Anda di halaman 1dari 3

PANDEMI, RIWAYATMU KINI

Nisa Agustina
(Muslimah Pegiat Literasi)

Dunia kesehatan terus berkabung, para tenaga medis sebagai pejuang di garda terdepan dalam
perang menghadapi pandemi corona, satu persatu telah gugur. Jumlahnya pun terus bertambah
setiap harinya.

Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi mengatakan,
kematian tenaga medis dan kesehatan di Indonesia tercatat paling tinggi di Asia. Menurut catatan
LaporCOVID-19 hingga 28 Desember 2020, total ada 507 nakes dari 29 provinsi di Indonesia yang
telah gugur karena Covid-19. Sebanyak 96 di antaranya meninggal dunia pada Desember 2020, dan
merupakan angka kematian nakes tertinggi dalam sebulan selama pandemi berlangsung di Tanah Air
(kompas.com, 2/1/2021).

Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman mengatakan terus bertambahnya para
tenaga medis khususnya dokter yang meninggal dunia akibat Covid-19 adalah kerugian besar bagi
Indonesia. Berdasarkan data Bank Dunia, jumlah dokter di Indonesia terendah kedua di Asia
Tenggara, yaitu sebesar 0,4 dokter per 1.000 penduduk. Artinya, Indonesia hanya memiliki 4 dokter
yang melayani 10.000 penduduknya. Sehingga, kehilangan 100 dokter sama dengan 250.000
penduduk tidak punya dokter. Selain itu, kehilangan ini juga merugikan Indonesia dalam hal investasi
sumber daya manusia (SDM) di bidang kesehatan, padahal kita sedang berperang maraton melawan
Covid-19. Kehilangan tenaga medis adalah salah satu sinyal serius, yakni betapa masih lemahnya
negara kita dalam program pengendalian pandemi (kompas.com, 29/12/2020).

Inisiator Pandemic Talks, Firdza Radiany mengakui bahwa penanganan pandemi Covid-19 di


Indonesia masih sangat buruk. Bahkan, positivity rate atau tingkat penularan di Indonesia
konsisten 14-15 persen selama beberapa bulan, sangat jauh di bawah standar WHO yang
mensyaratkan maksimal 5 persen. Kondisi itu terjadi karena pemerintah tidak pernah bisa
mencapai standar 3T, yaitu testing, tracing, dan treatment. Kapasitas testing di Indonesia belum
pernah stabil dan masih di bawah standar WHO. Jika penduduk Indonesia sebesar 267 juta jiwa,
maka jumlah penduduk minimal yang harus dites sebanyak 385.000 orang. Faktanya sampai 9
bulan pandemi berlangsung, pemerintah gagal menembus angka itu secara konsisten. T racing  atau
pelacakan pun masih sangat buruk. Rasio pelacakan kontak positif Covid-19 di Indonesia hanya 1
berbanding 3 orang, padahal idealnya 1 orang positif Covid-19, maka yang dilacak harusnya 30
orang. Pelacakan yang buruk menjadi penyebab angka harian Covid-19 sempat mencapai 6 ribu
kasus. (tempo.co, 3/12/2020).

Belum lagi ditambah dengan kenaikan kasus dalam satu bulan terakhir yang disinyalir merupakan
dampak dari akumulasi peningkatan aktivitas dan mobilitas yang terjadi, seperti berlibur dan
berkumpul bersama teman dan keluarga yang tidak serumah. Kebijakan Pemerintah juga memicu
terjadinya kerumunan yang akhirnya menjadi klaster baru Covid-19 seperti kerumunan yang terjadi
akibat pilkada. Walhasil efeknya ke tenaga medis yang harus kelelahan menghadapi lonjakan kasus
yang ada.

Bisa dibayangkan, tenaga kesehatan berguguran, sementara jumlah pasien terus membludak, maka
tenaga kesehatan yang tersisa harus bekerja jauh lebih keras. Petugas medis akan mengalami
burnout atau kelelahan bekerja. Studi terbaru dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)
menunjukkan semua tenaga kesehatan mengalami burnout atau gejala yang timbul karena stress dan
konflik di tempat kerja seperti kelelahan emosi, kehilangan empati, dan berkurangnya rasa percaya
diri. Sebanyak 83 persen tenaga kesehatan mengalami gejala sedang hingga berat. Burnout pada
tenaga kesehatan menimbulkan rasa lelah baik secara fisik maupun emosi. Keadaan ini membuat
daya tahan tubuh melemah sehingga lebih rentan terhadap Covid-19 dan berisiko menimbulkan
gejala yang parah sehingga menyebabkan kematian.

Kunci untuk menekan angka kematian tenaga medis dan kesehatan adalah pada penurunan kasus.
Selain itu harus ditambah dengan pemberian bekal yang cukup bagi para tenaga kesehatan, baik
berupa APD yang mencukupi, vaksinasi, asupan gizi, hingga kesejahteraan ekonomi. Ini semuanya
bertumpu pada upaya pemerintah dalam membuat serangkaian kebijakan yang bisa menekan angka
penularan Covid-19.

Sayangnya, alih-alih mengoreksi diri dan berbenah diri, pemerintah justru sibuk menyalahkan
masyarakat yang tidak mematuhi protokol kesehatan, yang bila dicermati penyebabnya juga
berpulang pada kelalaian pemerintah. Pemerintah tampak masih belum memiliki peta jalan yang
jelas dan tegas dalam penanganan Covid-19. Nyawa rakyat dan kesehatan ibarat perkara nomor dua,
ketika di tengah pandemi pemerintah lebih menomorsatukan sektor ekonomi dan juga kepentingan
politik.

Jika boleh berandai-andai, seandainya di awal pandemi pemerintah menerapkan konsep penanganan
yang manusiawi, tentu negeri ini selamat dari pandemi dan masyarakat tidak sengsara seperti saat
ini. Harus diakui, kegagalan kapitalisme menangani pandemi Covid-19 telah mengakibatkan berbagai
persoalan serius. Ini terjadi karena kerusakan kronis sistem demokrasi kapitalisme telah merasuk
dalam berbagai aspek kehidupan. Abainya pemerintah dalam aspek kesehatan menyebabkan
penanganan pandemi ini berlarut-larut dan menuai duka berupa korban nyawa yang terus berlanjut.

Jika ada yang mengatakan bahwa pandemi ini akan berakhir dengan adanya vaksin, benarkah?
Padahal para ilmuwan masih meragukannya, dikarenakan adanya kemungkinan mutasi virus dan
bertambahnya virulensinya. Belum lagi adanya potensi komersialisasi vaksin oleh negara yang
mampu memproduksi vaskin kepada negara-negara miskin karena tabiat kapitalisme tak bisa
dipungkiri adalah meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan berbagai cara. Bahkan, dalam kondisi
pandemi seperti ini tak bisa dipungkiri jika ada pihak-pihak tertentu yang menginginkan bisa
mengambil keuntungan di atas penderitaan orang lain.

Maka, perlu disadari oleh kita semua bahwa penanganan sebuah pandemi bukanlah persoalan teknis
medis semata. Namun, perkara ini berkaitan erat dengan cara pandang meyeluruh terhadap
manusia, kesehatan, dan keselamatan jiwa. Kita ketahui bahwa kapitalisme merupakan ideologi yang
memuluskan para pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-
besarnya. Negara tidak bisa melakukan intervensi karena sifatnya hanya regulator saja. Maka dalam
menangani pandemi, fokus utamanya adalah si pemilik modal ini tidak boleh merugi, sehingga nyawa
manusia tak ada harganya dibanding kerugian ekonomi.

Berbeda dengan Islam. Dalam Islam, nyawa manusia adalah hal yang sangat dijaga. Para pemimpin
kaum muslimin (Khalifah) selalu berupaya mewujudkan hifdzu an-nafs (penjagaan nyawa manusia)
sebagai bagian dari maqashidu asysyariah (tujuan penerapan hukum syara’). Seperti Khalifah Umar
bin Khaththab yang menangis setiap malam karena khawatir akan beratnya hisab atas rakyat yang
menjadi tanggung jawabnya.

Islam memberikan penghargaan tertinggi pada nyawa manusia, sebagaimana hadist dari Rasulullah,
“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibanding terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR
Nasa’i). Begitu juga Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Dan barang siapa yang memelihara
kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia
semuanya.” (TQS Al Maidah [5]:3).
Maka kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Islam dalam menangani pandemi memiliki prinsip
harus secepat mungkin dan sebisa mungkin tidak ada korban jiwa. Ada beberapa prinsip Islam dalam
penanggulangan wabah sehingga dapat segera berakhir dan tanpa korban lebih banyak lagi.
Kebijakan lockdown adalah hal pertama yang harus dilakukan ketika terjadi wabah. Hal ini ditegaskan
oleh Rasulullah saw, “Apabila kalian mendengarkan wabah di suatu tempat maka janganlah
memasuki tempat itu, dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu sedang berada di tempat itu
maka janganlah keluar darinya.” (HR Imam Muslim).

Selanjutnya adalah mengisolasi orang yang sakit. Sabda Rasulullah saw, “Sekali-kali janganlah orang
yang berpenyakit menular mendekati yang sehat.”(HR Imam Bukhari). Begitu juga menjaga yang
sehat agar tidak sampai tertular oleh yang sakit dengan berbagai upaya. Tentunya dengan kebijakan
yang benar-benar memanusiakan manusia bukan kebijakan yang hanya memikirkan kepentingan
penguasa. Sehingga, rakyat pun tidak akan pernah mengalami dilema dan mau patuh terhadap segala
kebijakan yang ditetapkan negara.

Kemudian, diupayakan adanya pengobatan segera hingga sembuh. Bersabada Rasulullah saw,
“Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat, dan diadakan-Nya bagi tiap-tiap penyakit
obatnya maka berobatlah kamu, tetapi janganlah berobat dengan yang haram.” Islam memandang
kesehatan sebagai kebutuhan pokok rakyat, sehingga negara wajib memberikannya secara cuma-
cuma alias gratis. Tidak boleh dikomersilkan sebagaimana kapitalisme saat ini. Termasuk pengadaan
vaksin yag didukung dengan penelitian yang memadai untuk seluruh masyarakat. Hal ini bisa
dilakukan sepenuhnya oleh sistem kesehatan Islam yang didukung penerapan secara total sistem
kehidupan Islam lainnya dalam segala bidang terutama sistem ekonomi dan politik Islam berikut
sekumpulan konsep sahihnya.

Dengan paradigma dan prinsip seperti itu insya Allah penanggulangan wabah akan lebih mudah.
Begitulah Islam sebagai sistem kehidupan yang sohih dengan seperangkat aturan yang kompleks
mampu menjadi solusi bagi setiap problematika manusia di dunia.

Wallahu a’lam bish shawab.

Anda mungkin juga menyukai