Oleh:
NIM. 132023143060
A. Proses Penuaan
Menua (aging) adalah proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan
untuk memperbaiki diri/ mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya
sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang
diderita (Constantinides, 1994)
Penuaan adalah konsekuensi yang tidak dapat dihindarkan. Menua (menjadi tua) adalah
suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memeperbaiki
diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap
infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantindes, 1994)
Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaaan yang terjadi di dalam kehidupan
manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu
tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Lansia adalah seseorang yang telah mencapai
usia 60 tahun ke atas. Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-
angsur mengakibatkan perubahan kumulatif, merupakan proses menurunnya daya tahan tubuh
dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh (Kholifah, 2016).
Jatuh sering terjadi atau dialami oleh usia lanjut .Banyak faktor berperan di
dalamnya ,kelemahan otot ekstremitas bawah kekakuan sendi ,sinkope dan dizzines ,serta
faktor ekstrinsik sertai lantai yang licin dan tidak rata tersandung benda-benda
,pengelihatan kurang terang dan sebagainya.
Jatuh adalah suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata, yang
melihat kejadian mengakibatkan seseorang mendadak terbaring/terduduk di lantai / tempat
yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka ( Reuben, 1996 ).
2. Etiologi
Penyebab resiko jatuh pada lansia dibagi menjadi 2 faktor yaitu faktor intrinsik
dan ekstrinsik :
1) Faktor intrinsik
a. Proses penuaan dan beberapa kondisi penyakit, termasuk penyakit jantung dan
stroke dan gangguan ortopedik serta neurologic.
b. Pasien yang mempunyai diagnosis kompleks, individu dengan rawat inap lebih
pendek difasilitas perawatan akut, dan individu yang menjalani fase rehabilitasi
lebih cepat sangat rentan terhadap jatuh.
c. Kebutuhan eliminasi individu saat dikamar mandi, diakibatkan oleh pergerakan
yang tidak focus, serta penglihatan yang kurang jelas.
d. Perubahan status mental misalnya agitasi, depresi, dan ansietas.
2) Faktor ekstrinsik
a. Alat – alat atau perlengkapan rumah tangga yang sudah tua, tidak stabil, atau
tergeletak di bawah
b. tempat tidur atau WC yang rendah / jongkok
c. tempat berpegangan yang tidak kuat / tidak mudah dipegang
d. Lantai yang tidak datar baik ada trapnya atau menurun
e. Karpet yang tidak dilem dengan baik, keset yang tebal / menekuk pinggirnya,
dan benda-benda alas lantai yang licin atau mudah tergeser
f. Lantai yang licin atau basah
g. Penerangan yang tidak baik (kurang atau menyilaukan)
h. Alat bantu jalan yang tidak tepat ukuran, berat, maupun cara penggunaannya.
3. Manifestasi klinis
a. Gaya berjalan tidak seimbang
b. Ada riwayat jatuh
c. Postur tidak seimbang
d. Berjalan lambat
e. Biasanya membutuhkan alat bantu mobilitas
4. Patofisiologi
Terjadinya stabilitas ditentukan atau dibentuk oleh:
i. Sistem sensori
Salah satu yang berperan di dalamnya adalah: visus ( penglihatan ),
pendengaran, fungsi vestibuler, dan proprioseptif. Semua gangguan atau perubahan
pada mata akan menimbulkan gangguan penglihatan. Semua penyakit telinga akan
menimbulkan gangguan pendengaran. Vertigo tipe perifer sering terjadi pada lansia
yang diduga karpena adanya perubahan fungsi vestibuler akibat proses manua.
Neuropati perifer dan penyakit degeneratif leher akan mengganggu fungsi
proprioseptif ( Tinetti, 1992 ). Gangguan sensorik tersebut menyebabkan hampir
sepertiga penderita lansia mengalami sensasi abnormal pada saat dilakukan uji klinik.
ii. Sistem saraf pusat ( SSP )
SSP akan memberikan respon motorik untuk mengantisipasi input sensorik.
Penyakit SSP seperti stroke, Parkinson, hidrosefalus tekanan normal, sering diderita
oleh lansia dan menyebabkan gangguan fungsi SSP sehingga berespon tidak baik
terhadap input sensorik ( Tinetti, 1992 ).
iii. Kognitif
Pada beberapa penelitian, dementia diasosiasikan dengan meningkatkan risiko
jatuh. Muskuloskeletal ( Reuben, 1996; Tinetti, 1992; Kane, 1994; Campbell, 1987;
Brocklehurs, 1987 ).
Faktor ini disebutkan oleh beberapa peneliti merupakan faktor yang benar –
benar murni milik lansia yang berperan besar terhadap terjadinya jatuh. Gangguan
muskuloskeletal. Menyebabkan gangguan gaya berjalan (gait) dan ini berhubungan
dengan proses menua yang fisiologis. Gangguan gait yang terjadi akibat proses
menua tersebut antara lain disebabkan oleh:
a) Kekakuan jaringan penghubung
b) Berkurangnya massa otot
c) Perlambatan konduksi saraf
d) Penurunan visus / lapang pandang
e) Kerusakan proprioseptif
Semua perubahan tersebut mengakibatkan kelambanan gerak, langkah yang
pendek, penurunan irama, dan pelebaran bantuan basal. Kaki tidak dapat menapak
dengan kuat dan lebih cenderung gampang goyah. Perlambatan reaksi mengakibatkan
seorang lansia susah / terlambat mengantisipasi bila terjadi gangguan seperti terpleset,
tersandung, kejadian tiba – tiba, sehingga memudahkan jatuh.
5. Pemeriksaan penunjang
i. Time up go test (TUG)
TUG biasanya digunakan dalam penelitian dan klinis pengaturan untuk memeriksa
individu pada peningkatan risiko jatuh. Peneliti melaporkan sensitivitas 80% dan
spesifisitas 100% untuk pemeriksaan resiko jatuh dengan menggunakan TUG (Barry,
E., et all, 2014). Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai resiko jatuh, keseimbangan
dan gaya berjalan pada lansia (Barry, E., et all, 2014).
Hasil pemeriksaan TUG menunjukan hasil berikut:
≤ 14 detik : Tidak berisiko jatuh
> 14 detik : Berisiko tinggi jatuh
>24 detik : Diperkirakan jatuh dalam kurun waktu 6 bulam
>30 detik : Diperkirakan membutuhkan bantuan dalam mobilisasi dan
melakukan ADL
6. Penatalaksanaan
Prinsip dasar tatalaksana usia lanjut dengan masalah instabilitas dan riwayat jatuh
adalah: mengobati berbagai kondisi yang mendasari instabilitas dan jatuh, memberikan
terapi fisik dan penyuluhan berupa latihan cara berjalan, penguatan otot, alat bantu,
sepatu atau sandal yang sesuai, serta mengubah lingkungan agar lebih aman seperti
pencahayaan yang cukup, pegangan, lantai yang tidak licin (Kane et al., 2008; Cigolle et
al., 2007).
Penatalaksanaan bersifat individual, artinya berbeda untuk tiap kasus karena
perbedaan faktor-faktor yang bekerjasama mengakibatkan jatuh. Pada kasus lain
intervensi diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh ulangan, misalnya pembatasan
bepergian/aktivitas fisik, penggunaan alat bantu gerak. Terapi untuk penderita dengan
penurunan gait dan keseimbangan difokuskan untuk mengatasi penyebab/faktor yang
mendasarinya. Penderita dimasukkan dalam program gait training dan pemberian alat
bantu berjalan. Biasanya progam rehabilitasi ini dipimpin oleh fisioterapis. Terapi yang
tidak boleh dilupakan adalah memperbaiki lingkungan rumah/tempat kegiatan lanjut
usia seperti tersebut di pencegahan jatuh (Darmojo, 2009).
7. WOC
Jatuh
Tirah baring
MK: Nyeri akut Penurunan fungsi Keseleo atau
fisik terpeleset
Dekubitus
MK: Gangguan
mobilitas fisik MK: Gangguan
rasa nyaman
MK: Gangguan
integritas kulit
MK: Defisit MK: Intoleransi
perawatan diri Aktivitas
BAB 2
TINJAUAN ASUHAN KEPERAWATAN
1 Risiko jatuh (D.0143) Setelah dilakukan tindakan Pencegahan jatuh 1. Untuk mengetahui
keperawatan selama 2 x 24 (L.14540) penyebab resiko jatuh
jam diharapkan klien tidak 1. Identifikasi faktor klien sehingga dapat
berisiko jatuh, dengan kriteria resiko jatuh dilakukan intervensi
hasil : 2. Hitung resiko jatuh selanjutnya
Keseimbangan (L.02039) menggunakan skala 2. Untuk mengetahui
1. Keseimbangan saat berdiri 3. Anjurkan menggunakan besar tingkat resiko
meningkat (5) alas kaki yang tidak jatuh klien
2. Keseimbangan saat licin 3. Menghindari klien
berjalan meningkat (5) 4. Anjurkan untuk terjatuh
menjaga keseimbangan 4. Untuk menurunkan
tubuh angka kejadian jatuh
5. Modifikasi lingkungan 5. Menjaga lingkungan
6. Edukasi klien dan sekitar klien tetap
keluarga untuk aman
meminimalisir resiko 6. Klien dan keluarga
jatuh pada klien. mengerti akan resiko
jatuh klien.
3. Nyeri akut (D.077) Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri 1. Megetahui lokasi,
keperawatan selama 2 x 24 (I.08238) karakteristik, durasi,
jam diharapkan mobilitas fisik 1. Identifikasi lokasi, frekuensi, kualitas dan
klien tidak ada gangguan, karakteristik, durasi, intensitas nyeri pada
dengan kriteria hasil : frekuensi, kualitas, lansia
Tingkat nyeri (L.08066) intensitas nyeri 2. Mengetahui skala
1. Keluhan nyeri menurun (5) 2. Identifikasi skala nyeri nyeri
2. Meringis menurun (5) 3. Identifikasi faktor yang 3. Mengetahui faktor
3. Frekuensi nadi membaik memperberat dan yang memperberat dan
(N: 60-100 x/mnt) (5) memperingan nyeri memperingan nyeri
4. Identifikasi pengaruh 4. Mengetahui pengaruh
nyeri pada kualitas nyeri yang dirasakan
hidup. lansia terhadap
5. Berikan teknik non- kualitas hidup
farmakologis untuk 5. Teknik non-
mengurangi rasa nyeri farmakologis dapat
(mis. Terapi music, mengurangi rasa nyeri
terapi pijat, 6. Istirahat dan tidur
aromaterapi, kompres yang cukup dapat
hangat/dingin) membuat lansia rileks
6. Fasilitasi istirahat dan 7. Agar lansia tau
tidur penyebab, periode dan
7. Jelaskan penyebab, pemicu nyeri
periode, dan pemicu 8. Agar lansia tau
nyeri strategi meredakan
8. Jelaskan strategi nyeri
meredakan nyeri 9. Agar lansia dapat
9. Ajarkan teknik non- mengaplikasikan
farma teknik non-
farmakologis
untukmengurangi rasa
nyeri
DAFTAR PUSTAKA
Safitri Sartika (2015) Instabilitas dan Kejadian Jatuh pada Lansia. Lampung: J Agromed Unila
Arimbawa Komang () Kejadian Jatuh pada Lanjut Usia. SMF Neurologi FK Universitas
Udayana
Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017) Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. 1 st eds. Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI (2018) Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. 1 st eds. Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI (2019) Standar Luaran Keperawatan Indonesia. 1 st eds. Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat PPNI