Anda di halaman 1dari 15

Tugas Mata Kuliah : POLITIK HUKUM

Dosen : Dr.Iskandar A. Gani, S. H., M. Hum


Hari/Jam : 16.30 s/d selesai

PENEGAKAN HUKUM DALAM PENYELENGGARAAN NEGARA


UNTUK MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE DI INDONESIA

Dibuat Oleh:

MIRZA SUHERI

NIM: 2003201010048

PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM


UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM – BANDA ACEH
TAHUN 2020
I. Latar Belakang

Penyelenggara Negara mempunyai peran penting dalam mewujudkan cita-cita


perjuangan bangsa. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar
1945 yang menyatakan bahwa yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hal
hidupnya negara ialah semangat para Penyelenggara Negara dan Pemimpin pemerintahan.
Hak-hak masyarakat wajib di lindungi oleh Negara secara konstitusional dan Negara
wajib juga memenuhi hak-hak asasi masyarakat tersebut, Negara diminta harus memenuhi
dan menjalani tujuan dari amandemen Undang-udang dasar tersebut. Masyarakat dilibatkan
dalam setiap mengambil keputusan yang bersangkutan dengan Negara ini baik secara
langsung atau pun secara perwakilan melalui DPR, selanjutnya adalah memperkuat sistem
check and balances dalam Trias politika, hal ini tidak terlepas dari tercapainya Good
Governance di Indonesia. Pemerintah wajib berusaha memberikan perlindungan kepada
masyarakat baik dalam bidang politik maupun dalam bidang sosial dan ekonomi1.
Dalam waktu lebih dari 30 (tiga puluh) tahun, Penyelenggara Negara tidak dapat
menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal, sehingga penyelenggara negara tidak
berjalan sebagaimana mestinya. Hal itu terjadi karena adanya pemusatan kekuasaan,
wewenang, dan tanggungjawab pada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia. Di samping itu, masyarakatpun belum sepenuhnya berperan serta dalam
menjalankan fungsi kontrol sosial yang efektif terhadap penyelenggaraan negara.
Pemusatan kekuasaan, wewenang, dan tanggungjawab tersebut tidak hanya
berdampak negatif di bidang politik, namun juga dibidang ekonomi dan moneter, antara lain
terjadinya praktek penyelenggaraan negara yang lebih menguntungkan kelompok tertentu dan
memberi peluang terhadap tumbuhnya korupsi, kolusi dan nepotisme.
Tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme tersebut tidak hanya dilakukan oleh
Penyelenggara Negara, antar Penyelenggara Negara, melainkan juga Penyelenggara Negara
dengan pihak lain seperti keluarga kroni, dan para pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta membahayakan eksistensi negara.
Dalam rangka penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional sesuai tuntutan
reformasi diperlukan kesamaan visi, persepsi, dan misi dari Seluruh Penyelenggara Negara
dan masyarakat. Kesamaan visi, persepsi, dan misi tersebut harus sejalan dengan tuntutan hati
nurani rakyat yang menghendaki terwujudnya Penyelenggara Negara yang mampu

1
SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, 1987, hlm
52.

1
menjalankan tugas dan fungsinya secara sungguh-sungguh, penuh rasa tanggung jawab, yang
dilaksanakan secara efektif, efisien, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, sebagaimana
diamanatkan oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme.
Undang-undang ini memuat tentang ketentuan yang berkaitan langsung atau tidak
langsung dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme
yang khusus ditujukan kepada para Penyelenggara Negara dan pejabat lain yang memiliki
fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Undang-undang ini merupakan bagian atau
subsistem dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penegakan hukum
terhadap perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sasaran pokok Undang-undang ini adalah
para Penyelenggara Negara yang meliputi Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara,
Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara, Menteri, Gubernur, Hakim, Pejabat Negara
dan atau Pejabat Lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi,
kolusi, dan nepotisme, dalam Undangundang ini ditetapkan asas-asas umum penyelenggaraan
negara yang meliputi asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas
kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas
akuntabilitas.Pengaturan tentang peran serta masyarakat dalam Undangundang ini dimaksud
untuk memberdayakan masyarakat dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan negara yang
bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Dengan hak dan kewajiban yang dimiliki, masyarakat diharapkan dapat lebih
bergairah melaksanakan kontrol sosial secara optimal terhadap penyelenggaraan negara,
dengan tetap mentaati rambu-rambu hukum yang berlaku.Agar Undang-undang ini dapat
mencapai sasaran secara efektif maka diatur pembentukan Komisi Pemeriksa yang bertugas
dan berwenang melakukan pemeriksaan harta kekayaan pejabat negara sebelum, selama, dan
setelah menjabat, termasuk meminta keterangan baik dari mantan pejabat negara, keluarga,
dan kroninya, maupun para pengusaha, dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak
bersalah dan hak-hak asasi manusia. Susunan keanggotaan Komisi Pemeriksa terdiri atas
unsur Pemerintah dan masyarakat mencerminkan independensi atau kemandirian dari
lembaga ini.
2
Undang-undang ini mengatur pula kewajiban para Penyelenggara Negara, antara lain
mengumumkan dan melaporkan harta kekayaannya sebelum dan setelah menjabat. Ketentuan
tentang sanksi dalam Undang-undang ini berlaku bagi Penyelenggara Negara, masyarakat,
dan Komisi Pemeriksa sebagai upaya preventif dan represif serta berfungsi sebagai jaminan
atas ditaatinya ketentuan tentang asas-asas umum penyelenggaraan negara, hak dan
kewajiban Penyelenggara Negara, dan ketentuan lainnya sehingga dapat diharapkan
memperkuat norma Kelembagaan, moralitas individu, dan sosial.

II. Permasalahan

Saat ini banyak dijumpai pejabat-pejabat di Indonesia yang di jerat oleh kasus
korupsi, baik itu kasus korupsi yang telah mendapatkan hukum tetap di nyatakan bersalah
atau pun masih dalam proses penyidikan atau penyelidikan dari pihak berwajib, karena di
anggap penyalahgunaan wewenang, dan membuat orang-orang di aparatur Negara tersebut
menjadi takut untuk menjadi seorang pejabat. Para pejabat menyangkal tidak menerima
sedikit pun atau menikmati uang hasil korupsi tersebut.ketakutan ketakutan ini membuat roda
pejabat menjadi gamang dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, penyerapan
anggaran tidak bisa dilaksanakan dengan maksimal, program-program yang telah di
rencanakan dalam berkaitan dengan kesejahteraan rakyat terganggu dan dampaknya juga
kepada masyarakat, dan hal ini membuat cita cita dari Negara untuk mencapai Good
Governance tidak bisa berjalan dengan baik dan maksimal.
Namun tidak dapat dipungkiri ada pejabat yang benar-benar mendapatkan keuntungan
dari kasus korupsi ini dan atau menguntungkan orang lain dengan cara suap atau pemerasan.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, ada tindakan yang termasuk korupsi yaitu: menyebabkan kerugian Negara, suap-
menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan
dalam pengadaan, dan gratifikasi. Semuanya dipahami dalam rangka memperkaya diri,
keluarga atau teman. Para pejabat di Indonesia saat ini merasa selalu di hantui dengan kasus
korupsi walaupun suatu tindakan itu bisa dianggap sebagai kesalahan adminstrasi atau
kesalahan prosedural saja.
Terdapat banyak contoh korupsi dalam sejarah di Indonesia, seperti contoh pada titik
awal rezim Orde Baru Presiden Suharto (1965-1998), yang ditandai dengan pertumbuhan
ekonomi mengesankan yang cepat dan berkelanjutan, tapi juga terkenal karena sifat
korupnya. Salah satu karakteristik penting korupsi selama Orde Baru Suharto adalah korupsi
tersebut agak terpusat dan dapat diprediksi. Situasi ini berubah dengan drastis setelah
3
lengsernya Suharto pada 1998. Program desentralisasi daerah yang ambisius dimulai pada
tahun 2001 yang meramalkan pemindahan otonomi administrasi dari Jakarta ke kabupaten
(bukan ke provinsi). Program baru ini sejalan dengan tuntutan masyarakat tetapi memiliki
efek samping negatif pada pola distribusi korupsi. Penyuapan tidak lagi 'dikoordinasikan'
seperti yang telah terjadi di masa lalu tapi menjadi terpecah-pecah dan tidak jelas.
Desentralisasi berarti bahwa pemerintah daerah mulai membuat peraturan daerah baru (sering
tidak dirancang dengan ketat) yang memungkinkan para pejabat lainnya dari berbagai tingkat
pemerintah dan lembaga lainnya untuk berbaur dan meminta tambahan keuangan.
Menyadari kebutuhan mendesak untuk mengatasi korupsi (karena merusak iklim
investasi dan bisnis serta, umumnya, mendorong adanya ketidakadilan terus-menerus dalam
masyarakat), sebuah badan pemerintah baru didirikan pada tahun 2003. Lembaga pemerintah
ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (disingkat KPK), ditugaskan untuk membebaskan
Indonesia dari korupsi dengan menyelidiki dan mengusut kasus-kasus korupsi serta
memantau tata kelola negara (yang menerima kekuasaan yang luas untuk melakukan
tugasnya).
Saat ini, pemerintahan Presiden Jokowi sejak 2014 memimpin bangsa Indonesia.
Sama dengan presiden sebelumnya dan para calon presiden sebelumnya, Beliau menyerukan
pertempuran melawan korupsi di negara ini, mendesak kebutuhan untuk sebuah 'revolusi
mental' yang mencakup perhentian untuk keserakahan dan korupsi di masyarakat. Ini adalah
ambisi yang susah tapi Jokowi telah melakukan beberapa upaya penting, misalnya dengan
memindahkan banyak layanan pemerintah menjadi layanan online (menyiratkan birokrat
'lapar akan disuap' memiliki kesempatan lebih sedikit untuk mendapatkan uang tambahan).
Berbagai praktek yang membuat penyelenggaraan negara menjadi tidak efisien dan
efektif dan menyuburkan praktek KKN antara lain: (1) dominasi partai yang berkuasa dalam
lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif yang akhirnya menghambat pelaksanaan fungsi
lembaga-lembaga tersebut; (2) badan-badan peradilan baik organisasi, keuangan, dan sumber
daya manusianya berada dibawah lembaga eksekutif, sehingga menghambat penegakan
hukum secara adil dan obyektif; (3) monoloyalitas pegawai negeri dan Korps Pegawai
Republik Indonesia (KORPRI) kepada partai yang berkuasa yang pada akhirnya membuat
aparatur pemerintah cenderung mendahulukan kepentingan kelompok dari pada kepentingan
bangsa dan negara baik dalam pengambilan kebijaksanaan maupun dalam pelaksanaannya;
serta (4) terlalu besarnya kewenangan pemerintah pusat dan terlalu kecilnya kewenangan
pemerintah daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri mendorong timbulnya

4
ketidakpuasan dan menghambat partisipasi masyarakat daerah dalam pembangunan di
berbagai daerah.
Kurang berfungsinya lembaga-lembaga tersebut di atas, dianggap sebagai salah satu
faktor penyebab meluas dan semakin parahnya krisis moneter dan ekonomi dalam dua tahun
terakhir ini yang telah berkembang dan mengakibatkan gejolak sosial dan politik yang
ditandai dengan rusaknya tatanan ekonomi dan keuangan, pengangguran yang meluas, serta
kemiskinan yang menjurus pada ketidakberdayaan masyarakat dan kurangnya kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah termasuk aparatur pemerintahan di pusat dan daerah. Hal ini
tidak saja merugikan negara dan masyarakat secara materi tetapi juga secara sosial dan
budaya.
Ketidak konsistenan hukum dan penegakan hukum di Indonesia ini malah Indonesia
akan memproduksi Kasus Korupsi dengan banyak dan tanpa henti, bukan karena para
pejabatnya melakukan tindak pidana korupsi yang sebenarnya tetapi juga ketidak konsisten
hukum apakah itu ranah hukum pidana, apakah itu ranah hukum perdata apakah itu ranah
hukum administrasi Negara.Walaupun Di hadirkan 1000 Penegak hukum dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi jika konsep korupsi tidak jelas, konsep hukum pidana
tidak jelas,konsep hukum perdata tidak jelas dan konsep hukum administrasi Negara tidak
jelas dan masih tercampur baur kedalam hukum pidana yaitu tindak pidana korupsi maka
korupsi di Indonesia tidak akan bisa terhenti. Dan kita sebagai Negara hukum telah
melakukan pelanggaran hukum dan melakukan pelanggaran Ham secara konsititusional
karena telah menghukum orang dengan hukum yang tidak jelas dan menghukum orang
dengan pendekatan hukum yang salah.
Penegak hukum yang baik bukan para penegak hukum yang selalu menjadikan
seorang sebagai tersangka atau terdakwa dalam hal ini tersangka atau terdakwa dalam tindak
pidana korupsi, tetapi pebegak hukum yang baik itu adalah penegak hukum yang berani
mengatakan ini kasus pidana,bukan kasus pidana tetapi ini kasus berhubungan degan hukum
administrasi negara dan ini kasus berhubungan degan kasus perdata. Begitu juga dengan
hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, harus berani membuat putusan suatu putusan
menyatakan kasus ini adalah kasus perdata atau administrasi Negara dan menyatakan tidak
mempunyai kewenangan dalam mengadili kasus tersebut,walaupun kasus tersebut menyita
perhatian orang banyak ,mendapat dorongan dari berbagai banyak pihak. Hakim harus berani
mengatakan itu benar dan itu salah walapun mendapat tekanan publik.

5
III. Pembahasan

Good Governance merupakan tata pemerintahan yang baik atau disebut juga dengan
istilah civil society. Good governance bisa juga didefinisikan sebagai suatu penyelenggaraan
manajemen pembangunan, pemberdayaan, dan pelayanan yang sejalan dengan demokrasi
(pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat).2 Istilah good governance mulai dikenal luas di
Indonesia sejak tahun 1990-an terutama seiring interaksi dengan negara-negara pemberi
pinjaman dan hibah yang selalu menyoroti kondisi objektif perkembangan ekonomi dan
politik Indonesia.
Adapun prinsip dasar dari Good Govarnance itu sendiri adalah3:
1. Akuntabilitas: Meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala
bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat.
2. Pengawasan: Meningkatkan upaya pengawasan terhadap penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan dengan mengusahakan keterlibatan swasta dan
masyarakat luas.
3. Daya Tanggap: Meningkatkan kepekaan para penyelenggaraan pemerintahan terhadap
aspirasi masyarakat tanpa kecuali.
4. Profesionalisme: Meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggaraan
pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya
terjangkau.
5. Efisiensi dan Efektif Menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat
dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal & bertanggung
jawab.
6. Transparansi: Menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan
masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan didalam
memperoleh informasi.
7. Kesetaraan: Memberi peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk
meningkatkan kesejahteraannya.
8. Wawasan ke depan: Membangun daerah berdasarkan visi & strategis yang jelas &
mengikuti-sertakan warga dalam seluruh proses pembangunan, sehingga warga
merasa memiliki dan ikut bertanggungjawab terhadap kemajuan daerahnya.

2
anazmudin.blogspot.com/2012/02/definisi-good-governance.html.
3
knkg-indonesia.com/home/news/93-10-prinsip-good-governance.html.

6
9. Partisipasi: Mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam
menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang menyangkut
kepentingan masyarakat, baik secara langsung mapun tidak langsung.
10. Penegakan Hukum: Mewujudkan penegakan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa
pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat.
Untuk mencapai dari 10 prinsip dasar dari Good governance itu di diperlukan
birokrasi sebagai alat yang menjalankan tujuan dari negara tersebut4. Birokrasi berasal dari
bahasa Perancis yaitu bureau yang berarti kantor atau meja tulis, sedangkan dalam bahasa
Yunani berasal dari kata kratein yang berarti mengatur. Dengan demikian birokrasi menurut
Max Weber adalah sistem administrasi rutin yang dilakukan dengan seragam,
diselenggarakan dengan cara-cara tertentu, didasarkan aturan tertulis, oleh orang-orang yang
berkompeten di bidangnya.5
Adapun yang menjadi ciri-ciri birokrasi ini adalah adanya sebuah pembagian kerja
secara hirarkis dan rinci yang didasarkan pada aturan-aturan tertulis yang diterapkan secara
impersonal, yang dijalankan oleh staf yang bekerja fulltime, seumur hidup dan profesional
yang sama sekali turut memegang kepemilikan atas alat-alat pemerintah atau pekerjaan,
keuangan dan jabatannya, mereka ini hidup dari gaji dan pendapatan yang diterimanya tidak
didasarkan secara langsung atas dasar kinerja mereka6.
Dalam sidang pertama Kabinet Reformasi Pembangunan tanggal 25 Mei 1998,
Presiden meminta semua Menteri dan Kepala Daerah untuk melakukan pemberantasan KKN,
mengingat dampak negatif KKN sudah begitu luas. Hampir pada semua bidang dan tingkatan
kehidupan ditemukan KKN dalam berbagai dimensi dan bentuk. Bidang-bidang bisnis
dimana yang banyak ditemukan KKN adalah pembangunan dan pengelolaan infrastruktur,
pelaksanaan pelayanan masyarakat, pengadaan/ impor barang dan jasa intermediasi,
penjualan atau ruilslag harta/kekayaan negara, privatisasi BUMN/BUMD, pemberian fasilitas
pajak, bea masuk, PPn dan PPN-BM, pemberian fasilitas ijin usaha atau hak pengusahaan,
pemberian fasilitas kredit, serta pemberian monopoli kepada pihak-pihak tertentu.
Selanjutnya, mengingat bahwa pada saat itu definisi dan cara pencegahan KKN belum
jelas, maka untuk mencegah tindakan yang simpang siur dan mengabaikan hukum yang
berlaku, Pemerintah memberikan pedoman tentang cara mengenali dan menghapus KKN dari
4
M.Mas’ud Said, Birokrasi Di Negara Birokratis, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 2007, hlm 1.
5
Handayaningrat, soewarno. Administrasi Pemerintah Dalam Pembangunan Nasional, penerbit Haji Mas
Agung,
6
Drs. Slamet wijadi Atmosudarmo, Administrasi Negara Sebuah Pedoman Kerja, 1962 , hal 9-11

7
perekonomian nasional. Menurut pedoman tersebut, ciri utama suatu tindak KKN adalah
adanya perlakuan istimewa dalam hubungan bisnis yang hanya diberikan dan dinikmati oleh
pihak tertentu saja. Agar lebih efektif, langkah-langkah penghapusan KKN harus dibarengi
dengan upaya untuk meningkatkan pelayanan masyarakat.
Para Menteri, Gubernur Bank Indonesia, para Pimpinan KDH Tingkat I, para
Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND), para Bupati/Walikota Madya
KDH Tingkat II diinstruksikan untuk meningkatkan pelayanan masyarakat di lingkungannya
masing-masing.
Penghapusan KKN yang dilakukan selama ini menggunakan berbagai peraturan
sebagai landasan hukum yaitu Ketetapan MPR-RI No. XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara
Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari KKN, Tanggal 13 Nopember 1998, Ketetapan MPR-RI
No. X /MPR/1998 Tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka
Penyelamatan Dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara tanggal 13
Nopember 1998, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Penghapusan KKN yang dilaksanakan selama ini, khususnya yang menyangkut
Tindak Pidana Korupsi masih diselesaikan berdasarkan pada UU No. 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan belum didasarkan pada UU No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sesuai dengan asas hukum, UU baru tidak
dapat berlaku surut dan tidak dapat diterapkan terhadap tindak pidana yang dilakukan
sebelum Undang-undang baru tersebut diundangkan.
Penghapusan KKN di masa mendatang, sebagai lanjutan pelaksanaan amanat TAP
MPR-RI No. X/MPR/1998 dan No. XI/MPR/1998 akan mempergunakan perangkat
perundangan yang baru, yaitu Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari KKN, Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai pengganti UU No. 3 Tahun
1971, Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan UU Nomor 14 Tahun 1970
Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Di samping itu, KKN akan berkurang pula dengan diundangkannya Undang-undang
No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Undang-undang ini memberi kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk
berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan/atau jasa, dalam iklim
usaha yang sehat, efektif, dan efisien.

8
Lebih lanjut, KKN akan dapat berkurang melalui berbagai upaya penyelenggaraan
kegiatan ekonomi yang transparan dan bertangggung-gugat (accountable). Sebagai misal,
untuk mengembangkan usaha jasa konstruksi yang berkualitas, transparan, dan bertanggung-
gugat telah diundangkan Undang-undang No. 18 tahun 1999 tentang Undang-undang Jasa
Konstruksi. Sebagai tindak lanjut dari UU ini, dibentuk Lembaga Pengembangan Jasa
Konstruksi (LPJK) yang independen dan mandiri.
Penghapusan kasus KKN dilakukan dari atas ke bawah dengan tetap memperhatikan
prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia. Empat langkah strategis dalam
penghapusan KKN adalah penelitian terhadap hubungan bisnis khususnya yang berskala
besar, penghapusan perlakuan istimewa, tindak lanjut hukum atas kasus-kasus oleh
Kepolisian dan Kejaksaan, serta penyempurnaan sarana dan prasarana hukum.
Penanganan kasus-kasus KKN di lingkungan perbankan, sesuai amanat UU No. 10
Tahun 1998, ditangani langsung oleh Bank Indonesia dan Menteri Keuangan. Apabila diduga
ada tindak pidana umum, Gubernur BI melimpahkannya kepada pihak Kepolisian dan tindak
pidana khusus kepada Kejaksaan Penghapusan KKN di Instansi Pemerintah/BUMN/BUMD
dilaksanakan dengan berpedoman pada Edaran Menko Wasbangpan No.
79/MK.WASPAN/6/1998, yaitu dengan mengenali adanya perlakuan istimewa dalam
hubungan bisnis dan kemudian menghapuskan perlakuan istimewa tersebut melalui berbagai
cara yang sesuai untuk kasus KKN yang bersangkutan. Hasil penghapusan kasus-kasus KKN
dilaporkan oleh para Menteri kepada masyarakat luas melalui Siaran Pers Penghapusan KKN
Tahap I pada bulan September 1998, Tahap II pada bulan Desember 1998, dan Tahap III
pada bulan Juli 1999.
Dengan banyaknya ragam kasus KKN, terdapat berbagai cara menghapuskan
perlakuan istimewa, namun kesemuanya mengikuti pola tertentu yang dapat dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu tindakan administratif, tindakan perdata, dan tindakan pidana. Tindakan
administratif yang dilakukan meliputi pengenaan sanksi administratif terhadap perusahaan
yang melanggar ketentuan, penataan ulang pengelolaan aset negara oleh swasta (Kemayoran,
Manggala Wanabakti, Senayan), penertiban penggunaan dana-dana khusus (dana abadi umat,
dana reboisasi), penghapusan monopoli (cengkeh, jeruk, asuransi, dll.), penindakan terhadap
PNS dan pejabat yang terbukti terkait dengan kasus KKN, pemeriksaan khusus terhadap unit
ekonomi penting (Pertamina, PLN, Bulog, dll.).

9
Tindakan Perdata, meliputi pembatalan kontrak atau perjanjian (proyek jalan tol,
listrik, pertambangan, minyak dan gas bumi, kehutanan dan perkebunan, pertanian,
perhubungan, pemukiman, dan lain-lain), negosiasi ulang kontrak (jalan tol, listrik, air
minum, transmigrasi, pertanian, pertambangan, minyak dan gas bumi, perhubungan, dll.) dan
penyelesaian perdata melalui Jaksa Pengacara Negara. Tindakan secara pidana dilakukan
oleh kejaksaan. Selama Kabinet Reformasi Pembangunan terjadi kenaikan jumlah
penanganan kasus oleh Kejaksaan, baik berupa penyelidikan, penyidikan, maupun
penuntutan.
Mengenai penghapusan KKN di Bidang Perbankan dapat disampaikan bahwa
sekurang-kurangnya ada tiga faktor penyebab KKN di perbankan yaitu kurang lengkapnya
ketentuan, intervensi pihak luar bank, dan itikad tidak baik dari pemilik/pengelola bank.
Dengan demikian pencegahan KKN perbankan dilakukan dengan menghilangkan tiga faktor
tersebut. Memperhatikan amanat UU No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia dan UU
No. 10 Tahun 1998, kasus-kasus KKN di bidang perbankan diselesaikan oleh Bank
Indonesia.
Tindak pidana perbankan, antara lain, berupa kredit fiktif dan bank tidak melakukan
pencatatan transaksi. Selama kurun waktu September 1997 sampai dengan Agustus 1999
sebanyak 34 kasus tindak pidana perbankan telah dilimpahkan ke aparat penegak hukum
(Kepolisian dan Kejaksaan). Pencegahan KKN di bidang perbankan di masa depan
dilakukan dengan memperbaiki ketentuan tentang tertib dan disiplin pegawai dan reorganisasi
intern Bank Indonesia, serta perbaikan peraturan bagi pihak eksternal BI, tentang prudential
banking (penunjukan compliance director, fit and proper test, dll.).
Pencegahan KKN di masa depan sangat strategis sifatnya. Upaya tersebut meliputi
penyempurnaan peraturan Perundang-undangan, penyempurnaan kelembagaan penegak
hukum, dan peningkatan peran serta masyarakat. Dua buah undang-undang baru yang
langsung berkenaan dengan pencegahan KKN telah disahkan, yaitu Undang-undang No.
28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari KKN dan
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No.
28 Tahun 1999 telah dilengkapi dengan empat Peraturan Pemerintah dan satu Keputusan
Presiden, yaitu PP. No. 65 Tahun 1999, PP. No. 66 Tahun 1999, PP. No. 67 Tahun 1999, PP.
No. 68 Tahun 1999, dan Keppres No. 81 Tahun 1999.
Untuk mencegah munculnya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
dikemudian hari telah diundangkan UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik
Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Di samping itu, Pemerintah merumuskan RUU
10
Tentang Pencucian Uang (Money Laundering) dan RUU Tentang Pengawasan dan
Pemeriksaan Keuangan Negara. TAP MPR-RI No. X/MPR/1998 mengamanatkan pemisahan
fungsi yudikatif dari fungsi eksekutif. Menindak lanjuti amanat TAP MPR-RI tersebut,
pemerintah telah melakukan kajian tentang pemisahan fungsi tersebut. Pemisahan fungsi
yudikatif dari fungsi eksekutif akan lebih memberikan kemandirian kepada hakim, lepas dari
pengaruh pemerintah, sehingga para hakim yang menangani kasus-kasus, termasuk kasus
korupsi, diharapkan lebih mandiri dalam mewujudkan rasa keadilan.
Sebagai awal pelaksanaan pemisahan fungsi tersebut, telah diundangkan UU No. 35
tahun 1999 tentang Perubahan UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, yang intinya menetapkan bahwa kekuasaan kehakiman berada di
bawah wewenang Mahkamah Agung. Selanjutnya, secara bertahap dalam jangka waktu
paling lama 5 tahun, akan diadakan penyesuaian peraturan perundang-undangan dan penataan
organisasi, administrasi, dan keuangan, yang berkaitan dengan pelaksanaan kekuasaan
kehakiman yang merdeka.
Disamping itu dalam upaya penyempurnaan kelembagaan penegak hukum,
Pemerintah telah:
1. Memisahkan Polri dari TNI dan menyiapkan perubahan UU NO. 28 Tahun 1997 dan
UU No. 20 Tahun 1992 Tentang Pertahanan dan Keamanan Negara;
2. Mengkaji kedudukan Kejaksaan Agung dan revisi UU No. 5 Tahun 1991, agar
Kejaksaan menjadi lebih mandiri dalam upaya penegakan hukum.
Dalam rangka mendukung upaya pemberantasan KKN, Pemerintah RI telah
menyelesaikan perjanjian ekstradisi bilateral dengan negara-negara tertentu, antara lain,
dengan Malaysia, Thailand, Philipina, dan Australia, agar Pemerintah RI dapat meminta
penyerahan warga negara Indonesia yang diindikasikan terlibat dalam tindak pidana korupsi
dan melarikan diri ke negeri yang bersangkutan. Di samping itu, telah diadakan mutual
assistance in criminal matters yaitu bantuan timbal balik dalam penanganan kasus-kasus
kriminal dengan Pemerintah Australia. Kerjasama Polri dengan Interpol telah meningkat,
khususnya dalam pertukaran informasi dan penanganan pelaku kasus-kasus kriminal yang
bersifat lintas negara.
Kebebasan pers merupakan unsur penting peran serta masyarakat dalam
pemberantasan KKN. Pemerintah sudah mengambil langkah nyata mengenai kebebasan pers
untuk mendorong keterbukaan informasi, sehingga juga akan membantu upaya penghapusan
KKN. Pers tidak lagi dibatasi dalam membuat pemberitaan, namun Pers harus bertanggung
jawab dan menghargai hak asasi manusia serta mematuhi peraturan perundangan yang
11
berlaku. Berkaitan dengan upaya penghapusan KKN, telah diundangkan UU Tentang Pers
No. 40 Tahun 1999 dan satu RUU Tentang Penyiaran dengan substansi yang lebih
demokratis yang telah disetujui DPR. Pengesahan RUU Tentang Penyiaran tersebut oleh
Presiden (masih dalam proses) dan diundangkannya UU tentang Pers akan sangat
meningkatkan kontrol masyarakat, sehingga diharapkan akan mengurangi KKN di masa
depan. Pemerintah membuka kesempatan kepada masyarakat untuk berperan aktif
mewujudkan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN, antara lain dalam
bentuk sebagai berikut:
1. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi mengenai penyelenggara
negara;
2. Hak untuk memperoleh pelayanan yang lama dan adil dari penyelenggara negara;
3. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap kebijakan
penyelenggara negara;
4. Hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal melaksanakan haknya sebagaimana
yang dimaksud dalam huruf a, b, dan c di alas; dan diminta hadir dalam proses
penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau
saksi ahli, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pelayanan masyarakat yang buruk merupakan salah satu faktor terjadinya KKN.
Dalam mendapatkan pelayanan jasa, masyarakat memilih menggunakan jalur tidak
resmi karena pelayanan melalui jalur resmi dirasakan sangat sulit. Oleh sebab itu, upaya
menghapuskan KKN di masa depan harus dibarengi dengan upaya peningkatan pelayanan
masyarakat. Upaya ke arah ini sudah dirintis dan terus dilakukan, meskipun hasilnya masih
belum memuaskan. Pemerintah telah meminta seluruh jajarannya untuk melakukan perbaikan
pelayanan masyarakat.
Sejalan dengan peningkatan pelayanan masyarakat, dengan memanfaatkan teknologi
informasi yang berkembang pesat, Pemerintah telah merintis tersedianya prasarana
telematika yang menjangkau seluruh wilayah tanah air, sehingga masyarakat luas dapat
memperoleh informasi yang tersedia di berbagai instansi pemerintah melalui internet. Hal ini
memungkinkan semakin transparannya penyelenggaraan administrasi negara.
Berdasarkan pengalaman melaksanakan penghapusan KKN selama ini, beberapa
langkah strategis perlu dilakukan, baik dari segi administratif, perdata, pidana, maupun
peraturan perundangan :

12
a. Pengawasan keuangan negara, baik dari sisi penerimaan maupun sisi penggunaan
secara efektif, efisien (tidak tumpang tindih), serta menyeluruh, merupakan salah satu
kunci pencegahan KKN. Pemerintah sedang melakukan kajian atas Pengawasan dan
Pemeriksaan Keuangan Negara. Tugas ini perlu dituntaskan, untuk memberdayakan
seluruh aparat pengawasan fungsional yang dimiliki negara. Pengkajian mengenai hal
ini mencakup peninjauan kembali undang-undang perbendaharaan negara, BPK, dll.
b. Banyak pelaku KKN di masa lalu yang melaksanakan kegiatannya secara sah,
berdasarkan kontrak bisnis bahkan berdasarkan peraturan perundangan yang sah pula.
Oleh sebab itu, secara hukum para pelaku KKN tidak dapat begitu saja dikenai
sanksi hukum. Meskipun perlakuan istimewa sudah dihapuskan, tetapi masih perlu
dilakukan pemeriksaan secara intensif atas ketaatan mereka dalam memenuhi
kewajibannya membayar pajak. Pemeriksaan tersebut perlu dilakukan untuk
mencegah negara dirugikan kedua kalinya oleh pelaku KKN.
c. Program peningkatan kesejahteraan PNS, Polri, dan TNI, mutlak perlu diteruskan.
Upaya menggali dua sumber dana baru yang telah disebutkan di muka yaitu
intensifikasi pajak dan swastanisasi BUMN harus dilanjutkan secara konsisten.
Dengan intensifikasi penerimaan pajak dan swastanisasi BUMN, kesejahteraan PNS,
Polri, dan TNI dapat ditingkatkan, sehingga diharapkan mengurangi niat melakukan
KKN dan sekaligus dapat mengurangi ketergantungan pada pinjaman luar negeri. Di
samping peningkatan kesejahteraan, perlu pula diefektifkan pengawasan atas kinerja
dan disiplin PNS, Polri, dan TNI.
d. Melanjutkan penyempurnaan kelembagaan penegak hukum untuk menjamin
kemandirian aparat penegak hukum dalam melaksanakan fungsinya secara konsisten.
Agenda yang harus diselesaikan antara lain adalah penyempurnaan kelembagaan
Kejaksaan.
e. Melanjutkan penelitian atas kasus-kasus KKN yang sudah ditangani oleh instansi
yang bersangkutan untuk melihat adanya indikasi tindak pidana khusus. Bila memang
ditemukan ada dugaan tindak pidana khusus, dilimpahkan kepada pihak Kejaksaan.
Korupsi sangat menghambat negara ini dalam merealisasikan potensi ekonomi dan
menyebabkan ketidakadilan yang signifikan di dalam masyarakat Indonesia karena sebagian
kecil orang mendapatkan manfaat yang amat besar dari lembaga dan keadaan korup di negeri
ini. Tetapi pujian/penghargaan harus diberikan kepada media (bebas) Indonesia dan KPK
karena keduanya memainkan peran penting dalam soal pemberantasan korupsi.

13
IV. Kesimpulan

Terciptanya good governance di Indonesia harus di dukung dengan perbaikan hukum


di Indonesia, perbaikan pemahaman para penegakan hukum di Indonesia tentang konsep
tindak pidana korupsi, konsep hukum administrasi dan konsep hukum perdata dalam
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi jika mengetahui peningkatan atau
penurunan kasus korupsi sebenarnya sebagai Negara menuju good governance. Jika tidak di
dukung dengan perbaikan hukum di Indonesia, perbaikan pemahaman para penegakan hukum
di Indonesia tentang konsep tindak pidana korupsi, konsep hukum administrasi dan konsep
hukum perdata dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, maka Good
Governance adalah sebuah mimpi bagi Negara Indonesia.

14

Anda mungkin juga menyukai