Anda di halaman 1dari 4

II.

Dominasi Pemerintahan Kolonial Belanda

a. Ekonomi Belanda Pasca Penjajahan Inggris


Setelah Inggris hengkang dari Indonesia, sejak tanggal 19 Agustus 1816 secara resmi
Indonesia menjadi jajahan Belanda kembali. Dalam kurun waktu 1816-1830, terjadi
pertentangan di Parlemen Belanda antara kelompok liberal dengan kelompok konservatif
tentang cara-cara mengatasi kemerosotan ekonomi di negeri Belanda, termasuk di negeri
jajahanya (Indonesia). Pertentangan itu adalah sebagai berikut :

1. Kelompok Konservatif :
Menurutnya sistem ekonomi yang diterapkan VOC tetap dipertahankan, seperti sistem
monopoli dan sistem penyerahan wajib (Verplichte Leverentie) harus diurus langsung oleh
pemerintah.

2. Kelompok Liberal :
Menurutnya sistem ekonomi warisan VOC harus dihapus, perekonomian sepenuhnya harus
diserahkan kepada pihak swasta, sedangkan pihak pemerintah hanya mengawasi dan
memungut pajak.

Dalam prakteknya kedua sistem ekonomi tersebut (konservatif dan liberal)


diterapkan secara bersamaan, pada masa :
1. Pemerintahan Komisaris Jendral (1816 - 1819) yang terdiri dari Cornelis
Theodorus Elout (ketua), Arnold Ardiaan Buyskes (anggota), dan A.G. Philip
Baron Van der Capellen (anggota).
2. Pemerintahan Gubernur Jendral Van Cer Capellen (1819-1824)
3. Pemerintahan Gubernur Jendral Du Bus de Gesignies (1826-1830).
Disatu pihak pemerintah kolonial melakukan eksploitasi kekayaan tanah jajahan
dengan menerapkan penyerahan wajib (Verplichte Leverentie), dilain pihak pemerintah
kolonial memberi kebebasan kepada pengusaha swasta untuk menanamkan modalnya
dalam usaha perkebunan dan pertambangan. Usaha-usaha tersebut ternyata belum
mampu mengeruk keuntungan yang besar untuk mengisi kas Kerajaan Belanda, akhirnya
Pemerintah Kolonial menerapkan kembali sistem politik konservatif dengan
melaksanakan Tanam Paksa (1830 - 1870) dan baru kemudian menerapkan Politik
Ekonomi Liberal sejak tahun 1870.

b. Penerapan Sistem Tanam Paksa (1830-1870)

1. Latar Belakang dan Tujuan


Tanam Paksa berasal dari istilah “Cultuur Stelsel” yaitu cara atau budidaya
pertanian, tetapi karena pelaksanaannya dilakukan secara paksa, maka bangsa
Indonesia mengenal dengan sebutan “Tanam Paksa”. Pemikir dan Pelaksananya
adalah Johanes Van den Bosch. Ia diangkat sebagai gubernur jenderal di
Indonesia sejak tanggal 19 Januari 1830.

Pelaksanaan Tanam Paksa dilatarbelakangi oleh :


a) Banyaknya dana yang harus dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda untuk menghadapi
Inggris sewaktu terjadi Revolusi Prancis.
b) Banyaknya hutang-hutang VOC yang ditanggung oleh pemerintah Belanda.
c) Adanya perang saudara di negeri Belanda (Belgia memisahkan diri) menguras biaya
yang sangat besar
d) Banyaknya peperangan yang terjadi di negeri jajahan terutama Perang Diponegoro yang
membuat kas Belanda terkuras.

Pelaksanaan Tanam Paksa pada dasarnya bertujuan :


a) Untuk memasukkan uang ke kas pemerintah kolonial Belanda sehingga hutang-
hutangnya dapat terbayar dan keperluan pemerintah Belanda termasuk biaya perang
dapat terpenuhi.
b) Jika tujuan pertama tercapai maka sisanya akan digunakan untuk memperbaiki
kehidupan rakyat Indonesia
Namun dalam prakteknya, tujuan ini tidak sesuai dengan kenyataan. Hal ini
disebabkan karena peraturan tanam paksa bertolak belakang dengan praktek
pelaksanaannya. Terbukti dari hal-hal berikut ini :

Aturan Tanam Paksa Praktek Tanam Paksa

a) Luas tanah yang digunakan untuk a) Luas tanah yang digunakan untuk
menanam tanaman Tanam Paksa, menanam tanaman Tanam Paksa,
ternyata melebihi 1/5 dari tanah ternyata melebihi dari 1/5 bahkan
pertanian yang dimiliki penduduk prakteknya sampai 2/3 dari tanah
b) Tanah yang digunakan untuk menanam pertanian milik penduduk.
tanaman dibebaskan dari pembayaran b) Tanah yang digunakan untuk
pajak tanah. menanam tanaman Tanam Paksa
c) Waktu bekerja untuk menanam dan tetap dikenakan pajak tanah.
memelihara tanaman, tidak boleh c) Pekerjaan untuk menanam dan
melebihi dari 2 bulan (60 hari). memelihara tanaman, melebihi 60
d) Penduduk yang bukan petani, diwajibkan hari bahkan mencapai 8 bulan.
bekerja di perkebunan atau pabrik-pabrik d) Penduduk yang bukan petani
milik pemerintah selama 65 hari dalam diwajibkan bekerja selama 8 bulan
satu tahun e) Kelebihan hasil panen tidak pernah
e) Hasil panen diserahkan kepada dikembalikan kepada petani atau
Pemerintah Kolonial Belanda sesuai penggarap
dengan target, sedangkan kelebihannya f) Kegagalan panen menjadi tanggung
dikembalikan kepada petani atau jawab petani atau penggarap
penggarap.
f) Kegagalan panen menjadi tanggungan
pemerintah.

Dengan demikian pelaksanaan Tanam Paksa bukan semata-mata untuk


melaksanakan budidaya pertanian, tetapi lebih parah dari hal itu, yaitu justru
bertujuan untuk mengeksploitasi kekayaan alam dan rakyat Indonesia melalui
bidang pertanian dengan cara memaksa rakyat untuk menanam tanaman tertentu
yang sangat laku di pasaran Eropa (Tebu, nila, tembakau, kopi, teh, lada, kina, kayu
manis, dll.).
Pelaksanaan Tanam Paksa diserahkan sepenuhnya kepada Bupati/Kepala
Daerah yang dibantu oleh para kepala desa, sedangkan pegawai-pegawai Belanda
bertindak sebagai pengawas secara umum. Untuk memotivasi para bupati,
Pemerintah Kolonial memberi iming-iming hadiah yang disebut “Cultuur Procent”
yaitu hadiah atau prosen bagi yang berhasil mengumpulkan hasil pertanian melebihi
target yang ditetapkan. Akibatnya timbulah penyelewengan, banyak Bupati/Kepala
daerah dan kepala desa yang berlomba untuk mencapai hadiah tersebut dengan
cara memaksa rakyatnya (petani) untuk bekerja melebihi batas kemampuannya.
Akibatnya timbulah konflik antara rakyat dengan Bupati/Kepala Daerah dan kepala
desanya sendiri.

2. Dampak Tanam Paksa

Bagi Bangsa Indonesia :


1) Terjadi penderitaan secara fisik dan mental secara berkepanjangan
2) Kemiskinan, kelaparan dan kematian terjadi di mana-mana, terutama di Demak
dan Grobogan (Jawa Tengah).
3) Rusaknya tanah pertanian karena digunakan untuk menanam tanaman yang
berbeda dengan kebiasaan.
4) Banyak tanah pertanian yang terlantar karena kurangnya waktu untuk
mengerjakan sebagai akibat penerapan kerja rodi terhadap petani.
5) Terjadi konflik antara petani dengan pemimpinnya sendiri, terutama dengan
kepala desa dan para bupati yang bertindak sebagai pengawas Tanam Paksa.
6) Kebaikannya, bangsa Indonesia mengenal bermacam-macam jenis tanaman
dan cara pemeliharaannya dengan pengairan yang baik untuk meningkatkan
hasil.

Bagi Bangsa Belanda :


1) Dalam waktu 35 tahun diperoleh keuntungan F.627 juta sehingga hutang-
hutang Belanda dapat dilunasi, kelebihannya bisa digunakan untuk keperluan
lain
2) Tampilnya Perusahaan Dagang Negara Belanda (Nederlandse Handels
Maatschappy) yang menjadi perusahaan raksasa sampai sekarang.
3) Perusahaan pelayaran Belanda yang semula hampir mengalami kebangkrutan,
dengan pelaksanaan Tanam Paksa bisa bangkit kembali dengan meraup
keuntungan yang besar.
4) Amsterdam tampil sebagai pusat perdagangan tanaman tropis di Eropa

Tanam Paksa yang membawa malapetaka kemanusiaan bagi bangsa


Indonesia, akhirnya dicela dan ditentang oleh orang-orang Belanda sendiri, terutama
golongan agama dan kaum liberal. Diantaranya adalah :
1) Baron Van Hoevel (tokoh agama)
2) Eduard Douwes Dekker (tokoh liberal)
Penulis buku “Max Havelar” (Lelang Kopi Perdagangan Belanda) dengan nama
samaran Multatuli (Aku Yang Menderita). Beliau mengutuk Tanam Paksa yang
membawa kesengsaraan dan penderitaan terhadap bangsa Indonesia.
3) Fransen van de Putte (tokoh liberal)
Penulis buku “Suiker Contracten” (Kontrak-kontrak Gula). Ia mengusulkan
Tanam Paksa dihapuskan karena mematikan perdagangan bebas.
Karena kecaman-kecaman yang hebat dari kaum liberal, akhirnya pemerintah
Belanda menghapus Sistem Tanam Paksa (Lada, Nila, Teh, Kayu Manis,
Tembakau,Tebu dan Kopi). Penghapusan ini dimulai pada tahun 1862 dan dihapus
secara keseluruhan pada tahun 1919.

c. Politik Ekonomi Liberal (1870-1900)

1. Latar Belakang
Politik Ekonomi Liberal disebut juga “Opendeur Politiek”, yaitu politik pintu terbuka
terhadap modal-modal pengusaha swasta asing terutama dalam bidang perkebunan
(karet, teh, kopi, tembakau, tebu, dll.), pertambangan (mas, timah, dan minyak) dan
jasa angkutan (terutama kereta api).

Pelaksanaan Politik Ekonomi Liberal dilatar belakangi oleh hal-hal sebagai


berikut :
a) Pelaksanaan Tanam Paksa membawa keuntungan bagi Pemerintah Kolonial
tetapi membawa penderitaan bagi bangsa Indonesia dan tidak berdampak apa-
apa kepada pengusaha swasta.
b) Pengaruh liberalisme sebagai akibat terjadinya Revolusi Perancis
c) Kemenangan Partai Liberal di Parlemen Belanda yang mendesak Pemerintah
Kerajaan Belanda untuk menerapkan sistem ekonomi Liberal di tanah
jajahannya.
d) Adanya Traktat Sumatera 1871 memberikan kebebasan kepada Belanda untuk
menguasai Aceh, sebagai imbalannya Inggris meminta Belanda menerapkan
sistem Politik Ekonomi Liberal di tanah jajahannya.

Pelaksanaan Politik Ekonomi Liberal ditandai dengan dikeluarkannya Undang-


Undang Gula 1870 (Suiker Wet) dan Undang-Undang Agraria 1870 (Agrarische
Wet). Kedua UU tersebut pada intinya memberikan kesempatan yang seluas-
luasnya kepada pengusaha asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Selama periode tahun 1870-1900 Indonesia terbuka bagi modal pengusaha swasta
asing (Belanda, Inggris, Belgia, Amerika, Jepang, Cina, dll.). Sejak itu, lahirlah
kapitalisme dan imperialisme modern di Indonesia. Dalam pelaksanaan imperialism
modern, maka tanah jajahan berfungsi sebagai :
a) Tempat mendapatkan bahan mentah untuk kepentingan industri di Eropa dan
tempat penanaman modal asing.
b) Tempat mendapatkan tenaga kerja yang murah,
c) Tempat pemasaran barang-barang produksi Eropa
Kemudian untuk memperlacar pengrekrutan tenaga buruh, Pemerintah Kolonial
mengeluarkan peraturan-peraturan tentang perburuhan, yaitu :
a) Ditetapkannya upah minimum yang harus dibayar kepada kaum buruh.
b) Dilaksanakannya sistem “Koeli Kontrak” yaitu ikatan perjanjian kerja antara
pengusaha dengan buruh.
c) Dikeluarkannya peraturan “Koeli Ordonantie 1880”, yang berisi tentang
pengaturan hubungan kerja antara buruh dengan pengusaha. Dalam Koeli
Ordonantie terdapat “Poenale Sanctie” yang berisi ancaman hukuman kepada
para pekerja/buruh yang melarikan diri. Tujuannya adalah memberi hak kepada
pengusaha untuk bertindak sebagai polisi dan hakim sekaligus untuk
menghukum para kuli mereka tanpa melalui pengadilan. Ini artinya para
pengusaha perkebunan itu boleh menangkap para kuli mereka (jika kabur atau
bekerja tidak sesuai keinginan para tuan pemilik perkebunan) dan menghukum
mereka sesuka hati.

2. Dampak Politik Ekonomi Liberal


Pelaksanaan Politik Ekonomi Liberal membawa dampak sebagai berikut :
a) Pelaksanaan Politik Ekonomi Liberal hanya memperkaya kaum kapitalis
(pengusaha swasta Belanda dan Eropa), sedangkan rakyat Indonesia tetap
saja miskin dan menderita.
b) Kehidupan rakyat (buruh) tetap sengsara dan semakin parah dengan
diterapkannya “Poenale Sanctie”
c) Industri atau usaha pribumi banyak yang gulung tikar karena pekerja-
pekerjanya banyak yang pindah bekerja di perkebunan dan pabrik-pabrik.
d) Dibangunnya fasilitas perhubungan dan irigasi dan pertambangan
e) Rakyat mengenal sistem upah dengan uang, juga mengenal barang-
barang ekspor dan impor.
f) Lahirnya pedagang perantara. Pedagang-pedagang tersebut pergi ke daerah
pedalaman, mengumpulkan hasil pertanian dan menjualnya kepada grosir.

Penilaian Pengetahuan : KD 1
Dikerjakan Setelah Ada Perintah Guru Pengajar !

Materi : Perbandingan Pemerintahan Daendels dengan Pemerintahan Raflles !


Petunjuk Mengerjakan :
A. Jodohkanlah Permasalahan-permasalahan dibawah ini dengan ketentuan anda
diwajibkan memilih 2 jawaban !

Alternatif Pilihan : Anda Wajib Memilih 2 Jawaban

1. Fransen van de Putte 11. Martin Alfonso 21. Suku Mactan


2. Franciscus Xaverius 12. UU Gula 22. Pelayaran Hongi
3. UU Agraria 13. Alfonso de Castro 23. Pengadilan Warna Kulit
4. Raja Lapu-lapu 14. Sewa Tanah 24. Diktator
5. Goa 15. Malaka 25. Belanda
6. Keamanan 16. Jalan Anyer-Panarukan 26. Lopez de Mesquita
7. Ekstirpasi 17. UU Pertambangan 27. Preanger stelsel
8. Guberbur Jenderal 18. Kejayaan 28. Dewan Hindia

Anda mungkin juga menyukai