam trauma dan dilema, Dawod,” tutur Apa Suman.

“Tidak, Suman. Aku tak mencari kekayaan di atas perjuangan dan darah bangsaku yang
tumpah,” tepis Lem Dawod.

“Sungguh, Dawod. Aku tak memaksamu untuk mengakui itu, sebab pangkat dan posisi
adalah jalan untuk memupus kesetiaan dan kasih sayang. Namun, diterima atau tidak, orang-
orang kita GAM yang berada di Parlemen sudah gagal dalam memperjuangkan MOU Helsinki,
hanya saja mereka malu untuk mengakuinya, sebagai pejuang kita harus menyadari ini, Dawod.
Juga harus siap menerima risiko dan juga konsekuwensi di cap sebagai pengkhianat oleh
generasi yang akan datang,” terang Apa Suman.

“Intinya, GAM tidak salah dalam perdamaian ini, Suman. Sudah kehendak Tuhan Aceh
ini Damai, kita wajib bersyukur dengan partisipasi perdamaian ini,” timpal Lem Dawod.

"Tapi, perdamaian ini tak adil menurutku, Dawod. Kita terus ditipu oleh Jakarta. Masih
banyak janji-janji di Helsinki yang tidak terealisasi. Bagiku, damai ini adalah percobaan bagi kita
GAM,” tutup Apa Suman kemudian.

Malam semakin larut, di luar warung kopi hujan deras mengguyur seluruh penjuru
Gampong Lumpoe. Angin laut meniup kencang ke arah selatan, halilintar bersahut-sahutan
menyambar bumi meutuah itu. Di beranda warung disesaki oleh para pengunjung, baik dari
kalangan akademisi, intelektuil, pejabat Kampung, juga para pemuda yang sedang militan-
militannya berlatihan, di laman gawai bersama Game PUBG yang kini sedang masuk merasuk ke
benak para generasi Negeri ini.

40
Kisah untuk Kekasihku yang Sudah Mati
Pencerita: Joan Oktavianie

Aku tahu bukan kau pelakunya. Meski kaulah orang yang paling mungkin membawa lari
uang pinjamanku, mengapa aku mesti curiga? Sudah lewat setahun kau tinggal bersamaku, kau
tahu kebiasaanku, di mana biasa aku menyimpan uangku, tapi selalu aman. Jika kemudian uang
pinjamanku yang jumlahnya puluhan juta itu mendadak hilang bersama dirimu, aku tak akan
sampai hati mencurigaimu. Aku tahu, karena aku mencintaimu dengan sepenuh imanku.

Ketika aku mengetahui uang pinjamanku hilang dan orang-orang sekitarku


mencurigaimu, aku menanggapinya dengan biasa. Sesederhana pergi mandi. Tiap hari aku tetap
pergi mandi dua kali sehari, makan tiga kali sehari, bekerja di pasar, dan memaksa diri untuk
tidur di malam hari. Terkadang aku dihujani mimpi buruk, tentang kejadian sore itu. Aku hanya
tak menyangka, melalui mimpi, kelak aku jadi punya kesempatan untuk membalas dendam. Tapi
itu nanti dan tanpa kusadari.

Saat ini, aku masih terus berusaha menjalani hidup seperti biasa meski tak pernah
mendengar kabar darimu lagi. Hingga beberapa hari kemudian, tepat ketika aku keluar dari
kamar mandi di suatu pagi, kudengar kabar bahwa kau sudah mati. Sebuah kenyataan yang
membuatku merasa, seakan beberapa hari ini aku telah mengurung diriku di dalam kamar mandi.
Menghibur hati dengan bernyanyi sambil membersihkan daki, tanpa benar-benar berusaha
mencarimu dengan berani. Dan begitu aku telah cukup bernyali untuk keluar dari sana, berita
kematianmu langsung membombardir pikiranku.

Aku ingat hari terakhir kita berjumpa adalah terakhir kali kita bersanggama. Kau ingat
kebiasaan kita bukan? Berbagi cerita sambil bercinta di balik berahi. Tak kututupi kenyataan
bahwa aku sedang kesulitan uang dan akhirnya telah mendapat pinjaman uang puluhan juta.
Jumlahnya lebih, berjanji akan memberimu satu atau dua juta secara cuma-cuma. Sehabis kita
mencapai puncak berahi, aku tak ingat lagi. Terlalu lelah untuk bercakap-cakap lebih lama
denganmu, maka aku jatuh tertidur. Aku yakin kau pun mendengar dengkuran halusku. Mungkin
kau tidak karena ikut tidur pulas di sampingku. Tapi yang membuatku sepi, saat aku terbangun,
kau tak lagi ada di sampingku, di rumahku. Sore itu kau menghilang bersama uang pinjamanku,

41
dengan pintu terbuka dan pagar tak terkunci. Katakan, siapa yang kaukejar sampai membuatmu
begitu terburu-buru?

Orang-orang bilang, kau yang membawa lari uangku. Mereka menyuruhku melapor polisi
dan jangan pernah menghubungimu lagi. Aku terlalu mudah dikecoh olehmu, kata mereka.
Namun tak satu pun dari semua itu yang kulakukan. Demi menunjukkan cintaku, semua yang
dikatakan orang-orang itu telah kulanggar. Hari-hari kujalani dengan penuh iman bahwa kau
akan kembali, yang mereka sebut sebagai penyangkalan. Kemudian tibalah hari ini. Hari di mana
beberapa pria datang menggedor pagar rumah kita. Aku melongok keluar untuk meminta izin
berpakaian sebentar, sebelum akhirnya menyambut mereka dengan sopan.

Empat orang itu—dan ternyata ada seorang wanita di antaranya, adalah polisi yang
berpakaian preman. Mencium bau tubuhnya, sepertinya mereka belum kena air selama berhari-
hari. Bagaimanapun, merekalah manusia pilihan yang menyampaikan kabar kematianmu ke
telingaku. Merekalah orang-orang sial yang harus menyaksikan ketidaksiapanku menghadapi
kepergianmu. Seperti kubilang tadi, rasanya kepalaku mau pecah dibombardir dengan berita
buruk semacam ini. Telingaku berdenging dan kesadaranku hilang separuh. Empat polisi itu pun
menungguiku hingga tenang dengan santun, demi informasi yang mereka butuhkan dariku.

Selesai sedikit berbasa-basi, kemudian mereka mulai menjelaskan. Mayat kekasihku itu
berkeringat saat ditemukan di pinggir sungai di dasar jurang. Jika dihubungkan dengan kasus
hilangnya uang yang tak pernah secara resmi kulaporkan, tapi mereka dengar dari para warga
yang menemukan jasadmu, mereka curiga dirimu jatuh terperosok dari tebing karena kurang
hati-hati ketika membawa uang lari. Tapi orang yang bawa kabur uang puluhan juta pasti hati-
hati, potongku tak sabar. Tak mungkin ingin cepat mati.

Mereka mengulang penjelasannya lagi. Sepertinya—seperti orang-orang lainnya, mereka


mulai menganggapku bodoh dan mudah ditipu. Jika memang benar kau mati ketika membawa
uang lari, lalu bagaimana bisa, mayatmu ditemukan tapi uangku yang katanya dicuri olehmu itu
lenyap begitu saja? Ini artinya, mesti ada seseorang yang mengambilnya dari kita bukan?
Terlebih, dia telah mengambil nyawamu, meski entah mana yang dia ambil lebih dulu, uangku
atau nyawamu. Namun di atas semua itu, tentu aku tak bisa menerima jika mereka malah
mencurigaimu yang telah direbut nyawanya dengan begitu tak adil.

42
“Jadi siapa pencuri yang membunuh kekasihku?” tanyaku pada polisi itu, yang dari tadi
paling banyak cakap dibanding yang lain. Dia mengusap dagunya yang dipenuhi oleh tunas-
tunas janggut yang akan tumbuh. Polisi perempuan di sampingnya menatapku dengan pandangan
yang menunjukkan ketidaksukaan padaku. Aku tak peduli dengan dua polisi lainnya. Sedari tadi
mereka cuma berjaga di depan pintu, hanya sesekali kudapati mereka melirik ke arahku.

Pada akhirnya, tak ada yang menjawab pertanyaanku. Mereka cuma menumpahkan
kalimat-kalimat diplomatis yang sulit dimengerti, yang sungguh-sungguh membuatku jengkel.
Bukankah mereka ini datang untuk bertukar informasi? Lalu mengapa mereka mesti memilih
kata-kata yang membuat kepalaku sakit? Kau tahu bukan, aku paling benci dengan orang-orang
yang sok pintar.

Untungnya mereka sudah pamit sebelum kuusir. Berlagak menenangkanku dengan janji
akan menemukan uangku. Mengembalikannya dengan utuh, sesuai dengan jumlah semula.
Kubilang tak mengapa kalau kurang satu atau dua juta karena memang akan kuberikan pada
kekasihku. Tak ketinggalan kutegaskan sekali lagi supaya mereka tidak lupa untuk menangkap
pembunuhmu. Pria itu tersenyum, “Tenang saja. Mayat tak pernah berbohong.” Lalu ia masuk ke
dalam mobil bergabung dengan kawanannya.

Suatu dini hari, kurang lebih seminggu setelah kedatangan polisi itu ke rumah kita, aku
dibangunkan oleh dering telepon yang nyaring sekali. Kuangkat panggilan itu dengan suara serak
khas baru bangun tidur. Seseorang di seberang sana memintaku untuk mengumpulkan
kesadaranku sekaligus meminta maaf telah menelepon subuh-subuh. Oh, polisi itu ternyata. Ia
mengabari hasil penyidikan terakhir mereka merujuk pada adanya tersangka lain, seperti
dugaanku. Aku diminta untuk berhati-hati. Mengunci semua pintu dan jendela. Nanti pagi
mereka akan datang untuk memberi tahu dengan lebih rinci. Setelah berterima kasih dan
menutup telepon, terseok-seok aku berjalan ke ruang tamu untuk memeriksa pintu dan jendela.

Baru saja aku melewati pintu kamar, ketika mendapati sesosok tubuh tergeletak tak
bergerak di ruang tamu kita yang tanpa sekat. Lengkap dengan uang kertas dan noda darah yang
berceceran di mana-mana. Mendadak jantungku berdetak makin cepat. Tubuhku menggigil hebat
sebelum akhirnya ambruk di tempat. Kucoba untuk mengumpulkan kembali napasku satu-satu.

43
Juga tenaga dan kewarasanku. Kakiku tak sanggup lagi menopang, kuseret tubuhku demi
mendekati tubuh itu. Perlahan, aku bisa lihat wajahnya.

Begitu wajahnya terlihat jelas, ingatan-ingatan aneh menerjang bersamaan. Tercekat,


kukerahkan seluruh tenaga yang tersisa untuk berbalik merangkak secepat yang aku bisa.
Suaraku hilang tak mau keluar. Aku tak bisa berteriak meminta tolong. Bangun untuk
mengambil telepon genggamku pun aku tak sanggup. Hanya bisa diam meringkuk di sudut
dapur. Menggigil. Keringat dingin sudah membasahi sekujur tubuhku. Denging memekakkan
telingaku.

Ia sudah mati, tubuh itu. Kehabisan darah akibat tusukan benda tajam di sekujur
tubuhnya. Wajahnya memang tak asing, tapi aku cuma pernah melihatnya sekali. Di mimpiku
tadi. Sesaat sebelum aku terbangun oleh telepon polisi itu, aku tengah bermimpi—mungkin kau
tak akan percaya ini. Seperti sebelum-sebelumnya, aku bermimpi tentang petang itu: saat kita
tertidur sebab kelelahan habis bercinta. Kau terbangun karena mendengar ada suara dari ruang
tamu dan menangkap basah seorang pencuri yang mengambil uang pinjamanku. Kau berteriak
membangunkanku tapi aku tetap terlena dibuai mimpi. Lalu begitulah. Kau terpaksa berlari
mengejar pencuri itu, tak cukup waktu untuk menutup atau mengunci pintu. Sempat berhasil
menangkapnya, namun kau kemudian mati didorong ke jurang.

Aku tak mengerti. Tahu-tahu semua itu berputar kembali. Terbangun dari tidurku,
kudapati kau sedang tidur di sampingku. Tenang seperti bayi tak berdosa. Ada suara-suara dari
ruang tamu yang membuatku waspada mengambil pisau lipatku. Di situlah kudapati seseorang
tengah membongkar sofa kita, tempat teraman—menurutku, untuk menyimpan uang. Cuma kita
yang tahu soal tempat penyimpanan itu. Entah dari mana si pencuri bisa tahu.

Melihat aksi si pencuri, hal pertama yang kuingat adalah kau telah mati gara-gara dia,
meski sempat kulihat kau sedang tidur di sampingku tadi. Semuanya terasa tak masuk akal,
membuatku menyadari aku sedang bermimpi belaka. Karena itu, tanpa ragu kuterjang ia dengan
pisau lipat di tangan. Menusuknya sampai lupa diri. Melampiaskan kehilanganku meski cuma di
dalam mimpi. Aku ingat satu adegan mimpiku, saat aku sedang duduk di atas tubuhnya dengan
uang dan darah berceceran di mana-mana. Dia sudah tak bergerak, tewas. Kubongkar topengnya.
Itulah saat aku melihat wajah dari tubuh mati di ruang tamu kita itu sekarang. Kau bisa

44
bayangkan betapa terkejutnya aku. Mayat seseorang yang kubunuh di dalam mimpi, ditemukan
di dunia nyata.

Ingatan tentang mimpi pembalasan dendam itu kuputar berkali-kali dalam kepalaku.
Hingga pagi datang dengan tepat waktu. Sesuai janji, polisi itu berkunjung ke rumah kita. Belum
sempat berbasa-basi, mereka sudah dibuat terkejut dengan seonggok mayat di ruang tamu. Aku
masih meringkuk di sudut dapur ketika mereka menghampiriku dan menanyai keadaanku. Dalam
kondisi setengah sadar, kubilang pada polisi yang selalu banyak cakap itu, dengan jelas demi
membersihkan nama kekasihku yang sudah mati, “Pak… mayat tak pernah berbohong, tapi
kalianlah yang salah membaca pesannya.”

Jakarta, 2020

45
Cerita dari Jauh
Pencerita: Ganang Ajie Putra

Aku harus bersembunyi. Ini terlalu berbahaya. Derap sepatu itu masih berkeliaran di luar
sana. Sesekali, aku mendengar teriakan, gerutu dan barang-barang yang berhamburan ke lantai.
Aku tahu apa yang tengah mereka cari. Itu lah mengapa aku telah menyembunyikannya jauh-
jauh hari. Memang sempat terpikir sebelumnya, tapi aku masih belum percaya kalau mereka
betul-betul melakukannya. Aku sungguh tidak menyangka. Tadinya, kupikir kalau hal seperti ini
tidak akan terjadi. Mungkin aku terlalu menyepelekannya. Aku menyangka bahwa mereka tidak
akan sampai senekat itu. Tetapi aku salah. Kini mereka berada di dalam rumahku. Membunuh
orang tuaku, adikku, dan barangkali selanjutnya aku.

Dadaku berdegup kencang. Terus bertambah kencang sewaktu kudengar suara barang-
barang yang mereka jatuhkan semakin lama semakin dekat ke arahku. Lengkap dengan suara-
suara lengking yang bersahutan memanggil namaku. Ah, tidak. Mereka belum tahu namaku.
Mereka hanya memanggilku dengan sebutan 'anak sialan'. Aku berusaha menutup mulutku rapat-
rapat. Menggigit lidahku, juga mengatur napasku agar mereka tidak bisa mengetahui
keberadaanku. Beruntung, dulu ayah sempat memberitahuku kalau ia telah membuat sebuah
ruang rahasia di dapur, tepatnya di bawah wastafel.

Bila kau membayangkan tempat ini adalah sebuah bungker yang luas dan berisi banyak
persediaan makanan, berarti kau salah. Ayahku tidak punya cukup uang untuk membuatnya.
Tempat rahasia ini hanya sebuah galian kecil ke dalam tanah yang diberi potongan kayu sebagai
penutup di atasnya. Cukup untuk menyimpan tubuhku. Tapi kurasa itu tidak akan terjadi bila Vin
Diesel yang bersembunyi di sini.

Yang kualami hari ini bukan sekonyong-konyong tiba lalu meneror tanpa kendali.
Sebenarnya, ini terjadi karena beberapa waktu yang lalu, aku menyaksikan pembunuhan yang
terjadi di sebuah rumah, beberapa blok dari rumahku. Mereka berhasil memergokiku saat aku
secara tidak sengaja merekam kegiatan mereka pada kejadian itu. Mereka lantas berusaha
mengejarku saat salah satu dari mereka menyadari kehadiranku. Aku berhasil kabur saat itu.
Kupikir aku telah menghilang sempurna dan tak bisa ditemukan, atau tak lagi dipedulikan. Itulah

46
mengapa aku begitu yakin bahwa apa yang kualami hari ini tidak akan pernah terjadi, meski pada
akhirnya perkiraanku ternyata salah.

Aku sempat menuliskannya pada ibu tentang apa yang baru aku lihat. Tapi ia melarangku
melapor pada polisi. Kata ibu, polisi tidak akan pernah percaya pada omongan orang-orang yang
tidak penting seperti kita. Kata ibu, mereka juga pasti akan kewalahan, bahkan mungkin tidak
akan mengerti bagaimana caranya berbicara dengan tanganku. Mereka juga mungkin akan
meninggalkan aku karena terlalu lama menungguku menulis pada buku catatan yang selalu aku
bawa itu untuk memberitahukan semuanya pada mereka. Atau, ibu takut kalau polisi itu ternyata
malah teman-teman para pembunuh itu. Kalau misalnya benar begitu, nanti malah aku yang
repot. Lagipula, jadi seorang saksi itu lebih merepotkan ketimbang menjadi tersangka. Bahkan,
ketika kita berperan sebagai saksi, bisa jadi malah kita yang nantinya menjadi tersangka.
Pokoknya, ada banyak sekali alasan agar aku tak melapor pada polisi. Polisi itu banyak akalnya
kata ibu. Makanya, akan lebih baik kalau kita tidak pernah berurusan dengan mereka. Jadi, hal
terbaik yang bisa aku lakukan adalah diam dan berpura-pura seolah tak pernah ada apa-apa.
Begitu saran ibu, dan aku menurutinya karena aku tahu ibu adalah orang yang baik meski
kadang-kadang cerewet. Kurasa, itu menjadi hal yang paling aku sesali saat ini.

Ketiga orang pembunuh itu kini tiba di rumahku. Mengacak-acak rumahku. Membunuh
seluruh keluargaku. Dan kini sedang bersusah payah mencariku. Seandainya saat itu aku
langsung melapor pada polisi, pikirku, ini pasti tak akan pernah terjadi. Awalnya, mereka datang
seperti seorang tamu yang sopan. Mengetuk pintu, mengucap permisi lalu duduk di ruang tamu.
Ibuku memang orang baik. Dia tidak pernah mengusir siapapun yang hendak bertamu ke rumah.
Meski ia belum tahu siapa kiranya yang tiba di muka pintu. Ia membangunkanku yang baru saja
pulas, agar membantunya menyiapkan suguhan untuk tamu tak diundang itu. Dan kebaikan ibu
lah yang justru menjadi awal malapetaka ini terjadi.

Setelah menyuguhkan tiga cangkir teh hangat, ibu menanyai apa tujuan mereka bertamu
selarut itu. Sebab jarum waktu telah menunjuk angka sepuluh. Dari dapur, aku berusaha
menguping pembicaraan mereka. Mereka menjawab dengan begitu tenangnya. Mereka bilang
sedang mencari seorang anak berusia sekitar belasan dengan ciri-ciri rambut berwarna kuning
yang menjuntai sampai ke bahu. Salah satu di antara mereka meletakkan tangannya di dadanya,
menunjukkan bahwa tinggi badan orang yang mereka cari diperkirakan setinggi itu, berkulit

47
putih dan ada tanda lahir besar berwarna cokelat di bawah mata kirinya. Sewaktu ibu tahu yang
mereka maksud adalah aku, ia menanyakan untuk apa mereka mencariku, meski aku yakin ibu
pasti tahu apa maksud kedatangan mereka ke rumah. Kami ingin membunuhnya, jawab salah
seorang dari mereka, masih dengan gaya bicara yang datar dan tenang. Sebelum sempat
memanggil ayah, sebutir peluru telah berhasil menembus kepala ibu.

Ibu ambruk di lantai. Ayah yang mendengar suara letusan senapan langsung terperanjat
dari kamar menuju ruang tamu untuk menjemput ibu. Sayang, ayah hanya mempersenjatai
dirinya dengan doa yang tidak mampu mengalahkan dua butir peluru yang secara bergantian
menembus tubuh ayah. Aku tidak yakin apa yang terjadi dengan adikku. Sebab aku hanya
mendengar suara tangisannya yang sebentar saja dan langsung hilang seketika. Kutebak, ia telah
menyusul ayah dan ibu.

Pada suara letusan dari moncong senapan yang pertama, aku amat panik. Aku benar-
benar tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Kakiku gemetar hebat. Sedikit demi sedikit
kurasakan seperti bongkahan es mulai berjatuhan di tubuhku. Sekujur kulitku umpama pusaran
mata air yang mengucurkan bulir keringat begitu derasnya. Ketika kudengar suara ayah yang
padam seketika setelah bunyi ledakan senapan yang kedua kalinya, aku langsung ingat ruang
rahasia yang pernah ayah beritahukan padaku. Aku langsung lari dan mengurung diri di sini,
sesaat setelah aku benar-benar menyadari bahwa Izrail tengah asyik memanen nyawa di rumah
kami.

Aku tidak tahu bagaimana cara keluar dari sini. Aku juga tidak tahu apa yang akan terjadi
setelah ini. Yang pasti, saat ini aku sangat ketakutan.

Aku tahu kau berada jauh di sana. Meski aku tak tahu kau berada di mana. Maka dari itu,
jika kau membaca surat ini, barangkali itu berarti aku telah mati. Dan jika itu terjadi, aku punya
satu permintaan padamu. Aku tidak akan menuliskannya dengan jelas sebab aku takut kalau
malah mereka yang menemukan surat ini. Aku akan memberikan sebuah permainan padamu.
Tolong kau baca dan amati ini baik-baik.

Aku tidak pernah hidup dengan cara seperti orang-orang lemah. Aku tidak pernah
melihat ke bawah. Usiaku lebih panjang darimu. Bisa puluhan hingga ratusan tahun. Ketika

48
matahari pulang ke rumahnya, ia menitipkannya padaku. Aku ada di sekitar rumahnya. Bekerja
keraslah seakan kau ingin menolong orang yang baru saja mati.

Aku yakin kau pasti akan mampu menebaknya. Kau akan menemukan sesuatu yang kau
tahu betul harus kaubawa ke mana. Aku tunggu segera. Segera.

Tertanda,
Deborah S. Paine

Cibinong, 2020

49
Resep Pancake
Pencerita: Aya Canina

Subuh terbit seperti yang lalu-lalu. Kiona membuka mata dengan enggan. Di muka pintu,
ibunya masih mengetuk-ngetuk. Barangkali ketukan kesepuluh sampai ia menyahut, “ya, Buuu!”
dan beranjak dari kasurnya. Kiona menyeret kaki dan sisa mimpinya ke hadapan cermin. Sudah
hari ketiga puluh. “Saban malam aku berdoa tapi yang kudapat cuma subuh yang sama,”
gumamnya. Tidak ada yang menyahut, tentu saja. Cermin tidak punya lidah. Sekujur tubuhnya
terbuat dari kaca yang cuma bisa memantulkan realita. Di kamar Kiona, realita tersebut
dipampang serupa lukisan pada sebidang kanvas lusuh yang tidak laku. Usang dan berdebu.
Dinding tempias, meja belajar lapuk, sekotak besar alat makeup (sebagian besar kedaluwarsa),
baju-baju dua kali pakai yang digantung entah kapan akan dicuci, buku-buku bajakan, bungkus
sisa cemilan semalam. Tidak utuh sepia, tapi tetap saja pudar. Dan Kiona sungguh tahu, mereka
juga tidak punya lidah. Satu-satunya yang berlidah di kamar itu cuma dirinya, tapi ia tidak tahu
bagaimana merespon ucapannya sendiri.

Di rumah itu, setelah adzan bertalu-talu, tidak ada yang lebih penting selain menyiapkan
sarapan. Ibunya berteriak dari dapur, “Naaa, ayo!” Kiona beringsut. Dengan malas, ia ambil bra
coklat muda yang tergeletak bebas di kasur. Bra itu lusuh, tapi layak. Pengaitnya berkarat, tapi
kuat. Masih di hadapan cermin, Kiona melepas piyamanya dan telanjang. Satu-satunya waktu
untuk tidak memakai bra adalah malam hari ketika hendak tidur. Sekarang hari berganti dan
segalanya dimulai lagi—dengan bra yang mengikat—sepagi itu. Ia tahu ia tidak bisa melenggang
ke dapur sebelum memakai bra. Ibunya sering bertanya mengapa tidak nanti saja setelah mandi.
Kiona tidak pernah menjawab. Payudaranya mungil dan menurut ibunya tidak masalah jika ia
masih ingin begitu saja tanpa bra. Kiona mengamini, meski tidak juga mengerti.

Dengan gontai ia buka pintu kamarnya. Sama belaka. Televisi tabung sudah menyala
menampilkan berita terkini tentang jumlah orang mati sehari kemarin. Di hadapannya, seorang
lelaki tambun bersarung duduk merentangkan koran dengan kopi hitam yang mengepul di
sisinya. Itu ayahnya. Kiona yakin ayahnya mendengar ia keluar kamar, tapi mereka tidak saling
menegur. Barangkali si ayah pura-pura tuli, sementara Kiona seperti biasa, mendadak buta.
Lagipula, ucapan selamat pagi tidak lazim di rumah itu. Jadi Kiona melengos saja menuju dapur
menghampiri ibunya. “Nasi goreng,” kata ibunya. Lalu mereka bekerja sama.

50
Ketika semua terhidang dan mereka duduk dalam satu meja, Kiona merasa gusar. Satu
bakul nasi goreng, seporsi kecil ikan asin, tiga piring, tiga gelas, tiga kepala. Kiona duduk
berhadapan dengan ayah ibunya. Lima hari lalu ketika ia memberanikan diri bercerita kepada
satu-satunya kawan dekat di sekolahnya, ia mendapat respon yang begitu ringkas, “minimalisir
frekuensi bersamanya.” Respon yang begitu ringkas namun jelas. Tidak bertele-tele. Nampaknya
memang miskin simpati, tapi Kiona paham betul cuma itu solusi yang bisa ia lakukan. Ia masih
dibiayai ayahnya, makan dari hasil keringat ayahnya (meski ibunya turut andil dalam hal ini),
dan tidur di rumah milik ayahnya. Minggat baginya berarti bunuh diri. Uang sakunya tidak
muncul dari bimsalabim. Ia tidak punya keahlian apa pun selain mendapat nilai nyaris sempurna
di tiap ujian Bahasa Indonesia. Hari ini, siapa yang peduli dengan pelajaran itu? Kiona tahu
keterbatasannya. Maka satu-satunya pilihan adalah tetap di rumah dan ‘meminimalisir frekuensi
bersamanya’. Tapi pagi itu, ketika ia mengambil sesendok nasi goreng dan tidak sengaja
menyenggol tangan ayahnya, kakinya tiba-tiba gemetar. Tidak kencang, tapi terasa. Bulu
kuduknya meremang. Tidak seperti melihat hantu, tapi serupa. Ia tidak berani mendongak.
Kontak mata barangkali akan membuat sekujur tubuhnya ikut gemetar. Ia mencoba mengambil
jalan pintas.

“Kiona mandi dulu. Nanti lagi makannya.”

Tapi ayahnya begitu hangat, “habiskan dulu. Tunggu sampai ibu berangkat kerja.” Kiona
menurut. Atau takut. Ia tak mengerti.

Sudah sebulan masa karantina. Ayahnya bekerja di rumah, sementara ibunya tetap ke
kantor. Kiona benci ini. Ia menginginkan sebaliknya. Bahkan kalaupun ayahnya mati di tengah
kerumunan orang, karena pandemi atau misalnya hal lain yang lebih sepele, ia sungguh tidak
mengapa. Ia akan senang kalau nanti Pak RT tidak membolehkan ia dan ibunya hadir di
pemakaman ayahnya. Ia akan merayakan jasad ayahnya yang dibungkus plastik rapat-rapat demi
tidak menjadi penular bagi orang lain. Ia sering berdoa untuk itu, tapi lagi-lagi cuma ada subuh
yang sama.

Ibunya pergi, waktunya Kiona mandi. Ada cermin retak di balik pintu kamar mandi. Dari
situ, pagi memantulkan adegan demi adegan seorang gadis remaja membasuh tubuhnya dengan
alir air dan kegamangan di kepalanya. Tidak ada karaoke. Kiona tidak lagi menghapal lirik-lirik

51
lagu kesukaannya. Ia menyabuni tubuhnya lebih lama daripada sebelum masa karantina. Ia tidak
pergi ke mana-mana, tapi ia harus wangi. Seperti orang-orang lainnya, ia memang harus ada di
rumah, tapi ia harus bersih. Dari rambut sampai pangkal paha, sisanya mengikuti. Ada sabun
bengkoang di sisi bak mandinya. Kiona tidak tahu siapa yang membelinya. Ibunya tidak
seperempuan itu. Satu pagi, ayahnya menghampirinya di kamar, “itu buatmu”, dan Kiona tahu
itu perintah.

Selama dua puluh menit Kiona mandi, ia teringat lagi status facebook itu. Seorang teman
lama, perempuan, tidak begitu ia kenal.

Kirimi aku pesan “resep pancake” jika kalian sedang mengalaminya. Tanyakan aku
“resep pancake buah” untuk membuatku mengerti aku harus menghubungi polisi atau
lembaga pendamping korban.

Bagi Kiona, ketidaksengajaannya menemukan status facebook itu adalah jalan keluar,
meski ia belum tahu kapan waktu yang tepat. Perempuan itu, teman saat sekolah dasar dulu yang
tak pernah lagi ia tahu kabarnya, seperti membawa obat untuk sesak di dada Kiona, mengulurkan
tangan untuk melepas belenggu sekian lama, padahal ia sama sekali tidak tahu ceritanya.

Kiona memilih satu daster untuk pagi itu. Merah muda motif bunga. Ayahnya suka, ia
tidak. Yang sudah-sudah, ketika ia tidak menuruti kesukaan ayahnya, tangannya jadi punya
bekas luka bakar kecil di beberapa bagian akibat sundut rokok. Kalau sedikit saja Kiona
melawan, keluar ancaman.

Kiona masih ingin hidup. Ia ingin tetap sekolah dan lulus dan masuk perguruan tinggi
favorit dan punya banyak teman dan lulus dan jadi penulis dan punya pacar dan menikah dan
punya anak—baru mati.

Di belakangnya, masih berjarak, suara ayahnya serupa petir di pagi yang cerah. “Buatkan
ayah kopi susu. Hari ini di kamarmu saja.”

52
Darah berdesir lebih cepat di sekujur tubuh Kiona. Dari kaki ke perut, dari perut ke dada,
dari dada ke tengkuk, dari tengkuk ke kepala. Kiona berbalik tidak menyahut, melewati ayahnya
sambil menunduk.

“Lepas bramu sekarang saja. Nanti ayah bantu bersih-bersih di dapur.”

Kiona bergeming. Ia tahu maksud ayahnya. Tanpa berbalik lagi, menghadap cermin
tempat ia saban pagi mematut diri, ia lepas pengait berkarat di balik daster itu. Dua tangan. Ia
sama sekali tidak ingin dibantu. Masih menunduk. Ia malu melihat pantulan wajahnya sendiri.
Sekarang ia ingat, ia punya dua kesempatan tidak memakai bra: malam ketika hendak tidur dan
ketika bersama ayahnya.

Bra coklat muda itu lepas. Payudara mungil Kiona semungil kebebasannya saat ini.
Kiona menangis, tapi tidak keluar air mata. Sekujur tubuhnya sakit, tapi tidak ada yang berdarah.

Kiona masih bernapas, tapi setengah waras.

Kiona ingin ibunya, tapi tak bisa apa-apa.

Kiona ingin mati, tapi terlalu takut bunuh diri.

Kiona—

Ia berjalan menuju dapur. Siap menyeduh kopi susu dan satu lagi pagi penuh dusta.
Kiona menatap jemarinya, menyusuri kuku-kukunya. Ia masih ingin hidup. Sehari lagi, ia masih
mau menunda kekalahannya.

Ayahnya datang. Kiona membeku. Masih mengaduk kopi susu, Kiona teringat lagi status
facebook itu.

Bekasi, 2020

53
Sepeda Pak Buyung
Pencerita: Muhamad Wahyudi

Pak Buyung kehilangan sepedanya malam tadi. Atau ia pikir setidaknya begitu, karena ia
baru sadar sepedanya hilang saat matahari sudah tergantung terang. Di malam yang malang
tersebut, ia habis ikut pesta kemenangan lurah baru, dan tiga atau empat gelas tuak tandas di
kerongkongannya. Ia tak mengerti bagaimana caranya sampai ke rumah. Kepalanya pengar saat
bangun. Pandangannya serasa ambruk, kakinya tersuruk. Ia membuka pintu mencari sepeda,
ingin segera ke warung membeli satu-dua obat pening. Namun sepeda itu hilang malam tadi, atau
kapan, ia tak tahu pasti.

Wawan mendengar kabar tersebut, berikut gosip penyebabnya, berikut pula selusin kisah
masa lalu Pak Buyung saat membeli garam di warung. Azab karena menelantarkan keluarga,
kata tetangga kiri. Yang curi paling anaknya, kata tetangga jauh. Ia sendiri yang jual karena
kalah judi di pesta lurah baru tadi malam, kata pemuda pembeli rokok yang entah datang dari
mana.

“Kau harus hati-hati mulai sekarang, bisa saja dia kembali menggarong,” empunya
warung mewanti.

“Oh, sekalian beli mi instan,” pinta Wawan. Pria itu mengambil dua bungkus mi yang
Wawan tunjuk, lalu berbicara sendiri perkara mantan istri Pak Buyung yang sudah menemukan
pengganti yang lebih baik.

“Insinyur, murid kajian agama pula. Aih, sungguh beruntung ia lepas dari si garong itu.”

Wawan berloncatan menuju rumah, aspal bergenang padahal hujan sudah dua hari yang
lalu. Di ujung persimpangan, bebek-bebek memburu air di selokan. Di belakang barisan bebek,
Pak Buyung tertunduk lesu. Langkahnya banyak terhenti. Ia menekuri jalan, mencari jejak
sepeda, atau garis-garis lumpur yang mungkin masih tersisa.

“Tentunya kau sudah dengar apa yang terjadi,” ujar Pak Buyung ketika Wawan
mendekat.

“Saya turut berduka, Pak.”

54
“Tidak, tak usah. Ia bukan sepedamu dan tak pernah pula mengantarmu dan tak pernah
pula berbuat baik padamu. Tak usah berduka untuk itu.”

“Kalau begitu, saya turut prihatin.”

“Nah, itu boleh diucapkan.”

Rumah Pak Buyung cukup jauh dengan Wawan. Namun seluruh desa mengenal Pak
Buyung dan sepedanya. Ia adalah penjaja es lilin di pagar sekolah, berebut tempat dengan tukang
cilok, roti bakar, es krim gerobak, es krim kemasan pabrik, serta pedagang mainan. Anak-anak
desa menghabiskan waktu istirahat sekolah dengan jajanan mereka-mereka itu. Wawan termasuk
anak yang perut dan otaknya bertumbuh dari jualan Pak Buyung dan kawan-kawan. Dua minggu
lalu ketika presiden berkunjung ke ibukota kabupaten, Pak Wawan termasuk dalam kriteria
miskin yang berhak menerima kebaikan hati presiden, berupa sepeda baru. Sangat jauh bedanya
dengan sepeda dagang es yang sering ia pakai berjualan. Hal itu membuatnya semakin terkenal
seantero desa.

“Kau belum bekerja juga?”

“Bapak tahulah, sekarang ini bahkan mencari burung Jalak lebih mudah daripada
menjerat pekerjaan.”

Pak Buyung tersenyum sedikit. Ia kemudian meninggalkan Wawan dan menuju warung
yang pemiliknya sedang giat bergosip soal dirinya tersebut.

Siang harinya, cuaca begitu mendung. Wawan sedang mengerjakan TTS di koran dua
hari lalu yang ia dapat dari tukang cukur rambut. Dan tukang cukur itu tak lain adalah pamannya.
Bila koran-koran itu masih tersisa setelah dipakai untuk menampung sisa kerokan rambut,
pamannya sering mengantar ke rumahnya. Terutama ia menyisakan kolom lowongan kerja untuk
Wawan. Namun seperti yang sudah-sudah, Wawan lebih tertarik menyelesaikan kolom TTS.

Suara ramai lamat-lamat mendekat. Iringan mobil bak terbuka yang memampangkan
lurah terpilih sedang berdadah-dadah. Wawan mengerang. “Bikin ribut saja,” gumamnya.

Ia mengisi lima mendatar dengan kata kerapu. Namun beberapa huruf ia coret setelah
sadar yang diminta soal adalah kata perahu. Sembari berpikir, ia melihat tawaran hadiah di ujung

55
bawah soal TTS. Bagi yang mengirim jawaban yang benar serta punya keberuntungan, bisa
dapat lima puluh ribu dan souvenir. Terpikir olehnya untuk sesekali mencoba. Teringat olehnya
untuk –bila menang-memberi souvenirnya pada Pak Buyung. Tergerak olehnya untuk berjalan
menuju tempat cukur rambut pamannya demi soal TTS yang baru dan masih laku batas waktu
pengirimannya.

Maka pergilah Wawan dengan niat baik terpancak dalam hati. Sepanjang jalan, orang-
orang berbisik. Ibu-ibu berbisik-bisik. Seorang lelaki melambai padanya, menyuruh mendekat.

“Heh Bujang, kabarnya kau yang mencuri sepeda Pak Buyung?” ujar sang lelaki. Wawan
terperanjat. Fitnah kejam semacam itu baru kali ini ia terima sepanjang hidup.

“Darimana pula kabar seperti itu, Bang?” suaranya memelas.

“Kang Jeki pemilik warung.”

“Astaga! Saya percaya padanya seperti paman sendiri! Saya senang jajanan warungnya!
Sungguh kejam tuduhannya itu!”

“Pak Buyung mengatakan ia seperti melihat lelaki gondrong di seberang halamannya


sebelum masuk ke rumah tadi malam. Kau tahulah, yang gondrong di sini cuma kau. Kau belum
kerja pula,” tandas si lelaki.

“Alamak! Padahal ia yang mabuk lima-enam cangkir tuak tadi malam! Pak Buyung
menjual sepedanya sendiri setelah kalah judi di pesta lurah baru!”

“Ah, yang benar?”

“Itu cerita yang benar, saya yakin! Saya dengar dari salah satu peserta iringan dadah-
dadah lurah yang barusan lewat!” Wawan menegaskan.

“Kalau begitu pun saya percaya. Tak mungkin lah nak Wawan yang lulusan SMK di kota
punya tabiat buruk kampungan macam itu.”

“Justru yang harus diwaspadai Pak Buyung, bisa saja ia mulai menggarong lagi seperti
dulu,” tambah Wawan. Lelaki tadi membenarkan. Wawan segera permisi, tak ingin memanjang-
manjangkan cerita. Kini selain mengambil TTS, ia ingin memotong rambut.

56
Pamannya tak di rumah, sedang pergi ke apotek membeli obat pening. Tetapi anak
pamannya juga bisa mencukur. Seandainya pun anak pamannya itu sedang tak ada, istri
pamannya juga bisa mencukur rambut. Anak pamannya segera menyuruhnya duduk, tetapi
Wawan tak lekas menurut. Bangkunya tak nyaman, hanya sebuah bangku kayu dan bukannya
bangku khas tempat pangkas rambut yang bisa berputar dan mendongak seperti di kota-kota.

Anak pamannya pergi ke belakang. Sepertinya ingin kencing dahulu karena terdengar
suara cuurrr… yang rapi sebelum suara gayung menyiram-nyiram. Wawan mengambil koran
hari ini di kursi tunggu di bawah kaca. Ia membalik-balik, tapi yang dicarinya tak ketemu.
Halaman lowongan kerja yang di belakangnya ada halaman TTS sudah dipotong.

Anak pamannya datang sembari membawa gunting yang basah. Ia mengeringkan bilah-
bilahnya dengan lap yang tergantung di tembok bersama kalender. Di belakang tembok,
menyundul sebuah ban sepeda. Setangnya juga menyeruak sedikit. Seingat Wawan, pamannya
tak memiliki sepeda.

“Mau cukur gaya apa?” tanya anak pamannya, dengan gunting yang sudah mengilat.

“Asal seperti orang kantoran saja,” jawab Wawan. Sembari menuju kursi pemotongan,
mata Wawan menangkap sobekan TTS yang berlumur sabun dan rambut, terpijak kaki anak
pamannya.

**

Cilacap, 2019

57
Peluh
Pencerita: Agnicia Rana

Jenjang tubuhnya kusentuh lemah. Pelan, dari atas ke bawah. Ia masih tertawa, sambil
meninju dadaku manja. Ia, perempuan manis berwarna rambut denim, rambut yang
menjadi trend di tahun ini. Pikir dan tampilannya yang berbeda, membuatku jatuh cinta bukan
kepayang.

Rias di wajahnya nampak tipis, tak mampu menutupi merah pipinya kala kusentuh bagian
depan tubuhnya. Indah, wangi tubuhnya membuatku terkecoh. Cantik macam apa ini? Manusia
atau malaikat? Meski kutak yakin seberapa indah wajah malaikat, yang di depan mataku kini
nampak begitu bersinar.

Kurengkuh tubuhnya, kusalami dengan kecupan lembut.

“Ahh…” pekiknya.

Matanya memejam, napasnya mulai terbata. Kugalakkan kecupan, meninggalkan bekas


merah pada tubuhnya. Leher, bagian yang paling kusuka. Sedap wanginya semakin menusuk,
begitu memacu adrenalin, membuat tubuhku semakin terasa mendidih.

Oh…

Ia, wanitaku kini berbalik. Tubuhnya di atasku kini, begitu menikmati kecupannya pada
tiap bagian tubuhku. Dengan pola yang sama--dari atas ke bawah membuatku berdesis geli tak
karuan. Kecupan macam apa ini?

Aku berbalik, tak tahan akan perlakuan baiknya padaku. Kini aku di atasnya, berkuasa
penuh pada dirinya.

“Sekarang?” Aku menatap mata kecilnya yang sayup-sayup, sambil memindahkan poni
tipis yang menutupi sebagian wajahnya. Benar. Aku ingin menikmati pipi merahnya.

Ia mengangguk, memberiku pintu masuk merasuki tubuhnya.

58
“Aaaah…” kami meraung, merasakan begitu hebatnya memasuki tubuh satu sama lain.
Maju, mundur. Kurasakan sentuhan lembut bagian tubuhku yang menempel padanya,
membuatku tak dapat merasakan apapun kecuali tautan tubuh kami yang bak tak mau lepas.
Tuhan, aku ingin terus menikmati dirinya.

Aku memeluknya, ia mencengkram tubuhku kuat. Kuciumi bibirnya, lehernya, dadanya.


Begitu indah kurasakan debar jantungnya yang begitu cepat secepat debar jantungku. Kami
bukan berlomba. Kami bekerja sama menyatukan irama kenikmatan dalam satu atmosfer yang
sama—langit malam.

Erangannya semakin kuat, membuatku tak ingin beranjak. Membuatku semakin


tertantang untuk memenangkan permainan ini. Permainan yang membuat candu pemainnya.

“Kam…..hu…can..thik..” terbata, aku mengucapkannya selayaknya lelaki yang


sedang hangover terlalu banyak minum vodka. Ia jawab dengan raungan, dengan matanya yang
dipejamkan membuat dahinya berkerut, dengan bibirnya yang mengeluarkan nada indah
pembangkit adrenalin.

“The…rusin?” lagi, dengan mata setengah memejam dan rambut yang perlahan basah,
aku bertanya padanya.

“Jang…han…berhenti. Ceph…etin.” jawabnya, tak kalah melayang. Lampu hijau


menyala, kupercepat tempo peraduan kami, membuat suara kami semakin beringas, bukan lagi
desisan.

“Ma..hu..kheluar.” entah sudah berapa lama, rasanya titik tumpu hidupku saat ini ingin
memuntahkan seluruh isinya. “Bha….reng!” Ia mengangguk pasrah, tak kuat lagi berkata-kata.

“Aaaaaaaah!” erangan panjang itu, disertai tangannya yang menjambak lembut rambutku,
juga pelukan eratku padanya sambil merasakan sisa-sisa buaian detik itu akhirnya mengakhiri
peraduan panjangku dengannya, perempuan manis berwarna rambut denim.

Peluh menetes, kurasakan seketika tetesannya di paha kananku yang telanjang. Kusapu
lembut sisa kenikmatan malam itu dengan tissue yang selalu bertengger manis di sebelah kiriku,

59
lalu kubuang ke tempat sampah di pojok dekat pintu. Kutekan tombol kecil di atas toilet
perlahan. Air keluar, lalu disedot kembali.

“Kurang lama, Bang!” kaget, kudapati adik kecilku meyambut di depan pintu.

“Sakit perut.” Aku tersenyum padanya, sambil memegangi perutku, berpura-pura.

“Sakit banget ya, Bang, sampai basah gitu kepalanya.”

“Ba-nget.” Aku tersenyum lagi, meminta pengertiannya.

Aaaah. Aku bisa tidur nyenyak malam ini!

Bandung, 2016

60
Teguran Dari Nyonya Istana
Pencerita: Aflaha Rizal

Dengan rambut gondrongnya, ia menatap wajahnya di cermin sebelum keluar di pagi


hari. Ia tahu, hari ini adalah hari untuk meliput di istana. Ia menyukai rambut gondrong ini
karena angin udara akan menerbangkan rambut-rambutnya yang begitu menyegarkan. Jika orang
lain mengatakan bahwa rambut gondrong ialah sumber membuat gerah dan tak aman, tidak pula
dengan lelaki itu, bernama Yono, yang aman dan dingin di tiap kepalanya itu. Berkat rambut
gondrong ini, ia dihormati oleh siapa saja, dan ditakuti siapa saja. Tentu Yono bukan seorang
preman yang memalak tiap orang di bus. Membawa ancaman dengan pisau yang dibawa, dan
suara yang menggertak keras. Kau akan mendengar dan tidak luput oleh suaranya itu, yang
lembut itu.

Bukan lembut seperti layaknya perempuan dan kemayu, apalagi flamboyan. Ia lembut
dan disertai nada yang tegas bila ada hal yang tidak disukainya. Ketika rasa tak suka terhadap
apapun, Yono tahu bahwa ia hidup di negara yang ketat dengan segala macam aturan. Sesuatu
yang berbau subversif akan membahayakan dirinya sendiri. Jangankan mengkritik penguasa
lewat tulisan-tulisannya selama ia menjadi wartawan Kimpis, berdebat dengan satu orang saja
entah itu permasalahan cinta atau pekerjaan sudah dapat tuduhan, bahwa perdebatan itu tak jauh
ialah kebangkitan komunis yang mesti dilerai atau diberi peringatan.

Sudah wangi tubuhnya dan rambutnya, ia menyunggingkan senyum dan menampakkan


giginya yang putih itu. Warna kuning giginya sudah hilang dengan obat tanaman pemberian
tetangganya yang baik, di antara tetangga yang ia anggap ‘muka berak’ yang selalu mengurus
hidupnya itu. Kemeja kotak yang sengaja ia buka kancingnya dan menampakkan kaosnya, mulai
menyalakan motornya. Lalu membelah jalanan dan kota, dengan aturan-aturan ketat yang mau
tidak mau harus menurut. Yono akan menghadapi istana dengan kepala negara yang menjadikan
rakyatnya seperti anak-anak, dan kepala negara seperti Bapak. Ia tidak peduli, ia hanya ingin
menuntaskan pekerjaan ini dan menulis berita lagi, yang lagi-lagi penuh kepalsuan.

__________

61
Burung yang melintas dan berjalan pelan didepannya, menelurkan satu ide cerita pendek yang
ingin ia tulis. Yono ingin menulis satu buah cerita pendek dan diterbitkan di koran tempatnya
bekerja, yang barangkali akan menambah uang sakunya selama hidupnya sebagai wartawan.
Para wartawan telah ramai dengan rambut rapihnya, ia sendiri yang tidak rapih. Tetapi Yono
tidak peduli selain pekerjaan yang mesti ia tuntaskan dan menuliskan beritanya.

Saat memasuki ruang istana, orang-orang penting berpakaian rapi dengan adat Jawa
saling bersalam-salaman. Mereka tersenyum kepada wartawan sambil memberikan jempol dan
berkata, “Jadi wartawan harus baik membuat berita, juga pesan-pesan kebenaran.” Mendengar
itu, Yono hanya tertawa dalam hati. Sekaligus jijik mendengar pernyataan itu. Tetapi apa pula,
aturan di negara ini membuat semua manusia harus mematuhi dan tiada yang membangkang.
Jika membangkang, akan mudah keluarnya suatu putusan ucapan, bahwa orang yang
membangkang itu sama saja dengan kelompok PKI.

Ketika perjamuan tiba, para orang-orang penting di istana menjamu para penumpang dan
awak pesawat yang selamat dari pembajakan. Orang-orang istana menyambut para awak yang
selamat dengan ramah layaknya sebuah keluarga. Dan para wartawan mulai memotret dengan
cepat, dan mengambil wajah-wajah mereka yang menjamu bahagia. Seketika saat Yono menulis
tentang wajah orang-orang penting yang bahagia menjamu para awak pesawat, rambut gondrong
miliknya seperti ada yang menariknya. Ia merasakan tarikan itu begitu pelan dan tidak kasar,
seperti teman-teman kantornya yang baginya banal dan norak ketika melihat rambut gondrong
miliknya.

“Nanti potong ya, rambut gondrongnya,” ketika suara itu terdengar, Yono menatap wajah
seorang perempuan dengan kacamata itu. Ya, suara itu milik Nyonya istana ini, yang merupakan
istri suami kepala negara itu. Teguran itu membuat Yono tersenyum, dan kebingungan untuk
menjawabnya. Ketika dihadapan orang-orang penting yang berbeda daripadanya, seperti ada
bahasa yang sengaja putus dari lidahnya untuk tidak keluar. Yono tidak bisa menjawabnya selain
diam dan hanya mengangguk saja.

“Bagus. Nanti kalau meliput lagi harus rapi ya, awas kalau tidak dipotong.” Ucapnya.
“Itu tidak mencerminkan kepribadian bangsa tahu.”

62
Dan para wartawan yang menatap mata Yono tertawa. Lalu melanjutkan pekerjaannya
kembali. Pesan teguran itu tidak hanya Nyonya istana ini saja yang mulai keluar, tetapi orang-
orang terdekatnya yang mengharuskan ia untuk potong rambut. Mereka takut bila ada orang
berkata bahwa Yono sebagai seorang anak dianggap orang kriminal. Ia teringat bagaimana
tentang orang-orang berambut gondrong dan tato sebagai simbol kriminal dan kejahatan di muka
bumi. Bahkan saat nanti ia akan memperpanjang KTP, yang tidak akan melayani orang berambut
gondrong.

Dari razia-razia rambut gondrong yang dilakukan aparat dan militer, hanya Yono sendiri
yang lolos dari perkara macam itu. Ia tahu peraturan mengenai rambut gondrong yang tidak
mencerminkan kepribadian itu, tetapi ia memilih tidak tahu dan menjalani hidup sebagaimana
biasa. Rambut gondrong miliknya telah memiliki keuntungan bagi dirinya sendiri. Seperti angin
yang akan meliuk-liuk rambutnya dan membuatnya dingin, juga rasa segan dari orang-orang.
Siapa yang berani melawan Yono? Tidak ada, meski Yono tidak mau mencari perkara musuh
atau suatu kehormatan tertentu.

“Potong rambutnya, Mas!” tepuk seorang wartawan foto setelah mengambil wajah Bapak
Negara dan tamu-tamunya itu.

Mendengar itu, Yono hanya tersenyum. Ia biarkan orang-orang melintas melihat dirinya
sambil ditertawakan. Dalam sebuah sejarah, bagi mereka barangkali belum ada wartawan yang
ditegur Nyonya istana, yang merupakan istri Bapak Negara itu. Melihat Yono yang mendapat
teguran itu, mereka menganggap sebuah sejarah baru dengan rambut gondrongnya.

_________

Seperti dalam kegamangan dalam gelap. Seperti gelap yang menelan di antara dirinya yang tidak
tahu jalan keluar mencari cahaya. Yono sendiri, berdiam diri di kamar dengan satu buah cerita
pendek yang belum selesai, dengan mesin tik yang terdengar nyaring di telinganya itu. Cerita
pendek itu hanya tertulis satu judul: semut.

63
Di antara kegamangan dan cerita pendek yang tidak selesai, apakah ia harus merelakan
rambut gondrong miliknya itu seperti kehilangan tempat pensil di masa sekolahnya? Barangkali,
Yono telah berusaha memanjangkan rambutnya selama enam tahun, dengan waktu yang lama
untuk menumbuhkan gondrong di rambutnya seperti kaum hippies yang menebarkan norma
kebebasan. Ia mainkan ujung rambut miliknya itu, memutar-mutarnya, ia seperti kebingungan
sendiri. Apa pula aturan yang telah mencekatnya itu secara perlahan-lahan? Kenapa pula ada
aturan bahwa rabmbut gondrong merupakan bagian kriminal dan tidak adanya aturan? Dengan
jengah, ia memilih berhenti dari menulisnya itu. Tidak ada kerjaan yang melilitnya lagi. Ia segera
merebahkan diri di kasur, dan menatap kegelapan kamarnya itu. Juga rak-rak buku yang
berderet, koleksi miliknya yang penuh aroma cetakan yang khas di hidungnya.

Seperti ingin menghindari diri dari liputan mengenai suatu orang-orang penting yang
mengatur negara. Yono ingin jika mendapat liputan, mengenai orang-orang miskin yang hidup
ketimbang meliput orang-orang kota atau orang penting yang menjabat negara.

__________

“Katanya kau disuruh cukur rambut ya, sama Nyonya presiden?” kawannya, bernama Utong
bertanya padanya ketika di suatu kantor itu, dengan segelas kopi. “Hahahahaha. Ada-ada aje lu!”

Yono hanya tertawa. “Sayang sama rambutku.”

“Daripada melawan lebih ikut aturan Nyonya. Atau kau mau dihilangkan?”

“Setan!” gertak Yono.

Rambut gondrong miliknya seperti buah malapetaka yang menularkan orang lain seperti
wabah virus. Namun ia belum mau menimbang, masih ingin menikmati kebebasan rambut
miliknya itu, yang perlahan bergerak dari terpaan angin, meliuknya, dan berakhir dingin di tiap
kulit kepalanya dan belakang lehernya. Rambut ini telah menyelamatkanku dari kegerahan, ucap
Yono. Utong hanya menaikkan satu alis, pertanda heran. Bagi Utong, setiap rambut gondrong

64
hanya berakhir gerah, tidak ada yang dapat membuatnya dingin. Bahkan bisa saja menimbulkan
gatal di mana-mana karena ketombe dan kutu.

Tiap pembicaraan kemudian yang keluar, hanya berupa lelucon tentang Yono yang
ditegur Nyonya istana. Seperti kejadian langka yang layak untuk diangkat menjadi satu berita.
“Bisa aku buatkan berita atau opini tentang rambut gondrong yang dapat teguran dari Nyonya
Presiden,” kata Utong.

Dua kawannya yang hadir mulai tertawa, membuat Yono seperti terpojok. Tetapi ia tahu,
kejadian itu membuat ia tertawa sendiri. Seorang Nyonya istana yang menegurnya yang tidak
rapi dan meminta untuk dipotong rambutnya. Kejadian ini kejadian langka, terutama Yono yang
merasakan teguran dari Nyonya istana itu. Dan ia terus berpikir, apakah rambut gondrong yang
telah membuatnya aman dan tentram ini harus hilang atas teguran aturan itu? Ada keinginan
yang meluap di dalam dadanya, ia ingin aturan semacam rambut gondrong tidak perlu ada dan
tidak usah dijadikan alat untuk mengatur setiap manusia yang hak di bumi ini.

“Kira-kira apa yang tepat untuk mengangkat tulisan tentang Yono?” bertanya kawannya
yang berambut pendek dan berkulit cokelat.

“Yono Ditegur Nyonya!”

Mereka semua tergelak tertawa, terpingkal-pingkal. Yono yang terus memandang dan
mendengarkan ocehan mereka mendadak menjawab. “Kalian asu!” Namun olok-olokan memang
menjadi santapan untuk percakapan pada istirahat kali ini. Di mana bekerja hanya demi
kebutuhan uang untuk makan dan bertahan hidup. Kehidupan amat mahal, gaji wartawan, tentu
saja kecil. Tidak seperti gaji seorang pegawai kantor atau pegawai pemerintah bahkan pejabat
sekalipun yang bisa naik haji dua kali.

Yono memainkan rambutnya sekali lagi. Teringat kala ia mulai memanjangkan rambut
dan terpana dengan para musisi yang mengenakkan rambut yang sama. Mereka seperti hidup
bebas tetapi pintar dalam mengolah otak untuk bekerja. Karena itu, mereka yang bermusik pintar
memainkan nada dan membuat lirik lagu yang pecah di telinga pendengar. Apakah orang pintar
dan jenius hanya lahir untuk orang-orang rapi dan berambut pendek?

___________

65
Tidak ada waktu untuk mengelak, atasan kantornya menyuruh Yono untuk mencukur rambut dan
mematuhi setiap aturan pemerintah. Katanya, “Jika tidak, maka yang berimbas bukan hanya
kamu. Tetapi perusahaan ini, bisa dibredel!” Dengan tegas dan penuh penekanan, ia tahu bahwa
perusahaan tempatnya bekerja sangat takut kepada manusia, meski terhalang oleh kuasa dan
uang. Dalam hati tumbuh amarah yang tidak menerima atas rambut gondrong itu, yang perlahan-
lahan terpotong dan jatuh ke lantai.

Bila wajah berubah karena rambutnya, sudah pasti telah berubah dari raut wajah Yono
itu. Wajah garang dan tegasnya telah hilang, berganti seperti wajah anak polos yang belum
mengenal dunia dan mimpi basah. Ia tahu, ia menutup mata miliknya itu ketika rambutnya
perlahan telah tiada. Dasar bedebah! Umpat Yono dalam hati, menyindir mereka yang membuat
aturan rambut gondrong itu.

“Sudah.” Tukas tukang rambut itu.

Yono pulang dan membayarnya. Mengendarai motor dan melintasi jalanan yang dipenuhi
orang-orang yang tinggal di tempat terpencil. Betapa hidup, adalah ketimpangan yang ada di
depan matanya. Tetapi alangkah tersenyumnya mereka yang kuat, seperti tebing berlapis itu di
antara kehidupan kelompok orang mewah yang tiada peduli.

___________

Setelah meliput peristiwa perempuan yang gantung diri di hutan kecil, segera berkemas Yono ke
tempat pertemuan Nyonya istana dengan para orang-orang penting. Seperti dalam buku Haruki
Murakami berjudul Dengarlah Nyanyian Angin, ketika perempuan jurusan Sastra Perancis
gantung diri di musim liburan semi pertama. Orang-orang tidak menemukan mayatnya, dan
perempuan yang mati gantung diri itu bergoyang ditiup angin.

Tidak butuh lama, ia melesat cepat dan sampai di tempat pertemuan Nyonya istana itu,
yang melambai kepada wartawan dengan senyumnya yang segar. Sejak menyorot wajahnya
dengan kameranya, lalu menulis dan wawancara, Nyonya itu tersenyum kepada Yono. “Kalau

66
rambut begini rapi kan?” tukas Nyonya itu. Yono menunduk kepalanya, tersenyum malu. Tidak
pula membalas, saat wartawan lain mulai menatap ke arahnya ketika pujian itu datang padanya.

Entah berapa tahun kemudian lagi ia mesti memanjangkan rambutnya itu agar gondrong
lagi, bahkan tanpa perlu adanya aturan mencekik ini yang datang menghampiri sekali lagi.

67

Anda mungkin juga menyukai