Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Keganasan kepala dan leher (KKL) memengaruhi seluruh bagian anatomi


termasuk kulit, rongga mulut, orofaring, nasofaring, hipofaring, laring, sinus
paranasal, dan kelenjar ludah. Keganasan paling sering berasal dari epitel, yaitu
squamous cell carcinoma, namun keganasan yang berasal dari masenkim, saraf,
dan seluler lainnya jarang terjadi 1.
KKL adala kanker ke lima yang paling sering di dunia. Kasus baru KKL
dilaporkan sekitar 50 0.000 kasus di seluruh dunia per tahun dengan angka
kematian 350.000 kasus per tahun. Insidennya meningkat selama tiga dekade
terakhir 2.
Faktor resiko penyakit ini adalah riwayat merokok, perokok pasif, paparan
karsinogen, diet, kebersihan mulut, penyakit menular seperti Huma Papilloma
Virus (HPV) dan Epstein Barr Virus (EBV), riwayat keluarga, dan konsumsi
alkohol 2.
Pengobatan KKL telah berkembang dalam beberapa dekade terakhir.
Pemilihan obat didasarkan pada lokasi dan tahap tumor. Pembedahan, radiasi, dan
kemoterapi berbagai kombinasi digunakan dalam pengobatan KKL tergantung
pada stadium dan asalnya. Pada stadium awal (stadium I dan II) adalah sekitar
40% dilakukan operasi atau radioterapi saja. Untuk sebagian besar stadium lanjut
(stadium III dan IVA/B) diobati dengan berbagai modalitas, dapat direseksi atau
tidak direkseksi, kemoterapi berbasis platinum, dengan atau tanpa induksi
kemoterapi sebagai terapi sekuensial 1, 3.
Kemoterapi dan terapi sistemik lainnya juga semakin banyak dilakukan
dalam terapi KKl, dengan pedoman sekarang merekomendasikan pasien dengan
stadium awal dan lanjut akan ditawarkan kemoterapi dan radioterapi sebagai
perawatan pertama atau setelah operasi. Induksi kemoterapi dengan cisplatin/5-
fuorouracil (5-FU) telah digunakan sejak 1980-an. Food and Drug Administration
(FDA) dari Amerika Serikat pada tahun 1990-an memberi persetujuan untuk
penggunaan kombinasi cisplatin, 5-FU, dan docetaxel atau paclitaxel. Pada tahun
2006 penggunaan cetuximab disetujui oleh FDA untuk pengobatan KKL 4.

1
Cisplatin merupakan obat antikanker berbasis platinum pertama, yang
memasuki klinik, dan masih merupakan senyawa platinum yang paling sering
digunakan. Cipslatin memiiki beberapa efek samping seperti ototoksik dan
nefrotoksik. Ototoksisitas cisplatin biasanya bermanifestasi dalam kehilangan
pendengaran sensorineural bilateral, progresif, dan biasanya ireversibel; cisplatin
terutama merusak sel-sel rambut luar pada pergantian basal dari koklea dan
neuron ganglion spiral (SGNs) 5.
Ototoksisitas adalah istilah umum yang digunakan untuk menentukan
kerusakan yang muncul pada organ koklea dan vestibular sebagai hasil dari
berbagai agen terapi dan bahan kimia. Ototoksisitas yang diinduksi oleh obat
antikanker berbasis platinum, terutama cisplatin, sedang dipelajari secara luas
karena obat ini masih sangat diperlukan, walaupun dapat menyebabkan kerusakan
telinga permanen. Cisplatin obat antikanker berbasis platinum adalah salah satu
obat antikanker yang paling efektif. Penggunaannya sering tanpa alternatif, karena
analog platinum yang kurang ototoksik berbeda dalam khasiat antitumornya dari
cisplatin 6.
Oleh karena itu, perlu diketahui obat kemoterapi yang menyebabkan
ototoksik dan mekanisme yang mendasarinya.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi


Telinga merupakan organ pendengaran dan keseimbangan, yang terbagi
menjadi telinga luar (auris externa), telinga tengah (auris media), dan telinga
dalam (auris interna) 7.
2.1.1 Telinga Luar (Auris Externa)
Telinga luar terdiri dari Auricula (pinna) yang berfunsi sebagai penangkap
suara/getaran, meatus acusticus externa merupakan saluran yang menghantarkan
suara ke membran thympani, dan bagian luar membran thympani 7.

Gambar 2. 1 Telinga Luar, Telinga Tengah, Telinga dalam Potongan Frontal 7

Auricula (daun telinga) berbentuk irregular yang terdiri dari tulang rawan
elastin dan ditutupi oleh kulit. Pada auricula terdapat bagian-bagian telinga yang
masuk kedalam (depresi), bagian yang meninggi (elevasi), dan bagian yang tidak
terdiri dari tulang rawan yakni lobulus1. Tragus adalah proyeksi dari auricular
yang terdapat pada muara meatus acusticus externa.Auricula mendapat supali
darah dari A.auricularis superior dan A.temporalis superficial serta mendapat
persarafan dari N.auricularis magan dan n.auriculatemporalis 7, 8.
Meatus acusticus externus (liang telinga luar) merupakan saluran berbentuk
huruf S, yang tersusun dari tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan
dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang yang merupakan bagian

3
dari os.temporal. Panjangnya kira-kira 2-3 cm pada orang dewasa. Pada bagian
cartilagonya terdapat rambut, glandula sebacea dan glandula ceruminosa yang
memproduksi cerumen pada telinga 7.
Membran thympani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang
telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga dengan diameter 1 cm.
struktur ini membatasi antara telinga luar dan cavum thympani yang merupakan
telinga bagian tengah. Bagian atas disebut pars flaksida (membran shrapnell),
sedangkan bagian bawah pars tensa (membran propria)2. Pars flaksida hanya
berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian
dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Para
tensa mempunyai satu lapis lagi di tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat
kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier di bagian luar dan
sirkuler pada bagian dalam 7.
Membran timpani terbagi 4 kuadran, dengan menarik garis searah dengan
prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo,
sehingga didapatkan bagian supero-anterior, superior-posterior, infero-anterior
serta inferior-posterior, untuk menyatakan letak perforasi membran timpani 7.
2.1.2 Telinga Tengah (Auris Media)
Telinga tengah berbentuk kubus dengan batas lateral: Membran timpani,
batas anterior: Tuba eustachius, batas inferior : Vena jugularis (bulbus jugularis),
batas posterior : Aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis, batas superior :
tegmen timpani, batas medial : tingkap lonjong (oval window) 7, 8.

Gambar 2.2 Telinga Tengah Tampakan Medial 7

4
Gambar 2.3 Telinga Tengah Tampakan Anterior 7
Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun
dari luar ke dalam, yaitu maleus, inkus dan stapes 8.Tulang pendengaran di dalam
telinga tengah saling berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada
membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes.
Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea 7. Pada
para flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Di tempat ini terdapat aditus
antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah dengan antrum
mastoid. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang menghubungkan
daerah nasofaring dengan telinga tengah 7.
2.1.3 Telinga Dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah
lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung
atau puncak koklea disebut holikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani
dengan skala vestibuli 7.

Gambar 2.4 Telinga Dalam Tampak Potongan Sagital 7

5
Kanalis semi sirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan
membentuk lingkaran yang tidak lengkap 8.Pada irisan melintang koklea tampak
skala vestibuli sebelah atas, skala timpani sebelah bawah dan skala media (duktus
koklearis) diantaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa,
sedangkan skala media berisi endolimfa. Dasar skala vestibuli disebut sebagai
membrane vestibuli (Reissner’s membrane) sedangkan dasar skala media adalah
membrane basalis. Pada membran ini terletak organ corti 7.

Gambar 2.5 Organon Corti 8

Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut
membran tektoria, pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel
rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis corti, yang membentuk organ corti 7.
2.2 Fisiologi Pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke
koklea 9. Proses mendengar melalui tiga tahapan yaitu tahap pemindahan energi
fisik berupa stimulus bunyi ke organ pendengaran, tahap konversi atau tranduksi
yaitu pengubahan energi fisik stimulasi tersebut ke organ penerima dan tahap
penghantaran impuls saraf ke kortek pendengaran 10.

6
Gambar 2.6 Fisiologi Pendengaran 9

Aurikula berfungsi untuk menangkap gelombang suara dan mengetahui arah


dan lokasi suara/bunyi. Kemudian melalui meatus acusticus externus gelombang
suara/bunyi yang ditangkap oleh auricula dialirkan ke membran thympani.
Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ketelinga tengah
melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengimplikasi getaran melalui
daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran
10
timpani dan tingkap lonjong . Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan
diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada
skala vestibule bergerak. Getaran diteruskan melalui membrane Reissner yang
mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relative antara
membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik
yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal
ion terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan
ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan
neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada
saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nucleus auditorius sampai ke korteks
pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis 9, 10.
2.3 Kanker Kepala Leher
Keganasan kepala dan leher (KKL) memengaruhi seluruh bagian anatomi
termasuk kulit, rongga mulut, orofaring, nasofaring, hipofaring, laring, sinus
paranasal, dan kelenjar ludah. Keganasan paling sering berasal dari epitel, yaitu
squamous cell carcinoma, namun keganasan yang berasal dari masenkim, saraf,
dan seluler lainnya jarang terjadi 1.
KKL adala kanker ke lima yang paling sering di dunia. Kasus baru KKL
dilaporkan sekitar 650.000 kasus di seluruh dunia per tahun dengan angka

7
kematian 350.000 kasus per tahun. Insidennya meningkat selama tiga dekade
terakhir 2.
Faktor resiko penyakit ini adalah riwayat merokok, perokok pasif, paparan
karsinogen, diet, kebersihan mulut, ppenyakit menular seperti Huma Papilloma
Virus (HPV) dan Epstein Barr Virus (EBV), riwayat keluarga, dan konsumsi
alkohol 2.
2.3.1 Kanker Nasofaring
Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan keganasan yang muncul pada
daerah nasofaring (area di atas tenggorok dan di belakang hidung). Karsinoma ini
terbanyak merupakan keganasan tipe sel skuamosa 11.
Berdasarkan GLOBOCAN tahun 2012, terdapat 87.000 kasus baru kanker
nasofaring muncul setiap tahunnya dengan 51.000 kematian. KNF terutama
ditemukan pada pria usia produktif (perbandingan pasien pria dan wanita adalah
2,18:1) dan 60% pasien berusia antara 25 hingga 60 tahun. Di Indonesia,
karsinoma nasofaring merupakan salah satu jenis keganasan yang sering
ditemukan, berada pada urutan ke-4 kanker terbanyak di Indonesia setelah kanker
payudara, kanker leher rahim, dan kanker paru 11.
Beberapa etiologi yang dapat menyebabkan KNF yaitu bahan kimia, virus
Epstein-Barr dan anggota keluarga dengan karsinoma nasofaring meningkatkan
risiko penyakit 11.
Radioterapi menggunakan sinar peng-ion untuk mematikan sel-sel tumor
dan memelihara jaringan sehat di sekitar tumor agar tidak menderita kerusakan
terlalu berat. Pemberian kemoterapi pada karsinoma nasofaring diindikasikan
pada kasus penyebaran ke KGB leher, metastasis jauh dan kasus-kasus residif.
Diberikan sebagai kemoterapi neoadjuvan dan concomitan. Regimen kemoterapi
neoadjuvan antara lain: cisplatin dan 5-FU, cisplatin dan epirubicin, paclitaxel dan
carboplatin, docetaxel dan cisplatin, gemcitabin dan cisplatin. Karena keterbatasan
letak anatomi dan banyaknya kelenjar limfe maka terapi operatif jarang dilakukan.
Pembedahan terbatas pada diseksi untuk mengontrol kelenjar yang radioresisten
dan metastase leher setelah radioterapi 12.

8
2.3.2 Kanker Sinonasal
Karsinoma hidung dan sinus paranasal atau disebut juga karsinoma
sinonasal adalah tumor ganas yang terdapat pada kavum nasi dan sinus paranasal.
Kebanyakan karsinoma sinonasal berkembang dari sinus maksilaris dan tipe
histopatologi yang paling sering ditemukan adalah karsinoma sel skuamosa 13.
Tumor sinonasal jarang, hanya 3% dari keganasan di kepala dan leher, dan
hanya sekitar 1% dari keganasan seluruh tubuh. Di Asia, keganasan sinonasal
menempati peringkat kedua tersering keganasan di kepala dan leher, setelah
karsinoma nasofaring. Keganasan tersering pada sinonasal adalah karsinoma sel
skuamosa (70%), selanjutnya adenokarsinoma (10-20%). Predileksi tersering di
sinus maksila (60%), diikuti rongga hidung (20-30%), sinus etmoid (10- 15%),
jarang di sinus frontal dan sphenoid (<1%) 14.
Etiologi tumor sinonasal belum diketahui pasti, studi epidemiologi dari
berbagai negara menunjukkan adanya hubungan dengan paparan zat kimia atau
bahan industri antara lain nikel,debu kayu, kulit, mebel 14.
Tatalaksana yang paling sering dilakukan adalah pembedahan disertai
dengan radioterapi 15.
2.3.3 Kanker Laring
Sebagian besar tumor ganas laring berasal dari glotis dan sebagian besar
merupakan karsinoma sel skuamosa 16.
Data dari American Cancer Society tahun 2011 terdapat penderita tumor
ganas laring mencapai 12.740 kasus dengan angka kematian mencapai 3560.
Laporan WHO yang mencakup 35 negara memperkirakan 1,5% orang dari
100.000 penduduk meninggal karena tumor ganas laring dan di RSCM Jakarta
karsinoma laring menempati urutan ketiga setelah karsinoma nasofaring dan
tumor ganas hidung dan sinus paranasal 16.
Penatalaksanaan tumor ganas laring dapat berupa operasi, terapi radiasi,
obat sitostatika ataupun kombinasi tergantung pada stadium penyakit dan keadaan
umum pasien. Stadium I ditatalaksana dengan radiasi, stadium II dan III dilakukan
tindakan operasi, stadium IV dilakukan operasi dengan rekonstruksi dan bila
masih memungkinkan dilakukan radiasi. Sebagian besar stadium I dan II tumor
dari permukaan laring dari epiglotis dan plika ventrikularis diangkat.

9
Laringektomi subtotal suprakrikoid telah popular pada akhir dekade ini, terutama
di Eropa. Prosedur ini dilakukan bila terjadi kegagalan dari teknik radiasi 17.
2.3.4 Kanker Orofaring
Kanker orofaring adalah salah satu tempat tersering kanker kepala dan leher
di Amerika Serikat. Diperkirakan 11.000-13.000 kasus baru kanker oropharyngeal
didiagnosis di Amerika Serikat setiap tahun. Sebagian besar tumor ini
adalah karsinoma sel skuamosa, kanker yang timbul dari sel epitel skuamosa yang
melapisi saluran aerodigestif bagian atas 18. 
Pilihan pengobatan tergantung stadium penyakit. Untuk tahap awal (I-II),
satu bentuk perawatan (baik pembedahan atau terapi radiasi) direkomendasikan.
Dalam beberapa kasus, jika operasi adalah pengobatan awal pada kanker stadium
awal, pengobatan tambahan dengan radiasi saja atau kemoterapi
direkomendasikan jika ada resiko tinggi yang dicatat pada laporan patologi setelah
tumor diangkat. Stadium akhir (III-IV) diobati dengan beberapa modalitas
pengobatan baik radiasi dan kemoterapi dapat digunakan dalam konjungsi atau
operasi diikuti oleh radiasi dan / atau kemoterapi. Pada penyakit lanjut, beberapa
lembaga lebih suka mengobat dengan kemoterapi (terapi induksi) untuk meneilai
respons tumor. Jika ada respons yang baik, maka pasien diberikan pengobatan
dengan kombinasi radiasi dan kemoterapi. Jika responnya buruk, maka pasien
diberikan pengobatan dengan kombinasi radiasi dan kemoterapi. Jika responnya
buruk, maka pasien dianggap bukan responden yang baik untuk terapi kemo dan
radiasi primer, dan pasien menjalani operasi. Setelah operasi, pasien mendapatkan
radiasi dan kemoterapi. Strategi induksi ini bertujuan untuk mencoba
meminimalkan risiko metastasis jauh 19.
2.4 Terapi Kanker Kepala Leher
Pengobatan KKL telah berkembang dalam beberapa dekade terakhir.
Pemilihan obat didasarkan pada lokasi dan tahap tumor. Pembedahan, radiasi, dan
kemoterapi berbagai kombinasi digunakan dalam pengobatan KKL tergantung
pada stadium dan asalnya. Pada stadium awal (stadium I dan II) adalah sekitar
40% dilakukan operasi atau radioterapi saja. Untuk sebagian besar stadium lanjut
(stadium III dan IVA/B) diobati dengan berbagai modalitas, dapat direseksi atau

10
tidak direkseksi, kemoterapi berbasis platinum, dengan atau tanpa induksi
kemoterapi sebagai terapi sekuensial 2.
2.4.1 Pembedahan
Pembedahan umumnya dilakukan pada margin tumor yang jelas.
Pembedahan terbuka atau prosedur minimasif seperti pembedahaan laser
digunakan bergantung pada letak anatomi dan karakteristik tumor tersebut 2.
2.4.2 Radioterapi
Terapi radiasi untuk pengobatan stadium lanjut, terapi radiasi biasanya
digunakan sebagai tanda pembedahan atau bersamaan dengan kemoterapi. Dosis
untuk radiasi sendiri bervariasi dari 60Gy sampai 70Gy, tergantung pada waktu
perawatan dan adjuvant untuk menentukan pengobatan pertama. Dalam pengaruh
definitive, terapi radiasi onkologi membandingkan standar dan mempercepat
tekann radiasi dengan cisplatin 2.
2.4.3 Kemoterapi
Kemoterapi sebagai bagian dari multimodalitas awal. Dosis tinggi cisplatin
tetap menjadi tipikal radiosensitive dalam pengobatan kanker kepala leher. Meta-
analasis kemoterapi kanker kepala leher mengungkapkan bahwa manfaat mutlak
dengan kemampuan kimia sudah 7% 2.
Pada kemoterapi ada beberapa regimen yang biasa digunakan pada kanker
kepala leher, yaitu: Cisplatin, Carboplatin, Methotrexate, Pembrolizumab,
Sorafenib, Vandetanib, Nivolumab, Paclitaxel , Fluorouracil, Decotaxel /
Cisplatin / 5-Fluorouracil (TPF), dan Gemcitabine 19.
2.5 Efek Regimen Kemoterapi Kanker pada Pendengaran
Berbagai regimen yang sering digunakan dalam kemoterapi kanker kepala
leher menyebabkan efek pada pendengaran seperti ototoksik.
2.5.1 Cipslatin
Cisplatin (cis-diamminedichloroplatinum [II]) banyak digunakan untuk
20, 21, 22
kemoterapi untuk secara efektif mengobati berbagai kanker . Cisplatin
adalah obat antikanker berbasis platinum pertama, yang memasuki klinik, dan
masih merupakan senyawa platinum yang paling sering digunakan. Dalam
23, 24
proliferasi sel tumor, DNA adalah target utama cisplatin . Disfungsi
pendengaran yang diinduksi cisplatin terdiri dari efek multilevel, dengan

11
kerusakan sel menengah dan marginal strial di dinding lateral koklea yang
menyebabkan hilangnya potensi endolimfatik, atau kerusakan blood labyrinth
barrier. Pengobatan cisplatin menyebabkan hilangnya sel rambut luar dan
penurunan sensitivitas pendengaran tanpa kehilangan potensi endolimfatik atau
integritas penghalang labirin darah 20, 21.
Setelah injeksi sistemik, cisplatin masuk ke dalam cairan telinga bagian
dalam dan diambil oleh berbagai sel koklea. Meskipun tidak jelas bagaimana
transporter seperti OCT2 dan Copper transporter 1 (CTR1) memfasilitasi
peredaran cisplatin melalui koklea, penghambatan kompetitif CTR1 dan hilangnya
fungsi genetik pada gen organic cation transporter 2 (OCT2) menawarkan
perlindungan dari ototoxisitas yang diinduksi cisplatin. Tidak seperti kebanyakan
sel, sel-sel rambut sensorik memiliki saluran mechanoli-electrical transduction
(MET) yang secara unik terjaga keamanannya oleh tautan ujung antara stereocilia
individu dalam bundel rambut yang terletak secara apical. Sebuah studi baru-baru
ini menunjukkan bahwa saluran MET fungsional diperlukan untuk penyerapan
sitosol dari cisplatin yang ditandai dengan fluoresensi, dan untuk kematian sel
rambut yang diinduksi cisplatin. Hal ini meningkatkan kemungkinan cisplatin,
dengan massa molekul yang rendah (300,05) dan diameter molekul yang sempit
(~ 0,48 nm) dapat menembus saluran sel rambut MET, meskipun rute entri
saluran non-MET juga mungkin terlibat. Struktur unik koklea membuat sulit
untuk menghilangkan cisplatin dari koklea, yang dikelilingi oleh blood-labyrinth
barrier (BLB), menghalangi pembersihan obat dari koklea dengan cepat 20. Dalam
koklea, serapan cisplatin menghasilkan degradasi sel-sel rambut luar dengan
hilangnya sel-sel rambut dalam dan sel-sel pendukung dalam organ Corti pada
dosis yang lebih tinggi 25. Obat ini menargetkan OHC, dan sel-sel di daerah yang
lebih basal dari koklea. Cisplatin mempengaruhi sel-sel rambut basal terlebih
dahulu, dan selanjutnya terjadi defisit HFA 25.
Kerusakan pada sel rambut disebabkan oleh produksi reactive oxigen
species (ROS) yang memainkan peran penting dalam ototoxisitas yang diinduksi
cisplatin. Akumulasi ROS mengarah pada stres oksidatif dan reaksi intraseluler
20, 26
berikutnya, yang pada akhirnya menyebabkan kematian sel rambut . Pada
awalnya, hanya OHC pada pergantian basal koklea yang terpengaruh dan

12
degenerasinya menyebabkan gangguan pendengaran pada frekuensi tinggi. Jika
eksposur berlanjut, kerusakan berlanjut ke putaran atas koklea. Ini mengganggu
pendengaran pada frekuensi bicara dan bahkan dapat menyebabkan tuli. Cisplatin
juga merusak stria vascularis, sel-sel marginal dan ganglion spiral. Mekanisme
yang tepat yang bertanggung jawab atas kerusakan jaringan-jaringan ini belum
sepenuhnya dipahami, tetapi diasumsikan bahwa peningkatan pembentukan
spesies oksigen reaktif (ROS) dalam mitokondria diikuti oleh runtuhnya
metabolisme oksidatif memainkan peran sentral dalam ototoksisitas cisplatin dan
aminoglikosida 24.
Cisplatin juga memiliki efek pada struktur koklea lainnya, termasuk stria
vascularis dan neuron ganglion spiral, yang menginduksi manifestasi ototoksisitas
independen. Tikus yang diobati dengan Cisplatin menunjukkan peningkatan
ekspresi NF- kB dan diinduksi nitrat oksida sintase (iNOS) di stria vascularis dan
ligamentum spiral. Karena NF-kB sangat penting untuk kelangsungan hidup
berbagai jenis sel, termasuk sel rambut pendengaran, diharapkan ekspresi protein
ini diinduksi sebagai respons terhadap pengobatan cisplatin untuk melindungi sel
koklea. Degenerasi stria vascularis tampaknya dipicu oleh aktivitas iNOS, yang
menghasilkan nitric oxide (NO). Dalam ganglia spiral, peningkatan protein
kelompok mobilitas tinggi (HMG1) diamati setelah pengobatan cisplatin. Karena
pengikatan HMG1 dengan DNA dikaitkan dengan aksi anti-kanker cisplatin, dan
peningkatan ekspresi HMG1 membuat sel-sel target menjadi sitotoksisitas
cisplatin, ada kemungkinan bahwa peningkatan protein dalam sel ganglion spiral
oleh pengobatan cisplatin mengarah pada apoptosis yang bergantung pada
kerusakan DNA 20.
Namun mekanisme reversibilitas pada kerusakan awal sel-sel marginal dari
stria vascularis dapat pulih jika proses reparatif diizinkan terjadi. Jika tidak,
akumulasi lebih lanjut dari obat beracun menghabiskan kemungkinan pemulihan,
menyebabkan kerusakan permanen pada sel-sel rambut luar dan gangguan
pendengaran permanen yang terjadi bersamaan 26.
Aktivasi cisplatin yang diinduksi caspase-3 dan -9 terlihat pada sel HEI /
OC1. Penelitian juga menunjukkan bahwa perfusi intra-koklea dari inhibitor
spesifik caspase-3 dan -9 membantu melindungi terhadap kematian sel rambut

13
yang diinduksi cisplatin pada model hewan. Studi-studi menunjukkan bahwa
mekanisme utama ototoksik yang disebabkan oleh cisplatin adalah apoptosis.
Sebaliknya, penelitian kami menunjukkan bahwa ototoxisitas yang diinduksi
cisplatin disebabkan oleh nekroptosis. Nekroptosis dilakukan oleh RIP1 dan RIP3
ketika caspases yang memediasi apoptosis dihambat. Pada tingkat patologis dan
biokimiawi, kematian sel seperti nekroptotik menunjukkan pembengkakan
organel sitoplasma, pecahnya membran plasma, dan pelepasan konten sel. Selain
itu, menurut imunohistokimia, ototoxisitas yang diinduksi cisplatin secara
signifikan berkorelasi dengan tingkat tinggi ekspresi RIP3 dalam OC dan SGN.
Aktivasi nekroptosis adalah jalur kematian sel utama dalam ototoxisitas yang
diinduksi cisplatin 22.
Ototoksisitas cisplatin biasanya bermanifestasi dalam kehilangan
pendengaran sensorineural bilateral, progresif, dan biasanya ireversibel; cisplatin
terutama merusak sel-sel rambut luar pada pergantian basal dari koklea dan
neuron ganglion spiral (SGNs) 22.
Pada penelitian Favrielere et al. dilaporkan cisplatin adalah yang paling
beracun bagi koklea, keparahannya tergantung pada dosis dan menghasilkan cacat
fungsional permanen dengan kualitas hidup yang buruk 26. Ototoksitas biasanya
permanen 24.
Cisplatin menginduksi gangguan pendengaran sensorineural. Gangguan
pendengaran biasanya dimulai berhari-hari hingga berminggu-minggu setelah
perawatan dan sebagian besar bilateral. Awalnya rentang frekuensi tinggi
dipengaruhi. Jika perawatan dilanjutkan, gangguan pendengaran berlanjut ke
frekuensi yang lebih rendah dan akhirnya mengarah ke tingkat gangguan
pendengaran yang lebih tinggi. Pendengaran bahkan dapat memburuk setelah
akhir perawatan, meskipun beberapa kasus peningkatan pendengaran setelah akhir
terapi dilaporkan 24.
Pengalaman bertahun-tahun dalam penggunaan klinis cisplatin
memungkinkan identifikasi faktor risiko untuk ototoksisitas yang diinduksi
cisplatin. Faktor risiko termasuk usia yang lebih muda, dosis cisplatin yang lebih
tinggi (>200-400 mg/m2), pengobatan bersama dengan obat lain seperti
vincristine dan gangguan pendengaran yang sudah ada sebelumnya. Ototoksisitas

14
cisplatin juga tergantung pada dosis, rute dan lama pemberian 27. Dosis cisplatin
yang lebih tinggi dikaitkan dengan kerusakan tambahan pada sel-sel rambut
22
bagian dalam, sel-sel pendukung, dan stria vascularis . Infus bolus lebih
ototoksik dibandingkan dengan infus pendek atau kontinu. Risiko untuk
ototoxicity yang diinduksi cisplatin meningkat dengan tingkat dosis tunggal
individu serta dosis cisplatin kumulatif. Selain itu, usia ≤4 tahun, iradiasi kranial
simultan, paparan kebisingan, pengobatan bersama dengan obat ototoksik dan
nephrotoxic lainnya, seperti loop diuretik atau aminoglikosida, tambahan
carboplatin, gangguan pendengaran yang sudah ada sebelumnya. Tingkat kejadian
ototoksisitas juga tergantung pada skala ototoksisitas yang diterapkan dan
distribusi faktor risiko pada kelompok pasien yang diteliti. Mereka dapat
24, 26, 27
bervariasi antara 13 dan 95% . Pada penelitian lain menunjukkan insiden
ototoksisitas cisplatin berkisar dari 35% hingga 100% 26. Efek cisplatin bersifat
permanen. Pengobatan dengan cisplatin tampaknya menghasilkan kerentanan
jangka panjang terhadap efek kebisingan, dan dengan demikian pasien harus
dinasihati untuk menghindari paparan kebisingan selama dan setelah perawatan 26.
2.5.2 Carboplatin
Carboplatin, analog generasi kedua dari senyawa platinum. Ototoksik
adalah efek samping potensial yang diketahui dari obat-obatan platinum dan
bermanifestasi sebagai gangguan pendengaran sensorineural bilateral pada
frekuensi tinggi yang perkembangan menuju kehilangan frekuensi rendah dengan
meningkatnya dosis kumulatif. Basis genetik ototoksisitas yang diinduksi
karboplatin belum terbukti. Satu studi mengidentifikasi mutasi missense di eIF3𝛼,
yang mengkodekan subunit terbesar dari eukaryotic translation initiation factor 3
(EIF3) dan berperan dalam perbaikan DNA, sebagai biomarker potensial untuk
ototoksik terkait cisplatin dan karboplatin. Beberapa jalur genetik mengatur
pengambilan, pengangkutan, dan pembersihan platinum, dan mungkin termasuk
lebih dari satu gen 28, 29.
Carboplatin kurang ototoksik daripada cisplatin pada manusia. Beberapa
penelitian melaporkan kehilangan pendengaran frekuensi tinggi tanpa adanya
kematian sel rambut dan yang lain melaporkan kematian OHC yang tersebar
dengan pergeseran ambang batas kecil, mungkin didorong oleh perbedaan dalam

15
dosis harian dan durasi pemberian. Mekanisme yang mendasari perbedaan spesies
yang dramatis ini tetap sulit dipahami 25.
Ototoksisitas terjadi pada onset dini dalam 1-7 bulan setelah inisiasi
carboplatin. Hasil dari gangguan pendengaran dini dan tertunda ini mungkin
terkait dengan metode audiologis yang digunakan pada anak-anak, yang tidak
sensitif untuk mendeteksi ototoksisitas imbas karboplatin awal dalam frekuensi
tinggi, atau karena kemungkinan bahwa karboplatin dapat menginduksi keduanya
secara dini dan keterlambatan timbulnya gangguan pendengaran. Gangguan
pendengaran pada frekuensi tinggi menunjukkan tanda paling awal dari
ototoksisitas akibat karboplatin. Singkatnya, pengobatan dengan carboplatin
disertai dengan risiko signifikan kehilangan pendengaran bilateral, ireversibel,
terutama pada anak-anak yang lebih muda 28.
2.5.3 Fluorouracil
Penggunaan fluorouracil digunakan dalam terapi kemoterapi kanker yang
umumnya dalam bentuk kombinasi. Kemoterapi kombinasi cyclophosphamide,
methotrexate, fluorouracil (CMF) dilaporkan menyebabkan Sensorineural
Hearing Loss (SNHL). Kemoterapi CMF dan logam berat bersamaan mungkin
telah memainkan peran dalam kasus SNHL saat ini, yang mungkin disebabkan
oleh kerusakan pembuluh darah. Peristiwa tromboemboli dan perubahan
hemostatik sebenarnya telah dilaporkan pada pasien yang menjalani perawatan
adjuvant CMF. Dengan demikian, SNHL koklea dari pengobatan CMF yang
terkait dengan garam logam berat mungkin disebabkan oleh kerusakan vaskular
yang terlokalisasi dalam sel endotel kapiler telinga bagian dalam yang
menyebabkan kerusakan endotel dan beberapa derajat vaskulopati pada blood
barrier telinga bagian dalam. Secara anatomis, sel-sel endotel kapiler darah
telinga bagian dalam yang dihubungkan satu sama lain oleh persimpangan yang
rapat merupakan komponen utama dari blood barrier telinga bagian dalam. Telah
disarankan bahwa blood barrier telinga bagian dalam telinga bagian dalam secara
fungsional mirip dengan blood brain barrier dalam mengatur transportasi
berbagai zat dari darah ke jaringan telinga bagian dalam dan mempertahankan
mikrohomeostasis dan integritas fungsional dari telinga bagian dalam 30, 31.

16
2.5.4 Methotrexate
Methotrexate (MTX) adalah analog asam folat yang banyak digunakan
untuk pengobatan keganasan. MTX adalah enzim intracellular dihydrofolate
reductase (reduktase dihidrofolat intraseluler) yang menghasilkan tetrahidrofolat
dari folat. Akibatnya, sintesis DNA, RNA dan protein diblokir. Obat ini juga
memiliki efek imunosupresif dengan menghambat respon inflamasi, serta efek
anti-proliferatif 32.
Pada penelitian Favreliere et al. ditemukan sembilan kasus ototoksi yang
melibatkan MTX. Perjalanan penyakit tidak diketahui untuk sebagian besar kasus
ini. Data dari literatur tidak mengkonfirmasi risiko ini, tetapi kasus-kasus yang
masuk akal ini perlu diperhitungkan. Pada subjek obat imunosupresan, efek
ototksik juga disebutkan dalam literatur dengan inhibitor calineurin, seperti
tacrolimus dan cyclosporin. Selain itu, mekanisme potensial dapat melibatkan aksi
pada sel endotel dari pembuluh darah telinga bagian dalam atau penghambatan P-
glycoprotein, sehingga memperkuat toksisitas dari molekul ototoksik yang
diresepkan bersama 33.
2.5.5 Pembrolizumab
Pembrolizumab adalah antibodi monoklonal yang mengikat reseptor
programmed cell death (PD-1) pada sel-T untuk menghambat pengikatan pada
tumor PD-L1 dan ligan PD-L2 dan mencegah deaktivasi sel-T. Dengan
mempertahankan fungsi sel-T, Pembrolizumab memungkinkan peningkatan
respon imun host alami terhadap sel-sel tumor 34, 35.
Telah dilaporkan bahwa gangguan pendengaran sensorineural akibat
penggunaan pembrolizumab biasanya bilateral, sedang sampai parah dan
berkembang dalam tiga minggu pertama setelah memulai pengobatan. Efek
samping tersebut kemungkinan besar karena keterlibatan autoimun dari stria
vascularis di koklea. Pemulihan dimungkinkan dengan kortikosteroid dimulai
paling lambat 4 minggu setelah onset gejala, meskipun kami merekomendasikan
pengobatan dalam waktu 10 hari untuk respon optimal 35, 36.
Dalam sebuah studi oleh Spielbauer et al. menggunakan model murine,
kelompok yang diobati dengan cisplatin dibandingkan dengan kelompok yang
37
diberikan cisplatin dan inhibitor PD-1 . Kehilangan pendengaran dilaporkan

17
lebih tinggi pada kelompok cisplatin dan PD-1 inhibitor, tetapi perbedaan antara
kedua kelompok tidak signifikan secara statistik.
Dalam penelitian Kuzucu et al., meskipun tidak ada perbedaan signifikan
dalam ABR antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, ditemukan bahwa
kemampuan pendengaran menurun pada kelompok perlakuan. Selain itu, secara
histopatologis, ditemukan penurunan sel rambut di telinga dalam tikus pada
kelompok perlakuan 34.
2.5.6 Sorafenib
Sorafenib adalah obat yang disetujui FDA yang digunakan sebagai
tambahan dalam strategi kemoterapi untuk keganasan. Obat ini adalah inhibitor
multikinase yang menghambat aktivasi c-Jun N-terminal kinase (JNK) yaitu jalur
yang berperan dalam apoptosis sel rambut koklea. Sorafenib juga memberikan
perlindungan parsial dari kematian sel rambut yang diinduksi gentamisin dan
cisplatin. Singkatnya, penelitian menunjukkan bahwa cisplatin mengaktifkan jalur
JNK. Penghambatan JNK oleh sorafenib mencegah aktivasi JNK 38.
Penelitian telah menunjukkan bahwa sementara sorafenib menghambat
aktivasi JNK, ia hanya memberikan perlindungan parsial dari kerontokan sel
rambut. Ini menunjukkan bahwa ada jalur lain yang berkontribusi terhadap
apoptosis seluler selain JNK. Kombinasi dengan insulin digunakan karena
kemampuannya untuk merangsang sintesis protein seluler, secara signifikan
meningkatkan kelangsungan hidup sel rambut setelah paparan cisplatin.
Pengobatan sorafenib dan insulin secara simultan, menyebabkan penyelamatan
signifikan dari sel-sel rambut yang terpapar cisplatin sehingga menghambat
kematian sel rambut yang diinduksi cisplatin 38.
2.5.7 Vendetanib
Vendetanib adalah penghambat tirosin kinase terkait dengan VEGF dan
berbagai tirosin kinase. Penelitian Favrielere et al. menunjukkan adanya kasus
gangguan pendengaran sebagai efek samping penggunaan vandetanib. Obat ini
memerlukan penyelidikan lebih lanjut, untuk mengetahui patomekanisme yang
menyebabkan gangguan telinga dan dengan mempertimbangkan faktor risiko
gangguan pendengaran untuk menyimpulkan risikonya 39.

18
2.5.8 Nivolumab
Nivolumab adalah antibodi monoklonal yang menargetkan PD-1
(programmed cell death protein-1), mencegah pengikatan ligand PD-L1, dan
mengakibatkan gangguan regulasi dan aktivasi sel T. Sehingga menghasilkan
hilangnya sinyal penghambatan dalam sel T dan pengenalan tumor oleh sel T
sitotoksik, sehingga memulihkan fungsi sel T 40.
Pada penelitian Guler et al., dilakukan pemeriksaan histopatologis sampel
telinga bagian dalam ditemukan perubahan degeneratif organ kortikal yang ringan
dan hilangnya spiral ganglion cells (SGC), organ Corti dan SGC memiliki
penampilan morfologi yang normal. Serta adanya bukti gangguan pendengaran
sensorineural 40. Mekanisme yang diusulkan disfungsi audiovestibular terjadi di
stria vascularis telinga dalam. Tidak adanya atau disfungsi stria menyebabkan
gangguan pendengaran sensorineural 41.
2.5.9 Paclitaxel
Paclitaxel adalah agen antineoplastik yang efektif dengan sifat anti-
mikrotubulus. Paclitaxel banyak digunakan baik tunggal maupun dalam
kombinasi dengan agen kemoterapi lainnya untuk pengobatan berbagai
karsinoma. Seperti banyak agen antineoplastik lainnya, paclitaxel juga
menunjukkan banyak efek samping seperti ototoksik 42, 43.
Paclitaxel telah dilaporkan menyebabkan gangguan pendengaran
sensorineural ringan hingga sedang dan beberapa perubahan histopatologis pada
koklea tikus yang membuktikan adanya kerusakan sel rambut koklea, ANF, dan
SGN di dekat pangkal koklea. Selain itu, juga telah dilaporkan bahwa paclitaxel
juga dapat menginduksi apoptosis pada neuron kortikal dengan mengatur aktivitas
JNK dan transkripsi aliran bawahnya dan penghambatan jalur PI3K/AKT. Efek
ini terlihat pada dosis minimum yang diberikan dan tampaknya tidak tergantung
pada dosis, karena tingkat gangguan pendengaran tidak bertambah dengan
meningkatnya dosis obat 42, 43.
Penelitian Wang et al. menunjukkan bahwa pengobatan paclitaxel
menghasilkan perubahan degeneratif dan pengurangan jumlah sel dalam SGN dan
menginduksi aposisosis yang dimediasi caspase dari SGN. Penelitian juga
menunjukkan bahwa aktivasi pensinyalan Wnt pada SGN menghambat apoptosis

19
yang dimediasi caspase. Secara keseluruhan, temuan kami menunjukkan bahwa
pensinyalan Wnt sangat penting untuk melindungi SGN dari kerusakan yang
diinduksi paclitaxel dan dengan demikian mungkin menjadi target terapi yang
efektif untuk pencegahan kematian SGN yang diinduksi paclitaxel 42.
Meskipun mekanisme efek antineoplasma paclitaxel telah dijelaskan,
mekanisme seluler dimana paclitaxel menginduksi hilangnya sel-sel rambut luar
dan degenerasi selanjutnya dari OC tidak dipahami dengan baik. Aktivasi caspase,
dan khususnya caspase-3, dapat dianggap sebagai ciri apoptosis intrinsik. Jalur
caspase-3-mediated tampaknya penting untuk ototoxisitas yang berasal dari obat,
dan anggota kaskade caspase apoptosis intrinsik diaktifkan setelah perawatan obat
ototoksik. Paclitaxel juga bisa langsung mengarah pada generasi Reactive Oxygen
Species (ROS) atau dapat menyebabkan pelepasan molekul oksigen reaktif yang
biasanya diasingkan dalam mitokondria yang dapat memicu beberapa mekanisme
apoptosis. Kerusakan yang diperantarai ROS dapat terjadi sebagai akibat dari
penipisan anti-oksidan dan peningkatan peroksidasi lipid dalam koklea tikus 43.
2.5.10 Docetaxel/Cisplatin/5-fluorouracil (TPF)
Penggunaan regimen kombinasi kemoterapi yang biasa digunakan pada
kanker kepala dan leher adalah docetaxel/cisplatin/5-fluorouracil (TPF). Ototoksik
juga terjadi dengan pemberian regimen TPF. Hal ini diduga dengan adanya
cisplatin pada regimen tersebut. Untuk efek ototoksik pada docetaxel dan
fluorouracil masih belum ada penelitian yang menjelaskan. Perbedaaan dosis
cisplatin dosisi rendah pada regimen TPF dengan dosis cisplatin tunggal tidak
menujukkan efek ototoksik yang berbeda sehingga efek ototoksik pada docetaxel
dan fluorouracil belum dapat disingkirkan 27.
2.5.11 Gemcitabine
Gemcitabine, yang merupakan antimetabolit pirimidin, yang digunakan
untuk pengobatan kanker. Secara umum, efek samping gemcitabine adalah
mielotoksisitas, hepatotoksik, nefrotoksik, rambut rontok, mucositis, dan efek
samping sistem pencernaan. Ada komplikasi yang sangat jarang dilaporkan dalam
presentasi kasus seperti toksisitas vaskular dan sindrom lisis tumor 44.
Pada penelitian ditemukan penurunan yang bermakna secara statistik dalam
nilai emisi diamati pada frekuensi 4-8 kHz setelah penerapan obat. Dalam

20
penelitian kami yang dilakukan dilaporkan bahwa gemcitabine yang
menyebabkan penurunan nilai DPOAE pada model tikus, penurunan ini
meningkat dalam proporsi dengan jumlah dosis dan itu ditampilkan efek ini
terutama pada frekuensi tinggi. Diperlukan studi klinis dan laboratorium yang
lebih komprehensif untuk menentukan apakah penurunan nilai emisi yang muncul
setelah aplikasi gemcitabine ini permanen atau tidak 44.
2.6 Pemeriksaan Pendengaran
2.6.1 Tes Berbisik
Pemeriksaan ini bersifat semi-kuantitatif, menentukan derajat ketulian secara
kasar. Hal ini yang diperlukan adalah ruangan yang cukup tenang, dengan panjang
minimal 6 meter. Pada nilai normal tes berbisik : 5/6-6/6 46.
Caranya ialah dengan membisikkan kata-kata yang dikenal penderita
dimana kata- kata itu mengandung huruf lunak dan huruf desis. Lalu diukur
berapa meter jarak penderita dengan pembisiknya sewaktu penderita dapat
mengulangi kata - kata yang dibisikan dengan benar. Pada orang normal dapat
mendengar 80% dari kata-kata yang dibisikkan pada jarak 6 s/d 10 meter. Apabila
kurang dari 5 ± 6 meter berarti ada kekurangan pendengaran. Apabila penderita tak
dapat mendengarkan kata-kata dengan huruf lunak, berarti tuli konduksi. Sebaliknya
bila tak dapat mendengarkan kata-kata-kata dengan huruf desis berarti tuli persepsi 46.
2.6.2 Tes Penala
Tes penala merupakan tes untuk mengetahui fungsi pendengaran secara
kualitatif melalui alat garpu tala. Satu perangkat tes penala terdiri dari beberapa
garpu tala yang memiliki frekuensi berbeda. Perangkat yang lazim digunakan yaitu
garpu tala dengan frekuensi 128Hz, 256 Hz, 512 Hz, 1024 Hz, 2048 Hz, 4096 Hz
dan 8192 Hz. Semakin tinggi frekuensi, makin tinggi pula nadanya. Dengan
membatasi survei pada frekuensi bicara, maka garpu tala yang paling sering
digunakan adalah 512Hz 45.
a. Tes Rinne
Tujuan melakukan tes Rinne adalah untuk membandingkan antara
45, 46
hantaran tulang dengan hantaran udara pada satu telinga pasien . Tes
ini dilakukan dengan menggetarkan garpu tala 512 Hz lalu menempatkan
tangkainya tegak lurus pada planum mastoid pasien (belakang meatus

21
akustikus eksternus). Setelah pasien tidak mendengar bunyinya, segera
garpu tala kita pindahkan di depan meatus akustikus eksternus pasien. Tes
Rinne positif jika pasien masih dapat mendengarnya. Sebaliknya hasil tes
rinne negatif jika pasien tidak dapat mendengarnya 45.

Hasil Uji Rinne Status Pendengaran


Positif Normal atau
(hantaran udara > hantaran tulang Gangguan sensorineural
Negatif
Gangguan konduksi
(hantaran udara < hantaran tulang
Tabel 2.1 Hasil Uji Tes Rinne 45
b. Tes Weber
Tujuan tes weber adalah untuk membandingkan hantaran tulang
antara kedua telinga pasien. Cara kita melakukan tes weber yaitu: menggetarkan
garputala 512 Hz lalu tangkainya kita letakkan tegak lurus pada garis
tengah kepala (vertex). Pasien menyebutkan telinga mana yang mendengar
lebih keras. Jika telinga pasien mendengar lebih keras ke salah satu telinga
maka terjadi lateralisasi ke sisi telinga tersebut. Jika kedua telinga pasien
sama-sama mendengar maka berarti tidak ada lateralisasi 45, 46.
Getaran melalui tulang akan dialirkan ke segala arah oleh tengkorak,
sehingga akan terdengar diseluruh bagian kepala. Pada keadaan patologis
pada MAE atau cavum timpani misal : otitis media purulenta pada
telinga kanan. Juga adanya cairan atau pus di dalam cavum timpani ini akan
bergetar, bila ada bunyi segala getaran akan didengarkan di sebelah kanan
46..

Gambar 2.7 Tes Rinne dan Tes Weber 46


c. Tes Swabach
Tes ini bertujuan membandingkan hantaran tulang antara pemeriksa
(Normal) dengan pasien. Pemeriksa meletakkan pangkal garputala yang sudah

22
digetarkan pada planum mastoid pasien. Pasien akan mendengar suara
garputala itu makin lama makin melemah dan akhirnya tidak mendengar
suara garputala lagi. Pada saat pasien tidak mendengar suara garputala,
maka pemeriksa akan segera memindahkan garputala itu, ke planum mastoid
orang yang diketahui normal ketajaman pendengarannya (pemeriksa). Bila
pemeriksa masih mendengar suara maka hasil tes swabach memendek,
namun jika tidak terdengar maka tes diulang dengan pemeriksa mendengar
terlebih dahulu kemudian dipindahkan ke pasien. Bila pasien masih
mendengar maka hasil tes swabach memanjang dan jika tidak mendengar
suara lagi maka hasil tes 45.
Uji Telinga Kanan Telinga Kiri
Rinne Negative Positif
Weber Lateralisasi ke kanan
Schwabach Memanjang Sesuai dengan pemeriksa
Tabel 2.2 Hasil Tes Fungsi Pendengaran Dengan Tes Penala dengan
Gangguan Telinga Kanan 45

2.6.3 Tes Garis Pendengaran


Tujuan untuk menentukan frekuensi garpu tala yang dapat didengar oleh
pasien melewati hantaran udara bila dibunyikan pada intensitas ambang normal 45.
Cara pemeriksaan : Semua garpu tala (dapat dimulai dari frekuensi terendah
berurutan sampai frekuensi tertinggi atau sebaliknya) dibunyikan satu persatu, dengan
cara dipegang tangkainya kemudian kedua ujung kakinya dibunyikan dengan
lunak (dipetik dengan ujung jari kuku, didengarkan terlebih dahulu oleh pemeriksa
sampai bunyi hampir hilang untuk mencapai intensitas bunyi yang terendah bagi
orang normal/nilai ambang normal), kemudian diperdengarkan pada penderita
dengan meletakkan garpu tala di dekat MAE pada jarak 1-2 cm dalam posisi
tegak 45.
Interpretasi :
 Tuli konduktif : batas bawah naik (tidak dapat mendengar pada frekuensi
rendah)
 Tuli sensorineural : batas atas turun (tidak dapat mendengar pada frekuensi
tinggi

23
2.6.4 Tes Audiometri
Audiometri adalah pemeriksaan fungsi pendengaran dengan menggunakan
46
alat yang disebut audiometer . Dengan teknik ini, rangsangan pendengaran
dengan taraf intensitas yang berbeda-beda disajikan kepada pasien yang akan
menanggapi rangsangan ini. Tingkat intensitas minimum rangsangan yang
diperoleh dari respon yang konsisten diambil sebagai ambang pendengaran.
Berdasarkan ambang pendengaran, sensitivitas pendengaran pasien dapat
diestimasi dengan mengunakan sebuah audiogram. Sebuah audiogram adalah
grafik taraf intensitas ambang dan frekuensi. Pada audiometer nada murni, kedua
telinga akan diperiksa satu persatu 45, 46.
Kehilangan
Klasifikasi
(Desibel)
0-15 Pendengaran normal
>15-25 Kehilangan pendengaran kecil
>25-40 Kehilangan pendengaran ringan
>40-55 Kehilangan pendengaran sedang
>55-70 Kehilangan pendenngaran sedang sampai berat
>70-90 Kehilangan pendengaran berat
>90 Kehilangan pendengaran berat sekali
Tabel 2.3 Klasifikasi Derajat Gangguan Dengar
menurut Internasional Standard Organization 45,46
Pemeriksaan ini menghasilkan grafik nilai ambang pendengaran pasien
pada stimulus nada murni. Nilai ambang diukur dengan frekuensi yang berbeda-beda.
Secara kasar bahwa pendengaran yang normal grafik hasil tes berada diatas.
Grafiknya terdiri dari skala decibel, suara dipresentasikan dengan aerphon
(hantaran udara/air conduction/AC) dan skala skull vibrator (hantaran tulang/bone
conduction/BC) 46.

24
Gambar 2.8 Interpretasi hasil pemeriksaan Audiometri 46

2.6.5 Acoustic Immittance Test


Tes imitansi/impedanci adalah pengukuran resistensi dari bagian telinga
dalam menyerap gelombang suara. Tes impedansi pada MAE dan membran
thimpany dilakukan dengan menggunakan intra-aural probe yang akan
mengalirkan gelombang suara dengan frekuensi tertentu. Membran thimpany
yang sehat akan menyerap lebih banyak gelombang bunyi dibanding membran
thimpany yang kaku, sehingga hasil tes impedansinya akan rendah. Terdapat dua
jenis tes impedansi yang biasa dilakukan yaitu Thimpanometry dan Stapedial
reflex 46, 47.

Gambar 2.9 Immittance test 46


Thimpanometry digunakan untuk mendiagnosis gangguan pendengaran
akibat keadaan patologi pada telinga tengah, namun hasil dari pemeriksaan
thimpanometry disesuaikan dengan pemeriksaan otoscopy pada membran

25
thimpany. Stapedial reflex dilakukan setelah pemeriksaan thimpanometry.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk membedakan gangguan pendengaran cochlear
atau gangguan pendengaran retro cochlear 46.
2.6.6 Auditory Evoked Potencial Test
Pada proses fisiologi pendengaran terjadi adanya potensial listrik pada
cochlea yang akan diteruskan ke nervus vestibulocochlearis menuju pusat
pendengaran pada saraf pusat. Kumpulan listrik potensial ini kemudian diukur
menggunakan alat sehingga menghasilkan pemeriksaan objektif pendengaran
yang disebut auditory evoked potencial test (AEPs). Pemeriksaan ini merekam
potensial listrik melalui elktroda yang ditempelkan pada kepala. Pemeriksaan
AEPs terdiri dair beberapa jenis yaitu, Electocochleography, Auditory brainstem
response, dan auditory middle latency respons 46.

Gambar 2.10 Pemeriksaan Auditory Evoked Potencial Test 46


Pemeriksaan Electocochleography dilakukan untuk mengukur potensial
listrik yang ada pada cochlea dan n.cochlearis. potensial listrik biasanya muncul
pada 1-3 ms setelah gelombang bunyi diterima. Pemeriksaan ini biasanya
dilakukan pada penderita meniere disease dan untuk evaluasi pada pasien yang
melakukan pemasangan implan membran thimpany. Pemeriksaan Auditory
brainstem response dilakukan untuk mengukur potensial listrik pada n.VIII dan
pada struktur batang otak dengan latensi 10ms. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
membedakan gangguan pendengaran cochlear atau gangguan pendengaran
retrocochlear. Pemeriksaan auditory middle latency respons dilakukan untuk
mengukur potensial listrik di thalamus dan cortex auditori primer dengan latensi
10-100ms 46.

26
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Keganasan kepala dan leher memengaruhi seluruh bagian anatomi termasuk
kulit, rongga mulut, orofaring, nasofaring, hipofaring, laring, sinus paranasal, dan
kelenjar ludah. Pengobatan KKL telah berkembang dalam beberapa dekade
terakhir. Pembedahan, radiasi, dan kemoterapi berbagai kombinasi digunakan
dalam pengobatan KKL tergantung pada stadium dan lokasinya. Pada stadium
awal dilakukan operasi atau radioterapi saja. Pada stadium lanjut (stadium III dan
IVA/B) diobati dengan berbagai modalitas, dapat dioperasi, kemoterapi, atau
radioterapi. pada organ koklea dan vestibular sebagai hasil dari berbagai agen
terapi dan bahan kimia. Ototoksisitas yang diinduksi oleh obat antikanker berbasis
platinum, terutama cisplatin, sedang dipelajari secara luas karena obat ini masih
sangat diperlukan, walaupun dapat menyebabkan kerusakan telinga permanen.
Obat lainnya seperti Carboplatin, Methotrexate, Pembrolizumab,
Vandetanib, Nivolumab, Paclitaxel , Fluorouracil, TPF, dan Gemcitabine juga
memiliki efek ototoksik dengan berbagai mekanisme yang mendasarinya.
Berbagai pemeriksaan pendengaran dilakukan untuk mengetahui efek ototoksik
setelah pemberian regimen kemoterapi.
3.2 Saran
Oleh karena itu, dokter perlu mengetahui apakah obat yang mereka resepkan
memiliki potensi ototoksik. Jika faktor predisposisi untuk ototoksik terdeteksi atau
ketika obat dengan potensi ototoksik dimulai, pasien harus diikuti dengan cermat,
efek samping ototoksik harus ditentukan lebih awal dan tindakan yang diperlukan
harus diambil. Masalah ini juga memiliki kepentingan medikolegal. Tes
pendengaran rutin juga perlu dilakukan baik itu sebelum maupun setelah
pengobatan ddengan kemoterapi.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Marur S, Forastiere AA. Head and Neck Squamous Cell Carcinoma: Update
on Epidemiology, Diagnosis, and Treatment. Mayo Clin Proc.
2016;91(3):386-396. doi:10.1016/j.mayocp.2015.12.017
2. Cohen N, Fedewa S, Chen AY. Epidemiology and Demographics of the Head
and Neck Cancer Population. Oral Maxillofac Surg Clin North Am.
2018;30(4):381-395. doi:10.1016/j.coms.2018.06.001
3. Schlichting JA, Pagedar NA, Chioreso C, Lynch CF, Charlton ME. Treatment
trends in head and neck cancer: Surveillance, Epidemiology, and End Results
(SEER) Patterns of Care analysis. Cancer Causes Control. 2019;30(7):721-
732. doi:10.1007/s10552-019-01185-z
4. Svider PF, Blasco MA, Raza SN, et al. Head and Neck Cancer. Otolaryngol
Head Neck Surg. 2017;156(1):10-13. doi:10.1177/0194599816674672
5. Choi MJ, Kang H, Lee YY, et al. Cisplatin-Induced Ototoxicity in Rats Is
Driven by RIP3-Dependent Necroptosis. Cells. 2019;8(5):409. Published
2019 May 2. doi:10.3390/cells8050409
6. Lanvers-Kaminsky, C., Zehnhoff-Dinnesen, A. am, Parfitt, R., & Ciarimboli,
G. (2017). Drug-induced ototoxicity: Mechanisms, Pharmacogenetics, and
protective strategies. Clinical Pharmacology & Therapeutics, 101(4), 491–
500. doi:10.1002/cpt.603
7. Moore KL, Dalley AF, Agur AMR, Moore ME. Clinically Oriented
Anatomy. 8th edition. Wolters Kluwer. 2018. 1012-1024 p.
8. Netter FH. Anatomy of the Ear In: Atlas of Human Anatomy. 6th ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders co. 2015.
9. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Alih Bahasa: Setiawan
I, Tengadi KA, Santoso A. 13th ed. Jakarta: Elsevier. 2016
10. Sherwood L. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. Edisi ke−9. Jakarta:
EGC. 2018
11. Soehartati, Gondhowiardjo., dkk. Pedoman Nasioanal Pelayanan Kedokteran.
Kanker Nasofaring. Komite Penanggulangan Kanker Nasinoanal. 2017.

28
12. Ariani S, dkk. Diagnosa Dan Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring. 2019
13. Astuti DP, dkk. Karakteristik Penderita Karsinoma Sinonasal yang Menjalani
Operasi di RSUP Sanglah Denpasar. Medicine: 2020, Volume 51, Number
1:92-95
14. Shavilla E,dkk. Prevalensi Kanker Sinonasal di Poliklinik THT-KL RS.
Hasan Sadikin Bandung. Jurnal Kesehatan. 2017
15. Husna,M.,dkk. Gambaran Klinis dan Hsitopatologi Pasien Karsinoma Kavum
Nasal dan Sinus Paranasalis dibagian THT-KL RSUP Dr. M. Jamil Padang
tahun 2016 – 2018. Jurnal Kesehatan Andalas. 2019;8(3)
16. Sukri,R. Diagnosis Dini Tumor Ganas Laring. Banten. 2018
17. Budiman,J. dkk. Diagnosis dan Penatalaksanaan Karsinoma Sel Skuamosa
Glotis Stadium Dini. Jurnal Kesehatan Andalas. 2016;5(2)
18. Coffe,C. et al. Cancer Of the Oropharynx : Risk Factors, Diagnosis,
Treatment and Outcame. American Head & Neck Society. Published On
January. 2016
19. The National Comperhensive Cancer Network (NCCN) Recommend Cancer
Patient. Head an Neck Cancer Treatment Regimens. Haymarket Media Inc.
2018
20. Karasawa T, Steyger PS. An integrated view of cisplatin-induced
nephrotoxicity and ototoxicity. Toxicol Lett. 2015;237(3):219-227.
doi:10.1016/j.toxlet.2015.06.012
21. Freyer DR, Brock P, Knight K, et al. Interventions for cisplatin-induced
hearing loss in children and adolescents with cancer. Lancet Child Adolesc
Health. 2019;3(8):578-584. doi:10.1016/S2352-4642(19)30115-4
22. Choi MJ, Kang H, Lee YY, et al. Cisplatin-Induced Ototoxicity in Rats Is
Driven by RIP3-Dependent Necroptosis. Cells. 2019;8(5):409. Published
2019 May 2. doi:10.3390/cells8050409
23. Nicholas, B. D., Francis, S., Wagner, E. L., Zhang, S., & Shin, J.-B. (2017).
Protein Synthesis Inhibition and Activation of the c-Jun N-Terminal Kinase
Are Potential Contributors to Cisplatin Ototoxicity. Frontiers in Cellular
Neuroscience, 11.doi:10.3389/fncel.2017.00303

29
24. Lanvers-Kaminsky, C., Zehnhoff-Dinnesen, A. am, Parfitt, R., & Ciarimboli,
G. (2017). Drug-induced ototoxicity: Mechanisms, Pharmacogenetics, and
protective strategies. Clinical Pharmacology & Therapeutics, 101(4), 491–
500. doi:10.1002/cpt.603
25. Campbell KCM, Le Prell CG. Drug-Induced Ototoxicity: Diagnosis and
Monitoring. Drug Saf. 2018;41(5):451-464. doi:10.1007/s40264-017-0629-8
26. Favrelière S, Delaunay P, Lebreton JP, et al. Drug-induced hearing loss: a
case/non-case study in the French pharmacovigilance database. Fundam Clin
Pharmacol. 2020;34(3):397-407. doi:10.1111/fcp.12533
27. Driessen CML, Leijendeckers J, Snik A, et al. Ototoxicity in locally advanced
head and neck cancer patients treated with induction chemotherapy followed
by intermediate or high-dose cisplatin-based chemoradiotherapy. Head Neck.
2019;41(2):488-494. doi:10.1002/hed.25434
28. Geurtsen ML, Kors WA, Moll AC, Smits C. Long-term audiologic follow-up
of carboplatin-treated children with retinoblastoma. Ophthalmic Genet.
2017;38(1):74-78. doi:10.3109/13816810.2015.1137325
29. Soliman SE, D'Silva CN, Dimaras H, Dzneladze I, Chan H, Gallie BL.
Clinical and genetic associations for carboplatin-related ototoxicity in
children treated for retinoblastoma: A retrospective noncomparative single-
institute experience. Pediatr Blood Cancer. 2018;65(5):e26931.
doi:10.1002/pbc.26931
30. Marioni G, Lodo M, Cartei G, Zangaglia AM, Staffieri A. Bilateral
sensorineural hearing loss after adjuvant treatment with cyclophosphamide,
methotrexate, Fluorouracil and alternative oral medications in a male with
breast cancer. Clin Drug Investig. 2005;25(4):277-280.
doi:10.2165/00044011-200525040-00008
31. Karli R, Gul A. Evaluation of the effect of gemcitabine on cochlea by
otoacoustic emission in experimental animal model. Eur Rev Med Pharmacol
Sci. 2013;17(4):541-547.
32. Eren SB, Dogan R, Yenigun A, et al. Evaluation of ototoxicity of
intratympanic administration of Methotrexate in rats. Int J Pediatr
Otorhinolaryngol. 2017;100:132-136. doi:10.1016/j.ijporl.2017.06.035

30
33. Favrelière S, Delaunay P, Lebreton JP, et al. Drug-induced hearing loss: a
case/non-case study in the French pharmacovigilance database. Fundam Clin
Pharmacol. 2020;34(3):397-407. doi:10.1111/fcp.12533
34. Kuzucu İ, Baklacı D, Guler İ, Uçaryılmaz EÖ, Kum RO, Özcan M.
Investigation of the Ototoxic Effect of Pembrolizumab Using a Rat Model.
Cureus. 2019;11(11):e6057. Published 2019 Nov 2. doi:10.7759/cureus.6057
35. Zibelman M, Pollak N, Olszanski AJ. Autoimmune inner ear disease in a
melanoma patient treated with pembrolizumab. J Immunother Cancer.
2016;4:8. Published 2016 Feb 16. doi:10.1186/s40425-016-0114-4
36. Hobelmann K, Fitzgerald D. A Case of Pembrolizumab Induced Autoimmune
Sensorineural Hearing Loss. J Otol Rhinol. 2019; 8(1). doi: 10.4172/2324-
8785.1000365
37. Spielbauer K, Cunningham L, Schmitt N. PD-1 Inhibition Minimally Affects
Cisplatin-Induced Toxicities in a Murine Model. Otolaryngol Head Neck
Surg. 2018;159(2):343-346. doi:10.1177/0194599818767621
38. Nicholas BD, Francis S, Wagner EL, Zhang S, Shin JB. Protein Synthesis
Inhibition and Activation of the c-Jun N-Terminal Kinase Are Potential
Contributors to Cisplatin Ototoxicity. Front Cell Neurosci. 2017;11:303.
Published 2017 Sep 27. doi:10.3389/fncel.2017.00303
39. Favrelière S, Delaunay P, Lebreton JP, et al. Drug-induced hearing loss: a
case/non-case study in the French pharmacovigilance database. Fundam Clin
Pharmacol. 2020;34(3):397-407. doi:10.1111/fcp.12533
40. Güler İ, Kuzucu İ, Baklacı D, Kum RO, Özhamam Uçaryılmaz E, Özcan M.
Evaluation of Nivolumab for Ototoxic Effects: An Animal Study in Rats
[published online ahead of print, 2020 Jun 8]. J Int Adv Otol.
2020;10.5152/iao.2020.7123. doi:10.5152/iao.2020.7123
41. Srivastava, A., Al-Zubidi, N., Appelbaum, E., Gombos, D. S., Nader M. E.,
Gidley P. W., and Chambers M. S. Immune-Related Oral, Otologic, and
Ocular Adverse Events. In: Naing, A., & Hajjar, J. (Eds.). Immunotherapy.
Advances in Experimental Medicine and Biology. (2020);1224.
doi:10.1007/978-3-030-41008-7

31
42. Wang X, Han Y, Wang M, et al. Wnt Signaling Protects against Paclitaxel-
Induced Spiral Ganglion Neuron Damage in the Mouse Cochlea In Vitro.
Biomed Res Int. 2019;2019:7878906. Published 2019 Oct 7.
doi:10.1155/2019/7878906
43. Bucak A, Ozdemir C, Ulu S, et al. Investigation of protective role of
curcumin against paclitaxel-induced inner ear damage in rats. Laryngoscope.
2015;125(5):1175-1182. doi:10.1002/lary.25031
44. Kara A, Duman BO, Yazır Y, et al. Evaluation of the Effect of Diclofenac
Sodium and 5-Fluourasil in a 3D Cholesteatoma Cell Culture Model. Otol
Neurotol. 2019;40(8):1018-1025. doi:10.1097/MAO.0000000000002297
45. Soepardi, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
& Leher. Edisi 6. Jakarta: Penerbit FKUI. 2012.
46. Rudolf, Probs et all. Basic Othorhinolaryngology a Stepby step learning
guide. 2nd edition. Newyork: Thieme. 2017
47. Guyton AC, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran. Alih bahasa: Setiawan I,
Tengadi KA, Santoso A. 13th ed. Jakarta: Elsevier. 2016

32

Anda mungkin juga menyukai