Anda di halaman 1dari 13

1.

Sejarah Pengungsi Afganistan

Bangsa Afganistan dijuluki sebagai salah satu bangsa di dunia yang paling menderita

akibat perang atau peperangan. Penderitaan terjadi karena banyak orang tidak tahu apa-apa,

tapi nyawa hilang ditelan perang. Penderitaan berkepanjangan, sebab setelah peperangan

dengan bangsa lain berakhir, muncul perang baru yaitu perang saudara. Selain penderitaan,

perang Afganistan tercatat sebagai satu-satunya perang di dunia yang meliputi begitu banyak

tentara asing. 1

Perang saudara, tercatat 36 negara yang mengirimkan tentaranya untuk mencegah

berlanjutnya perang saudara. Sedangkan tentara asing yang tewas sudah hampir mencapai

10.000 orang. Total waktu yang digunakan bangsa Afganistan untuk berperang sudah lebih

dari seratus tahun atau satu abad. Tapi karena ada jedanya, maka total waktu perang,

dibulatkan menjadi hanya sekitar seratus tahun.

Dengan rincian, sekitar 70 tahun selama abad pertengahan (tahun 1800-an hingga 1900-

an) dan sisanya selama 30 tahun diabad modern yang dimulai 1919. Perang di abad moden

sangat berbeda, ada kekuatan internal Afganistan yang sengaja mengundang kekuatan asing

untuk masuk. Kekuatan internal itu biasanya politisi, mereka yang haus kekuasaan tetapi

berpura-pura menjual gagasan, dalam rangka membela kedaulatan bangsa, membela keadilan

dan kebenaran.2

Invansi Uni Soviet ke Afganistan pada tahun 1979 merupakan bagian dari perang Soviet-

Afganistan yang merupakan usaha Soviet yang berusaha mempertahankan pemerintahan

Marxis-Lenin di Afganistan, dan mendukung Partai Demokrasi Rakyat Afganistan,

menghadapi mujahidin Afganistan yang ingin menggulingkan pemerintahan. Uni Soviet

1
Saiful Bahri, Perang di Afghanistan Telah Berlangsung selama 100 Tahun, 2016, Dikutip 02 Desember 2020
dari Dakwatuna: https://www.dakwatuna.com/2014/02/16/46363/perang-di afghanistan-telah-berlangsung-
selama-100-tahun/#axzz6hBXlkYCt.

2
Susanne Schmeidl. Security Dilemmas: Long-Term Implications of the Afghan Refugee Crisis, Third World
Quarterly, Volume 23, No.1, hal. 7-29, 2002, www.jstor.org/stable/3993574.
mendukung pemerintahan Afganistan, sementara para mujahidin mendapat dukungan dari

banyak negara antara lain Amerika Serikat dan Pakistan. Pasukan Soviet pertama kali sampai

di Afganistan pada tanggal 25 Desember 1979 dan penarikan pasukan terakhir terjadi pada

tanggal 2 Februari 1989. Uni Soviet lalu mengumumkan bahwa semua pasukan mereka

sudah ditarik dari Afganistan pada tanggal 15 Februari 1989.3

Invansi Soviet di Afganistan yang dimulai pada akhir Desember 1979 merupakan

langkah Soviet ikut campur dalam perpolitikan Afganistan untuk menumpas pemberontak

dan berakhir dengan usaha menguasai Afganistan. Pada bulan April 1978 pemerintahan

Mohammad Daud Khan dikudeta oleh militan sayap kiri pimpinan Nur Muhammad Taraki.

Uni Soviet memiliki ide lain, pada tanggal 24 Desember 1979 dikirim sebanyak 30.000

tentara untuk menduduki Afganistan dan menjadikannya negara bawahannya. Amerika tidak

tinggal diam, pihak Amerika ikut andil dalam menangkis usaha soviet dengan

mempersenjatai besar-besaran pasukan Mujahidin Afganistan yang sangat antikomunis.4

Perang di Afganistan semakin mengerikan antara pasukan Mujahidin dengan tentara

Soviet. Penambahan 100.000 tentara dilakukan oleh Soviet sebagai upaya pendudukan

Afganistan. Taktik gerilya mereka gunakan untuk menumpas pasukan Mujahidin. Akhirnya

para Mujahid berhasil menggempur balik Soviet menggunakan senjata-senjata canggih dan

misil anti pesawat tempur pemberian Amerika yang dikirim via Pakistan. Tercatat lebih dari 4

juta warga mengungsi menuju negara tetangga yakni Pakistan untuk menghindari perang. 5

Desember 1979 saat Uni Soviet masih menjadi salah satu kekuatan komunis di dunia,

menginvasi Afganistan. Kini ketiga provinsi sudah menjadi negara merdeka, bersamaan

dengan bubarnya Uni Soviet. Tapi invansi Soviet mendapat perlawanan rakyat yang tidak
3
Nuria Reny Hariyati dan Hespi Septiana, Radikalisme dalam Perspektif Analisis Wacana Kritis, Gresik,
Graniti, 2019, hal. 40.

4
Sulistyo Adi, Mengenal Afghanistan, dalam al-Jami’ah, Yogyakarta, IAIN Sunan Kalijaga, No. 36, 1988,
hal. 56.
5
Iwan Hadibroto et al., Perang Afghanistan: di Balik Perseteruan AS vs. Taliban, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2002, hal. 87.
punya kekuatan persenjataan, khususnya dari kelompok Mujahidin. Invansi ini juga

memancing ketidaksukaan Amerika Serikat yang ketika itu sedang bermusuhan dengan Uni

Soviet dalam perang dingin.6

Amerika Serikat yang sudah menelan kekalahan di Vietnam Selatan tahun 1975 segera

mendekati Mujahidin dengan bantuan dana persenjataan. Amerika Serikat yang dipimpin

Jimmy Carter khawatir, kalau Afganistan menjadi ‘’Vietnam kedua’’ yaitu seluruh wilayah

Vietnam menjadi komunis. Tapi saat yang sama, kekuatan Islam lainnya, ikut memerangi

Soviet, diantaranya Taliban. Setelah sepuluh tahun (1989), Mujahidin berhasil mengusir

Soviet dari Afganistan. Hanya saja keberhasilan ini, tidak membuat persatuan antara sesama

bangsa Afganistan. Yang terjadi justru perang saudara, karena Mujahidin dan Taliban sama-

sama ingin menjadi penguasa. 7

Pada tahun 1996, Taliban yang didukung Pakistan, tetangga Afganistan, akhirnya

berhasil mengalahkan pemerintahan Mujahidin yang berpusat di Kabul. Namun baru dua

tahun kemudian taliban benar-benar menjadi penguasa di seluruh wilayah Afganistan.

Komunistas dunia, khususnya negara-negara Barat berubah menjadi musuh pemerintahan

Taliban. Sebab Islam Taliban tidak bersepaham dengan dunia barat. Kekuasaan Taliban

hanya berlangsung selama lima tahun (1996-2001). Taliban dijatuhkan oleh Amerika Serikat

bersamaan dengan perburuannya terhadap Osama bin Laden yang dituduh Washington

sebagai otak penyerangan menara WTC 11 September 2001. Sejak itu yang berkuasa di

Afganistan, pemerintahan boneka dibawah kontrol Amerika Serikat. Sebaliknya di luar

Kobul, Ibukota Afganistan, bermunculan kelompok Islam yang melawan kehadiran Amerika

Serikat dan sekutu Baratnya. Semua kelompok perlawanan itu menggunakan bendera

Taliban. Sampai detik ini tidak ada yang bisa memprediksi apalagi memastikan, kapan perang

Afganistan berakhir.

6
Iwan Hadibroto et al., Loc Cit., hal. 88.
7
Iwan Hadibroto et al., Loc Cit. hal. 89.
2. Keberadaan Pengungsi Afganistan di Indonesia.

Konflik yang terjadi di Afganistan menyebabkan munculnya ketidaknyamanan atau

Persecution, serta terhentinya masyarakat setempat. Hal tersebut membuat banyak warga sipil

mengambil keputusan untuk mencari perlindungan ke Negara atau benua lain. Negara yang

dituju adalah Australia, Eropa, Amerika Serikat. Namun Australia membatasi jumlah

pengungsi yang masuk ke Negaranya. Pemerintah Australia membatasi jumlah pengungsi.

pengungsi yang boleh masuk pertahun sebanyak 18.750 orang, Tapi pembatasan tersebut

fleksibel jika dibutuhkan, sesuai keadaan internasional. 8 Penyebaran pengungsi tidak merata

ke seluruh dunia, menurut data UNHCR, akibat perang dan konflik bersenjata di Suriah,

Afganistan, Burundi dan Sudan Selatan jumlah pengungsi tahun 2020 mencapai 79,5 juta

orang.9

Organisasi Hak Asasi Manusia Amnesty International mengatakan tidak meratanya

distribusi pengungsi menyebabkan semakin buruknya krisis, mengingat sebagian besar

negara penampung adalah negara miskin, yang tidak mampu memberikan bantuan

selayaknya bagi pengungsi. Situasi menyengsarakan akhirnya mendorong pengungsi untuk

melakukan perjalanan ke Eropa dan Australia. Masalahnya bukanlah jumlah global

pengungsi, melainkan ketimpangan, bahwa negara paling kaya menerima dan menampung

pengungsi paling sedikit dan memberikan bantuan paling sedikit juga. Sekretaris Jenderal

Amnesty International Salil Shetty mengatakan ‘’anak-anak tidak mendapatkan pendidikan,

dan orang-orang tidak mendapatkan makanan cukup’’. Per Juli 2020, terdapat 13.653

pengungsi dan pencari suaka yang terdaftar oleh UNHCR di Indonesia, dimana 3375 orang

merupakan pencari suaka dan 10.278 orang merupakan pengungsi. Dari jumlah tersebut,

terdapat 73% laki-laki dan 27% perempuan. Di antara pengungsi dan pencari suaka yang
8
Reuters, CNN Indonesia, Australia Akan Terima Lebih Banyak Pengungsi Irak dan Suriah, 2015 diakses 02
Desember 2020, https://www.cnnindonesia.com/internasional/20150907065532-113-76995/australia-akan-
terima-lebih-banyak-pengungsi-irak-dan-suriah.
9
Hidayat Kusumadinata, Swarakyat.id, UNHCR Catat Pengungsi Asing di Indonesia Capai 13.653 Orang,
diakses pada 02 Desember 2020, https://swarakyat.id/unhcr-catat-pengungsi-asing-di-indonesia-capai-13653-
orang.
terdaftar, terdapat 28% anak-anak, Afganistan, Myanmar, Sri Lanka, Pakistan, Iran, dan Irak

merupakan negara-negara asal utama para pengungsi dan pencari suaka yang terdapat di

Indonesia.10

Para korban ini kebanyakan tidak berhasil mencapai negara tujuannya dan terdampar di

pulau-pulau Indonesia dengan kondisi memprihatinkan sehingga kebanyakan dari mereka

telah kehilangan nyawa sebelum mencapai tujuan. Pemerintah Indonesia melalui Kementrian

Hukum dan Hak Asasi Manusia memfasilitasi para korban ini dengan pihak imigrasi yang

kemudian menampung mereka di kantor-kantor imigrasi di tempat mereka terdampar.

Imigrasi tidak dapat langsung mengambil tindakan untuk melakukan prosedur secara

internasional karena Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol

1967.

Meskipun bukan menjadi bagian dari Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967

tentang Pengungsi, Indonesia tetap harus mematuhi standar perlindungan pengungsi yang

ditetapkan dalam konvensi tentang pengungsi telah menjadi bagian dari hukum internasional

umum, karena konvensi tersebut telah menjadi Jus Cogens.

Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar

Negeri (Perpres 125/2016). Perpres ini menyatakan bahwa Pemerintah memberikan izin

tinggal bagi pengungsi dan pencari suaka di Rumah Detensi Imigrasi (RUDENIM) hingga

prosedur Refugee Status Determination (RSD) selesai. Rumah Detensi Imigrasi adalah unit

pelaksana teknis yang menjalankan fungsi keimigrasian sebagai tempat penampungan

sementara bagi orang asing yang melanggar Undang-Undang Imigrasi yang telah direvisi.

Bab III Undang-Undang ini menyatakan mengenai di mana Rumah Detensi Imigrasi

(Rudenim) bisa dibangun, kondisi yang menyebabkan seseorang ditempatkan dalam rumah

detensi dalam jangka waktu penahanan yang tidak ditentukan, kondisi ini memberikan efek

10
UNHCR, Indonesia Data Report, 2020, diakses dari https://www.unhcr.org/id/figures-at-a-glance.
penumpukkan pengungsi dan pencari suaka di Indonesia.11

Konvensi Tahun 1951 dan Protokol Tahun 1967 tentang Pengungsi dijelaskan bahwa

setiap pengungsi wajib dilindungi dan dipenuhi hak-hak dasarnya, hak seperti terhindar dari

diskriminasi oleh pemerintah setempat, hak untuk bebas beragama, hak untuk mendapatkan

tempat tinggal, hak untuk dilindungi oleh hukum setempat, hak untuk karya seni

perindustrian, hak berserikat, hak untuk mendapatkan akses ke pengadilan, hak untuk

bekerja, hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk mendapatkan surat identitas dan

dokumen perjalanan, hak untuk memiliki aset yang bergerak maupun berupa properti.12

Aturan di Indonesia untuk para pengungsi dan pencari suaka hanya diberikan hak untuk

tinggal dan menunggu proses penanganan diselesaikan oleh UNHCR, dan akses terhadap

hak-hak mereka yang sesuai dengan Konvensi Tahun 1951 dan Protokol Tahun 1967 tentang

pengungsi menjadi terhambat. Penanganan pengungsi yang diserahkan kepada UNHCR

berpotensi menimbulkan friksi antara aturan dalam Konvensi Tahun 1951 dengan Protokol

Tahun 1967 dengan aturan yang berlaku di Indonesia karena dalam pelaksanaannya UNHCR

akan memberikan penanganan yang sesuai dengan standar Konvensi Tahun 1951 dan

Protokol Tahun 1967 yang tidak berlaku dalam aturan penanganan pengungsi di Indonesia.13

3. Upaya-Upaya yang Telah Dilakukan UNHCR Dalam Merelokasi Pengungsi Afganistan

di Indonesia Ke Australia Berdasarkan Prinsip Non Refoulement.

Berdasarkan hasil penelitian, maka data dan informasi yang penulis dari hasil wawancara

dengan salah satu staff UNHCR, di Jakarta, penulis peroleh mengenai peranan UNHCR

(United Nations High Commision For Refugees) dalam merelokasi pengungsi Afganistan di

Indonesia ke Australia berdasarkan prinsip non refoulement akan penulis jabarkan

berdasarkan jumlah dan kedatangan pengungsi di Indonesia dan proses merelokasi dari

11
Novianti, Implementasi Perpres No. 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri,
November 2019, NEGARA HUKUM, Vol. 10, No. 2,hal 4.
12
Fadli Afriandi dan Yusnarida Eka Nizmi, Op Cit. hal. 2.
13
Ibid
Indonesia ke Australia. Jumlah kedatangan pengungsi di Indonesia dari tahun 2016-2020

mengalami peningkatan. Dan menurut Any Maymann sebagai Kepala Perwakilan UNHCR di

Indonesia per juli 2020 ada sekitar 13.653 pengungsi di Indonesia. Hal yang menjadi

penyebab adanya kenaikan jumlah pengungsi tersebut adalah kondisi negara asal pengungsi

yang masih mengalami konflik. 14

Menurut hemat penulis dengan jumlah kedatangan pengungsi yang terus mengalami

peningkatan, sudah sepantasnya upaya yang diberikan guna melindungi para pengungsi harus

sesuai dengan jumlah dan kebutuhan dari para pengungsi tersebut. Upaya dan perlindungan

yang dibutuhkan oleh para pengungsi diharapkan dapat diberikan oleh negara maupun oleh

lembaga internasional seperti UNHCR. Upaya dan perlindungan bisa dilakukan dengan

merelokasi para pengungsi di negara ketiga (Resettlement). Penempatan di negara ketiga

adalah bagian terakhir penanganan pengungsi yang dilakukan oleh UNHCR. Upaya dan

perlindungan yang diberikan pun harus sesuai dengan prosedur dan aturan yang sudah

diberlakukan baik dari pihak negara yang ingin merelokasi pengungsi maupun negara ketiga.

Dalam periode akhir tahun 2019, sebanyak 663 pengungsi di Indonesia telah menjalani

ressttlement atau pemukiman kembali ke negara ketiga.15

Pemberian status pengungsi juga didasarkan pada kemanusiaan terhadap para pencari

suaka yang telah mengalami persekusi. Hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah bahwa

selama dalam penentuan apakah pencari suaka dapat diberikan status pengungsi sesuai

dengan definisi yang ada, maka negara dimana pencari suaka itu datang berkewajiban untuk

menerima pencari suaka tersebut di negaranya dan tidak diperbolehkan untuk mengusir

mereka kembali ke negara asalnya, hal tersebut adalah sesuai dengan prinsip yang ada dalam

Hukum pengungsi internasional yakni prinsip non-expulsion dan non-refoulement.

14
Supra catatan kaki nomor 83.
15
Suwanti, Antara News, 663 Pengungsi Transit di Indonesia Jalani “Ressettlement” selama 2019, diakses
pada 02 Desember 2020, https://www.antaranews.com/berita/1269265/663-pengungsi-transit-di-indonesia-
jalani-resettlement-selama-2019.
Non-refoulement: Tidak ada negara pihak yang akan mengusir atau mengembalikan

(refouler) pengungsi dengan cara apa pun ke perbatasan wilayah- wilayah di mana hidup atau

kebebasannya akan terancam karena ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok

sosial tertentu atau opini politiknya.16

Dalam pembahasan ini, penulis akan menjabarkan mengenai prosedur untuk merelokasi

pengungsi Afganistan di Indonesia ke Australia. Pengungsi pertama tama datang ke Indonesia

belum memiliki status sebagai pengungsi, namun statusnya adalah sebagai pencari suaka.

Yang harus dilakukan oleh para calon pengungsi agar mendapatkan status sebagai pengungsi

adalah para calon pengungsi harus datang terlebih dahulu ke kantor UNHCR untuk

diregistrasi. Setelah pencari suaka diregistrasi, mereka akan mendapatkan sebuah sertifikat

yang menyatakan bahwa mereka adalah Asylum seekers. Kemudian mereka akan diberikan

jadwal untuk kembali ke kantor UNHCR untuk dilakukan wawancara (interview). Interview

artinya proses penentuan status pengungsinya dimulai. Jadwal untuk dilakukannya interview

bisa menunggu sampai waktu berbulan bulan karena jumlah pengungsi dan pencari suaka di

Indonesia pada tahun 2020 sebanyak 13.653 orang. Setelah calon para pengungsi datang

interview, mereka akan diinterview oleh staff UNHCR yang melakukan penentuan status

pengungsi, dibantu dengan penerjemah dengan bahasa calon para pengungsi berasal karena

penentuan status pengungsi harus mendalam dan mendetail yang disebut sebagai Penentuan

Status Pengungsi atau Refugee Status Determination (RSD). Setelah selesai interview, calon

para pengungsi akan menunggu hasil interviewnya dianalisa oleh UNHCR.

Informasi yang detail dan mendalam maksudnya adalah para calon pengungsi harus

memenuhi lima persyaratan sebagai pengungsi yakni ras, agama, kebangsaan, pendapat

politik dan kelompok sosial. Jika dari hasil interview tidak ada tanda tanda dari kelima hal

tersebut maka hasil interviewnya memutuskan bahwa calon para pengungsi tidak
16
Pasal 33 ayat (1) Konvensi 1951 mengenai Status Pengungsi.
mendapatkan status pengungsi atau di reject. Calon para pengungsi yang di reject mempunyai

kesempatan lagi untuk dilakukannya banding untuk diulang sekali lagi interviewnya. Jika

sudah dua kali interview dan hasilnya adalah ditolak permintaan sebagai pengungsi, mereka

dikatakan bukan sebagai pengungsi dan masalahnya akan ditutup (case closed) dan mereka

akan dikembalikan kepada negara, dalam hal ini imigrasi untuk kemudian akan

ditindaklanjuti. Biasanya kalau yang mendapatkan 2 kali penolakan itu terbukti adalah

migran ekonomi dan bukan alasan karena penganiayaan di negara mereka berasal. Mereka

pergi dari negaranya karena untuk mencari kesempatan ekonomi yang lebih baik dan bisa

dipulangkan karena keadaan negaranya aman. Bagi mereka yang mendapatkan status

pengungsi, UNHCR akan mencarikan satu dari tiga solusi jangka panjaang. Solusi yang dapat

diberikan adalah penempatan di negara ketiga. Namun penempatan di negara ketiga ini

sangat kecil karena menurut UNHCR jumlah pengungsi di dunia sebanyak 79,5 Juta

pengungsi, dan untuk resettlement space hanya ada 1%. UNHCR hanya menyampaikan

sebatas masalah (case) pengungsi kepada calon negara penerima atau negara ketiga dan

hanya 27 Negara di dunia yang mau menampung pengungsi dari negara lain yang me-

resettlement. Negara yang me-resettlement dari Indonesia hanya sebagian kecil yakni

Australia,Amerika Serikat, New Zealand, dan Kanada yang di Eropa yaitu di Jerman,

Norwegia, Swedia.Australia saat ini membatasi jumlah pengungsi yang mereka terima

menjadi 13750 orang pertahun nya .17 Jika case itu diterima oleh negara penerima, UNHCR

akan melakukan analisa dan melakukan penelitian (Research) untuk mengetahui apakah

negara ketiga menerima atau tidak. Seandainya pengungsi ditolak di negara ketiga, UNHCR

akan mengajukan ke negara lain, sampai ada negara yang mau menerima pengungi di

negaranya. biasanya proses pemindahannya diambil alih oleh IOM (International

Organization for Migration). Pasal 1 dari konstitusi IOM memberikan mandat bagi IOM
17
Eri Hendly, Abc News, Aktivis Pertanyakan Keputusan Australia Mengurangi Penerimaan Pengungsi, 2020,
diakses pada 02 Desember 2020, https://www.abc.net.au/indonesian/2020-10-07/australia-mengurangi-
jumlah-pengungsi-di-tengah-pandemi-covid-19/12739420.
untuk memusatkan perhatiannya para pemindahan pengungsi lokal dan internasional dan

individu-individu lain yang membutuhkan layanan perpindahan internasional, dimana

pengaturannya dapat dapat diatur antara IOM dan Negara-negara yang bersangkutan,

termasuk negara yang menerima mereka.

UNHCR memainkan peran penting dalam proses penempatan kembali pengungsi,

terutama ke Australia, Selandia Baru dan Jerman. Dalam hal ini UNHCR bekerja sama

dengan IOM . Bantuan resettlement IOM meliputi juga pemeriksaan kesehatan dan bantuan

pemindahan seperti biaya keberangkatan relokasi dari IOM.

Selain Resettlement, ada opsi lain yang bisa ditawarkan oleh UNHCR yakni integrasi

lokal. Namun integrasi lokal di Indonesia tidak ada kerangka hukum yang mengatur secara

jelas mengenai hal ini dan pemerintah Indonesia tidak mengizinkan adanya integrasi lokal.

Pilihan lainnya adalah Repatriation Voluntary (pemulangan sukarela). Pemulangan sukarela

syaratnya harus negara yang bersangkutan sudah aman dan ancamannya sudah tidak ada. Jika

ancamannya masih ada, UNHCR tidak akan membiarkan pengungsi kembali ke negaranya,

artinya opsinya sangat terbatas. Jika terjadi pemulangan kembali ke negara pengungsi.

Penanganan pengungsian dapat dilakukan UNHCR melalui: repatriasi sukarela,

permukiman lokal, dan pemukiman kembali di negara ketiga. Penangan melalui repratiasi

sukarela sangat bergantung pada faktor kondisi di negara asal yang kondusif.18

UNHCR juga mengupayakan bantuan-bantuan bagi proyek pemukiman lokal, baik

wilayah pedesaan maupun kota kepada pengungsi. Bagi pengungsi yang tidak dapat kembali

ke negara asal atau tidak merasa aman di negara yang menampungnya, satu-satunya solusi

adalah dimukimkan di negara ketiga. Pada tahun 1996 sekitar 35.000 pengungsi dari sekitar

40 negara penampung dimukimkan kembali oleh UNHCR ke berbagai negara di dunia.19

18
Joko Setiyono, Kontribusi UNHCR dalam Penanganan Pengungsi Internasional di Indonesia, Masalah -
Masalah Hukum, Jilid 46 No. 3, Juli 2017, hal. 275-281.
19
Ibid.
UNHCR mengidentifikasi berbagai faktor penyebab terjadinya pengungsian

internasional. Faktor politik biasanya terkait dengan penyalahgunaan kekuasaan penguasa

dan aparat keamanan penyebab terjadinya berbagai pelanggaran HAM, yang pada akhirnya

menimbulkan pengungsian massal ke negara lainnya yang dapat memberikan jamainan

keamanan, kesejahteraan, dan penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan.

Faktor ekonomi pendorong terjadinya pengungsian internasional,

Utamanya yang terkait dengan miskinnya suatu negara, krisis ekonomi berkepanjangan,

kelaparan, wabah penyakit meluas, kriminalitas meningkat tajam, dan berbagai dampak

negatif lainnya, membuat rakyat lebih memilih untuk meninggalkan negara asalnya dan

mencari penghidupan tempat di negara lain sebagai tempat mengungsi. Faktor agama juga

merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan terjadinya pengungsian internasional,

sebagaimana terjadi pada pengungsi Palestina, Afghanistan, Etnis Rohingya, dan pengungsi

eks Timor Timur. Selain itu, perang juga merupakan faktor terbesar penyebab pengungsian

internasional. Mereka yang meninggalkan negaranya biasanya untuk menghindari dampak

perang yang berkepanjanjangan ke negara lain yang aman, seperti halnya peperangan yang

terjadi di kawasan Timur Tengah, Afganistan, dan kawasan dunia lainnya.

Indonesia mulai menghadapi persoalan pengungsi yang serius pada tahun 1975, dimana

ribuan orang meninggalkan wilayah semenanjung Indocina untuk mencari perlindungan di

negara lain, sebagai akibat dari pergantian rezim di wilayah tersebut. Kebanyakan dari

mereka, terutama dari Vietnam, menggunakan jalan laut sampai di wilayah Indonesia. Terkait

hal tersebut, setelah berkoordinasi dengan UNHCR, pemerintah Indonesia menjadikan Pulau

Galang sebagai tempat penampungan para pengungsi. Peran UNHCR atas pengungsi

tersebut, dilakukan untuk mencari solusi efektif melalui fungsi inisiator, fasilitator, dan

determinan.

Peran dan tanggung jawab UNHCR terkait dengan pemulangan sukarela telah
dikembangkan selama beberapa dekade melalui teks, instrumen, dan praktik. Dalam proses

ini, mandat UNHCR telah disempurnakan dan diperpanjang, dari pertimbangan awal bahwa

tanggung jawab UNHCR berakhir ketika para repatrian melintasi perbatasan kembali ke

negara asalnya, hingga keterlibatan substantif terkait dengan mengamankan perlindungan dan

memberikan bantuan kepada para pengungsi yang kembali di negara tersebut. asli.20

Beberapa instrumen yang menjadi asal mandat UNHCR untuk pemulangan sukarela,

seperti Konvensi 1951 yang Berkaitan dengan Status Pengungsi, memiliki kekuatan hukum

dan mengikat negara-negara yang menandatangani dan meratifikasi mereka. Lainnya, seperti

Resolusi Majelis Umum yang relevan dan Kesimpulan Komite Eksekutif, termasuk dalam

kategori "hukum lunak". Meskipun tidak mengikat secara hukum, mereka tetap menandakan

konsensus internasional.21

4. Hambatan UNHCR Merelokasi Pengungsi Afganistan di Indonesia ke Australia.

UNHCR tidak bisa ikut mengintervensi atau keputusan ada pada negara penerima atau

negara ketiga apakah permintaan meresettle pengungsi diterima atau ditolak. Dan kesulitan

lain secara global adalah karena hanya ada 25 sampai 27 negara saja yang mau menerima

perelokasian pengungsi Afganistan dari Indonesia, sementara kebutuhannya mencapai 21 juta

pengungsi. dari 21 juta pengungsi hanya 1% tempat untuk merelokasi. Jadi artinya sangat

sedikit pengungsi bisa mendapatkan tempat di negara ketiga. Dan juga setiap negara punya

kebijakan sendiri dan punya pertimbangan masing-masing. Banyak negara-negara yang mau

menerima pengungsi tapi berbanding lurus dengan negara-negara yang tidak mau menerima

pengungsi. negara-negara yang tidak mau menerima pengungsi biasanya alasannya karena

khawatir akan mengancam national security negara ketiga atau negara penerima.

Penanganan permasalahan pengungsi internasional didorong oleh rasa kemanusiaan

untuk memberi perlindungan dan memberikan rasa aman dan nyaman terhadap para
20
UNHCR, Handbook, Voluntary Repatriation: International Protection, United Nations High Commissioner
For Refugees Geneva, 1996.
21
Ibid
pengungsi yang ke luar dari negaranya karena tidak mendapat perlindungan sebagaimana

mestinya. Patut dikemukakan bahwa kedudukan sebagai pengungsi tidak berlaku abadi,

artinya bisa berhenti, persoalan yang timbul adalah jangan sampai pengungsi itu bisa

dirugikan statusnya sebagai pengungsi secara sewenang-wenang. Oleh karenanya pula, maka

setiap pengungsi berkewajiban untuk mematuhi semua hukum dan peraturan atau ketentuan-

ketentuan untuk menciptakan ketertiban umum di negara dimana dia berada atau

ditempatkan. Konvensi 1951 dan Protokol 1967 telah menentukan siapa yang dapat diakui

sebagai pengungsi. Penetapan status sebagai pengungsi sangat penting, untuk dapat

menikmati hak-hak yang ditentukan Konvensi 1951 dan Protokol 1967 atau tunduk pada

kewenangan UNHCR.

Anda mungkin juga menyukai