Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

INFEKSI MENULAR SEKS

OLEH:
FITRI AYU NINGSIH
NIM : 91831290610.001

JURUSAN S1 KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS ILMU – ILMU KESEHATAN


INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN AVICENNA
KENDARI
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha
Esa, karena telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan
sehingga makalah ini bisa selesai pada waktunya.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada teman-teman yang telah


berkontribusi dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun
dengan baik dan rapi.Penulis berharap semoga makalah ini bisa menambah
pengetahuan para pembaca.
Namun terlepas dari itu, penulis memahami bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna, sehingga penulis sangat mengharapkan kritik serta saran yang
bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Penulis
Daftar isi

Kata Pengantar……..………....………………………..……………...............…..
Daftar isi .......... ………………………......………..........………………................

Bab I pendahuluan

A. Latar belakang ……….....….……………………………....……..……..


B. Rumusan masalah …………….........………………………………........
C. Tujuan ………………...……………..........………………………........

Bab II Pembahasan
A. Dampak HIV .............................................................................................
B. Metode pencegahan trasnmisi
HIV............................................................

Bab III Kesimpulan dan Saran


A. Kesimpulan………………........……………………………………......
B. Saran …………………………………………………………………....

Daftar pustaka ……………………….....……………....……………...........….....


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis virus yang
menyerang dan menginfeksi sel darah putih dan menyebabkan turunnya
kekebalan tubuh manusia. AIDS atau Acquired Immune Deficiency
Syndrome adalah sekumpulan gejala yang timbul akibat infeksi dari virus
HIV. Akibat turunnya kekebalan tubuh maka seseorang yang terinfeksi HIV
sangat mudah terkena berbagai penyakit infeksi (infeksi oportunistik) yang
sering berakibat fatal. Masalah fisik merupakan hal yang lumrah pada orang
dengan penurunan sistem kekebalan tubuh, banyak infeksi oportunistik yang
muncul akibat dari infeksi HIV. Banyak studi telah melaporkan berbagai jenis
infeksi oportunistik yang muncul pada pasien HIV/AIDS. Disamping masalah
fisik yang lebih terlihat pada ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) masih ada
masalah psikologis, sosial dan ekonomi yang masih kurang mendapat
perhatian dari masyarakat yang tentunya juga mempengaruhi kehidupan dari
ODHA itu sendiri. Perbedaan perlakuan, stigma dan diskriminasi dari
keluarga, masyarakat bahkan tenaga kesehatan membuat dampak sosial yang
mendalam pada ODHA dan secara tidak langsung berdampak pada masalah
psikologis serta ekonomi ODHA. Biaya pengobatan yang meningkat,
produktivitas yang menurun hingga menyebabkan putus kerja menjadi
sumber permasalahan ekonomi pada ODHA. Berbagai dampak ini
menjadikan ODHA mengalami gangguan seperti depresi bahkan ada yang
melakukan tindakan self-harmness hingga percobaan bunuh diri.

B. Rumusan masalah
1. Apa saja dampak HIV?
2. Bagaimana metode pencegahan transmisi HIV?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dampak HIV
2. Untuk mengetahui metode pencegahan HIV
BAB II
PEMBAHASAN

A. Dampak hiv
1. Dalam konteks individu
Dampak Virus HIV/AIDS Virus HIV/AIDS menimbulkan dampak
yang sangat luas dan serius bagi si penderita, masyarakat dan keselamatan
bangsa, baik psikis, fisik maupun sosial. Kondisi ini seringkali
mempengaruhi proses kesembuhan yang harus dilakukan oleh
ODHA.Tekanan-tekanan psikologis yang dialami oleh ODHA merupakan
faktor utama penyebab kondisi menjadi lemah kembali. Seperti yang
dikemukakan oleh Richard D. Muma dan kawan-kawan (1997: 279) yang
mengatakan bahwa dampak yang dialami oleh penderita HIV adalah:
1) Kecemasan: rasa tidak pasti tentang penyakit yang diderita,
perkembangan dan pengobatannya, merasa cemas dengan gejalagejala
baru, prognosis, dan ancaman kematian, hiperventilasi, serangan
panik.
2) Depresi: merasa sedih, tidak berdaya, rendah diri, merasa bersalah,
tidak berharga, putus asa, berkeinginan untuk bunuh diri, menarik diri,
memberikan ekspresi pasrah, sulit tidur, dan hilang nafsu makan.
3) Merasa terisolasi dan berkurangnya dukungan sosial, merasa ditolak
oleh keluarga, dan orang lain. Sedikitnya orang yang menjenguk pada
saat ODHA dirawat semakin memperkuat perasaan ini.
4) Merasa takut bila ada orang yang mengetahui atau akan mengetahui
penyakit yang dideritannya.
5) Merasa khawatir dengan biaya perawatan, khawatir kehilangan
pekerjaan, pengaturan hidup selanjutnya dan transportasi.
6) Merasa malu dengan adanya stigma sebagai penderita AIDS,
penyangkalan terhadap kebiasaan seksual.
7) Penyangkalan hidup riwayat penggunaan obatobatan terlarang.

2. Dalam konteks keluarga


Dampak yang terjadi pada keluarga ODHA adalah ketegangan,
kecemasan dan tidak harmonisnya relasi antara mereka apalagi ketika
informasi tentang status ODHA belum atau tidak diketahui oleh seluruh
keluarga. Mereka juga mengalami perlakuan yang diskriminatif dari
lingkungan masyarakat tempat tinggalnya. Selain permasalah diatas,
permasalahan lain yaitu masalah yang ditinjau dari aspek psikologis,
sosial, ekonomi dan spiritual. Aspek psikologis, ketidaktahuan karena
kurangnya informasi tentang penyakit HIV, menimbulkan reaksi yang
berlebihan dari keluarga seperti ketakutan, kecemasan, kegalauan, serta
kesedihan yang ditujukan tanpa didasarkan pada pemahaman yang benar
berakibat terhadap dukungan yang diberikan. Disamping aspek psikologis
yang dialami, aspek yang sangat mempengaruhi interaksi keluarga dengan
lingkungan adalah aspek sosial. Aspek ini berdampak terhadap hubungan
keluarga maupun ODHA dengan lingkungan, baik itu lingkungan keluarga
besar maupun lingkungan masyarakat. Dengan demikian dalam mengatasi
kegoncangan yang dialami keluarga, dibutuhkan nilai-nilai untuk
menuntunya dalam mengambil keputusan atau memberikan makna pada
kehidupannya.

3. Dalam konteks nasional


Beberapa contoh permasalahan yang terjadi diantaranya
berdasarkan data yang didapat hingga bulan November 2015, di surakarta
ada sekitar 1.738 kasus dan jumlah ini lebih tinggi dibanding estimasi
nasional. Estimasi KPA Nasional untuk penderita HIV/AIDS pada 2015
hanya 1.356 kasus. Tapi kenyataannya sampai akhir November 2015
sudah mencapai 1.738 kasus (Tommy Prawito, 2016 )

4. Dalam konteks komunitas


Banyak komunitas yang terkena infeksi HIV, baik terinfeksi maupun
Dipengaruhi oleh HIV. Berkenaan dengan statistik Amerika Serikat
tentang infeksi HIV di antara pria gay dan biseksual, ada 38.729 kasus
baru yang tercatat pada tahun 2017 tetapi 70% dari kasus tersebut terjadi
di antara orang dewasa dan remaja yang merupakan pria biseksual dan
gay. Ada berbagai komunitas berbeda yang mungkin lebih rentan terhadap
infeksi HIV, komunitas ini termasuk; wanita muda di Afrika dan
komunitas Pribumi di berbagai negara. Komunitas ini berasal dari negara
yang berbeda, yang mungkin berbeda dalam jumlah infeksi sebanding
dengan populasi negara tetapi faktor lain mungkin termasuk seperti
kerugian yang dapat berdampak pada komunitas

5. Dalam konteks perilaku dan sosial budaya


Pertumbuhan ekonomi yang pesat juga meningkatkanm obilitas
penduduk meningkatkan kanampuan daya beli (purchasing power), dan
diikuti dengan meningkatnya jumlah mereka yang melakukan hubrurgan
seks di luar rurnah. Banyak kaum ibu tidak murgetahui apa-apa mengenai
aktivitas seksual suaminya di luar rumah, dan (kalau sudah
mencurigainya) tidak pmya keberaniaan untuk menanyakannya. kaum ibu
punya potensi akan terinfeksi penyakil menular sexual tanpa disadarinya.
Selain itu juga, perempuan secara anatomis dan patofisiologis, dalam hal
penularan penyakit menular seksual lebih dirugikan. terdapat tiga macam
kerentanan yang dialarni oleh seseorang perempuan dalam kaitannya
dengan risiko terinfeksi HIV, yaitu kerentanan biologik, ekonomi dan
sosio-kultural

B. Metode pencegahan transmisi HIV


1. Pre exposure profilaksis
Pencegahan dan penanggulangan HIV & AIDS dari tahun ke tahun
mengalami kemajuan seiring berkembangnya teknologi. Salah satunya
dengan menggunakan PrEP (Pre-Exposure Prophylaxis), yaitu
penggunaan obat antiretroviral (ARV) pada orang yang berstatus HIV
negative agar tidak terinfeksi HIV.
Salah satu sasaran metode PrEP adalah pasangan sero-diskordan,
yakni pasangan yang salah satunya telah terinfeksi HIV. PrEP ini sesuai
diperuntukkan bagi pasangan yang berstatus HIV negative, selain tetap
memakai kondom secara konsisten. Program PrEP ini awalnya dimulai
dari salah satu penelitian di Amerika pada bulan Mei 2010. Kemudian
pada tahun 2011 lembaga penelitian dan pengembangan di Amerika
melakukan tindak lanjut dari penelitian ini dan mengembangkan
panduannya untuk tata laksana program PrEP. Baru di bulan Mei 2014
Program PrEP diakui sebagai salah satu pencegahan HIV di Amerika. Di
negara Perancis juga dilakukan penelitian tentang PrEP ini, dengan
mempergunakan IPERGAY bagi populasi kunci LSL. Hasil dari
penelitiannya ini, ternyata memang efektif untuk pencegahan infeksi HIV
karena terjadi pengurangan risiko infeksi hingga 86%. Hasil penelitian
yang hampir sama ini juga ada di negara-negara Afrika. Ditemukan
bahwa penurunan infeksi risikonya hingga 60-70% pada orang-orang
yang mengikuti Program PrEP. Selain penurunan risiko, temuan lain dari
penelitian-penelitian tersebut diketahui bahwa efektifitasnya tidak
berbeda berdasarkan usia, dengan demikian baik yang mengkonsumsi
orang muda atau orang tua tetap efektif. Jenis kelamin juga tidak
mempengaruhi efektifitasnya, baik laki-laki atau perempuan sama-sama
efektif untuk mengikuti Program PrEP. Hasil yang bervariasi adalah pada
level proteksinya karena tergantung ketaatan dalam meminum obatnya.
ARV yang dikonsumsi dalam Program PrEP ini juga harus diminum
teratur setiap harinya. Jika tidak taat dalam meminum obat, maka
dimungkinkan pada saat lalai tersebut ada risiko terpapar virus HIV.
Adanya Program PrEP ini, kadang menimbulkan kekhawatiran bahwa
nanti bisa menimbulkan perilaku yang semakin berisiko, oleh karena
sudah merasa aman, terlindungi oleh ARV yang telah diminumnya.
Gambaran tata laksana dalam PrEP, pertama-tama secara klinis
harus melakukan tes HIV untuk mengetahui status HIV-nya dan fungsi
ginjalnya normal. Pada tahap selanjutnya, dijelaskan KIE yang meliputi
keamanan dan efek samping PrEP, keterbatasan, adherence, gejala HIV
akut (serokonversi), riwayat pasangan, riwayat sosial: rumah, ekonomi,
kesehatan mental, KDRT. Proses dari tahap klinis dan KIE di atas
dilakukan secara rutin dan dipantau. Pemberian resep untuk PrEP
disarankan tidak lebih dari 90 hari, karena pasien bisa secara rutin datang
ke layanan untuk dipantau keadaaanya serta konsistensi penggunaan
kondom.

2. Sirkumsisi
Sirkumsisi sudah dilakukan sejak zaman pra sejarah dan
merupakan salah satu tindakan bedah minor yang paling banyak
dilakukan di seluruh dunia. Alasan melakukan sirkumsisi meliputi karena
alasan agama, budaya atau juga alasan kesehatan. Sirkumsisi berasal dari
kata “circumcision” yang terdiri dari kata circum (berarti “sekitar”) dan
coedere (berarti “memotong”).
Sirkumsisi pada laki-laki dilakukan dengan memotong atau
menghilangkan sebagian atau seluruh kulit penutup depan penis atau
prepusium yang bertujuan untuk membersihkan penis dari berbagai
kotoran penyebab penyakit yang mungkin melekat pada ujung penis yang
masih ada preputiumnya. Secara umum diperkirakan lebih dari 25% laki-
laki telah melakukan sirkumsisi. Di Amerika Serikat sekitar 1,2 juta bayi
laki-laki disirkumsisi tiap tahunnya, di Australia terdapat 69% lakilaki
yang disirkumsisi sedangkan di Timur tengah sekitar 100.000 bangsa
Yahudi dan 10 juta umat muslim disirkumsisi tiap tahunnya serta di
Afrika sekitar 9 juta lakilaki. Rata-rata usia dilakukan sirkumsisi pada
anak laki-laki adalah sekitar 10-14 tahun dan tersering pada usia 12
tahun.
Sirkumsisi pada perempuan dilakukan dengan tindakan yang
bervariasi, meliputi pemotongan klitoris sebagian atau keseluruhan,
pemotongan klitoris beserta dengan labium minus atau pemotongan
sebagian atau keseluruhan dari genitalia eksterna tersebut disertai dengan
proses penjahitan untuk mempersempit lubang vagina yang dikenal
sebagai infibulasi sehingga hanya menyisakan lubang kecil sebagai
tempat urin keluar. Cara lain sirkumsisi pada perempuan yaitu dengan
melukai klitoris dan/atau labium seperti dengan menggores, menusuk
atau insisi.
Tujuan awal sirkumsisi pada perempuan dikatakan untuk menekan
nafsu seksualnya. Diperkirakan sekitar 130 juta perempuan di dunia telah
disirkumsisi dan sekitar 2 juta anak perempuan disirkumsisi tiap
tahunnya saat mereka berusia 4-12 tahun. Semua metode sirkumsisi yang
digunakan mempunyai prinsip yang sama. Perbedaan dari metode
konvensional dengan metode kauter atau laser hanya terletak pada alat
yang digunakan untuk memotong kulup penis. Untuk mendapatkan
proses dan hasil sirkumsisi yang terbaik sesuai dengan harapan tidak
hanya bergantung pada metode yang dipilih, tetapi sangat tergantung dari
kesiapan anak, orang tua, operator (tenaga medis) serta kesterilan alat.
Anak dengan fisik dan psikis yang tidak siap, berpotensi menghambat
kelancaran proses sirkumsisi dan proses penyembuhannya.

1) Pengaruh Sirkumsisi pada Non Infeksi Menular Seksual


Sirkumsisi dapat memberikan pengaruh baik maupun buruk pada
infeksi menular seksual maupun non infeksi menular seksual. The
American Academy of Pediatrics (AAP) melaporkan bahwa sirkumsisi
dapat mencegah terjadinya infeksi saluran kencing pada anak laki-laki,
juga dapat mencegah terjadinya kanker pada daerah kelamin laki-laki.
Bahkan pada beberapa kondisi tertentu yang berkaitan dengan penyakit
dan kelainan bawaan pada alat kelamin seperti phimosis, paraphimosis,
dan balanitis, sirkumsisi merupakan tindakan medis yang sangat
dianjurkan. Selain itu telah dikembangkan penelitian-penelitian
biokimia, mikroanatomi dan biomedis dengan menggunakan kulit
prepusium.
Sirkumsisi pada perempuan yang dilakukan di beberapa negara
dimaksudkan untuk mencegah hubungan seksual diluar nikah dan
menjaga keperawanannya. Sirkumsisi pada laki-laki dapat
mengakibatkan terjadinya infeksi, nyeri dan perdarahan jika tidak
ditangani dengan baik serta mengurangi sensitivitas penis karena
bagian prepusium yang dipotong memiliki banyak reseptor sentuhan
halus dan ujung-ujung saraf yang sangat peka terhadap rangsangan
seksual.
Banyak ahli melaporkan bahwa sirkumsisi pada perempuan secara
medis tidak bermanfaat. Pada klitoris terdapat banyak saraf yang bisa
membantu orgasme seorang perempuan. Jika bagian tersebut dipotong
akan menyebabkan perempuan menjadi sulit orgasme sehingga secara
tidak langsung lebih sulit mendapatkan keturunan. Hasil penelitian di
Sudan (2004) menunjukkan bahwa perempuan yang disirkumsisi enam
kali lebih infertil dibandingkan dengan perempuan yang tidak
disirkumsisi. Selain itu sirkumsisi pada wanita juga dapat
mengakibatkan infeksi, penyakit radang panggul, nyeri dan kesulitan
melahirkan pervaginam jika dilakukan infibulasi.
2) Pengaruh Sirkumsisi pada Infeksi Menular Seksual
Pada laki-laki yang tidak disirkumsisi menyebabkan lingkungan
yang hangat dan lembab dibawah prepusium. Hal ini merupakan
kondisi yang cocok untuk kelangsungan hidup dan replikasivirus
maupun bakteri. Saat melakukan aktivitas seksual, area ini sangat
mudah terjadi mikroabrasi yang menyebabkan peradangan dan
diskontinuitas mukosa
serta memberikan jalan masuk bagi organisme patogen. Selain itu,
daerah prepusium juga banyak mengandung selsel langerhans yang
merupakan sel target dari Human Immunodeficiency Virus (HIV)
untuk penyebaran infeksinya. Sekitar 80% penderita HIV terinfeksi
melalui hubungan seksual. Pada laki-laki dewasa diperkirakan sebesar
70% terinfeksi HIV melalui hubungan seksual melalui vagina
sedangkan di Afrika dilaporkan lebih dari 90%. Dari 3 penelitian acak
terkontrol diketahui bahwa sirkumsisi pada laki-laki dapat mencegah
penularan HIV sebesar 50-60% sehingga WHO/The Joint United
Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) merekomendasikan
sirkumsisi sebagai salah satu strategi pencegahan penularan HIV
khususnya pada negara-negara dengan angka sirkumsisi pada laki-laki
masih rendah dengan hiperendemik HIV.

3. Mikrobisida
Mikrobisida merupakan produk kimiawi yang diaplikasikan secara
vagina maupun rektal ntuk mencegah penularan HIV melalui hubungan
seksual. Mikrobisida diformulasikan dalam bentuk gel, krim, supositoria,
film, tablet, barier fisik dan vaginal ring. Variasi sediaan mikrobisida ini
mengijinkan laki – laki dan wanita untuk memilih produk yang paling
sesuai berdasarkan waktu terbaik saat berhubungan seksual serta kesehatan
reproduktifnya.

1) Sediaan Mikrobisida serta Keuntungan dan Kerugiannya


a. Tablet vagina
Formulasi vagina yang tersedia selama ini di pasaran adalah tablet
vagina. Tablet vagina konvensional yang dapat diperoleh di seluruh
dunia meliputi agen anti-infeksi, hormon ekstrak tumbuhan dan
lactobacillus. Kandidat mikrobisida yang diformulasikan dalam
bentuk tablet, yaitu cellulose sulfate, acid form, polystyrene sulfonate,
dapivirine, DS003, tenofovir dan UC781. Diantara mikrobisida diatas,
cellulose sulfate, polystyrene sulfonate dan UC781 sudah tidak lagi
diproduksi.
Kelebihan mikrobisida tablet vagina antara lain :
a) mudah diaplikasikan
b) biaya terjangkau
c) bentuk yang diterima baik oleh penggunanya
d) udah dibawa dan disimpan
e) dosis mudah disesuaikan
f) dapat diproduksi dalam skala besar
g) mampu mempertahankan stabilitas pada suhu serta lingkungan
yang ekstrim.
h) dihantarkan secara lokal sehingga toksisitas sistemiknya minimal
Kekurangan mikrobisida tablet vagina
a) Kurangnya standar regulator yang mengevaluasi formulasi
b) Kompleksitas memastikan keseragaman konten dalam dosis aktif
yang rendah
c) Kompleksitas dalam optimalisasi komposisi
d) Kombinasi produk dan kompatibilitasnya

b. Solusio, suspensi dan emulsi vagina


Sediaan ini berupa preparat cairan yang cenderung menimbulkan efek
lokal, untuk irigasi atau untuk tujuan diagnostik serta mencegah infeksi
HIV.
Keuntungan sediaan ini, yaitu
a. mudah diaplikasikan
b. melewati efek jalur pertama hepatik
c. absorpsi sistemik obat yang rendah
d. peningkatan permeabilitas dibandingkan dengan obat oral
kekurangan sediaan ini, antara lain
a. perubahan vagina (berhubungan dengan siklus menstruasi)
b. masalah kebersihan vagina
c. efek samping lokal
d. permeabilitas berbagai obat.

c. Gel, krim, supositori vagina


Sediaan ini memiliki mekanisme kerja secara lokal maupun sistemik.
Prinsip umum obat supositori adalah bentuk solid saat dimasukkan ke
vagina dan terurai atau mencair di dalam tubuh, menghantarkan obat
yang diterima oleh beberapa pembuluh darah hingga ke usus besar.
Sediaan ini umumnya berbentuk kerucut, batang atau wedges dan lebih
besar dari supositori rektal (4-8g). Semua formulasi diatas berperan
sebagai barier untuk mencegah masuknya sperma kedalam vagina
bagian atas. Sediaan ini umumnya digunakan secara lokal sebagai
terapi infeksi vagina seperti transmisi HIV, HPV, HSV dan infeksi
chlamydia. Keuntungan penggunaan sediaan ini adalah
a. Mampu menghindari metabolisme lini pertama
b. Mekanisme kerja yang lokal sehingga mengurangi distribusi
sistemik
c. Mengurangi toksisitas sistemik
Kekurangan sediaan ini
a. Dapat menimbulkan iritasi mukosa
b. Dapat memicu reaksi defekasi saat diaplikasikan
c. Biaya produksi yang mahal
d. Ketidakpatuhan penggunanya

d. Vaginal Ring
Intravaginal ring (IVRs) menawarkan metode hantaran unik
dibandingkan bentuk solid maupun semisolid. Faktor kontrol utama
IVRs adalah fleksibelnya rangka cincin polimer. Cincin harus mudah
dikompresi saat dimasukkan ke dalam vagina dan diletakkan dalam
sepertiga atas vagina untuk mencegah pengeluaran yang tidak
diinginkan. Vaginal ring mengandung bahan obat, yang secara
homogen tersebar disepanjang matriks. Tiga mekanisme penting
pengeluaran obat adalah disolusi, difusi dan partisi.
Kelebihan sediaan vaginal ring adalah
a. Long acting
Biasanya bekerja hingga 1 bulan atau lebih sehingga
meningkatkan kepatuhan penggunanya.
b. Mudah digunakan dan nyaman
Fleksibel dan mudah dimasukkan ke dalam vagina. Biasanya
tidak disadari oleh pasangan seksualnya.
c. Biaya produksi yang rendah
d. Mudah diterima oleh penggunanya
e. Berpotensi sebagai kombinasi obat

e. Vaginal films
Bentuk dosis film berupa lapisan tipis berbahan polymeric
watersoluble yang akan larut ketika diletakkan di permukaan mukosa
vagina dan segera melepaskan bahan aktifnya.
Keuntungan Vaginal films
a. Mudah dibawa dan disimpan
b. Penggunaannya dapat dilakukan secara rahasia
c. Tidak ada kebocoran
d. Biaya rendah dengan dosis rendah
Film yang tipis dapat dimanfaatkan untuk mempertahankan stailitas
obat yang rentan terhadap degradasi pada lingkungan berair.
Administrasi melalui vagina perlu pemahaman yang baik mengenai
hidrasi serta disolusi pada volume yang terbatas, yaitu 1mL cairan
vagina. Pemilihan bahan aktif obat yang tepat sangat penting untuk
memahami mekanisme kerja obat. Penggunaan aplikator, model
aplikator untuk film serta menentukan bagaimana membersihkan
aplikator merupakan elemen penting dalam perkembangan aplikator
serbaguna
4. ARV
Pengobatan antiretroviral (ARV) kombinasi merupakan terapi terbaik
bagi pasien terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) hingga saat
ini. Tujuan utama pemberian ARV adalah untuk menekan jumlah virus
(viral load), sehingga akan meningkatkan status imun pasien HIV dan
mengurangi kematian akibat infeksi oportunistik. Pada tahun 2015,
menurut World Health Organization (WHO) antiretroviral sudah
digunakan pada 46% pasien HIV di berbagai negara. Penggunaan ARV
tersebut telah berhasil menurunkan angka kematian terkait HIV/AIDS dari
1,5 juta pada tahun 2010 menjadi 1,1 juta pada tahun 2015. Antiretroviral
selain sebagai antivirus juga berguna untuk mencegah penularan HIV
kepada pasangan seksual, maupun penularan HIV dari ibu ke anaknya.
Hingga pada akhirnya diharapkan mengurangi jumlah kasus orang
terinfeksi HIV baru di berbagai negara.
Untuk mencapai berbagai tujuan pengobatan ARV, dibutuhkan
pengobatan ARV yang berhasil. Keberhasilan pengobatan pada pasien
HIV dinilai dari tiga hal, yaitu keberhasilan klinis, keberhasilan
imunologis, dan keberhasilan virologis. Keberhasilan klinis adalah
terjadinya perubahan klinis pasien HIV seperti peningkatan berat badan
atau perbaikan infeksi oportunistik setelah pemberian ARV. Keberhasilan
imunologis adalah terjadinya perubahan jumlah limfosit CD4 menuju
perbaikan, yaitu naik lebih tinggi dibandingkan awal pengobatan setelah
pemberian ARV. Sementara itu, keberhasilan virologis adalah
menurunnya jumlah virus dalam darah setelah pemberian ARV. Target
yang ingin dicapai dalam keberhasilan virologis adalah tercapainya jumlah
virus serendah mungkin atau di bawah batas deteksi yang dikenal sebagai
jumlah virus tak terdeteksi (undetectable viral load).
Ketidakberhasilan mencapai target disebut sebagai kegagalan.
Kegagalan virologis merupakan pertanda awal dari kegagalan pengobatan
satu kombinasi obat ARV. Setelah terjadi kegagalan virologis, dengan
berjalannya waktu akan diikuti oleh kegagalan imunologis dan akhirnya
akan timbul kegagalan klinis. Pada keadaan gagal klinis biasanya ditandai
oleh timbulnya kembali infeksi oportunistik. Hal ini disebabkan oleh
rendahnya jumlah limfosit CD4 akibat terjadinya resistensi virus terhadap
ARV yang sedang digunakan.
Kegagalan virologis muncul lebih dini daripada kegagalan imunologis
dan klinis. Karena itu, pemeriksaan viral load akan mendeteksi lebih dini
dan akurat kegagalan pengobatan dibandingkan dengan pemantauan
menggunakan kriteria imunologis maupun klinis, sehingga mencegah
meningkatnya mordibitas dan mortalitas pasien HIV.5 Pemeriksaan viral
load juga digunakan untuk menduga risiko transmisi kepada orang lain,
terutama pada ibu hamil dengan HIV dan pada tingkat populasi.6,7 Pasien
HIV yang dinyatakan gagal pada pengobatan lini pertama, harus
menggunakan pengobatan ARV lini kedua supaya dapat mencapai tujuan
pengobatan ARV seperti disebut di atas. Hal ini akan mengakibatkan
terjadinya perubahan biaya pengobatan karena harga obat ARV lini kedua
lebih mahal dari obat ARV lini pertama

BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan

Dampak Virus HIV/AIDS Virus HIV/AIDS menimbulkan dampak


yang sangat luas dan serius bagi si penderita, masyarakat dan
keselamatan bangsa, baik psikis, fisik maupun sosial. Kondisi ini
seringkali mempengaruhi proses kesembuhan yang harus dilakukan
oleh ODHA.Tekanan-tekanan psikologis yang dialami oleh ODHA
merupakan faktor utama penyebab kondisi menjadi lemah kembali
Pencegahan dan penanggulangan HIV & AIDS dari tahun ke tahun
mengalami kemajuan seiring berkembangnya teknologi. Salah satunya
dengan menggunakan PrEP (Pre-Exposure Prophylaxis), yaitu
penggunaan obat antiretroviral (ARV) pada orang yang berstatus HIV
negative agar tidak terinfeksi HIV

2. Saran
Dari makalah ini, diharapkan pembaca mengerti dan memahami tentang
determinan dan perubahan perilaku. Pembaca juga diharapkan dapat
mengambil manfaat dari makalah yang telah penulis susun. Kritik dan
saran sangat penulis harapkan untuk memperbaiki penulisan makalah yang
selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Fitria, F. (2014). PERAN SIRKUMSISI DALAM INFEKSI MENULAR


SEKSUAL. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, 14(1), 43-49.
Karyadi, T. H. (2017). Keberhasilan Pengobatan Terapi Antiretroviral. Jurnal
Penyakit Dalam Indonesia, 4(1), 1-3.

Sugiarto, E., & Machdum, S. V. (2017). DINAMIKA PROGRAM


PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOMUNITAS (STUDI KASUS:
PROSES PERSIAPAN DAN IMPLEMENTASI COMMUNITY ORGANIZER
DI JAKARTA UTARA). Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial (Journal of Social
Welfare), 16(2).

Nuriadi, R. (1999). Dampak Perubahan Sosial Budaya Terhadap Prevalensi


HIV/AIDS. Jurnal Kedokteran Meditek.

Anda mungkin juga menyukai