Anda di halaman 1dari 10

DISASTER MANAJEMEN II

UU PERLINDUNGAN TENAGA KESEHATAN

Dosen Pembimbing :
Ns. Hilma Yessi SKep,MKep

Oleh kelompok 5
Salsabila Firdausia
Tania Septina Yardika
Vani Putri
Syahrul Ramadhan

PRODI DIII KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
SUMATERA BARAT
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan
judul “UU Perlindungan Tenaga Kesehatan” pada mata kuliah Disaster Manajemen 2.
Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan dan motivasi berbagai pihak. Untuk itu,
dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang telah
membantu.
Kami menyadari makalah ini masih banyak kekurangan karena keterbatasan kemampuan
penulis. Untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat konstruktif sehingga kami
dapat menyempurnakan makalah ini.

Padang, 07 Desemberr 2020

Kelompok 5
PASAL – PASAL UU

Alinia IV Pembukaan UUD 45


"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdasakan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia, yang terbentuk
dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasarkan kepada :Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan."

UUD 45 Pasal 27 Ayat 2


“ Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”

UUD 45 Pasal 28
- Pasal 28A
“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya
- Pasal 28B
1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah.
2) Setiap orang berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
- Pasal 28C
1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
- Pasal 28D
1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan.
4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
- Pasal 28E
1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali.
2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat.
- Pasal 28F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
- Pasal 28G
1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa
aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang
merendahkan derajat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari
negara lain.
- Pasal 28H
1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan
2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan
dan keadilan.
3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan
dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut
tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.
- Pasal 28I
1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun.
2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
bersifat diskriminatif itu.
3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban.
4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah.
5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip
negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asas manusia dijamin,
diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
- Pasal 28J
1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
perkembangan moral, nilai-nilai agama, keagamaan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis.

Pasal 33 Ayat (2) UUD 1945


“ Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menyesuai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara”

Hukum Dalam Bidang Pelayanan Kesehatan Menjadi Dasar Pengaturan Hak dan
Kewajiban Pasien Dokter Perawat dan Rumah Sakit
Pasal 304 KUHP
Pasal 304 KUHP, berbunyi, "Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan orang
dalam kesengsaraan, sedang ia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan pada
orang itu karena hukum yang berlaku atasnya atau karena menurut perjanjian, dihukum penjara
selama-lamanya dua tahun delapan bulan, atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500."
Pasal 531 KUHP
Sementara Pasal 531, menyebutkan "Barangsiapa menyaksikan sendiri ada orang di dalam
keadaan bahaya maut, lalai memberikan atau mengadakan pertolongan kepadanya sedang
pertolongan itu dapat diberikannya atau diadakannya dengan tidak mengkhawatirkan, bahwa ia
sendiri atau orang lain akan kena bahaya, dihukum kurungan selama-lamanya tiga bulan atau
denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,- Jika orang yang perlu ditolong itu mati."
Pasal 170 KUHP
Pasal 170 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(“KUHAP”) yang berbunyi: “Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya
diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi
keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka”
Pasal 170 KUHP ( Biaya Kesehatan)
1. Pembiayaan kesehatan bertujuan untuk penyediaan pembiayaan kesehatan yang
berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan
termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna untuk menjamin terselenggaranya
pembangunan kesehatan agar meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-
tingginya.
2. Unsur-unsur pembiayaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
sumber pembiayaan, alokasi, dan pemanfaatan.
3. Sumber pembiayaan kesehatan berasal dari Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat,
swasta dan sumber lain.

UU No 8 Tahun 1999
Hubungan antara pasien dan dokter dalam pelayanan kesehatan oleh beberapa akademisi dan
praktisi hukum juga berpendapat sama, bahwa pasien dapat digolongkan sebagai konsumen
sedangkan dokter dan rumah sakit digolongkan sebagai pelaku usaha dalam bidang kesehatan.
Hal ini membawa dampak bahwa aturan-aturan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga berlaku dalam hubungan transaksi terapeutik
dokter dan pasien tersebut. Pengertian perlindungan konsumen terdapat dalam Pasal 1 ayat (1)
UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa “Perlindungan Konsumen adalah
segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen”.
Menurut penulis, perlu ada pembagian ketika UU perlindungan konsumen akan dikaitkan dengan
pelayanan kesehatan, dalam hal ini hubungan transaksi terapeutik antara dokter dan pasien:
1. pertama; apabila bentuk rumah sakitnya non profit atau rumah sakit pemerintah yang
tujuannya bukan untuk mencari keuntungan ekonomi, maka segala tindakan medis yang
dilakukan oleh pelayanan kesehatan atau dokter khususnya dan pasien yang menerima
pelayanan kesehatan, tidak bisa dianggap sebagai pelaku usaha sebagaimana yang
terdapat dalam ketentuan UU Perlindungan Konsumen, dan ketika terjadi sengketa medis
yang muncul disebabkan kelalaian medis oleh dokter maka pihak rumah dan dokter juga
memilki tanggung jawab secara ekonomi dan hukum, namun kedudukan
mempertanggung jawabkan sengketa medis tersebut, bukan sebagai pelaku usaha
sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) UU Perlindungan Konsumen.
2. Kedua; berdasarkan Pasal 21 UU No.44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit mengatur
bahwa “Rumah Sakit privat sebagaimana diatur dalam 20 ayat (1) dikelola oleh badan
hukum dengan tujuan profit dengan berbentuk perseroan terbatas atau persero” ketika
berbicara perseroan terbatas berarti berbicara terkait perkumpulan modal yang tujuannya
mencari keuntungan ekonomi, Pasal 21 UU Rumah Sakit tersebut, menandakan bahwa
Rumah Sakit privat dalam kedudukanya dianggap sebagai pelaku usaha yang
memberikan jasa pelayanan kesehatan terhadap pasien dalam hal ini konsumen, maka
dari itu rumah sakit privat dapat dimintai pertanggung jawaban oleh pasien yang
mengalami kerugian diakibatkan kurang profesionalnya jasa pelayanan kesehatan rumah
sakit privat khsusnya dokter dalam tindakan medisnya baik secara hukum maupun
ekonomi melalui UU Perlindungan Konsumen.
Apabila dikaitkan dengan dunia usaha maka hubungan dokter dan pasien merupakan
hubungan antara pelaku usaha(produsen) dan konsumen, mengingat ciri khas dari hubungan
terapeutik yakni bergerak pada pemberian jasa pelayanan kesehatan yang belum pasti
hasilnya, dengan demikian pasien sebagai konsumen yang menerima jasa pelayanan
kesehatan berhak menuntut segala kerugian materill maupun inmaterill yang diakibatkan oleh
buruknya penyedia pelayanan kesehatan khsususnya dokter berdasarkan UU Perlindungan
Konsumen.
Dalam Pasal 19 ayat (2) UU No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen telah
mengatur bahwa “ganti rugi sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya,
atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Mencermati pasal tersebut dapatlah diketahui
bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi (1) tanggung jawab ganti kerugian atas
rusaknya suatu produk barang/jasa,(2)tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran,(3)
tanggung jawab ganti rugi atas kerugian konsumen disebabkan tidak baiknya produk jasa dan
barang yang dihasilkan. Namun yang perlu dicermati juga terkait substansi Pasal 19 ayat (2)
tersebut, dimana pasien hanya mendapatkan ganti rugi atas pengembalian uang atau
penggantian barang dan jasa saja, padahal pasien sebagai konsumen telah menderita kerugian
bukan hanya kerugian atas barang dan jasa namun juga kerugian yang diakibatkan dari biaya
perawatan.
Pasien secara yuridis tidak dapat diidentikkan dengan konsumen, hal ini karena hubungan
yang terjadi di antara mereka bukan merupakan hubungan jual-beli yang diatur dalam
KUHPerdata dan KUHD, melainkan hubungan antara dokter dengan pasien hanya
merupakan bentuk perikatan medik, yaitu perjanjian “usaha” (inspanning verbintenis)
tepatnya perjanjian usaha kesembuhan (teraupetik), bukan perikatan medik “hasil” (resultaat
verbintenis), selain pada tatanan yang lain profesi dokter dalam etika kedokteran masih
berpegang pada prinsip “pengabdian dan kemanusiaan”, serta para akademisi hukum,
akademisi kedokteran, praktisi hukum, sampai kepada penegak hukum belum memiliki
kesamaan pendapat, apakah pelayanan kesehatan rumah sakit yang dilakukan oleh dokter
sebagai tenaga kesehatan dalam hal terjadi sengketa medis dapat dimintai pertanggung
jawaban hukum melalui UU Perlindungan Konsumen, dengan alasan bahwa pelayanan
kesehatan rumah sakit yang dilakukan oleh dokter, adalah upaya kesehatan yang bermuatan
nilai-nilai kemanusiaan.
 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992, tentang :
Kesehatan perlu disesuaikan dengan semangat otonomi daerah. Oleh karena itu, perlu dibentuk
kebijakan umum kesehatan yang dapat dilaksanakan oleh semua pihak dan sekaligus dapat
menjawab tantangan era globalisasi dan dengan semakin kompleksnya permasalahan kesehatan
dalam suatu Undang- Undang Kesehatan yang baru untuk menggantikan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Undang-undang kesehatan terbaru ini dalam
perkembangan memungkinakan masih menimbulkan konsep pemahaman yang perlu dijabarkan
lagi atau diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri kesehatan, atau telah dijabarkan
Pasal 53

(1) Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas
sesuai dengan profesinya.

(2) Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi
dan menghormati hak pasien.

(3) Tenaga kesehatan, untuk kepentingan pcmbuktian, dapat melakukan tindakan medis terhadap
seseorang dengan memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan.

(4) Ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) ditetapkan dcngan Peraturan Pemerintah.

Pasal 55

(1) Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga
kesehatan.

(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

 Peraturan pemerintah No.32 th.1996


 Pasal 21 :
(1) Setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya ber-kewajiban untuk mematuhi
standar profesi tenaga kesehatan.
(2) Standar profesi tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
oleh Menteri.
Pasal 22
(1) Bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya
berkewajiban untuk : a. menghormati hak pasien; b. menjaga kerahasiaan identitas dan
data kesehatan pribadi pasien; c. memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi
dan tindakan yang akan dilakukan; d meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan
dilakukan; e. membuat dan memelihara rekam medis.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh
Menteri.

Anda mungkin juga menyukai