Anda di halaman 1dari 29

“PENGARUH SINKRONISASI BIRAHI TERHADAP

INTENSITAS ESTRUS PADA KAMBING LOKAL DENGAN


MENGGUNAKAN METODE OVSYNCH”

PROPOSAL

Oleh :

YUZA DWI ASA PUTRI


1510621022

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PAYAKUMBUH, 2018
“PENGARUH SIKRONISASI BIRAHI TERHADAP
INTENSITAS ESTRUS PADA KAMBING LOKAL DENGAN
MENGGUNAKAN METODE OVSYNCH”

PROPOSAL

OLEH :

YUZA DWI ASA PUTRI


1510621022

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Melaksanakan Penelitian


Pada Fakultas Peternakan

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PAYAKUMBUH, 2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan nikmat-Nya kepada penulis sehingga penulis bisa

menyelesaikan Proposal penelitian yang berjudul “Pengaruh Sinkronisasi

Birahi Terhadap Intensitas Estrus pada Kambing Lokal dengan

Menggunakan Metode Ovsynch”. Proposal penelitian ini merupakan salah satu

tahapan sebagai syarat untuk melanjutkan penelitian di Fakultas Peternakan

Universitas Andalas.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr.

Ir. H. Hendri, MS sebagai dosen pembimbing I dan Bapak Dr. Ir. Masrizal, MS

sebagai pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan selama

penyusunan proposal penelitian ini. Penulis juga ucapkan terima kasih kepada

Dekan Fakultas Peternakan, Ketua Prodi Fakultas Peternakan Kampus II

Payakumbuh, Dosen Pembimbing Akademik (PA), Dosen-dosen ITPT, kepada

Ayahanda Zaiwan dan Ibunda Yulianis yang telah memberikan bantuan dan

fasilitas yang sangat berharga serta sehingga penulis dapat menyelesaikan

proposal penelitian ini.

Semoga proposal penelitian ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan

dalam bidang ilmu pengetahuan teknologi produksi ternak.

Payakumbuh, November 2018

( Yuza Dwi Asa Putri )


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................

DAFTAR ISI....................................................................................................

DAFTAR TABEL............................................................................................

DAFTAR GAMBAR........................................................................................

DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................

BAB I. PENDAHULUAN................................................................................

1.1..............................................................................................................

Latar Belakang.....................................................................................

1.2..............................................................................................................

Rumusan Masalah................................................................................

1.3..............................................................................................................

Tujuan dan Kegunaan Penelitian.........................................................

1.4..............................................................................................................

Hipotesis Penelitian.............................................................................

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................

2.1..............................................................................................................

Kambing (Capra aegagrus hircus)......................................................

2.1.1. Kambing Kacang......................................................................

2.1.2. Kambing Peranakan Etawa.......................................................

2.2..............................................................................................................

Siklus Estrus........................................................................................
2.3..............................................................................................................

Sinkronisasi Estrus..............................................................................

2.4..............................................................................................................

Ovsynch...............................................................................................

2.5..............................................................................................................

Gonadotrophin Releasing Hormone (GnRH)......................................

2.6..............................................................................................................

Prostaglandin (PGF2α).......................................................................

2.7..............................................................................................................

Intensitas Estrus...................................................................................

BAB III. MATERI DAN METODE PENELITIAN........................................

3.1..............................................................................................................

Materi Penelitian..................................................................................

3.1.1. Kandang, Alat dan Bahan.........................................................

3.1.2. Ternak Percobaan......................................................................

3.2..............................................................................................................

Metode Penelitian................................................................................

3.2.1. Rancangan Penelitian................................................................

3.2.2. Analisis Data.............................................................................

3.2.3. Pelaksanaan Penelitian..............................................................

3.2.4. Parameter Penelitian.................................................................

3.3..............................................................................................................

Waktu dan Tempat Penelitian..............................................................

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Kambing adalah hewan poliestrus yang tersebar di berbagai daerah di

Indonesia. Mampu beradaptasi pada kondisi lingkungan dan sumberdaya yang

minimum, menghasilkan nilai fungsional sebagai kambing pedaging, kambing

penghasil susu dan bulu serta juga berfungsi sebagai hewan multiguna seperti

hewan penghasil daging, susu dan jasa (Dinas Kesehatan Hewan, 2010).

Breed kambing yang umum dipelihara di berbagai daerah di Indonesia

diantaranya adalah kambing kacang dan kambing peranakan ettawa (PE) karena

dapat menghasilkan daging, kulit, dan juga sebagai sumber penghasil susu

(Williamson dan Payne, 1993).

Usaha peternakan kambing memiliki jumlah investasi yang sedikit, namun

cepat dalam dewasa tubuh dan kelamin, jumlah anak per kelahiran rata-rata lebih

dari satu, kidding interval yang pendek serta masa kebuntingan yang relatif cepat,

menyebabkan perputaran modal menjadi relatif lebih cepat jika dibandingkan

dengan ternak lain. Beberapa keunggulan ternak kambing yaitu tidak

membutuhkan lahan yang luas, tenaga kerja sedikit dan kemampuan adaptasi yang

tinggi terhadap lingkungan dan pakan yang terbatas.

Keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh ternak kambing tidak mampu

dimanfaatkan secara maksimal oleh peternak-peternak rakyat. Hal ini dikarenakan

banyak peternak rakyat yang mengeluhkan kambingnya tidak kunjung beranak

dua tahun setelah melahirkan terakhir kali. Kenyataan di lapangan menunjukkan

bahwa rendahnya tingkat populasi ternak kambing disebabkan oleh buruknya

pengaturan terhadap siklus reproduksi ternak. Hal ini akan berakibat kepada
kerugian secara ekonomi terhadap peternak. Selain itu hal ini akan berdampak

terhadap kebijakan pemerintah dalam meningkatkan produksi daging melalui

pemanfaatan ternak ruminansia kecil. Sehingga program swasembada daging yang

sering dicanangkan oleh pemerintah akan sulit untuk terwujud. Keadaan ini cukup

menuai perhatian pemerintah, melalui Kementerian Pertanian maka dicanangkan

suatu program yakni Program Gertak Birahi (Gerakan Penyerentakan Birahi) yang

bertujuan untuk meningkatkan angka kelahiran melalui sikronisasi

(penyerentakan) birahi.

Sinkronisasi estrus merupakan salah satu cara mengatur reproduksi pada

ternak. Pengaturan siklus estrus pada sekelompok ternak bertujuan memudahkan

pemeliharaan, efisiensi tenaga kerja, dan efisiensi reproduksi. Usaha sinkronisasi

estrus harus disertai pengamatan terhadap tanda-tanda estrus secara visual dengan

cermat agar tercapai angka konsepsi yang tinggi. Salah satu metode sinkronisasi

yang banyak dikembangkan adalah metode Ovsynch. Ovsynch adalah salah satu

metode sinkronisasi ovulasi dengan menggunakan kombinasi hormon GnRH dan

PGF2α. Metode Ovsynch difokuskan kepada sinkronisasi terjadinya ovulasi dan

dilakukan inseminasi pada waktu yang telah ditentukan.

Penerapan teknik sikronisasi birahi pada sejumlah ternak betina ini

umumnya dilakukan pada peternakan sapi potong maupun sapi perah. Oleh sebab

itu, berdasarkan uraian diatas penulis menilai perlu adanya penelitian mengenai

“Pengaruh Sinkronisasi Birahi Terhadap Intensitas Estrus pada Kambing

Lokal dengan Menggunakan Metode Ovsynch”

I.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka perumusan masalahnya adalah :


1. Bagaimana pengaruh penggunaan GnRH dan PGF2α terhadap intensitas estrus

pada kambing lokal dengan menggunakan metode Ovsynch?

2. Berapakah level dosis penggunaan GnRH yang optimal dalam sikronisasi

birahi pada kambing peranakan etawa?

I.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan hormon

GnRH dan PGF2α terhadap sinkronisasi birahi dengan menggunakan metode

ovsynch dan mengetahui level dosis hormon GnRH yang optimal dalam

sikronisasi estrus pada kambing lokal. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah

untuk memperbaiki siklus reproduksi ternak kambing dengan melakukan

sinkronisasi birahi pada kambing lokal milik masyarakat serta memberi

pengetahuan kepada masyarakat mengenai siklus reproduksi ternak kambing.

I.4. Hipotesis Penelitian


II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1....................................................................................................................

Kambing Lokal (Capra aegagrus)

Kambing lokal (Capra aegagrus) adalah sub species dari kambing liar yang

tersebar di Asia Barat Daya dan Eropa, kambing merupakan jenis binatang

memamah biak yang berukuran sedang. (Sarwono, 2007)

Adapun Taksonomi Zoologi kambing sebagai berikut :

Kerajaan : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mammalia

Ordo : Artiodactyla

Famili : Bovidae

Sub famili : Caprinae

Genus : Capra

Spesies : Capra Hircus

Kambing lokal Indonesia adalah kambing tropis yang telah didomestikasi

menjadi plasma nutfah di Indonesia (Subandriyo, 2004). Kambing lokal memiliki

suatu karakteristik khas yang hanya dimiliki ternak tersebut setelah berkembang

beberapa generasi dan mendiami suatu wilayah (Ilham, 2014). Jumlah populasi

kambing lokal di Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, jumlah

tersebut sebesar 18.879.600 ekor pada tahun 2015 atau mengalami pertumbuhan

sebesar 1,29% dari tahun sebelumnya (Direktorat Jenderal Peternakan dan

Kesehatan Hewan, 2015).


Kambing lokal Indonesia memiliki kemampuan beradaptasi sangat baik

terhadap suatu agroekosistem yang spesifik mengikuti lingkungan dan manajemen

pemeliharaan di tempat hidupnya (Batubara dkk., 2006). Kambing lokal termasuk

ternak yang cepat mengalami dewasa kelamin, mudah disilangkan dengan bangsa

kambing lain dan mampu bertahan dengan pakan kualitas rendah (Doloksaribu

dkk., 2005). Menurut Ilham (2014), bangsa-bangsa kambing lokal yang ada di

Indonesia adalah kambing Peranakan Etawah (Etawah x Kacang), kambing

Jawarandu (PE x Kacang), kambing Boerka (Boer x Kacang), kambing Benggala

(Nusa Tenggara Timur), kambing Marica (Sulawesi Selatan), kambing Samosir

(Pulau Samosir), kambing Muara (Tapanuli Utara), kambing Kosta (Banten),

kambing Gembrong (Bali), kambing Kacang (Indonesia, Malaysia dan Filipina).

II.1.1. Kambing Kacang

Kambing kacang (C. aegagrus hircus) adalah salah satu kambing lokal di

Indonesia dengan populasi yang cukup tinggi dan tersebar luas. Kambing kacang

memiliki ukuran tubuh yang relatif kecil, memiliki telinga yang kecil dan berdiri

tegak. Kambing ini telah beradaptasi dengan lingkungan setempat, dan memiliki

keunggulan pada tingkat kelahiran (Setiadi, 2003).

Pamungkas et. al. (2008) menyatakan bahwa tingkat kesuburan kambing

Kacang sangat tinggi dengan kemampuan hidup dari lahir sampai sapih sebesar

79,40%, sifat prolifik anak kembar dua 52,20%, kembar tiga 2,60% dan anak

tunggal 44,90%. Kambing Kacang mencapai dewasa kelamin rata-rata pada umur

307,72 hari dan memiliki persentase karkas 44-51%. Rata-rata bobot anak lahir

3,28 kg dan bobot sapih (umur 90 hari) sekitar 10,12 kg. Kambing Kacang sangat
cepat berkembang biak, pada umur 15-18 bulan sudah bisa menghasilkan

keturunan.

II.1.2. Kambing Peranakan Etawa (PE)

Kambing PE merupakan ternak yang cukup produktif dan adaptif dengan

kondisi lingkungan setempat, sehingga banyak peternak yang menggunakan

kambing sebagai penghasil tambahan. Peranakan Ettawa (PE) merupakan hasil

persilangan antara kambing Ettawa (asal India) dengan kambing Kacang, yang

penampilannya mirip Ettawa tetapi lebih kecil. Kambing Peranakan Ettawa

memiliki tubuh dengan kisaran berat badan betina 40,2 kg dan jantan 60 kg yang

difungsikan sebagai penghasil susu dan daging (Pamungkas. et al, 2009).

Kambing PE memiliki potensi biologi reproduksi yang cukup baik, hal ini

sejalan dengan pendapat Syukur (2006) yang menyatakan bahwa kambing

mencapai dewasa kelamin pada umur 6 sampai dengan 10 bulan, dan dikawinkan

pada umur 10-12 bulan atau saat bobot badan mencapai 55 - 60 kg. Umur estrus

pertama bagi kambing PE adalah 8 – 10 bulan (Utomo, 2011). Jumlah anak

sekelahiran (litter size) kambing PE 1,3 – 1,7 (Subandriyo et al., 1986); Adriani et

al., 2003; Sutama. 2007) dengan selang beranak yang relatif pendek yaitu 240 hari

(Sodiq dan sumaryadi, 2002) maka hal tersebut sangat potensial untuk

peningkatan populasi.

II.2.................................................................................................................... Sikl

us Estrus

Siklus estrus pada setiap hewan berbeda antara satu sama lain tergantung

dari bangsa, umur, dan spesies Interval antara timbulnya satu periode estrus ke

permulaan periode berikutnya disebut sebagai suatu siklus estrus. Siklus estrus
pada dasarnya dibagi menjadi 4 fase atau periode yaitu ; proestrus, estrus,

metestrus, dan diestrus.

Tabel 1. Periode Siklus Estrus

Siklus estrus Proestrus Diestrus Metestrus Estrus Ovulasi


(hari) (hari) (hari) (hari) (jam)
21 3-4 10-14 3-4 12-18 10-12
jam
Post estrus
Sumber: Sonjaya (2005)

Pada hewan yang mengalami siklus estrus, setiap saat di sepanjang siklus

hewan betina siap menerima sapi jantan untuk kawin, sekalipun ovum baru

dilepas kira-kira pada pertengahan siklus. Selama siklus menstrual dapat

ditemukan berbagai perubahan di dalam tubuh dan organ reproduksinya.

Perubahan yang dimaksud meliputi perubahan keadaan ovarium, rahim ketebalan

endometrium dan tingkat hormon reproduksi di dalam darah (Isnaeni, 2006).

Semakin tua umur ternak tersebut, semakin jelas tanda-tanda estrus yang

ditunjukkan. Hal ini dapat dilihat dari faktor usia seekor ternak, dimana semakin

tua umur ternak tersebut, ukuran ovariumnya juga akan semakin besar. Ovarium

menghasilkan hormon estrogen yang mempunyai peran penting dalam intensitas

estrus (Ismail, 2009).

II.3.................................................................................................................... Sikr

onisasi Estrus

Estrus atau birahi adalah fase reproduksi yakni suatu hasrat dari mahluk

hidup untuk kawin, baik pada jantan maupun betina. Pada ternak betina tanda-

tanda estrus merupakan indikasi bahwa ternak tersebut minta kawin. Sinkronisasi
estrus merupakan upaya untuk menyerentakkan estrus pada hewan betina dengan

memanipulasi hormon reproduksinya agar hewan mengalami estrus secara

bersamaan pada hari yang relatif sama sekitar 2 sampai 3 hari. Manfaat lain dari

sinkronisasi estrus, peternak dapat mengatur pola produksi hewan dengan

mengatur perkawinan, penyapihan, serta penjualan ternak sesuai dengan berat dan

umur yang dikehendaki. Selain itu sinkronisasi estrus digunakan untuk mengatasi

permasalahan aplikasi inseminasi buatan menuju ke optimalisasi hasil

konsepsinya (Yudi dkk., 2010).

Beberapa metode sinkronisasi estrus telah dikembangkan, antara lain

dengan penggunaan substansi progesteron, prostaglandin F2α (PGF2α), serta

kombinasinya dengan gonadotrophin releasing hormone (GnRH). Pemberian

progesteron berpengaruh menghambat ovulasi, prostaglandin F2α menginduksi

regresi korpus luteum, sedangkan GnRH menambah sinergi proses ovulasi

(Hariadi et al., 1988; Rabiee et al., 2005; Bartolome et al., 2004; Kasimanickam

et al., 2006).

II.4.................................................................................................................... Met

ode Ovsynch

Salah satu protokol yang saat ini populer digunakan untuk sinkronisasi

berahi adalah ovsynch (Taponen, 2009). Metode ovsynch telah dilakukan pada

sapi perah (Pursley et al., 1995) dan sapi potong (Geary et al., 1998). Metode

ovsynch bertujuan menjamin ovulasi terjadi dalam periode 8 jam, menghasilkan

fertilitas yang baik, dan tidak membutuhkan deteksi berahi. Protokol ovsynch

menggunakan kombinasi hormon gonadotropin releasing hormone (GnRH) dan

PGF2α. Implementasi protokol ovsynch, dilakukan dengan injeksi GnRH pada


hari ke-0 yang bertujuan menginduksi ovulasi folikel dan memulai gelombang

folikel baru. Pada hari ke-7, sapi diinjeksi dengan PGF2α untuk meregresi korpus

luteum. Pada hari ke-9, sapi diinjeksi dengan GnRH kedua yang berfungsi

menginduksi ovulasi pada folikel dominan yang direkruit setelah injeksi GnRH

pertama. Inseminasi buatan dilakukan 12-16 jam setelah injeksi GnRH kedua

(Pursley et al., 1997).

Ketika diinjeksi GnRH pada hari ke-0, kondisi ovarium sapi tidak

diketahui, maka GnRH akan memicu pelepasan luteinizing hormone (LH) yang

menyebabkan ovulasi dan memulai siklus lagi jika pada saat itu ovarium memiliki

folikel matang. Jika terdapat korpus luteum, GnRH akan memicu pelepasan FSH

yang menciptakan kelompok folikel baru. Pemberian PGF2α pada metode

ovsynch bertujuan menurunkan konsentrasi progesteron yang meningkat setelah

pemberian GnRH. Pemberian GnRH menyebabkan terbentuknya korpus luteum

asesoris. Jika hormon progesteron tidak turun sampai 0,5 ng/ml dalam 2 hari

setelah pemberian PGF2α maka peluang ternak menjadi bunting cukup rendah

(Pursley et al., 2012). Interval pemberian PGF2α tujuh hari setelah pemberian

GnRH dimaksudkan agar korpus luteum yang terbentuk setelah injeksi GnRH

telah respons terhadap hormon PGF2α (Pursley et al., 1997).

II.5....................................................................................................................

Gonadotrophin Releasing Hormone (GnRH)

Gonadothropin Releasing Hormon (GnRH) akan menstimulasikan sel-sel

gonadotroph kelenjar pituitari untuk mensekresikan Follicle Stimullating Hormon

(FSH) dan Luteinizing Hormon (LH) yang bekerja pada target organ gonad
(Colazo 2005; Sonjaya 2005), yaitu menstimulasikan sel-sel granulosa untuk

memfasilitasi proses oogenesis dan ovulasi.

Penggunaan GnRH dalam protokol sinkronisasi telah umum dilakukan

baik pada sapi maupun kerbau. Hal tersebut ditujukan untuk merangsang

perkembangan folikel dominan sehingga terjadi ovulasi. Pada kerbau sungai,

GnRH telah digunakan untuk berbagai tujuan, seperti memperpendek periode

anestrus post-partum (BARKAWI et al., 1993), menginduksi ovulasi pada akhir

program superovulasi (TECHAKUMPHU et al., 2004), sinkronisasi kemunculan

folikel-folikel dan ovulasi pada program sinkronisasi serta program IB yang

terjadwal (fixed time insemination) (BERBER, et al., 2002; BARUSELLI et al.,

2004).

II.6....................................................................................................................

Prostaglandin (PGF2α)

Prostaglandin (PGF2α) adalah senyawa hormonal yang telah banyak

diisolasi dari banyak tubuh hewan termasuk prostat, kulit usus, ginjal, otak, paru-

paru, organ reproduksi, cairan menstruasi dan cairan amnion. PGF2α dapat

berpengaruh dalam organ tempat disintesisnya atau pada organ yang dapat dicapai

oleh darah vena. PGF2α merupakan subtitusi farmakologis aktif, yang ikut

berperan penting dalam proses reproduksi, terutama dalam proses partus. Fungsi

PGF2α merupakan hormon yang banyak berperan dalam fenomena pengaturan

proses fisiologi dan farmakologis, seperti kontraksi otot polos dari saluran

reproduksi dan saluran gastrointestinal, ereksi ejakulasi, transport semen, ovulasi,

pembentukan korpus luteum dan partus (Ihsan,2010).


Hormon PGF2α bersifat luteolitik sehingga mampu menginduksi

terjadinya regresi korpus luteum yang mengakibatkan estrus, tetapi mekanisme

yang sebenarnya belum diketahui dengan pasti walaupun salah satu dari postulat-

postulat yang ada menyatakan bahwa efek vasokonstriksi dari PGF2α dapat

menyebabkan luteolisis. Beberapa hipotesis diajukan tentang kerja PGF2α dalam

melisiskan korpus luteum yaitu, PGF2α langsung berpengaruh kepada hipofisa,

PGF2α menginduksi luteolisis melalui uterus dengan jalan menstimulir kontraksi

uterus sehingga dilepaskan luteolisis uterin endogen, PGF2α langsung bekerja

sebagai racun terhadap sel-sel korpus luteum, PGF2α bersifat sebagai

antigonadotropin, baik dalam aliran darah maupun reseptor pada korpus luteum,

dan PGF2α memengaruhi aliran darah ke ovarium (Solihati, 2005). Hormon

PGF2α hanya efektif bila ada korpus luteum yang berkembang, antara hari 7-18

dari siklus estrus (Putro, 2008).

II.7....................................................................................................................

Intensitas Estrus

Intensitas estrus adalah kualitas suatu estrus dengan banyaknya gejala-

gejala yang timbul, semakin banyak gejala estrus yang ditimbulkan maka semakin

berkualitas estrus domba tersebut. Intensitas estrus dimaksudkan untuk

menentukan taraf tingkah laku kawin yang diperlihatkan pada ternak-ternak

penelitian. Penilaian intensitas estrus menggunakan satuan skor, apabila terdapat

vulva bengkak, vagina memerah, temperatur meningkat dan terdapat lendir kental

diberi skor ++++ (4) dengan kategori sangat baik, jika terdapat tiga gejala estrus

yang termanifestasikan dari intensitas terbaik diberi skor +++ (3) dangan kategori

baik, jika terdapat dua gejala estrus yang termanifestasikan dari intensitas terbaik
maka diberi skor ++ (2) dengan kategori cukup baik, dan jika terdapat satu gejala

estrus yang termanifestasikan dari gejala terbaik maka diberi skor + (1) dengan

kategori kurang.

Intensitas berahi dapat diamati dengan memberi nilai (skor) berdasarkan

gejala klinis seperti vulva bengkak dan merah, adanya lendir, menaiki, dan diam

dinaiki, gelisah, dan nafsu makan menurun. Informasi akurat tentang perubahan

yang terjadi selama siklus berahi normal dapat dihubungkan dengan konsep dasar

proses ovulasi, regresi korpus luteum (CL), kebutuhan hormon untuk manifestasi

berahi, kebuntingan, dan kelahiran (Guilbault et al., 1991; Akusu et al., 2006).
III. MATERI DAN METODE

III.1. Materi Penelitian

III.1.1.Kandang, Alat dan Bahan

Kandang yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang panggung

dengan type kandang face to face (saling berhadapan), dilengkapi dengan tempat

pakan dan minum. Peralatan yang digunakan terdiri dari, sapu lidi, skop, baskom,

gerobak, spuit injeksi, dan alat tulis serta alat untuk dokumentasi selama

penelitian. Sedangkan bahan yang digunakan berupa preparat Gonadotrophin

Releasing Hormone (GnRH) dengan perlakuan 3 dosis (0.5 ml, 1 ml dan 1.5 ml)

dan preparat hormon Prostaglandin F2α dengan dosis 1 ml untuk tiap kelompok

ternak.

III.1.2.Ternak Percobaan

Penelitian ini menggunakan 24 ekor induk kambing lokal yang terdiri atas 2

jenis yaitu kambing Peranakan Etawa (PE) dan kambing Kacang (bisa juga dara),

dengan status tidak bunting dan sehat secara klinis. Pelaksanaan penelitian

dimulai setelah dilakukan penelusuran ke kandang-kandang milik perternak rakyat

yang tersebar di sekitaran daerah payakumbuh yaiu pada daerah Subarang

Batuang dan Bulakan Balai Kandi. Kemudian setelah seluruh sampel terkumpul,

dilakukan penyuntikan vitamin B kompleks sehari sebelum dilakukan protokol

ovsynch. Jenis ransum yang diberikan peternak umumnya sama, yaitu berupa

pemberian hijauan (rumput liar, daun singkong, dan rumput lapangan) secara ad-

libitum tanpa pemberian konsentrat dan pemberian air minum secara ad-libitum.

III.2. Metode Penelitian

III.2.1.Rancangan Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode eksperimen,

Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas 3 perlakuan dan 8 ulangan.

Menurut Steel dan Torrie (1995) model matematis Rancangan Acak Lengkap

(RAL) adalah sebagai berikut :

Yij = µ + τi + εij

Keterangan :

Yij = nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

i = 1, 2, 3, …, k

j = 1, 2, 3, ..., n

µ = nilai tengah umum

τi = pengaruh perlakuan ke-i

εij = pengaruh galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

Perlakuan yang diamati adalah level dosis optimal GnRH :

P1 : Penyuntikan GnRH dengan dosis 0.5 ml

P2 : Penyuntikan GnRH dengan dosis 1.0 ml

P3 : Penyuntikan GnRH dengan dosis 1.5 ml

Setiap percobaan penelitian terdiri dari tiga perlakuan dengan delapan

ulangan dengan jumlah sampel untuk setiap unit percobaan adalah 3 x 8 = 24 ekor

induk/ dara.

III.2.2.Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode Rancangan Acak

Lengkap (RAL) dan akan di analisis secara deskriptif serta diuji dengan Uji

ANOVA dan Uji Fisher.

Tabel 6. Sidik Ragam (ANOVA) Rancangan Acak Lengkap


Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F-tabel
Keragaman Bebas Kuadrat Tengah F-hitung
5% 1%
(SK) (dB) (JK) (KT)
Perlakuan (t-1) JKP JKP/dBp KTP/KTS
Galat/Sisa t-(t-1) JKS JKS/dBs
Total (jt-1) JKT
Jika : F hitung > F tabel 5% berarti berbeda nyata (P<0.05)

F hitung > F tabel 1 % berarti berbeda sangat nyata (P<0.01)

F hitung < F tabel 5% berarti berbeda tidak nyata (P>0.05)

III.2.3.Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini menggunakan 24 ekor kambing betina dan 5

ekor kambing jantan lokal (teaser). Kambing yang digunakan mempunyai kriteria

sehat secara klinis, sudah pernah beranak/ dara, jumlah anak pada kelahiran

terakhir 1-2 ekor, dan umur 1.5 – 3.0 tahun. Kambing dibagi atas 3 satuan

percobaan dimana masing-masing satuan percobaan terdiri dari 8 ekor. Penelitian

ini dilakukan dengan 3 perlakuan yaitu P1= GnRH 0.5 ml, P2= 1 ml dan P3=

GnRH 1.5 ml dengan ulangannya sebanyak (n)= 8 kali. Satuan percobaan I, II dan

III disinkronisasi dengan menggunakan protokol ovsynch. Protokol ovsynch

diawali pada hari ke-0 penyuntikan Gonadotrophin Releasing Hormone (GnRH)

sesuai perlakuan dosis 0.5 ml (P1), 1 ml (P2) dan 1.5 ml (P3). Kemudian pada

hari ke-7 seluruh kambing di injeksi dengan PGF2α dengan dosis 1 ml.

Selanjutnya pada hari ke-9 di injeksi kembali dengan GnRH 0.5 ml, 1 ml dan 1.5

ml sesuai perlakuan. Kemudian besok harinya dan hari-hari berikutnya dilakukan

pengamatan estrus tiga kali sehari. Pengamatan silakukan pagi jam 7.00, siang

jam 12.00 dan sore jam 17.00 secara visual dan juga menggunakan kambing

pejantan.

Perkawinan menggunakan metode kawin alam (pejantan) dilakukan 24

jam setelah injeksi GnRH terakhir atau sampai kambing menunjukan puncak
estrus nya. Hal tersebut ditandai dengan betina mau atau diam menerima pejantan

untuk kopulasi.

III.2.4.Parameter Penelitian

Parameter yang akan diamati dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut :

a. Jumlah ternak yang menunjukan tanda-tanda birahi dengan presentase

birahi yang dihitung menggunakan rumus:

% Birahi = Jumlah Kambing yang Birahi ÷ Jumlah Kambing Perlakuan

b. Intensitas birahi menunjukkan kejelasan tanda-tanda birahi. Gejala birahi

meliputi vulva merah, vulva bengkak, terdapat lendir, dinaiki/ menaiki

pejantan.

Skoring dilakukan berdasarkan gejala birahi yang muncul :

1. Skor 4 = vulva merah, vulva bengkak, terdapat lendir, menaiki/ dinaiki

pejantan.

2. Skor 3 = tiga dari empat gejala birahi yang muncul

3. Skor 2 = dua dari empat gejala birahi yang muncul

4. Skor 1 = satu dari empat gejala birahi yang muncul

c. Interval munculnya birahi dari PGF2α dan GnRH sampai puncak birahi

III.3. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Subarang Batuang dan Bulakan Balai Kandi,

Kecamatan Payakumbuh Barat, Kota Payakumbuh selama 7 minggu, yang

dilaksanakan pada tanggal 12 September 2018 sampai dengan 1 November 2018.


DAFTAR PUSTAKA

Adriani, A Sudono, T Sutardi, W Manalu dan I-k Sutama. 2003. Optimasi


produksi anak dan susu kambing Peranakan Etawah dengan superovulasi dan
suplementasi seng. Forum Pascasarjana, Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor. 26 (4):355-352.

Akusu, M. O., E. Nduka, and G. N. Egbunike. 2006. Peripheral Plasma Levels of


Progesteron and Oestradiol-17β During the Reproductive Cycle of West
African Dwarfs Goats.

Barkawi, A.K., L.H. Bedeir, M.A. and El Wardani. 1993. Sexual behavior of
Egyptian buffaloes in post-partum period. Buffalo J. 9: 225-36.

Bartolome, J. A., Sozzi, A., McHale, J., Swift, K., Kelbert, D., Archbald, L. F.
And Thatcher, W. W. 2004. Resynchronization of Ovulation and Timed
Insemination in Lactating Dairy Cows Using the Ovsynch and Heatsynch
Protocol Initiated 7 Days Before Pregnancy Diagnosis on Day 30 by
Ultrasonography. Reprod. Fertil. Develop. 16 (2): 126-127.

Batubara, J.P., R. Krisnan, S.P. Ginting dan J. Sianipar. 2005. Penggunaan


bungkil inti sawit dan Lumpur sawit sebagai pakan tambahan untuk
kambing. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Bogor, 12-13 September 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 611 – 616

Berber, D.R.C., F.H. Madureira and P.S. Baruselli. 2002. Comparison of two
Ovsynch protocols (GnRH versus LH) for fixed timed insemination in
buffalo (Bubalus bubalis). Theriogenology 57: 1421-1430.

Colazo, M.G and M.F. Martínez. 2005. Effect of estradiol valerate on ovarian
follicle dynamics and superovulatory response in progestin-treated cattle.
Theriogenology. (63):1454-1468.

Direktorat Kesehatan Hewan. 2010. Asal usul kambing Etawa.


http://dinakkeswan.jatengprov.go.id (30 Juni 2011)

Ditjen PKH. 2015. Statistik Peternakan 2015. Jakarta (Indonesia): Direktorat


Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Doloksaribu, M., S. Elieser, F. Mahmilia dan F. A. Pamungkas. 2005.


Produktivitas kambing kacang pada kondisi dikandangkan: 1. Bobot lahir,
bobot sapih, jumlah anak sekelahiran dan daya hidup anak prasapih.
Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12-13
September 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor : 581-585

Geary, T.W., J.C. Whittier, E.R. Downing, D.G. LeFever, R.W. Silcox, M.D.
Holland, T.M. Nett, and G.D. Niswender. 1998. Pregnancy rates of
postpartum beef cows that were synchronized using Syncro-Mate-B or the
Ovsynch protocol. J. Anim. Sci. 76:1523-1527.

Guilbault, L.A., J.G. Lussier, F. Grasso, P. Matton, and P. Rouillier. 1991.


Follicular dynamics and superovulation in cattle. Can. Vet. J. 32:91-93.

Hariadi, M., Broomfield, D. and Wright, P. J. (1998) The Synchrony of


Prostaglandin-Induced Estrus in Cows was Reduced by Pretreatment with
HCG. Theriogenology 49: 967-974.

Ihsan, M.N. 2010. Ilmu Reproduksi Ternak Dasar. UB Press.

Ilham, F. 2012. Keberagaman fenotip kambing lokal Kabupaten Bone Bolango.


Lembaga Penelitian (Lemlit). Universitas Negeri Gorontalo. Gorontalo.

Ismail, M. 2009. Onset dan intensitas estrus kambing pada umur berbeda. J.
Agroland. 16(2):180-186.

Isnaeni, W.I. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta. Kanisius

Kasimanickam, R., Collins, J. C., Wuenschell, J., Currin, J. C., Hall, J. B. and
Whittier, D. W. (2006) Effect of Timing of Prostaglandin Administration,
Controlled Internal Drug Release Removal and Gonadotropin Releasing
Hormone Administration on Pregnancy Rate in Fixed-Time AI Protocols
in Crossbred.

Pamungkas, et al. 2009. Potensi Beberapa Plasma Nutfah Kambing Lokal


Indonesia. Bogor: Pusat Penelitian & Pengembangan Peternakan

Pamungkas, F.A., Mahmilia, F. dan Elieser, S. 2008. Perbandingan Karakteristik


Semen Kambing Boer dengan Kacang, Proseding Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner, 367-370.

Pursley, J. R., Kosorok, M. R. and Wiltbank, M. C. (1997) Reproductive


Management of Lactating Dairy Cows Using Synchronization of
Ovulation. J. Dairy Sci. 80: 301-306.

Pursley, J.R., J.P. Martins, C. Wright, and N.D. Stewart. 2012. Compared to
dinoprost tromethamine, cloprostenol sodium increased rates of estrus
detection, conception and pregnancy in lactating dairy cows on a large
commercial dairy. Theriogenology. 78(4):823-829.

Pursley, J.R., M.O. Mee, and M.C. Wiltbank. 1995. Synchronization of ovulation
in dairy cows using PGF2 alpha and GnRH. Theriogenology. 44:915-923.

Putro PP. 2008. Dampak crossbreeding terhadap reproduksi induk turunannya:


Hasil Studi Klinis. Lokakarya Lustrum VIII Fak. Peternakan UGM, 8
Agustus 2009.
Rabiee, A. R., Lean, I. J. and Stevenson, M. A. (2005) Efficacy of Ovsynch
Program on Reproductive Performance in Dairy Cattle: a Meta-Analysis. J.
Dairy Sci. 88: 2754-2770.

Setiadi, B. 2003. Alternatif konsep pembibitan dan Pengembangan Usaha Ternak


Kambing. Makalah Sarasehan “Potensi Ternak Kambing dan Propek
Agribisnis Peternakan", 9 September 2003 di Bengkulu.

Sodiq A and M.Y. Sumaryadi. 2002. Reproductive performance of Kacang and


Peranakan Etawah goat in lndonesia. J. Anim. Prod. 4(2):52-59.

Solihati N. 2005. Pengaruh metode pemberian PGF2α dalam sinkronisasi estrus


terhadap angka kebuntingan sapi perah anestrus. Fakultas Peternakan.
Universitas Padjajaran, Bandung.

Solihati, N. 2005. Pengaruh Metode Pemberian PGF2α dalam Sinkronisai


Estrus terhadap Angka Kebuntingan Sapi Perah Anestrus. Fakultas
Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung.

Sonjaya, H. 2005. Materi Mata Kuliah Ilmu Reproduksi Ternak. Fakultas


Peternakan Universitas Hasanuddin. Makassar.

Steel, R. G. D dan J. H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistik Suatu Pen-
dekatan Biometrik. Edisi kedua. Cetakan kedua. Alih Bahasa B. Sumantri.
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Subandriyo, B Setiadi and P Sitorus. 1986. Etawah grade goat production in


Bogor and Cirebon goat station of West Java. Working paper no. 82, Sr-Crsp/
Balai Penelitian Ternak, Bogor.

Subandriyo. 2004. Strategi Pemanfaatan Plasma Nutfah Kambing Lokal dan


Peningkatan Mutu Genetik Kambing di Indonesia. Pros. Lokakarya
Nasional Kambing Potong. Bogor, 6 Agustus 2004. Puslitbang Peternakan.
Bogor : 39-50

Sutama I-K. 2007. Pengembangan kambing perah suatu alternatif peningkatan


produksi susu dan kualitas konsumsi gizi keluarga pedesaan. Pros.
Seminar Nasional Hari Pangan sedia XXVII. Bogor, 21 November 2007.
Balitbang dan Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian : 116-
124.

Syukur, D. A. 2006. http://disnakkeswanlampung.go.id/brosur/kambing

Taponen, J. 2009. Fixed-time artificial insemination in beef cattle. Acta Vet.


Scand. 51(48):1-6.
Techakumphu, M., A. Promdireg, A. Na-chiengmai and N. Phutikanit. 2004.
Repeated oocyte pick up prepubertal swamp buffalo (Bubalus bubalis)
calves after FSH superstimulation. Theriogenology 61:1705-1711.
Utomo S.2011. Produktivitas Kambing PE di Wilayah Pengembangan Pesisir
Pantai Kecamatan Wates, Kulon Progo. Laporan Penelitian. Universitas
Mercu Buana Yogyakarta.

Williamson G. dan W.J.A. Payne, 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis.


Edisi k-3. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Yudi, T.L. Yusuf, B. Purwantara, D. Sajuthi, M. Agil, J. Manangsang, R.


Sudarwati, dan Y.T. Hastuti. 2010. Penentuaan Siklus Estrus Berdasarkan
Prilaku Seksual dan gambaran Epitel Ulasan Vagina pada Anoa (Bubalus
sp.) di Penangkaran. Prosiding Seminar Nasional Peran Teknologi
reproduksi Hewan Dalam Ranga Swasembada Pangan Nasional, FKH-
IPB,Bogor.

Anda mungkin juga menyukai