Anda di halaman 1dari 64

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Material Baja


2.1.1 Sifat Utama Baja

Baja struktur harus memiliki sifat – sifat utama guna memberikan kekuatan
untuk melayani beban yang timbul pada suatu struktur. Adapun sifat – sifat utama
dari baja adalah sebagai berikut :

1. Keteguhan (Solidity)
Adalah batas dari tegangan-tegangan dalam, dimana perpatahan mulai
berlangsung. Hal ini berarti daya lawan baja terhadap tarikan, tekanan dan
lentur.
2. Elastisitas (Elasticity)
Adalah kesanggupan untuk berubah bentuk dalam batas-batas pembebanan
tertentu dan apabila pembebanan ditiadakan, akan kembali ke bentuk semula.
3. Kekenyalan (Tenacity)
Adalah kemampuan baja untuk menyerap energy mekanis atau kesanggupan
untuk menerima perubahan-perubahan bentuk yang besar tanpa menderita
kerugian berupa cacat/kerusakan yang terlihat dari luar dan dalam jangka
pendek sebelum patah, masih bisa merubah bentunya dengan banyak.
4. Kemungkinan ditempa (Malleability)
Adalah dalam keadaan merah pijar, baja menjadi lembek dan plastis tanpa
mempengaruhi sifat-sifat keteguhan sehingga dapat dirubah bentuknya
dengan baik.
5. Kemungkinan di las (Weldability)
Adalah sifat baja dalam keadaan panas dapat digabungkan satu sama lain
dengan memakai atau tidak memakai bahan tambahan, tanpa mempengaruhi
sifat-sifat keteguhan.

5
6. Kekerasan (Hardness)
Adalah kekuatan terhadap masuknya benda lain kedalamya.

2.1.2 Sifat Mekanis Baja

Berikut merupakan sifat – sifat mekanis baja struktural :

➢ Modulus elastisitas, E = 200.000 Mpa


➢ Modulus geser , G = 80.000 Mpa
➢ Angka poisson, () = 0,3
➢ Koefisien Pemuaian, () =  x 10-6 /oC

Catatan : 1 Mpa = 10 kg/cm2

Sedangkan berdasarkan tegangan leleh dan regangan putusnya, mutu material


baja dibagi menjadi beberapa kelas mutu sebagai berikut :

Tabel 2.1. Sifat Mekanis Baja Struktural.

Jenis Baja Tegangan putus Tegangan leleh Peregangan


minimum, fu minimum, f y minimum
(MPa) (MPa) (%)

BJ 34 340 210 22
BJ 37 370 240 20
BJ 41 410 250 18
BJ 50 500 290 16
BJ 52 520 360 14
BJ 55 550 410 13
(Sumber : SNI 03-1729-2002, Halaman. 11).

2.2 Analisa Pembebanan

Beban beban yang bekerja pada suatu struktur tidak selalu bisa diramalkan
dengan tepat sebelumnya, bahkan apabila beban – beban tersebut telah diketahui

6
dengan baik pada salah satu lokasi sebuah struktur tertentu biasanya masih
membutuhkan asumsi dan pendekatan. Adapun beberapa jenis beban yang bekerja
pada suatu struktur antara lain :

2.2.1 Beban Mati (Dead Load)

Menurut PPURG 1987 halaman 1 beban mati adalah berat dari semua bagian
dari suatu gedung yang bersifat tetap, termasuk segala unsur tambahan,
penyelsaian-penyelesaian, mesin-mesin serta peralatan tetap yang merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari bangunan itu.

2.2.2 Beban Hidup (Live Load)

Menurut PPURG 1987 halaman 2 beban hidup adalah semua beban yang tejadi
akibat penghunian atau penggunaan gedung, termasuk beban-beban yang dapat
berpindah.

2.2.3 Beban Gempa (Eartquake Load)

Dalam skripsi ini menggunakan tata cara perencanaan ketahanan gempa sesuai
dengan SNI 1726 2012 yang menyatakan bahwa gempa ditetapkan sebagai gempa
dengan kemungkinan terlewati besarnya selama umur struktur bangunan 50 tahun
adalah sebesar 2%. Untuk peta gmpa pada skripsi ini menggunakan peta sumber
dan bahaya gempa Indonesia yang terbaru yaitu tahun 2017 yang disusun oleh Tim
Pusat Gempa Nasional (PUSGEN).

7
Gambar 2.1 Peta Percepatan Spectrum Respon 1 Detik (S1) Dengan Nisbah Redaman 5% di Batuan Dasar SB Untuk Probabilitas
Terlampaui 2% Dalam 50 Tahun Berdasarkan Peta Gempa 2017

8
Gambar 2.2 Peta Percepatan Spectrum Respon 1 Detik (S1) Dengan Nisbah Redaman 5% di Batuan Dasar SB Untuk Probabilitas
Terlampaui 2% Dalam 50 Tahun Berdasarkan Peta Gempa 2017

9
2.2.3.1 Parameter Perhitungan Beban Gempa

Berikut adalah tata cara perencanaan atau perhitungan beban gempa :

1. Menentukan kategori resiko bangunan (Tabel 1 SNI 1726:2012 Halaman


14-15).
Tabel 2.2 Kategori Resiko Bangunan

Sumber: SNI 2847-2013 Halaman 14-15

10
2. Menentukan faktor keutamaan gempa (Ie) (Tabel 2 SNI 1726-2012
Halaman 15).
Tabel 2.3 Faktor Keutamaan Gempa

Sumber: SNI 2847-2013 Halaman 15

3. Klasifikasi situs tanah, Percepatan gempa MCEr terpetakan untuk periode


pendek (Ss), Percepatan gempa MCEr terpetakan untuk periode 1 detik
(S1) (Bersumber dari aplikasi spektra Indonesia).
Tabel 2.4 Koefisien Situs (Fa)

Sumber: SNI 2847-2013 Halaman 22

4. Menentukan nilai faktor amplifikasi periode pendek (Fa) (Tabel 4 SNI


1726-2012 Halaman 22).
5. Menentukan nilai faktor amplifikasi periode 1 detik (Fv) (Tabel 5 SNI
1726-2012 Halaman 22).

11
Tabel 2.5 Koefisien Situs (Fv)

Sumber: SNI 2847-2013 Halaman 22

6. Menghitung nilai percepatan pada periode pendek (SMS) dengan rumus


sebagai, berikut sesuai dengan SNI 1726-2012 pasal 6.2 halaman 21:
SMS = Fa x Ss .................................................................................(2-1)

Keterangan:

SMS = Percepatan pada periode pendek

Fa = Faktor amplifikasi periode pendek

Ss = Percepatan gempa MCEr terpetakan untuk periode pendek

7. Menghitung nilai percepatan pada periode 1 detik (SM1) dengan rumus


sebagai berikut, sesuai dengan SNI 1726-2012 pasal 6.2 halaman 21:
SM1 = Fv x S1 ................................................................................(2-2)

Keterangan:

SM1 = Percepatan pada periode 1 detik

Fv = Faktor amplifikasi periode 1 detik

S1 = Percepatan gempa MCEr terpetakan untuk periode 1 detik

12
8. Menghitung nilai percepatan desain pada periode pendek (SDS) dengan
rumus sebagai berikut, sesuai dengan SNI 1726-2012 pasal 6.3 halaman
22:
2
SDS = 3 SMS ....................................................................................(2-3)

Keterangan:

SDS = Percepatan spektral desain untuk periode pendek

SMS = Percepatan pada periode pendek

9. Menghitung nilai percepatan desain pada periode 1 detik (SD1), sesuai


dengan SNI 1726-2012 pasal 6.3 halaman 22:
2
SD1 = 3 SM1 ....................................................................................(2-4)

Keterangan:

SD1 = Percepatan spektral desain untuk periode 1 detik

SM1 = Percepatan pada periode 1 detik

2.2.4 Kombinasi Pembebanan


Kombinasi pembebanan untuk metode ultimit, mengaharuskan struktur,
komponen-komponen struktur dan fondasi dirancang sedemikian rupa hingga kuat
rencananya sama atau melebihi pengaruh dari beban terfaktor. Berdasarkan SNI
1727-2013 pasal 2.3.2 halaman 11 kombinasi-kombinasi pembebanan yang
digunakan yaitu sebagai berikut:

1. 1,4D
2. 1,2D + 1,6L + 0,5 ( Lr atau S atau R )
3. 1,2D + 1,6 ( Lr atau S atau R ) + ( L atau 0,5W )
4. 1,2D + 1,0W + L + 0,5 ( Lr atau S atau R )
5. 1,2D + 1,0E + L + 0,2S
6. 0,9D + 1,0W
7. 0,9D + 1,0E

13
Pengecualian :

1. Faktor beban pada L dalam kombinasi 3, 4, dan 5 diizinkan sebesar 0,5


untuk semua tingkat hunian bila Lo pada tabel 4.1 kurang dari atau sama
dengan 100 psf (4,79 kN/m²), dengan pengecualian daerah garasi atau
ruang pertemuan umum.

2.2.4.1 Pengaruh Beban Gempa


Berdasarkan SNI 1726 2012 pasal 7.4.2 pengaruh beban gempa, E harus sesuai
dengan rumusan berikut :
1. Untuk penggunaan dalam kombinasi beban 5 dalam 4.2.2 atau kombinasi
beban 5 dan 6 dalam 4.2.3, E harus ditentukan sesuai dengan persamaan
berikut :
𝑬 = 𝑬𝒉 + 𝑬𝒗 .................................................................................(2-5)

2. Untuk penggunaan dalam kombinasi beban 7 dalam 4.2.2 atau kombinasi


beban 8 dalam 4.2.3, E harus ditentukan sesuai dengan persamaan berikut:
𝑬 = 𝑬𝒉 − 𝑬𝒗..................................................................................(2-6)

Keterangan :

E = Pengaruh beban gempa

Eh = Pengaruh beban gempa horizontal seperti didefiniskan dalam


7.4.2.1;

Ev = Pengaruh beban gempa vertikal seperti didefinisikan dalam 7.4.2.2

2.2.4.1.1 Pengaruh Beban Gempa Horizontal


Menurut SNI 1726 2012 pasal 7.4.2.1 pengaruh beban gempa horizontal, Eh
harus ditentukan sesuai dengan persamaan berikut :

𝐸ℎ = 𝜌𝑄𝐸.........................................................................................(2-7)

14
Keterangan :

𝑄𝐸 = adalah pengaruh gaya gempa horizontal dari V atau FP. Jika


diisyaratkan dalam 7.5.3 dan 7.5.4, pengaruh tersebut harus dihasilkan dari
penerapan gaya horizontal secara serentak dalamm dua arah tegak lurus satu
sama lain

𝜌 = adalah faktor redundansi, seperti didefinisikan dalam 7.3.4

2.2.4.1.2 Pengaruh Beban Gempa Vertikal


Menurut SNI 1726 2012 pasal 7.4.2.2, pengaruh beban gempa vertikal Ev harus
ditentukan sesuai dengan persamaan berikut :

𝐸𝑣 = 0,2𝑆𝐷𝑆 𝐷 ................................................................................... (2-8)

Keterangan :

𝑆𝐷𝑆 = Parameter percepatan spektrum respon desain pada perioda pendek


yang diperoleh dari 6.10.4

D = Pengaruh beban mati

2.2.4.2 Pengaruh Beban Gempa Termasuk Faktor Kuat-Lebih


Menurut SNI 1726 2012 pasal 7.4.3, kondisi yang mensyaratkan penerapan
faktor kuat lebih harus ditentukan sesuai dengan rumusan berikut :

1. Untuk penggunaan dalam kombinasi beban 5 dalam 4.2.2 atau kombinasi


beban 5 dan 6 dalam 4.2.3, E harus diambil sama dengan Em seperti
ditentukan sesuai dengan persamaan 18 berikut :
𝐸𝑚 = 𝐸𝑚ℎ + 𝐸𝑣 ............................................................................(2-9)

2. Untuk penggunaan dalam kombinasi beban 7 dalam 4.2.2 atau kombinasi


beban 8 dalam 4.2.3, E harus diambil sama dengan Em seperti ditentukan
sesuai dengan persamaan 19 berikut :
𝐸𝑚 = 𝐸𝑚ℎ − 𝐸𝑣 ..........................................................................(2-10)

15
Keterangan :

𝐸𝑚 = pengaruh beban gempa termasuk faktor kuat lebih

𝐸𝑚ℎ = pengaruh beban gempa horizontal termasuk kuat lebih struktur seperti
didefiniskan dalam 7.4.3.1

𝐸𝑣 = pengaruh beban gempa vertikal seperti didefiniskan dalam 7.4.2.2

2.2.4.3 Pengaruh Beban Gempa Horizontal dengan Faktor Kuat-Lebih


Menurut SNI 1726 2012 pasal 7.4.3.1, pengaruh beban gempa horizontal harus
ditentukan sesuai dengan persamaan 20 berikut :

𝐸𝑚ℎ = Ω0 𝑄𝐸 ...........................................................................................(2-11)

Keterangan :

𝑄𝐸 = pengaruh beban horizontal

𝐸𝑚ℎ = faktor kuat-lebih

2.2.4.4 Kombinasi Beban dengan Faktor Kuat-Lebih


Pada SNI 1726 2012 pasal 7.4.3.2, menjelaskan bahwa pengaruh beban gempa
dengan faktor kuat lebih, Em yang didefinisikan dalam 7.4.3 dikombinasikan
dengan penggaruh beban lainnya seperti ditetapkan dalam 4.2, kombinasi beban
gempa berikut untuk struktur yang tidak dikenai beban banjir harus digunakan
sebagai pengganti dari kombinasi beban gempa dalam 4.2.2 atau 4.2.3.

Kombinasi dasar untuk desain kekuatan dengan faktor kuat lebih.

1. (1,2 + 0,2 SDS )D + Ω0 + 𝑄𝑒 + L


7. (0,9 - 0,2 SDS )D + Ω0 + 𝑄𝑒 + 1,6H

16
CATATAN :

1. Faktor beban pada L dalam kombinasi 5 diijinkan sama dengan 0,5 untuk
semua hunian dimana besarnya beban hidup merata kurang dari atau sama
dengan 5 kN/m², dengan pengecualian garasi atau ruang pertemuan
2. Faktor beban pada H harus ditetapkan sama dengan nol dalam kombinasi
7 jika aksi struktur akibat H melawan yang diakibatkan E. Jika tekanan
tanah lateral menyediakan tahanan terhadap aksi struktur dari gaya
lainnya, faktor beban tidak boleh dimasukan dalam H tetapi harus
dimasukan dalam tahanan desain.
Kombinasi beban dengan faktor kuat lebih :

1. 1,4𝐷
2. 1,4𝐷 + 1,6𝐿
3. 1,2𝐷 + 𝐿 + 𝐸𝑚ℎ + 𝐸𝑣
4. 0,9𝐷 + 𝐿 + 𝐸𝑚ℎ + 𝐸𝑣
Kombinasi beban gempa akibat pengaruh beban gempa horizontal dan vertikal
dengan faktor kuat lebih menjadi seperti berikut :

1. 1,4𝐷
2. 1,4𝐷 + 1,6𝐿
3. 1,2𝐷 + 𝐿 + Ω0 𝑄𝐸 + 0,2𝑆𝐷𝑆 𝐷
4. 0,9𝐷 + 𝐿 + Ω0 𝑄𝐸 − 0,2𝑆𝐷𝑆 𝐷
Sehingga kombinasi yang akan digunakan pada penyusunan tugas akhir ini adalah
sebagai berikut :

1. 1,4𝐷
2. 1,4𝐷 + 1,6𝐿
3. 1,2𝐷 + 𝐿 + 𝑄𝐸𝑥 (Ω0 + 0,2𝑆𝐷𝑆 𝐷) + 𝑄𝐸𝑦 (Ω0 + 0,2𝑆𝐷𝑆 𝐷)
4. 1,2𝐷 + 𝐿 + 𝑄𝐸𝑥 (Ω0 + 0,2𝑆𝐷𝑆 𝐷) + 𝑄𝐸𝑦 (Ω0 + 0,2𝑆𝐷𝑆 𝐷)
5. 1,2𝐷 + 𝐿 + 𝑄𝐸𝑥 (Ω0 + 0,2𝑆𝐷𝑆 𝐷) + 𝑄𝐸𝑦 (Ω0 + 0,2𝑆𝐷𝑆 𝐷)
6. 1,2𝐷 + 𝐿 + 𝑄𝐸𝑥 (Ω0 + 0,2𝑆𝐷𝑆 𝐷) + 𝑄𝐸𝑦 (Ω0 + 0,2𝑆𝐷𝑆 𝐷)

17
7. 1,2𝐷 + 𝐿 + 𝑄𝐸𝑦 (Ω0 + 0,2𝑆𝐷𝑆 𝐷) + 𝑄𝐸𝑥 (Ω0 + 0,2𝑆𝐷𝑆 𝐷)
8. 1,2𝐷 + 𝐿 + 𝑄𝐸𝑦 (Ω0 + 0,2𝑆𝐷𝑆 𝐷) + 𝑄𝐸𝑥 (Ω0 + 0,2𝑆𝐷𝑆 𝐷)
9. 1,2𝐷 + 𝐿 + 𝑄𝐸𝑦 (Ω0 + 0,2𝑆𝐷𝑆 𝐷) + 𝑄𝐸𝑥 (Ω0 + 0,2𝑆𝐷𝑆 𝐷)
10. 1,2𝐷 + 𝐿 + 𝑄𝐸𝑦 (Ω0 + 0,2𝑆𝐷𝑆 𝐷) + 𝑄𝐸𝑥 (Ω0 + 0,2𝑆𝐷𝑆 𝐷)
11. 0,9𝐷 + 𝐿 + 𝑄𝐸𝑥 (Ω0 + 0,2𝑆𝐷𝑆 𝐷) + 𝑄𝐸𝑦 (Ω0 + 0,2𝑆𝐷𝑆 𝐷)
12. 0,9𝐷 + 𝐿 + 𝑄𝐸𝑥 (Ω0 + 0,2𝑆𝐷𝑆 𝐷) + 𝑄𝐸𝑦 (Ω0 + 0,2𝑆𝐷𝑆 𝐷)
13. 0,9𝐷 + 𝐿 + 𝑄𝐸𝑥 (Ω0 + 0,2𝑆𝐷𝑆 𝐷) + 𝑄𝐸𝑦 (Ω0 + 0,2𝑆𝐷𝑆 𝐷)
14. 0,9𝐷 + 𝐿 + 𝑄𝐸𝑥 (Ω0 + 0,2𝑆𝐷𝑆 𝐷) + 𝑄𝐸𝑦 (Ω0 + 0,2𝑆𝐷𝑆 𝐷)
15. 0,9𝐷 + 𝐿 + 𝑄𝐸𝑦 (Ω0 + 0,2𝑆𝐷𝑆 𝐷) + 𝑄𝐸𝑥 (Ω0 + 0,2𝑆𝐷𝑆 𝐷)
16. 0,9𝐷 + 𝐿 + 𝑄𝐸𝑦 (Ω0 + 0,2𝑆𝐷𝑆 𝐷) + 𝑄𝐸𝑥 (Ω0 + 0,2𝑆𝐷𝑆 𝐷)
17. 0,9𝐷 + 𝐿 + 𝑄𝐸𝑦 (Ω0 + 0,2𝑆𝐷𝑆 𝐷) + 𝑄𝐸𝑥 (Ω0 + 0,2𝑆𝐷𝑆 𝐷)
18. 0,9𝐷 + 𝐿 + 𝑄𝐸𝑦 (Ω0 + 0,2𝑆𝐷𝑆 𝐷) + 𝑄𝐸𝑥 (Ω0 + 0,2𝑆𝐷𝑆 𝐷)

2.3 Metode Analisis Beban Gempa


Analisis beban gempa dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu sebagai
berikut :

1. Metode analisa beban statis (static equivalent analysis)


2. Metode analisa dinamis (dynamic analysis)
a. Analisis ragam spektrum (respon spectrum analysis)
b. Analisis respon riwayat waktu (time history analysis)
Dalam suatu perencanaan beban gempa, metode yang sederhana dan sering
digunakan adalah metode analisis statik ekivalen, sehingga dalam perencanaan
beban gempa pada Gedung Fakultas Ilmu Keolahragaan perlu dilakukan
pengontrolan apakah cukup menggunakan analisis gempa dengan statik ekivalen
atau menggunakan analisis gempa dinamik. Berikut langkah-langkah pengontrolan
batasan penggunaan prosedur analisis gempa statik ekivalen menurut SNI
1726:2012 pasal 7.8:

18
2.3.1 Metode Analisis Statik Ekuivalen (Static Equivalent Analysis)
Berikut adalah parameter-parameter yang dibutuhkan dalam metode analysis
statik ekuivalen, yaitu :

2.3.1.1 Periode Fundamental Struktur (T)


2.3.1.1.1 Periode Fundamental Pendekatan (Ta)
1. Untuk struktur dengan ketinggian < 12 tingkat dimana sistem penahan
gaya gempa terdiri dari rangka penahan momen beton atau baja secara
keseluruhan dan tinggi tingkat paling sdkit 3 m (SNI 1726 2012 pasal
7.8.2.1 halaman 56) :
𝑇𝑎 = 0,1 𝑁 ...................................................................................(2-12)

Keterangan :

Ta = Perioda fundamental pendekatan

N = Jumlah tingkat

2. Untuk struktur dengan ketinggian < 12 tingkat (SNI 1726 2012 pasal
7.8.2.1 halaman 56)
𝑇𝑎 = 𝐶𝑡 . ℎ𝑛 𝑥 .................................................................................(2-13)

Keterangan :

Ct dan x = Koefisien periode pendekatan (lihat tabel)

hn = Ketinggian struktur

19
Tabel 2.6 Nilai Parameter Periode Pendekatan Ct dan x

Sumber : SNI 1726 – 2012 Halaman 56

2.3.1.1.2 Batas Perioda Maksimum (Tmax) :


Tmax = Cu. Ta.........................................................................................(2-14)

Keterangan :

Tmax = perioda maksimum

Cu = Koefisien batas atas pada periode yang dihitung

Ta = perioda fundamental pendekatan

Tabel 2.7 Koefisien untuk batas atas pada perioda yang dihitung

2.3.1.1.3 Perioda Yang Digunakan (T) :


Adapun perioda yang digunakan menurut SNI 1726 2012 pasal 7.8.2 halaman
55 :

1. Jika Tc > Cu. Ta, maka T = Cu. Ta


2. Jika Ta < Tc < Cu.Ta, maka T = Tc
3. Jika Tc < Ta, maka T = Ta

20
2.3.1.1.4 Batasan Penggunaan Prosedur Analisis Gaya Lateral Ekivalen
(ELF)
Syarat penggunaan prosedur analisis gempa statik ekivalen:

Tc < 3,5 Ts .......................................................................................... (2-15)

Keterangan:

Tc = Perioda fundamental bangunan

Ts = SD1/SDS

Catatan: Jika memenuhi syarat di atas, maka analisa gempa diperbolehkan


menggunakan analisis static ekivalen.

2.3.1.2 Geser Dasar Seismic (V)


Nilai V dapat dihitung menggunakan rumus di bawah ini sesusai dengan SNI
1726 2012 pasal 7.8.1 halaman 54 :

V = Cs x W ..............................................................................................(2-16)

Keterangan :

Cs = Koefisien respons seismik (sesuai SNI 1726 2012 pasal 7.8.1.1)

W = Berat seismik efektif struktur (sesuai SNI 1726 2012 pasal 7.7.2)

2.3.1.2.1 Koefisien Respons Seismik (Cs)


𝑆𝐷𝑠
a. 𝐶𝑠 = 𝑅⁄ ..........................................................................................(2-17)
𝐼𝑒

Keterangan :

SDS = Parameter percepatan spektral desain untuk periode pendek

R = Faktor modifikasi respons

Ie = Faktor keutamaan gempa

21
T = Periode fundamental struktur

𝑆𝐷1
b. 𝐶𝑠 = .................................................................................. (2-18)
𝑇 ×(𝑅⁄𝐼𝑒)

Keterangan :

SD1 = Parameter percepatan spektral desain untuk periode pendek

R = Faktor modifikasi respons

Ie = Faktor keutamaan gempa

T = Periode fundamental struktur

2.3.1.3 Distribusi Vertikal Gaya Gempa


Gaya gempa lateral (Fx) yang timbul disemua tingkat harus ditentukan dari
persamaan berikut (SNI 1726 2012 pasal 7.8.3 halaman 57) :

𝐹𝑥 = 𝐶𝑣𝑥 × 𝑉 ..................................................................................(2-19)

𝑤𝑥 ℎ𝑥𝑘
𝐶𝑣𝑥 = ∑𝑛 𝑘 .....................................................................................(2-20)
𝑖=1 𝑤𝑖 ℎ𝑖

Keterangan :

Cvx = Faktor distribusi vertikal

V = Gaya lateral desain total atau geser dasar struktur

wi, wx = bagian berat seismik efektif total struktur (W) yang ditempatkan

atau dikenakan pada tingkat i atau x

hi, hx = tinggi dari dasar sampai tingkat i atau x

k = Eksponen yang terkait dengan periode struktur sebagai berikut :

• Untuk struktur dengan periode sebesar 0,5 detik atau kurang


(k=1)

22
• Untuk struktur dengan periode sebesar 2,5 detik atau lebih
(k=2)
• Untuk struktur dengan periode antara 0,5-2,5 detik, k harus
sebesar 2 atau dilakukan interpolasi liniear antara 1 dan 2.

2.3.2 Desain Respon Spektrum


1. Menghitung nilai periode T0 dengan rumus sebagai berikut, sesuai dengan
SNI 1726-2012 pasal 6.4 halaman 23:
𝑆𝐷1
T0 = 0,2 𝑆𝐷𝑆 ..............................................................................(2-21)

Keterangan:

T0 = Periode

SD1 = Percepatan spektral desain untuk periode 1 detik

SDS = Percepatan spektral desain untuk periode pendek

2. Menghitung nilai periode TS dengan rumus sebagai berikut, sesuai dengan


SNI 1726-2012 pasal 6.4 halaman 23:
𝑆𝐷1
TS = 𝑆𝐷𝑆 .................................................................................(2-22)

Keterangan:

Ts = Periode

SD1 = Percepatan spektral desain untuk periode 1 detik

SDS = Percepatan spektral desain untuk periode pendek

3. Menghitung nilai Sa dengan rumus sebagai berikut, sesuai dengan SNI


1726-2012 pasal 6.4 halaman 23:
a. Untuk T < T0
𝑇
Sa = SDS (0,4+0,6 𝑇0) .......................................................(2-23)

23
Keterangan:

Sa = Spektrum respon percepatan desain

SDS = Percepatan spektral desain untuk periode pendek

b. Untuk T ≥ T0
Sa = SDS ......................................................................................(2-24)

Keterangan:

Sa = Spektrum respon percepatan desain

SDS = Percepatan spektral desain untuk periode pendek

c. Untuk T ≥ Ts
𝑆𝐷1
Sa = ...................................................................................(2-25)
𝑇

Keterangan:

Sa = Spektrum respon percepatan desain

SD1 = Percepatan spektral desain untuk periode 1 detik

T = Periode

4. Plotkan hasil perhitungan spektrum respon percepatan desain pada grafik


spektrum respon percepatan desain.

Gambar 2.3 Spektrum Respons Desain


(Sumber: SNI 1726-2012 Halaman 23)

24
2.4 Eksentrisitas (e)
Menurut SNI 1726 2002 halaman 5, e adalah eksentrisitas teoritis antara pusat
massa dan pusat rotasi lantai tingkat struktur gedung, dalam subskrip menunjukkan
kondisi elastik penuh.

2.4.1 Eksentrisitas Pusat Massa Terhadap Pusat Rotasi Lantai Tinggal


2.4.1.1 Pusat Massa Lantai
Pusat massa lantai tingkat struktur gedung adalah titik tangkap resultan beban
mati, beban hidup yang sesuai, yang bekerja pada lantai tingkat itu. Pada
perencanaan struktur gedung, pusat massa adalah titik tangkap beban gempa statik
ekuivalen atau gempa dinamik. (SNI 1726 2002 pasal 5.4.1 halaman 28).

2.4.1.2 Pusat Rotasi Lantai Tingkat


Pusat rotasi lantai tingkat suatu struktur gedung adalah suatu titik pada lantai
tingkat itu yang bila suatu beban horizontal bekerja padanya, lantai tingkat tersebut
tidak berotasi, tetapi hanya bertranslasi, sedangkan lantai-lantai tingkat lainnya
yang tidak mengalami beban horizontal semuanya berotasi dan bertranslasi. (SNI
1726 2002 pasal 5.4.2 halaman 28)

2.4.2 Eksentrisitas Rencana


Antara pusat massa dan pusat rotasi lantai tingkat harus ditinjau suatu
eksentrisitas rencana (ed). Apabila ukuran horizontal terbesar denah struktur
gedung pada lantai tingkat itu, diukur tegak lurus pada arah pembebanan gempa,
dinyatakan dengan b, maka eksentrisitas rencana ed harus ditentukan seperti
persamaan berikut :
1. Untuk 0 < e < 0,3b :
ed = 1,5e + 0,05b .........................................................................(2-26)

atau,

ed = e – 0,05b ...............................................................................(2-27)

25
dan dipilih antara keduanya yang pengaruhnya paling menentukan untuk
unsur atau subsistem struktur gedung yang ditinjau.

2. Untuk e > 0,03b :


ed = 1,33 e + 0,1b ................................................................... (2-28)

atau,

ed = 1,17e – 0,1b .................................................................... (2-29)

dan dipilih antara keduanya yang pengaruhnya paling menentukan untuk


unsur atau subsistem struktur gedung yang ditinjau.

2.4.3 Eksentrisitas Tambahan


Setelah mendapatkan nilai eksentrisitas rencana (ed), maka perlu ditambah
eksentrisitas tak terduga dalam mm diambil 5% dari ukuran maksimum bangunan
tegak lurus dengan arah gaya yang ditinjau

2.5 Kinerja Struktur Gedung


2.5.1 Kinerja Batas Layan
Kinerja batas layan struktur gedung ditetukan oleh simpangan antar-tingkat
akibat pengaruh beban gempa rencana, yaitu untuk membatasi terjadinya pelelehan
baja dan peretakan beton yang berlebihan, disamping itu juga untuk mencegah
kerusakan pada komponen non struktur dan ketidaknyamanan penghuni gedung.
(SNI 1726 2002 pasal 8.1.1 halaman 35).
Menurut SNI 1726 2002 bahwa syarat simpangan struktur gedung tidak boleh
melebihi yang terkecil dari :
a. 0,03/R x tinggi tingkat yang bersangkutan
b. 30 mm

2.5.2 Kinerja Batas Ultimit


Menurut SNI 1726 2002 pasal 8.2.1 halaman 35, kinerja batas layan ultimit
struktur gedung ditentukan oleh simpangan antar tingkat maksimum struktur akibat
pengaruh beban gempa rencana dalam kondisi struktur gedung diambang

26
keruntuhan, yaitu untuk membatasi kemungkinan terjadinya keruntuhan struktur
gedung yang dapat menimbulkan korban jiwa manusia dan untuk mencegah
benturan berbahaya antar-gedung yang dipisah dengan sela pemisah/sela delatasi.
Simpangan antar tingkat ini harus dihitung dari simpangan struktur gedung
akibat pembebanan gempa nominal, dikalikan dengan suatu faktor pengali ζ = 0,7
x R (untuk gedung beraturan). Dalam pasal 8.2.2 halaman 36, disebutkan bahwa
untuk memenuhi persyaratan kinerja batas layan ultimit struktur gedung dalam
segala hal simpangan antar tingkat yang tidak boleh melampaui 0,02 kali tinggi
tingkat yang bersagkutan.

2.6 Metode Desain LRFD (Load and Resistance Faktor Design)


2.6.1 Filosofi Desain
Dewasa ini telah digunakan dua folosofi desain struktur baja, yaitu desain
tegangan kerja (Allowable Stress Design) dan desain keadaan batas (Load and
Resistance Faktor Design). Keadaan batas adalah suatu keadaan pada struktur
bangunan, dimana bangunan tersebut tidak bisa memenuhi fungsi yang telah
direncanakan. Keadaan batas dapat dibagi menjadi kategori kekuatan (strenght) dan
daya layan (serviceability). Keadaan batas kekuatan atau keamanan adalah
kekuatan daktil (ductile) maksimum biasa disebut kekuatan plastis, tekuk, lelah
(fatigue), pecah (fracture), guling, dan geser. Dalam perencanaan keadaan batas,
keadaan batas kekuatan atau batas yang berhubungan dengan keamanan dicegah
dengan mengalikan suatu faktor pada pembebanan. Peninjauan pada perencanaan
keadaan batas ditujukan pada ragam keruntuhan (failure mode) atau keadaan batas
dengan membandingkan keamanan pada kondisi keadaan batas. (Sumber : Struktur
Desain dan Perilaku Jilid 1 Charles G. Salmon, Halaman 11).

2.6.1.1 Metode Desain Load and Resistance Factor Design (LRFD)

Desain harus dilakukan sesuai dengan persamaan :

Ru ≤ Rn …......................................................................... (2-30)

27
Keterangan :

Ru = Kekuatan perlu menggunakan kombinasi beban.

 = Faktor ketahanan

Rn = Kekuatan nominal

Rn = Kekuatan izin

(Sumber : SNI-1729-2015, Halaman 12).

2.6.1.2 Faktor Reduksi ( )

Faktor reduksi dalam perencanaan struktur berdasarkan metode LRFD,


ditentukan dalam SNI 1729, Halaman. 18 sebagai berikut :

Tabel 2.8 Faktor reduksi ( ) untuk metode LRFD.

Kuat rencana untuk Butir Faktor


reduksi

Komponen struktur yang memikul lentur:


• Balok 8.1, 8.2 & 8.3 0,90
• balok pelat berdinding penuh 8.4 0,90
8.8 & 8.9 0,90
• pelat badan yang memikul geser
8.10 0,90
• pelat badan pada tumpuan 8.11, 8.12, & 0,90
• pengaku 8.13
Komponen struktur yang memikul gaya tekan
aksial:
• kuat penampang 9.1 & 9.2 0,85
• kuat komponen struktur 9.1 & 9.3 0,85
Komponen struktur yang memikul gaya tarik
aksial:
• terhadap kuat tarik leleh 10.1 & 10.2 0,90
• terhadap kuat tarik fraktur 10.1 & 10.2 0,75
Komponen struktur yang memikul aksi-aksi
kombinasi:
• kuat lentur atau geser 11.3 & 11.4 0,90
• kuat tarik 11.3 & 11.4 0,90
• kuat tekan 11.3 & 11.4 0,85
Komponen struktur komposit:

28
• kuat tekan
• kuat tumpu beton 12.3 0,85
12.3.4 0,60
• kuat lentur dengan distribusi tegangan
12.4.2.1 & 12.4.2.3 0,85
plastik
• kuat lentur dengan distribusi tegangan 12.4.2.1 & 12.4.3 0,90
elastik
Sambungan baut:
• baut yang memikul geser 13.2.2.1 0,75
• baut yang memikul tarik 13.2.2.2 0,75
13.2.2.3 0,75
• baut yang memikul kombinasi geser dan
Tarik
13.2.2.4 0,75
• lapis yang memikul tumpu
Sambungan las:
• las tumpul penetrasi penuh 13.5.2.7 0,90
• las sudut dan las tumpul penetrasi 13.5.3.10 0,75
sebagian
• las pengisi 13.5.4 0,75

2.7 Batang Tekan

Batang – batang tekan yang banyak dijumpai yaitu kolom dan batang –
batang tekan dalam struktur batang. Komponen struktur tekan dapat terdiri dari
profil tunggal atau profil tersusun yang digabungkan menggunakan pelat kopel.
Suatu komponen struktur yang mengalami gaya tekan, akibat beban terfaktor Pu,
harus memenuhi :

Pu ≤  . Pn …...................................................................... (2-31)

Keterangan :

 = 

Pu = Beban terfaktor

Pn = Kuat tekan nominal komponen struktur, Ag . f cr

29
Parameter batas tidak langsing kolom, dituliskan sebagai berikut :

Gambar 2.4 Penampang Profil WF

Pada bagian sayap :

b 𝐸
<  =   √𝐹𝑦 …............................................................... (2-32)
t

Pada bagian badan :

b 𝐸
<  =  . √ …............................................................... (2-33)
t 𝐹𝑦

Keterangan :

 = Parameter batas tidak langsing pada kolom

Fy = Tegangan leleh material (MPa)

E = Modulus elastisitas

(SNI-1729-2015, Halaman 17)

Parameter kelangsingan kolom dituliskan sebagai berikut :

λ 𝑓𝑦
c = 𝜋 √ 𝐸 …................................................................. (2-34)

Keterangan :

c = Parameter kelangsingan kolom

30
 = Parameter kelangsingan

fy = Tegangan leleh material (Mpa)

E = Modulus elastisitas

Daya dukung nominal Pn, struktur tekan dihitung sebagai berikut :

fy
Pn = Ag. fcr = Ag . 𝜔 ...…...................................................... (2-35)

Dimana :

Ag = Luas penampang bruto komponen struktur (mm 2)

fcr = Tegangan kritis penampang (MPa)

ω = Koefisien tekuk

fy = tegangan leleh material (MPa)

Pn = Kuat tekan nominal struktur, Ag.f cr

Dengan besar ω ditentukan oleh c, yaitu :

Untuk c < 0,25 maka ω = 1

𝟏,𝟒𝟑
Untuk 0,25 < c < 1,2 maka ω = 𝟏,𝟔−𝟎,𝟔𝟕 λc c

Untuk c > 1,2 maka ω = 1,25 c2

Komponen struktur tekan dapat tersusun dari dua atau lebih profil, yang disatukan
dengan menggunakan pelat kopel. Analisa kekuatannya harus dihitung terhadap
sumbu bahan yang dihitung sebagai berikut :

Kelangsingan pada arah sumbu bahan (sumbu x) dihitung dengan :

k .Lx
x = ...…................................................................. (2-36)
𝑟𝑥

dan sumbu bahan (sumbu y) dihitung dengan :

k .Ly
y = ...…................................................................ (2-37)
𝑟𝑦

31
Keterangan :

Lx,Ly = Panjang komponen struktur tekan arah x dan arah y

k = faktor panjang tekuk

rx, ry, rmin = jari – jari girasi komponen struktur

m = konstanta yang besarnya ditentukan dalam peraturan

L1 = jarak antara pelat kopel pada arah komponen struktur tekan

Nilai k untuk masing – masing sistem portal tersebut dapat dicari dari gambar
nomogram untuk komponen struktur bergoyang dan tidak bergoyang dimana nilai k
merupakan fungsi dari GA dan GB yang merupakan kekakuan struktur yang dominan
terhadap tekan (kolom). Nilai G ditetapkan dengan persamaan :

𝐸𝐼
∑( )𝑘𝑜𝑙𝑜𝑚
𝐿
G = 𝐸𝐼 ...…........................................................ (2-38)
∑( )𝑏𝑎𝑙𝑜𝑘
𝐿

Keterangan :

E = Elastisitas baja

I = Inersia baja

(Struktur Baja, AISC 2010, Halaman 193)

Persamaan diatas dapat dikecualikan untuk kondisi – kondisi berikut :

1. Untuk komponen struktur tekan yang dasarnya tidak terhubung secara kaku
dengan pondasi (contohnya tumpuan sendi), nilai G tidak boleh diambil
kurang dari 10, kecuali bila dilakukan analisa secara khusus untuk
mendapatkan nilai G tersebut.
2. Untuk komponen struktur tekan yang dasarnya terhubung secara kaku pada
pondasi (tumpuan jepit), nilai G tidak boleh kurang dari 1, kecuali dilakukan
analisa secara khusus untuk mendapatkan nilai G tersebut.

32
Untuk menentukan faktor panjang efektif dapat digunakan Alignment chart
dibawah ini :

(a) Rangka tidak bergoyang (b) Rangka bergoyang

Gambar 2.5 Alignment chart untuk panjang efektif

2.8 Batang Lentur

Komponen struktur ini merupakan kombinasi dari elemen tarik dan elemen
tekan, sehingga konsep dari komponen struktur tarik dan tekan dikombinasikan.
Komponen ini diasumsikan sebagai komponen tak tertekuk karena bagian elemen
mengalami tekan sepenuhnya dan terkekang, baik dalam arah sumbu kuat maupun
sumbu lemahnya.

Persyaratan keamanan untuk balok pada metode LRFD, dinyatakan sebagai


berikut :

 Mn ≥ Mu ...….................................................................. (2-39)

33
Keterangan :

 = Faktor reduksi untuk lentur = 0,9

Mn = Kuat momen nominal

Mu = Beban layan terfaktor

Untuk menentukan Mn dapat dihitung dengan persamaan :

Momen Plastis

Mn = Mp = Fy . Zx ...…............................................................ (2-40)

Dalam perhitungan tahanan momen nominal, dibedakan antara penampang


kompak, tidak kompak, dan langsing seperti halnya pada batang tekan.

Batasan kompak, tidak kompak, dan langsing pada badan (web) adalah :

1. Penampang kompak : 𝛌 < 𝛌p

𝑬
dengan batasan 𝛌p = 3,76 √𝑭𝒚

2. Penampang tidak kompak : 𝛌p< 𝛌 < 𝛌r


𝑬
dengan batasan 𝛌p = 5,70 √𝑭𝒚

3. Penampang langsing : 𝛌 > 𝛌r

Sedangkan batasan kompak, tak kompak, dan langsing pada sayap (flens)
adalah :

1. Penampang kompak : 𝛌 < 𝛌p

𝑬
dengan batasan 𝛌p = 0,38 √𝑭𝒚

2. Penampang tidak kompak : 𝛌p< 𝛌 < 𝛌r


𝑬
dengan batasan 𝛌p = 1,40 √𝑭𝒚

34
3. Penampang langsing : 𝛌 > 𝛌r

(Struktur Baja, AISC 2010, Halaman 262) ; (SNI 1729 – 2015, Halaman 20)

Penampang Kompak

Tahanan momen nominal untuk balok terkekang lateral dengan penampang kompak
:

Mn = Mp = Z . fy ..................................................................... (2-41)

Keterangan :

Mn = Tahanan momen nominal

Mp = Momen tahanan plastis

Z = Modulus plastis

fy = Tegangan leleh material

Penampang Tidak Kompak

Tahanan momen nominal untuk balok terkekang lateral dengan penampang tidak
kompak

Mn = Mr = (fy – fr) . S ............................................................. (2-42)

Keterangan :

fy = Kuat leleh

fr = Tegangan sisa (residu)

S = Modulus penampang

Mr = Kekuatan lentur perlu

Besarnya tegangan sisa (residu) fr = 70 MPa untuk penampang dilas panas, dan fr =
115 MPa untuk penampang yang dilas. Bagi penampang yang tidak kompak yang
mempunyai λp< λ < λr maka besar tahanan momen nominal dicari dengan
interpolasi liniar, sehingga diperoleh :

35
𝜆𝑟− 𝜆 𝜆− 𝜆𝑝
Mn = 𝜆𝑟− 𝜆𝑝 Mp + 𝜆𝑟− 𝜆𝑝 Mr .............................................. (2-43)

Keterangan :

𝒃
λ = Kelangsingan penampang balok = (𝟐𝒕𝒇 )

Mn = Tahanan momen nominal

Mp = Momen tahanan plastis

Mr = Kekuatan lentur perlu

Tekuk Torsi Lateral

Tekuk torsi lateral adalah kondisi batas yang menentukan kekuatan sebuah balok.
Sebuah balok mampu memikul momen maksimum hingga mencapai momen plastis
lalu akan mengalami keruntuhan.

Berikut perilaku balok terhadap tekuk torsi lateral :

a) Bila L ≤ Lp, keadaan batas dari tekuk torsi lateral tidak boleh digunakan.

𝐸
Dengan : Lp = 1,76ry √𝐹𝑦 ............................................. (2-44)

b) Bila Lp < Lb < Lr

𝑬 𝑱𝒄 𝑱𝒄 𝟎,𝟕𝑭𝒚
Dengan : Lr = 1,95rts 𝟎,𝟕𝑭𝒚 √𝑺𝒙𝒉𝒐 + √(𝑺𝒙𝒉𝒐)𝟐 + ( 𝑬 )𝟐 .... (2-45)

Maka, momen nominalnya adalah :


Lb−Lp
Mn = Cb [Mp – (Mp – 0,7fysx) ( Lr−Lp )] ≤ Mp .... (2-46)

c) Lb > Lr
Maka momen nominalnya adalah :

36
Mn = fcr Sx ≤ Mp …………………………...….. (2-47)
(SNI-1729-2015, Halaman. 51)
Keterangan :
Lb = jarak antara pengaku/breis (mm)
Lp = panjang komponen struktur utama (mm)
Lr = pembatas panjang tidak dibreis secara lateral untuk analisis plastis
Mn = tahanan momen nominal
Cb = faktor modifikasi tekuk torsi lateral untuk diagram momen tidak
merata
Mp = momen tahanan plastis
Sx = modulus penampang elastis pada sumbu x (mm3)
Fcr = tegangan kritis penampang (MPa)

2.9 Aksial – Momen


Suatu struktur yang mengalami momen lentur dan gaya aksial harus
direncanakan untuk memenuhi ketentuan sebagai berikut :
𝑁𝑢
Untuk ∅.𝑁𝑛 ≥ 0,2 :
𝑁𝑢 8 𝑀𝑢𝑥 𝑀𝑢𝑦
+ 9 (∅𝑏.𝑀𝑛𝑥 + ∅𝑏.𝑀𝑛𝑦) ≤ 1,0 …………………..…...….. (2-48)
∅.𝑁𝑛
𝑁𝑢
Untuk ∅.𝑁𝑛 < 0,2 :
𝑁𝑢 8 𝑀𝑢𝑥 𝑀𝑢𝑦
+ 9 (∅𝑏.𝑀𝑛𝑥 + ∅𝑏.𝑀𝑛𝑦) ≤ 1,0 ……………………...….. (2-49)
2∅.𝑁𝑛

Keterangan :
Nu = gaya tekan aksial terfaktor (kg) = Ag.fcr
Nn = kuat tekan nominal dengan menganggap batang suatu elemen sebagai
tekan murni
∅ = faktor reduksi tahanan tekan = 0,85
Mux = momen lentur terfaktor terhadap sumbu x, dengan memperhitungkan efek
orde
kedua
Mnx = tahanan momen nominal untuk lentur terhadap sumbu x

37
Muy = momen lentur terfaktor terhadap sumbu y, dengan memperhitungkan efek
orde kedua
Mny = tahanan momen nominal untuk lentur terhadap sumbu y
∅𝑏 = faktor reduksi tahanan lentur = 0,90

2.9.1 Pembesaran Momen Struktur Tak Bergoyang


Untuk suatu komponen struktur tak bergoyang, maka besarnya momen
lentur terfaktor harus dihitung sebagai berikut :
Mu = 𝛿 b.Mntu …………………………………..…...….. (2-50)
Mntu, adalah momen lentur terfaktor orde pertama yang diakibatkan oleh beban –
beban yang tidak menimbulkan goyangan, sedangkan 𝜹b, adalah faktor pembesaran
momen untuk komponen struktur tak bergoyang, yang besarnya ditentukan sebagai
berikut :
𝐶𝑚
𝛿b = 𝑁𝑢 ≥ 1,0 …………………………..….….. (2-51)
1−( )
𝑁𝑒1

Keterangan :
Nu = gaya tekan aksial terfaktor (kg) = Ag.fcr
Ne1 = gaya tekan menurut Euler dengan kL/r terhadap sumbu lentur dan k ≤ 1,0
(untuk
Komponen struktur tak bergoyang)
𝑀1
Cm = 0,6 – 0,4 (𝑀2) …………………………..….….. (2-52)

Dimana nilai M1 dan M2 (M1<M2) didapatkan dari nilai momen pada ujung
tumpuan.

2.9.2 Pembesaran Momen Struktur Bergoyang


Untuk komponen struktur bergoyang, maka besar momen lentur terfaktor
dihitung sebagai berikut :
Mu = 𝛿 b.Mntu + 𝛿 s.Mltu ………………………..….….. (2-53)
Dengan Mltu, adalah momen lentur terfaktor orde pertama yang diakibatkan oleh
beban – beban yang menimbulkan goyangan. Faktor pembersaran momen 𝜹s
ditentukan sebagai berikut :

38
1
𝛿s = 𝛥𝑜ℎ ………………………..……...….. (2-54)
1−𝛴𝑁𝑢( )
𝐻𝐿

Atau
1
𝛿s = 𝑁𝑢 ……………………………..…...….... (2-55)
1−( )
𝑁𝑒2

Keterangan :
ΣNu = gaya tekan aksial terfaktor akibat beban gravitasi untuk seluruh kolom
pada
Suatu tingkat yang ditinjau
Ne2 sama dengan Ne1, namun dengan menggunakan k untuk komponen struktur
bergoyang dimana k ≥ 1,0
Δoh = simpangan antar lantai pada tingkat yang ditinjau
ΣH = jumlah gaya horizontal yang menghasilkan Δoh pada tingkat yang
ditinjau
L = tinggi tingkat

2.10 Balok komposit


2.10.1 Lebar Efektif

Konsep lebar efektif bermanfaat dalam desain bila kekuatan harus


ditentukan untuk suatu elemen yang terkena distribusi tegangan tak seragam. Aksi
komposit terdiri dari kekakuan balok baja dan lebar tertentu (lebar efektif) pelat
beton.

39
Gambar 2.6 Distribusi tegangan ekuivalen dan aktual di sepanjang
lebar flens

Gambar 2.6 Dimensi-dimensi yang menentukan lebar efektif bE pada


Gambar 2.7 baja-beton komposit.
Besarnya lebar efektif untuk penampang T diambil nilai terkecil dari :
1. Untuk gelagar interior ( plat menumpu pada kedua sisi ), dengan mengacu
pada gambar 2.6 :
a. beff ≤ L/4
b. beff ≤ bo (untuk jarak balok yang sama)
c. beff ≤ bf + 16ts

40
2. Untuk gelagar luar :
d. beff ≤ bf + L/12
e. beff ≤ bf + 6ts
f. beff ≤ bf + 0,5 (jarak bersih balok ke balok berikutnya)
Dimana :
𝐿 : Panjang bentang (mm)
𝑏𝑜 : Jarak antar balok (mm)
𝑏𝑓 : Lebar flens baja (mm)
𝑡𝑠 : Tebal pelat (mm)
Sumber : SNI 03-1729-2015 Pasal I3.1a Halaman 94

2.10.2 Rasio Modulus Elastisitas

Sifat-sifat penampang elastis dari penampang komposit dapat dihitung


dengan metode transformasi penampang. Berbeda dari beton bertulang, dimana
baja batang tulangan ditransformasikan menjadi luas beton ekuivalen, slab beton
pada penampang komposit ditransformasikan menjadi baja ekuivalennya. Akibat
luas beton direduksi dengan menggunakan lebar slab yang sama dengan bE/n
dimana ‘n’ merupakan rasio modulus elastisitas Es/Ec (SNI 03-1729-2015 Pasal
I2.1b).
n = Es/Ec ………………………………….……..…...….... (2-56)
Ec= 4700√𝑓′𝑐 ………………………………….………..... (2-57)
Dimana :
𝑛 : Rasio modulus elastisitas
𝐸𝑠 : Modulus elastisitas baja (Mpa)
𝐸𝑐 : Modulus elastisitas beton (Mpa)
𝑓’𝑐 : Kuat tekan karakteristik beton (Mpa)

41
2.10.3 Kuat Lentur Nominal
2.10.3.1 Daerah Momen Positif
a) Sumbu netral plastis jatuh pada pelat beton
Dengan mengacu pada gambar, maka besar tekan C adalah :

C = 0,85 . f’c . a . bE ……………….………..... (2-58)


Gaya tarik T pada profil baja adalah sebesar :
T = As . fy ……………….……….... (2-59)
Dari keseimbangan gaya C = T, maka diperoleh :
𝐴𝑠 . 𝑓𝑦
a = 0,85 . ……………….……….... (2-60)
𝑓 ′ 𝑐 . 𝑏𝐸

Kuat lentur nominal dapat dihitung dari gambar bagian (b) :


Mn = C . d1 ……………….……........ (2-61)
Atau
𝑑 𝑎
Mn = T . d1 = As . fy . ( 2 + 𝑡𝑠 − 2) …………………. (2-62)

Gambar 2.8 Distribusi Tegangan Plastis pada kekuatan momen nominal (Mn)

Jika dari hasil perhitungan ternyata a > ts, maka asumsi harus diubah. Hasil
ini menyatakan bahwa pelat beton tidak cukup kuat untuk mengimbangi
gaya tarik yang timbul pada baja.
b) Sumbu netral plastis jatuh pada pelat baja
Apabila dalam blok tegangan beton nilai a ternyata melebihi tebal pelat
beton (ts) , maka distribusi tegangan dapat ditunjukkan seperti pada gambar
diatas.

42
Gaya tekan Cc yang bekerja pada beton adalah sebesar :
C = 0,85 . f’c . bE . ts ……………………………..... (2-63)
Dari keseimbangan gaya, diperoleh hubungan :
T’ = Cc + Cs ……………………………..... (2-64)
Besar T’ sekarang lebih kecil daripada As . fy , yaitu :
T’ = As . fy - Cs ……………………………..... (2-65)
Dengan menyamakan persamaan diatas, maka diperoleh :
As .𝑓𝑦 − Cs
Cs = ……………………………..... (2-66)
2

Atau dengan mendistribusikan persamaan, diperoleh bentuk :


As .𝑓𝑦 − 0,85 . f′ c . bE . ts
Cs = ……………………..... (2-67)
2

Kuat lentur nominal diperoleh dengan memperhatikan gambar bagian (c) :


Mn = Cc . d2’ + Cs . d2’’ ……………………………..... (2-68)

2.10.3.2 Daerah Momen Negatif


Pada dasarnya, prinsip perhitungan pada momen positif dan negatif
hampir sama,yang membedakan adalah nilai kuat nominal yang itmbul dan
dapat dihitung :
Untuk T = Tn = Asr . fyr ……………………………………..... (2-69)
Untuk C = Cn = As’ . fyr ……………….……………................ (2-70)
Keterangan :
Asr = luas total tulangan longitudinal pada tumpuan interior yang
terletak di
dalam lebar efektif flens bE
As’ = luas total tulangan tekan pada lokasi momen positif maksimum
dan
terletak didalam lebar efektif bE
fyr = tegangan leleh minimum dari tulangan longitudinal (MPa)

43
2.10.3.3 Kontrol Lendutan
Apabila balok dibebani oleh beban (baik beban merata maupun terpusat),
maka akan melentur (deflected) sehingga menimbulkan lendutan. Besarnya
lendutan balok dan putaran sudut 𝜃 di titik A dan B tergantung pada nilai EI.

Lendutan yang diijinkan :

1
fijin = f = 360 . L ……………………........... (2-71)

lendutan maksimal yang terjadi (fmaks) harus lebih kecil dari lendutan yang diijinkan
(fijin). Sedangkan lendutan yang terjadi dihitung menggunakan metode momen area.
Lendutan menggunakan momen area dihitung sebagai berikut :

𝑀
f = 𝐸. ……………….……………................ (2-72)
𝐼𝑘𝑜𝑚𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡

Keterangan :

L = panjang bentang (mm)

M = momen maksimum akibat lentur yang diperoleh dari luasan

momen (N)

E = modulus elastisitas (N/mm2)


Ikomposit = momen inersia penampang komposit (mm4)

2.11 Penghubung geser (Shear connector)


Gaya geser yang terjadi antara pelat beton dan profil baja harus dipikul oleh
sejumlah penghubung geser, sehingga tidak terjadi slip pada masa layan. Kuat
nominal penghubung geser jenis paku yang ditanam (stud) dalam pelat beton yaitu
sebagai berikut

Qn = 0,5 . Asc . √𝑓 ′ 𝑐 . 𝐸𝑐 ≤ Asc . fu ......................... (2-73)

Dimana :

Asc = luas penampang shear connector jenis paku (mm3)

44
fu = tegangan putus penghubung jenis paku

Qn = kuat geser nominal untuk penghubung geser

Jumlah shear connector yang dibutuhkan yaitu :

𝑉ℎ
N1 = 𝑄𝑛 ........................................................................ (2-74)

Dimana :

N1 = jumlah penghubung geser

Vh = gaya geser horizontal

Persyaratan mengenai jarak untuk penghubung geser diatur dalam SNI 03-1729-
2002 pasal 12.6.6 halaman 92.

2.12 Kolom Baja


2.12.1 Profil Baja WF Encased
Kolom adalah bagian dari struktur bangunan yang berfungsi meneruskan
beban diatasnya ke konstruksi pondasi bangunan. Dalam perencanaan pendahuluan
/ preliminary desain kolom, gaya-gaya dalam yang bekerja adalah gaya aksial serta
momen. Karena pada balok menggunakan profil WF maka agar lebih mudah dalam
perhitungan dan pelaksanaan, untuk kolom digunakan profil WF encased karena
dengan ini, kolom memiliki keuntungan pada kemampuan untuk memikul gaya
aksial serta momen dikarenakan penggabungan kedua material utamanya berupa
profil baja dan beton

45
Gambar 2.9 Kolom WF encased

2.12.2 Kekuatan Kolom Baja

Tata cara kekuatan tekan kolom baja diatur dalam SNI 03-1729-2015 pasal
E1. Kekuatan tekan desain ∅𝑐𝑃𝑛, dan kekuatan tekan yang diizinkan, 𝑃𝑛/𝛺𝑐,
komponen struktur kolom yang dibebani secara aksial simetris ganda harus
ditentukan untuk keadaan batas dari tekuk lentur, tekuk torsi, dan tekuk torsi-lentur
berdasarkan kelangsingan komponen struktur sebagai berikut :
𝑃𝑢 ≤ ∅𝑐𝑃𝑛 ........................................................................................ (2-75)
Dimana :
Ø𝑐 = 0,90
𝑃𝑢 = Beban terfaktor
𝑃𝑛 = kuat tekan nominal komponen struktur = Ag.fcr
𝐸𝑐 = Modulus elastisitas beton = 4700√𝑓′𝑐, (Mpa)

2.12.3 Panjang Efektif

Pada SNI 03-1729-2015 pasal E2, faktor panjang efektif (K) digunakan
untuk perhitungan kelangsingan komponen struktur (KL/r). Dalam hal ini struktur
cukup diklasifikasikan menjadi 2 kategori dengan K yang berbeda, yaitu :
• Rangka tidak bergoyang : 0,5 ≤ K ≤ 1,0
• Rangka bergoyang : 1,0 ≤ K ≤ ∞

46
Panjang efektif kolom (LK) didapat dengan mengalikan suatu faktor
panjang efektif (k) dengan panjang kolom (L), nilai “k” didapat dari nomogram,
dengan menghitung nilai G, yaitu :
I
∑( )kolom
L
G= I ........................................................... (2-76)
∑( )balok
L

Dimana :
𝐼 = Momen inersia kolom/balok (cm4)
𝐿 = Panjang kolom/balok (cm)
𝐼
𝑟 = Radius girasi penampang = √𝐴

Catatan : Untuk komponen struktur yang dirancang berdasarkan tekan, rasio


kelangsingan efektif (KL/r), sebaiknya tidak melebihi 200.

Gambar 2.10 Nomogram faktor panjang tekuk kolom portal

Tekuk Lokal
SNI 03-1729-2015 pasal B4.1 untuk kondisi tekan, penampang

diklasifikasikan sebagai elemen langsing atau penampang elemen langsing.

47
Untuk profil elemen non langsing, rasio tebal terhadap lebar dari elemen tekan tidak

boleh melebihi λr dari tabel, jika rasio tersebut melebihi λr , disebut penampang

dengan elemen langsing

Tabel 2.9 Rasio tebal terhadap lebar : Elemen tekan komponen


struktur
yang menahan tekan
λ𝑟
aksial
Kasus Elemen Rasio lebar-tebal Deskripsi penampang
batas tidak langsing
Sayap dari Profil I
canai panas, pelat
yang diproyeksikan
dari profil I canai
panas; kaki berdiri
1 bebas dari
sepasang siku
disambung dengan
kontak menerus,
sayap dari kanal,
Elemen tanpa pengaku

dan sayap dari Tsiku

Sayap dari profil I


tersusun dan pelat
2 atau kaki siku yang
diproyeksikan dari
profil I tersusun

Kaki dari siku tunggal,


kaki dari siku ganda
3 dengan pemisah, dan
semua elemen tak
diperkaku lainnya

4 stem dari T

badan dari profil I


5 simetris ganda
dan kanal

dinding PSB
6 persegi dan boks
dari ketebalan
Elemen yang diperkaku

merata

Pelat penutup
sayap dan pelat
diafragma antara
7
deretan sarana
penyambung atau
las

Semua elemen
8
diperkaku lainnya

9 PSB bulat

48
Tekuk Lentur Struktur Tanpa Elemen Langsing

Pada SNI 03-1729-2015 pasal E3, kekuatan tekan nominal (Pn) harus
ditentukan berdasarkan keadaan batas dari tekuk lentur :
Pn = Fcr.Ag ............................................................... (2-77)
Tegangan kritis (Fcr), ditentukan sebagai berikut :
𝐾𝐿 𝐸 𝐹𝑦
a. Bila ≤ 4,71√𝐹𝑦 atau ≤ 2,25
𝑟 𝐹𝑒

𝐹𝑦
𝐹𝑐𝑟 = ( 0,658 𝐹𝑒 ) … ................................................ (2-78)

𝐾𝐿 𝐸 𝐹𝑦
b. Bila > 4,71√𝐹𝑦 atau > 2,25
𝑟 𝐹𝑒

𝐹𝑦
𝐹𝑐𝑟 = ( 0,877 𝐹𝑒 ) … ................................................ (2-79)

Dimana :
𝐴𝑔 = Luas bruto dari komponen struktur (mm2)
𝐸 = Elastisitas baja= 200000 Mpa
𝐹𝑦 = Tegangan leleh minimum baja (Mpa)
𝜋2𝐸
𝐹𝑒 = Tegangan tekuk kritis elastis = 𝐾𝐿 2
( )
𝑟

Tekuk Lentur Struktur Elemen Langsing


Kekuatan tekan nominal (Pn) harus nilai terendah berdasarkan pada keadaan
batas dari tekuk letur, tekuk torsi dan tekuk torsi-lentur yang sesuai.
Pn = Fcr.Ag
Tegangan kritis (Fcr), ditentukan sebagai berikut :
𝐾𝐿 𝐸 𝑄𝐹𝑦
a. Bila ≤ 4,71√𝑄𝐹𝑦 atau ≤ 2,25
𝑟 𝐹𝑒

𝑄𝐹𝑦
𝐹𝑐𝑟 = 𝑄 ( 0,658 𝐹𝑒 )Fy ........................................... (2-80)

𝐾𝐿 𝐸 𝑄𝐹𝑦
b. Bila > 4,71√𝑄𝐹𝑦 atau > 2,25
𝑟 𝐹𝑒

𝐹𝑐𝑟 = 0,877. 𝐹𝑒 ………........................................... (2-81)

49
Dimana :
𝑄 = Faktor reduksi neto yang menghitung untuk semua elemen tekan
langsing
Catatan : 1,0 untuk komponen struktur tanpa elemen langsing, seperti
dijelaskan dalam pasal B4.a untuk elemen dalam tekan merata
Qs Qa untuk komponen struktur dengan penampang elemen
langsing, seperti dijelaskan pada pasal B4.1 untuk elemen dalam
tekan merata.

2.13 Sambungan
Sambungan dalam suatu struktur merupakan bagian yang tidak mungkin
diabaikan begitu saja, karena kegagalan pada sambungan dapat mengakibatkan
kegagalan struktur secara keseluruhan. Sambungan terdiri dari komponen
sambungan (pelat pengisi, pelat buhul, pelat pendukung, dan pelat penyambung)
dan alat pengencang (baut dan las).

2.13.1 Sambungan Baut


Salah satu alat pengencang disamping las yang cukup populer adalah baut,
terutama baut mutu tinggi. Dua baut mutu tinggi yang distandarkan ASTM adalah
tipe A325 dan A490. Baut A325 terbuat dari baja karbon, sedangkan baut A490
yang terbuat dari baja alloy.
Sambungan baut yang memiliki beban terfaktor Ru, sesuai persyaratan LRFD harus
memenuhi:
Ru ≤ ∅ . Rn ………............................................................ (2-82)
Dimana :
Ru = beban terfaktor .
Rn = kuat nominal baut .
∅ = faktor reduksi (untuk konektor nilai ∅ disesuaikan dengan tipe kejadian,
seperti:
untuk retakan tarik = 0,75 ; untuk geser pada baut mutu tinggi = 0,65 ;
untuk tumpuan baut pada sisi lubang = 0,75).

50
Perencanaan Sambungan Baut
kontrol jarak antar baut :
a) Jarak baut ke tepi (S1)
Tabel 2.10 Jarak tepi minimum.

Diameter Baut (mm) Jarak Tepi Minimum (mm)


16 22
20 26
22 28
24 30
27 34
30 38
36 46
Di atas 36 1,25d
(Sumber : SNI-1729-201, Halaman 128)
b) Jarak antar baut (S2)
Jarak antara pusat – pusat standar, ukuran berlebih, atau lubang – lubang
slot
2
tidak boleh kurang dari 2 3 kali diameter nominal, d, dari pengencang, jarak

3d yang lebih umum.


(Sumber : SNI-1729-2015, Halaman 127)

Kuat nominal terhadap tarik dan geser :

∅ . Rn = fn . Ab………........................................................... (2-83)

Keterangan :
Rn = kuat tarik nominal
∅ = faktor reduksi tarik (0,75)
fn = tegangan tarik nominal fnt, atau tegangan geser fnv (MPa)
Ab = luas tubuh baut tidak berulir nominal atau bagian berulir (mm2)

51
Kuat nominal tumpu pada lubang – lubang baut :

∅ . Rn = 1,2 . lc . tp . fu ≤ 2,4 . d . tp . fu ............................. (2-84)

Keterangan :

Rn = kuat tumpu nominal

∅ = faktor reduksi tumpu (0,75)

fu = kuat tarik putus terendah dari naut atau plat (MPa)

tp = tebal pelat (mm)

d = diameter baut nominal (mm)

lc = jarak bersih, dalam arah gaya, antara tepi lubang yang berdekatan atau
tepi dari

baut atau plat (mm)

Tabel 2.11 Kekuatan nominal pengencang dan bagian yang berulir

Kekuatan geser
Kekuatan tarik
nominal dalam
Deskripsi pengencang nominal, fnt
sambungan tipe
(MPa)
tumpu, fnv (MPa)
Baut A307 310 188
Baut group A(misal,A325), bila ulir
tidak dikecualikan dari bidang 620 372
geser
Baut group A(misal,A325), bila ulir
620 457
tidak termasuk dari bidang geser
Baut A490 atau A490M, bila ulir
tidak dikecualikan dari bidang 780 457
geser

52
Baut A490 atau A490M, bila ulir
780 579
tidak termasuk dari bidang geser
Bagian berulir yang memenuhi
persyaratan pasal A3.4, bila ulir
0,75 fu 0,45 fu
tidak dikecualikan dari bidang
geser
Bagian berulir yang memenuhi
persyaratan pasal A3.4, bila ulir 0,75 fu 0,563 fu
tidak termasuk dari bidang geser

Menentukan jumlah baut :

𝑅𝑢
n = ∅. ………………………................................... (2-85)
𝑅𝑛

Keterangan :

n = jumlah baut

Rn = tahanan nominal baut

Ru = beban terfaktor

Kombinasi terhadap gaya tarik dan gaya geser :

∅ . Rn = f’nt . Ab ……………………….......................... (2-


86)

Keterangan :

Ab = luas tubuh baut tidak berulir nominal atau bagian berulir (mm2)

f’nt = tegangan tarik nominal yang dimodifikasi mencakup tegangan geser


(MPa)

∅ = faktor reduksi (0,75)

Rn = kuat tumpu nominal

53
Kekuatan geser blok pelat :

Rn = 0,6 . Fu . Anv + Ubs . Fu . Ant ≤ 0,6 . Fy . Agv + Ubs . Fu . Ant …….... (2-87)

Keterangan :

Fu = kuat tarik minimum pelat sambungan

Fy = kuat leleh minimum pelat sambungan

Anv = luas netto (dengan lubang) potongan yang mengalami gaya geser

Agv = luas bruto (tanpa lubang) potongan yang mengalami gaya geser

Ant = luas netto potongan (dengan lubang) yang mengalami gaya tarik

Ubs = untuk tegangan tarik merata (Ubs = 1,0)

untuk tegangan tarik tidak merata (Ubs = 0,5)

(SNI-1729-2015, Halaman 134)

Kontrol terhadap momen :

0,9 𝑓𝑦 . 𝑎2 . 𝑏
∅ . Mn = + ∑𝑛𝑖=1 𝑇 . 𝑑 . 𝑖 ……………………..... (2-88)
2

0,75 . 𝑓𝑢𝑏 . 𝑛1 . 𝑛2 . 𝐴𝑏
𝒶 = …………...……………………..... (2-89)
𝑓𝑏 . 𝑏

∑𝑛𝑖=1 𝑇 . 𝑑 . 𝑖 = 0,75 . fub . n1 . Ab . ∑ 𝑑 ……………………... (2-90)

Keterangan :

n1 = jumlah kolom baut

n2 = jumlah baris baut

Ab = luas penampang baut

Σd = penjumlahan d

b = lebar balok

54
𝒶 = tinggi penampang tekan

fub = kuat tarik nominal balok

fy = tegangan leleh

2.13.2 Sambungan Las


Pengelasan adalah suatu proses penyambungan bahan logam yang
menghasilkan peleburan bahan dengan memanasinya sehingga suhu yang tetap
dengan atau tanpa pemberian tekanan.

2.13.2.1 Jenis – jenis sambungan las

Beberapa jenis sambungan yang sering ditemui dalam sambungan las adalah :

a. Sambungan sebidang (butt joint), sambungan ini umumnya dipakai untuk


pelat – pelat dasar dengan ketebalan sama atau hampir sama.
b. Sambungan lewatan (lap joint), sambungan ini banyak dijumpai karena
sambungan ini mudah disesuaikan keadaan di lapangan dan juga
sambungannya relatif mudah.
c. Sambungan tegak (tee joint), sambungan ini banyak digunakan terutama
untuk membuat penampang tersusun seperti bentuk I, pelat girder, dan lain
– lain.
d. Sambungan sudut (corner joint), sambungan ini dipakai untuk penampang
tersusun yang berbentuk kotak.
e. Sambungan sisi (edge joint), sambungan ini bukan jenis struktural dan
digunakan untuk menjaga agar dua atau lebih pelat tidak bergeser.

55
Gambar 2.11 Tipe – tipe sambungan las

2.13.2.2 Jenis – Jenis Las


a. Las tumpul (groove welds), las ini dipakai untuk menyambung batang –
batang sebidang.
b. Las sudut (fillet welds), tipe las ini paling banyak dijumpai dibandingkan
tipe las yang lain, 80% sambungan las menggunakan tipe las sudut.
c. Las baji dan pasak (slot and plug), jenis las ini biasanya digunakan
bersama – sama dengan las sudut. Manfaat utamanya adalah menyalurkan
gaya geser pada sambungan lewatan bila ukuran panjang las terbatas oleh
panjang yang tersedia untuk las sudut.

Gambar 2.12 Jenis - jenis las

56
Pembatasan ukuran las sudut
te = 0,707a

Gambar 2.13 Tebal efektif las sudut

Tabel 2.12 Ukuran minimum las sudut.

Tebal pelat (t) Ukuran minimum las sudut


mm (a) mm
t≤6 3
6 ≤ t ≤ 13 5
13 ≤ t ≤ 19 6
t > 19 8
(Sumber : SNI-1729-2015, Halaman 116)

Ukuran maksimum dari las sudut dari bagian – bagian yang tersambung harus :

a. Sepanjang tepi material dengan ketebalan kurang dari 6 mm, tidak lebih
besar dari ketebalan material.
b. Sepanjang tepi material dengan ketebalan 6 mm atau lebih, tidak lebih besar
dari ketebaalan material dikurangi 2 mm, kecuali las yang secara khusus
diperlihatkan pada gambar pelaksanaan untuk memperoleh ketebalan throat
penuh. Untuk kondisi las yang sudah jadi, jarak antara tepi logam dasar dan
ujung kaki las boleh kurang dari 2 mm bila ukuran las secara jelas dapat
diverifikasi.

57
Kontrol sambungan las

Ru ≤ ∅ Rnw …………………………..…………………... (2-91)

Keterangan :

Ru = beban terfaktor las

∅ = faktor reduksi (0,75)

Rnw = tahanan nominal per satuan panjang las

Tahanan nominal las

∅ . Rnw = ∅ . te . (0,6 . fuw) …………..……….……………... (2-92)

Keterangan :

te = tebal efektif las (0,707a), dengan a = tebal las sudut

fuw = kuat tarik putus logam las

Rnw = tahanan nominal per satuan panjang las

∅ = faktor reduksi (0,75)

Panjang las yang dibutuhkan :

𝑅𝑢
Lw = ∅. ……………………..……….…………..... (2-93)
𝑅𝑛𝑤

Dimana :

Lw = panjang las yang dibutuhkan

Ru = beban terfaktor (N)

Rnw = tahanan nominal per satuan panjang las

58
2.13.2.3 Sambungan Kolom – Kolom
Nama – nama sambungan didasarkan pada perencanaannya, yakni gaya
dasar yang ada pada plat kolom. Sambungan yang dimaksudkan untuk menahan
momen pada kolom disebut moment splices (sambungan momen), sedangkan untuk
menahan gaya geser disebut shear splices (sambungan geser). Kolom dijadikan
subyek untuk tiga macam gaya, yaitu gaya aksial, horizontal, dan momen torsi aksi
individu atau kombinasi. Sambungan dalam bentuk pelat diletakkan pada sayap
kolom untuk menahan beban aksial dan beban kombinasi untuk momen atau
diletakkan pada badan untuk menahan gaya horizontal.
Tipe – tipe sambungan kolom dapat dilihat pada gambar 2.11, dimana pada (a)
kolom bagian atas dan bagian bawah sama bentuknya dan disambung dengan plat
penyambung pada bagian sayapnya. Sambungan kolom ini cocok untuk tekan
aksial. (b) kolom bagian atas dan bawah memiliki lebar yang sama, tetapi ketebalan
flens atas lebih tipis dari kolom bawah. Sambungan kolom ini cocok untuk menahan
gaya aksial saja. (c) memperhatikan dua kolom dengan lebar yang tidak sama
dengan menggunakan pelat pengisi. Pelat pengisi akan memberikan ketebalan
untuk membuat kolom atas sama lebarnya seperti kolom bawah. jika kolom
menerima momen tambahan, jumlah baut yang sudah dihitung boleh menggunakan
pelat momen seperti pada gambar. (d) pada bagian yang lebarnya tidak sama,
kadang – kadang diperlukan plat tumpuan kira – kira setebal 5 cm untuk
mendapatkan tempat penghubung yang baik untuk mentransfer beban ke kolom
bawah seperti pada gambar.

59
Gambar 2.14 Sambungan kolom – kolom

2.13.2.4 Sambungan Balok – Kolom


Sambungan balok ke kolom ditujukan untuk memindahkan momen dan
memperkecil atau meniadakan rotasi batang pada sambungan. Karena sayap suatu
balok memikul hampir seluruh momen lentur melalui gaya tarik dan gaya tekan
sayap (flens) yang terpisah oleh lengan momen yang kira – kira sama dengan tinggi
balok. Persyaratan yang dibuat harus berkaitan dengan pemindahan gaya aksial
yang penting ini. Karena gaya geser terutama dipikul oleh badan balok, maka
kontinuitas penuh mengharuskan gaya geser dipindahkan langsung dari badan
(web).

Gambar 2.15 Sambungan balok – kolom

60
Dimana tebal pelat minimum dapat dihitung dengan persamaan :
𝑀𝑢
∅ . 𝐹𝑝𝑦
tp ≥ [ 𝑏𝑓 1 1 2 𝑏𝑓 ℎ 1 ]1/2
………………...... (2-94)
( ( + ) + (𝑃𝑓.𝑖+𝑠) )(ℎ−𝑝𝑡)+ ( + )
2 𝑃𝑓,𝑖 𝑠 𝑔 2 𝑃𝑓,𝑜 2

Dengan nilai s :
1
s = 2 √𝑏𝑓 . 𝑔 ……………………..……….……………..... (2-95)

Keterangan :
Fpy = tegangan leleh material pelat ujung (MPa)
Mpl = kapasitas momen plastis pelat ujung (MPa)
Mu = momen batas sambungan pelat ujung/momen terfaktor (MPa)
∅ = keruntuhan lentur akibat leleh (0,9)

Kuat sambungan didasarkan pada kekuatan baut tanpa efek prying/congkel


Mnp = 2 Pt (d1 + d2) ……………………..………...…..... (2-96)

Keterangan :

Mnp = kapasitas sambungan baut end plate didasarkan pada kekuatan baut tanpa
efek

prying/congkel (MPa)

∅ = keruntuhan fraktur baut (0,75)

2.13.2.5 Sambungan balok induk – balok anak

Gambar 2.16 Sambungan balok induk balok anak

61
Bila balok merangka secara transversal ke gelagar atau balok lainnya, maka balok
– balok tersebut mungkin ditempelkan ke salah satu ataupun kedua sisi dari badan
gelagar dengan menggunakan sambungan balok dengan rangkasederhana atau
dengan menggunakan dudukan yang dikombinasikan dengan sambungan balok
rangka.
Untuk sambungan balok ke balok disarankan memberikan suatu sarana yang
memungkinkan gaya tarik yang ada pada suatu flens balok akan ditahan melintasi
balok disebelahnya pada sisi lain dari badan gelagar.

2.14. Pelat Landasan (Base Plate)


Dalam perencanaan suatu struktur baja, bagian penghubung antara kolom
struktur dengan pondasi sering disebut dengan istilah pelat landasan (base plate).
Pada umumnya suatu struktur base plate terdiri dari suatu plat, angkur, serta sirip –
sirip pengaku (stiffener). Struktur base plate biasanya dibagi menjadi beberapa tipe
yaitu :

2.14.1 Kategori sendi


Dalam kasus ini, suatu struktur base plate harus mampu memikul gaya
aksial serta gaya geser. Karena tidak ada momen lentur yang bekerja, maka akan
terjadi distribusi tegangan yang merata pada bidang kontak antara base plate dan
beton penumpu. Sedangkan angkur yang terpasang ditujukan untuk menahan gaya
geser yang terjadi.

Gambar 2.17 Beban yang bekerja pada base plate

62
Untuk kesetimbangan statis, reaksi tumpuan pada beton (Pp) harus segaris
dengan beban aksial yang bekerja.

Pu ≤ ∅ . 𝑃𝑝 …………………………………..……..…..... (2-97)

𝐴2
Pp = ∅ . 0,85 . 𝑓 ′ . 𝐴1 . √𝐴1 …………………..……..…...... (2-98)

𝐴2
√ ≤ 2 …………………………………..……..…..... (2-99)
𝐴1

Keterangan :

Pu = gaya aksial terfaktor

Pp = gaya aksial nominal

N = panjang base plate

B = lebar base plate

A1 = luas permukaan base plate

A2 = luas maksimum bagian permukaan beton yang secara geometris sama


dengan

dan konsentris dengan daerah yang dibebani

∅ = faktor reduksi (0,6)

f’c = kuat tekan beton

Pemeriksaan terhadap friksi (geser) :

∅𝑉𝑛 = ∅ . 𝜇 . Pu ≤ 0,2 . f’c . Ac ………………..…..... (2-100)

Keterangan :

Vn = gaya geser nominal (N)

63
Ac = luas permukaan beton penumpu (mm2)

∅ = faktor reduksi (0,6)

𝜇 = koefisien friksi (0,55 untuk baja ke grout ; 0,7 untuk baja ke beton)

f’c = kuat tekan beton (MPa)

2.14.2 Kategori jepit


Dalam kasus ini, suatu struktur base plate harus mampu memikul momen
lentur yang terjadi. Sedangkan angkur harus didesain agar dapat menahan gaya
uplift serta gaya geser yang terjadi. Dalam kasus ini ada dua variabel yang harus
dihitung yaitu panjang (Y) dan gaya tarik pada angkur (Tu).
Dimensi base plate :
A1 = B . N ………………………………………..…..... (2-101)
Keterangan :
N = panjang base plate
B = lebar base plate
A1 = luas permukaan base plate

Gambar 2.18 Beban yang bekerja pada base plate

64
Perhitungan eksentrisitas :
f e

Vu Pu

q
Tu Y
N
Gambar 2.19 Base plate dengan eksentrisitas beban

𝑀𝑢
e= ……………………………..………………..…..... (2-102)
𝑃𝑢

Keterangan :

e = jarak eksentrisitas (mm)

Mu = momen yang terjadi (Nmm)

Pu = gaya tekan aksial yang terjadi (N)

f = jarak angkur ke sumbu base plate dan sumbu kolom

Perhitungan tegangan tumpu pada beton :

𝐴2
q = ∅c . 0,85 . f’c . B . √𝐴1 …………………………....... (2-103)

𝑁 𝑵 𝟐𝑷𝒖(𝒇+𝒆)
Y = (f + 2 ) ± √(− (𝒇 + 𝟐 ))𝟐 − ….…………....... (2-104)
𝒒

Tu = q . Y – Pu ………………………………………....... (2-105)

Keterangan :

∅c = faktor reduksi (0,6)

f’c = kuat tekan beton (MPa)

B = lebar base plate

Tu = gaya tarik pada angkur

65
q = gaya merata pada pelat (N/mm)

A1 = luas permukaan base plate


A2 = luas maksimum base plate yang menahan beban konsentrik

Perhitungan angkur

Angkur yang dipasang pada suatu base plate direncanakan untuk memikul beban
geser dan tarik, dengan syarat sebagai berikut :

Kontrol geser :

Vub ≤ ∅ . Fv . Ab ……………………………….……....... (2-106)

Kontrol tarik :

Tub ≤ ∅ . Ft . Ab ……………………………….……....... (2-107)

Keterangan :

Tub = gaya tarik terfaktor yang terjadi pada angkur (N)

Vub = gaya geser terfaktor yang terjadi pada angkur (N)

Ab = luas tubuh angkur (mm2)

∅ = faktor reduksi (0,75)

Fv = tegangan geser nominal (MPa)

Ft = tegangan tarik nominal (MPa)

𝑽𝒖𝒃
Fv = tegangan geser yang terjadi pada angkur = 𝑨𝒃

(Sumber : Perencanaan Struktur Baja Metode LRFD edisi II, 13.12 – 13.21)

66
Tebal pelat landasan (Base plate)

Gambar 2.20 Penampang base plate dan notasi

𝑁−0,95 .𝑑
m= ……………………………….……...…....... (2-108)
2

𝐵−0,8 .𝑏𝑓
n= ……………………………….……...…....... (2-109)
2

𝑑 𝑡𝑓
x=f- + ……………………………….……...…....... (2-110)
2 2

maka :

𝑌
𝑃𝑢 . 𝑚 −( )
tp = 2,11 √ 2
…………………….……...…....... (2-111)
𝐵 . 𝑓𝑦

Keterangan :

B = lebar base plate

N = panjang base plate

bf = lebar sayap/flens kolom

d = tinggi kolom

f = jarak as angkur ke sumbu base plate dan sumbu kolom

tp = tebal base plate

67
fy = tegangan leleh baja (MPa)

Kontrol terhadap momen

Mn ≥ Mpl …………….…………………….……....…....... (2-112)

𝑇𝑢 . 𝑥
Mpl = ………….…………………………...…....... (2-113)
𝐵

𝑡𝑝2
Mn = Mp = . fy ……………………….……...…....... (2-114)
4

Keterangan :

Mpl = momen lentur terfaktor pada base plate (Nmm)

Mn = momen nominal pada base plate (Nmm)

tp = tebal base plate

B = lebar base plate

fy = tegangan leleh baja (MPa)

68

Anda mungkin juga menyukai