MASYARAKAT MADANI
15.1. Pengantar
Istilah masyarakat Madani untuk pertama kali dimunculkan oleh Anwar
Ibrahim (mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia). Menurut Anwar Ibrahim,
masyarakat Madani merupakan sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral
yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan
masyarakat. Inisiatif dari individu dan masyarakat berupa pemikiran, seni,
pelaksanaan pemerintah yang berdasarkan undang-undang dan bukan berdasarkan
nafsu atau keinginan individu. Masyarakat Madani memiliki ciri-ciri khas berupa
kemajemukan budaya (multi cultural), hubungan timbal balik (reprocity) dan sikap
saling menghormati serta menghargai. Lebih lanjut Anwar Ibrahim menyatakan
bahwa karakter masyarakat Madani merupakan “guiding ideas” dalam melaksanakan
ide-ide sesuai cita-cita dan tujuan negara. Fokusnya meliputi prinsip moral, keadilan,
kesamaan, musyawarah dan demokrasi.
Sejalan dengan pemikiran Anwar Ibrahim tersebut, Dawam Raharjo (1996)
mendefinisikan masyarakat Madani sebagai suatu proses penciptaan peradaban yang
mengacu pada nilai-nilai kebijakan bersama. Menurut Raharjo, dalam masyarakat
Madani, warga negara bekerjasama untuk membangun ikatan sosial, jaringan
produktif dan solidaritas kemanusiaan yang bersifat non-negara (masyarakat civil).
Selanjutnya Raharjo (1996) menjelaskan bahwa dasar utama masyarakat Madani
adalah persatuan dan integrasi sosial yang didasarkan pada suatu pedoman hidup
menghindarkan diri dari konflik dan permusuhan yang dapat mengakibatkan
perpecahan dalam persaudaraan.
Menurut Azyumardi Azra (2010), Masyarakat Madani lebih dari sekedar
gerakan pro demokrasi, karena ia juga mengerti pada pembentukan masyarakat
berkualitas. Selanjutnya menurut cendekiawan muslim Nurcholis Madjid, makna
masyarakat madani berasal dari kata civility yang mengandung makna toleransi,
kesediaan pribadi-pribadi untuk menerima berbagai macam pandangan politik dan
tingkah laku sosial.
180
15.2. Sejarah Pemikiran Masyarakat Madani (Civil Society)
a. Fase Pertama
384 – 322 SM Filsuf Yunani Aristoteles memandang bahwa masyarakat sipil atau
civil society adalah sebagai sistem kenegaraan atau identik dengan negara.
Pandangan ini merupakan fase pertama sejarah pemikiran tentang masyarakat
Madani (civil society). Namun demikian, pandangan tersebut berubah sama sekali
dengan rumusan civil society yang berkembang saat ini, yaitu sebagai masyarakat
sipil di luar aparat negara atau pemerintahan dan sebagai penyeimbang Lembaga
Negara. Pandangan Aristoteles kemudian dikembangkan oleh Marcus Tullius
Cicero (106-43 SM), Thomas Hobbes, John Locke dan banyak lagi tokoh-tokoh
pemikir masyarakat sipil lainnya.
Pada masa Aristoteles, civil society dipahami sebagai sistem kenegaraan dengan
menggunakan istilah koinonia politike, yaitu sebuah komunitas politik tempat
seluruh warga dapat terlibat langsung dalam percaturan ekonomi, politik dan
pengambilan keputusan. Istilah koinonia politike ini digunakan untuk
menggambarkan suatu masyarakat politik dan etis dimana warga negara
berkedudukan sama di depan hukum. Hukum dianggap etos, yakni seperangkat
nilai yang disepakati tidak hanya berkaitan dengan prosedur politik, tetapi juga
sebagai substansi dasar kebijakan dari berbagai bentuk interaksi di antara warga
negara.
b. Fase Kedua
Pada tahun 1767, Adam Ferguson mengembangkan wacana civil society dengan
konteks sosial dan politik di Skotlandia. Berbeda dengan pendahulunya, Ferguson
lebih menekankan visi etis pada civil society dalam kehidupan sosial. Pemahaman
tersebut tidak terlepas dari pengaruh revolusi industri dan kapitalisme yang
melahirkan ketimpangan dalam kehidupan sosial masyarakat. Menurut Ferguson
ketimpangan sosial akibat kapitalisme harus dihilangkan. Ferguson meyakini
bahwa publik secara alamiah memiliki spirit solidaritas sosial dan sentimen moral
yang dapat menghalangi munculnya kembali despotisme. Despotisme adalah
bentuk pemerintahan dengan satu penguasa yang berkuasa dengan kekuatan
politik absolut. Despotisme dapat berarti tiran (dominasi melalui ancaman
hukuman dan kekerasan), atau absolutisme atau diktatorisme. Kekhawatiran
Ferguson ini dipicu dengan semakin menguatnya sikap individualistis dan
berkurangnya tanggungjawab sosial masyarakat yang mewarnai pandangan
tentang civil society pada fase ini.
c. Fase Ketiga
Pada tahun 1762, Thomas Paine memaknai civil society sebagai sesuatu yang
berlawanan dengan Lembaga Negara, bahkan sebagai antitesis negara. Menurut
pandangakonsepn Paine, negara yang sah adalah perwujudan dari delegasi
kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat demi terciptanya kesejahteraan
182
bersama. Semakin sempurna masyarakat sipil, semakin besar pula peluang untuk
mengatur kehidupan warganya sendiri.
d. Fase Keempat
Wacana selanjutnya dikembangkan oleh Hegel (1779 -1831 M), Karl Marx (1818-
1883 M), dan Antonio Gramsci (1891 – 1837). Dalam pandangan ini, civil society
merupakan elemen ideologis kelas dominan. Pemahaman ini adalah reaksi atas
pandangan Paine yang memisahkan civil society dengan negara. Berbeda dengan
pandangan Paine, Hegel memandang civil society sebagai kelompok subordinatif
terhadap negara. Hal ini erat kaitannya dengan perkembangan sosial masyarakat
borjuis Eropa yang pertumbuhannya ditandai dengan perjuangan untuk
melepaskan diri dari dominasi negara.
Selanjutnya Hegel menjelaskan bahwa dalam struktur sosial civil society terdapat
tiga entitas sosial, yaitu Keluarga, Masyarakat Sipil, dan Negara. Keluarga
merupakan ruang sosialisasi pribadi sebagai anggota masyarakat yang bercirikan
keharmonisan. Masyarakat Sipil merupakan lokasi atau tempat berlangsungnya
percaturan berbagai kepentingan pribadi dan golongan terutama kepentingan
ekonomi. Hegel tidak memandang civil society sebagai arena untuk praktek politik
yang mengakibatkan monopoli negara.
Menurut Hegel, Negara merupakan representasi dari ide universal yang bertugas
melindungi kepentingan politik warganya dan mempunyai hak penuh untuk
melakukan intervensi terhadap civil society. Dari pandanganini, intervensi negara
terhadap wilayah masyarakat sipil tidak dianggap sebagai tindakan ilegal
183
(melanggar hukum). Mengingat posisi negara sebagai pemilik ide universal maka
hanya pada level negaralah politik bisa berlangsung secara murni dan utuh.
Hegel juga berpendapat bahwa masyarakat sipil memiliki kelemahan yang identik.
Pada kenyataannya yaitu tidak mampu mengatasi kelemahannya sendiri dan tidak
mampu mempertahankan diri akan keberadaannya tanpa dukungan keteraturan
politik dan tunduk pada institusi yang lebih tinggi yaitu negara. Berdasarkan
pandangan ini, negara dan masyarakat sipil merupakan dua komponen yang saling
memperkuat satu dengan lainnya.
e. Fase Kelima
Sebagai reaksi dari pandangan Hegel, Alexis de Toqueville (1805-1850)
memandang civil society sebagai kelompok penyeimbang kekuatan negara.
Menurut de Toqueville, kekuatan politik dan masyarakat sipil merupakan
kekuatan utama yang menjadikan demokrasi Amerika memiliki daya tahan yang
184
kuat. Dengan melihat kekhasan budaya demokrasi rakyat Amerika, yang
bercirikan plural, mandiri dan kedewasaan berpolitik, menurutnya, warga negara
dimanapun akan mampu mengimbangi dan mengontrol kekuatan negara.
Pemikiran Tocqueville ini lebih menempatkan masyarakat sipil sebagai sesuatu
yang tidak apriori maupun tidak tersubordinasi dari lembaga negara. Menurut de
Toqueville, civil society bersifat otonom dan memiliki kapasitas politik cukup
tinggi sehingga mampu menjadi kekuatan penyeimbang terhadap kecenderungan
intervensi negara atas warganya. Selanjutnya diapun menyatakan bahwa karakter
civil society dapat menjadi sumber legitimasi kekuasaan negara dan pada saat
yang bersamaan bisa menjadi kekuatan kritis untuk mengurangi frekuensi konflik
dalam masyarakat akibat dari proses modernisasi. Model masyarakat sipil ala
Tocqueville ini merupakan model masyarakat sipil yang tidak hanya berorientasi
pada kepentingan individual, tetapi juga memiliki komitment terhadap
kepentingan publik.
Dari sejumlah model dan pandangan tentang civil society di atas, mashab
Gramscian dan Tocquevillian menjadi inspirasi gerakan pro-demokrasi di Eropa
Timur dan Eropa Tengah pada tahun 1980an. Pada saat itu, kawasan Eropa hidup
dibawah dominasi negara, sehingga telah melumpuhkan kehidupan sosial
masyarakat sipil. Gagasan tentang civil society kemudian berkembang menjadi
sebuah landasan ideologis yang memotivasi perjuangan kelompok demokratis
untuk membebaskan masyarakat dari cengkeraman negara yang secara sistematis
melemahkan daya kreativitas dan kemandirian masyarakat.
2. Demokrasi
Demokrasi adalah prasyarat mutlak lainnya bagi keberadaan civil society. Tanpa
demokrasi masyarakat sipil tidak mungkin terwujud, karena demokrasi adalah
suatu tatanan sosial politik yang bersumber dan dilakukan oleh, dari dan untuk
warga negara.
3. Toleransi
Toleransi adalah sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan. Menurut
pandangan Nurcholis Madjid (1996) toleransi berkaitan dengan persoalan ajaran
dan kewajiban melaksanakan ajaran itu. Apabila toleransi menghasilkan adanya
tata cara pergaulan yang menyenangkan antara berbagai kelompok yang berbeda-
187
beda, maka hasil itu harus difahami sebagai hikmah atau manfaat dari pelaksanaan
ajaran yang benar. Toleransi bukan hanya sekadar tuntutan sosial masyarakat
majemuk saja, akan tetapi sudah menjadi bagian penting dari pelaksanaan ajaran
moral agama. Jadi, pada dasarnya toleransi adalah kesediaan individu-individu
untuk menerima beragam perbedaan pandangan politik diantara warga negara.
4. Pluralisme
Kemajemukan atau pluralisme merupakan prasyarat lain bagi civil society.
Pluralisme tidak hanya difahami sebatas sikap harus mengakui dan menerima
kenyataan sosial yang beragam, tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus
untuk menerima kenyataan perbedaan sebagai sesuatu yang alamiah dan rahmat
Tuhan yang bernilai positif bagi kehidupan masyarakat. Menurut Madjid,
pluralisme adalah kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban, bahkan Madjid pun
berpendapat bahwa pluralisme merupakan keharusan bagi keselamatan umat
manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan (check
and balance). Dalam pandangan Madjid kemajemukan erat kaitannya dengan
sikap penuh pengertian (toleransi) kepada orang lain yang sangat diperlukan
dalam masyarakat majemuk
5. Keadilan Sosial
Keadilan sosial adalah adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional
atas hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek
kehidupan, ekonomi, politik, pengetahuan dan kesempatan. Dapat pula diartikan
bahwa keadilan sosial adalah hilangnya monopoli dan pemusatan sebagai salah
satu aspek kehidupan yang dilakukan oleh kelompok atau golongan tertentu.
Pertama adalah Pandangan integrasi nasional dan politik. Pandangan ini menyatakan
bahwa sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung apabila kehidupan sehari-hari
dalam masyarakat belum memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat.
Demokrasi tanpa kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat dikalangan warga
negara, hanya akan difahami sebagai kebebasan tanpa batas yang diwujudkan dengan
tindakan-tindakan anarkis yang berpotensi timbulnya kekacauan sosial, ekonomi dan
politik bahkan mungkin saja merambah ke masalah keamanan negara.
Kedua adalah Pandangan reformasi sistem politik demokrasi, yaitu pandangan yang
menekankan bahwa untuk membangun demokrasi tidak usah terlalu bergantung pada
pembangunan ekonomi. Dalam hal ini pembangunan institusi-institusi politik yang
demokratis lebih diutamakan oleh negara dibanding pembangunan ekonominya. Hal
ini dapat mengakibatkan tingginya tingkat kemiskinan masyarakat.
189
akhirnya akan melahirkan kelompok masyarakat Madani yang mampu melakukan
kontrol terhadap hegemoni kekuasaan negara dengan bijak.
Namun demikian setidaknya dengan tiga paradigma yang telah diuraikan di atas dapat
dijadikan acuan dalam pengembangan demokrasi, melalui beberapa cara :
Saat ini, masyarakat Madani di Indonesia belum dapat diwujudkan dengan baik,
karena lembaga-lembaga yang dihasilkan oleh sistem politik masih cenderung
represif. Mereka lebih banyak melakukan protes daripada mengajukan solusi. Mereka
190
lebih banyak menuntut daripada memberikan sumbangan untuk pemecahan masalah.
Karakter masyarakat Madani di Indonesia masih sangat tergantung terhadap negara
dan selalu dalam posisi subordinasi, terutama pada strata sosial mayarakat bawah.
Sebagai bagian dari kelas menengah, mahasiswa memiliki tugas dan tanggungjawab
terhadap nasib masa depan demokrasi dan masyarakat Madani di Indonesia. Sikap
dan tanggungjawab itu dapat diwujudkan dengan pengembangan sikap-sikap
demokratis, toleran dan kritis yang d tunjukkan dalam sikap dan perilaku sehari-hari.
Sikap demokratis salah satunya bisa diekspresikan melalui peran aktif mahasiswa
dalam proses pendemokrasian semua lapisan masyarakat melalui cara-cara dialogis,
santun dan bermartabat. Sikap toleran bisa ditunjukkan dengan sikap menghargai
perbedaan, pandangan, keyakinan dan tradisi orang lain dengan kesadaran tinggi
bahwa perbedaan adalah rahmat Tuhan Yang Maha Esa, yang harus disyukuri,
dipelihara dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
Sejalan dengan sikap ini, keterlibatan mahasiswa dalam menyuarakan isu-isu strategis
bangsa, seperti mutu pendidikan, disiplin nasional, pemberantasan korupsi,
penghindar pajak, penggunaan narkotika, KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dan
isu-isu lingkungan hidup yang tekait dengan perubahan iklim global. Secara sporadis
muncul, sejak demokrasi di terapkan, diharapkan partisipasi warganegara untuk
menyuarakan aspirasi masyarakat secara santun dan tertib. Hal ini merupakan salah
satu sumbangan penting bagi pembangunan demokrasi yang berkeadaban di
Indonesia, karena demokrasi adalah sarana untuk mewujudkan masyarakat Madani.
191