Anda di halaman 1dari 12

BAB XV

MASYARAKAT MADANI

15.1. Pengantar
Istilah masyarakat Madani untuk pertama kali dimunculkan oleh Anwar
Ibrahim (mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia). Menurut Anwar Ibrahim,
masyarakat Madani merupakan sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral
yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan
masyarakat. Inisiatif dari individu dan masyarakat berupa pemikiran, seni,
pelaksanaan pemerintah yang berdasarkan undang-undang dan bukan berdasarkan
nafsu atau keinginan individu. Masyarakat Madani memiliki ciri-ciri khas berupa
kemajemukan budaya (multi cultural), hubungan timbal balik (reprocity) dan sikap
saling menghormati serta menghargai. Lebih lanjut Anwar Ibrahim menyatakan
bahwa karakter masyarakat Madani merupakan “guiding ideas” dalam melaksanakan
ide-ide sesuai cita-cita dan tujuan negara. Fokusnya meliputi prinsip moral, keadilan,
kesamaan, musyawarah dan demokrasi.
Sejalan dengan pemikiran Anwar Ibrahim tersebut, Dawam Raharjo (1996)
mendefinisikan masyarakat Madani sebagai suatu proses penciptaan peradaban yang
mengacu pada nilai-nilai kebijakan bersama. Menurut Raharjo, dalam masyarakat
Madani, warga negara bekerjasama untuk membangun ikatan sosial, jaringan
produktif dan solidaritas kemanusiaan yang bersifat non-negara (masyarakat civil).
Selanjutnya Raharjo (1996) menjelaskan bahwa dasar utama masyarakat Madani
adalah persatuan dan integrasi sosial yang didasarkan pada suatu pedoman hidup
menghindarkan diri dari konflik dan permusuhan yang dapat mengakibatkan
perpecahan dalam persaudaraan.
Menurut Azyumardi Azra (2010), Masyarakat Madani lebih dari sekedar
gerakan pro demokrasi, karena ia juga mengerti pada pembentukan masyarakat
berkualitas. Selanjutnya menurut cendekiawan muslim Nurcholis Madjid, makna
masyarakat madani berasal dari kata civility yang mengandung makna toleransi,
kesediaan pribadi-pribadi untuk menerima berbagai macam pandangan politik dan
tingkah laku sosial.

180
15.2. Sejarah Pemikiran Masyarakat Madani (Civil Society)
a. Fase Pertama
384 – 322 SM Filsuf Yunani Aristoteles memandang bahwa masyarakat sipil atau
civil society adalah sebagai sistem kenegaraan atau identik dengan negara.
Pandangan ini merupakan fase pertama sejarah pemikiran tentang masyarakat
Madani (civil society). Namun demikian, pandangan tersebut berubah sama sekali
dengan rumusan civil society yang berkembang saat ini, yaitu sebagai masyarakat
sipil di luar aparat negara atau pemerintahan dan sebagai penyeimbang Lembaga
Negara. Pandangan Aristoteles kemudian dikembangkan oleh Marcus Tullius
Cicero (106-43 SM), Thomas Hobbes, John Locke dan banyak lagi tokoh-tokoh
pemikir masyarakat sipil lainnya.

Pada masa Aristoteles, civil society dipahami sebagai sistem kenegaraan dengan
menggunakan istilah koinonia politike, yaitu sebuah komunitas politik tempat
seluruh warga dapat terlibat langsung dalam percaturan ekonomi, politik dan
pengambilan keputusan. Istilah koinonia politike ini digunakan untuk
menggambarkan suatu masyarakat politik dan etis dimana warga negara
berkedudukan sama di depan hukum. Hukum dianggap etos, yakni seperangkat
nilai yang disepakati tidak hanya berkaitan dengan prosedur politik, tetapi juga
sebagai substansi dasar kebijakan dari berbagai bentuk interaksi di antara warga
negara.

Berbeda dengan Aristoteles, Marcus Tullius Cicero (106–43 SM) menyebut


masyarakat sipil sebagai societies civilies, yaitu sebuah komunitas yang
mendominasi kemunitas lainnya. Dalam hal ini, Cicero lebih menekankan pada
konsep negara kota (city state), yakni untuk menggambarkan kerajaan, kota dan
bentuk-bentuk korporasi lainnya sebagai kesatuan yang terorganisir. Rumusan
Cicero ini lebih menekankan pada konsep civility atau kewargaan disatu pihak dan
urbanity yakni budaya kota di pihak lain. Kota adalah bukan hanya sekedar
sebuah konsentrasi penduduk, tetapi sebagai pusat kebudayaan dan pusat
pemerintahan.

Rumusan Civil Society selanjutnya dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1588 –


1679 M) dan John Locke (1632 – 1704) Hobbes dan Locke memandangnya
181
sebagai kelanjutan dari evolusi masyarakat yang alami (natural society). Menurut
Hobbes, sebagai entitas negara, civil society memiliki peran untuk meredam
konflik dalam masyarakat, sehingga harus memiliki kekuasaan mutlak, agar
mampu mengontrol dan mengawasi secara ketat pola-pola interaksi perilaku
politik setiap warga negara. Berbeda dengan Hobbes, menurut John Locke,
kehadiran civil society adalah untuk melindungi kebebasan dan hak milik setiap
warga negara. Mengingat sifatnya yang demikian itu maka John Locke
mengatakan bahwa civil society tidaklah absolut dan harus membatasi perannya
pada wilayah yang tidak dapat dikelola masyarakat dan memberikan ruang yang
manusiawi bagi warga negara untuk memperoleh haknya secara adil dan
proporsional.

b. Fase Kedua
Pada tahun 1767, Adam Ferguson mengembangkan wacana civil society dengan
konteks sosial dan politik di Skotlandia. Berbeda dengan pendahulunya, Ferguson
lebih menekankan visi etis pada civil society dalam kehidupan sosial. Pemahaman
tersebut tidak terlepas dari pengaruh revolusi industri dan kapitalisme yang
melahirkan ketimpangan dalam kehidupan sosial masyarakat. Menurut Ferguson
ketimpangan sosial akibat kapitalisme harus dihilangkan. Ferguson meyakini
bahwa publik secara alamiah memiliki spirit solidaritas sosial dan sentimen moral
yang dapat menghalangi munculnya kembali despotisme. Despotisme adalah
bentuk pemerintahan dengan satu penguasa yang berkuasa dengan kekuatan
politik absolut. Despotisme dapat berarti tiran (dominasi melalui ancaman
hukuman dan kekerasan), atau absolutisme atau diktatorisme. Kekhawatiran
Ferguson ini dipicu dengan semakin menguatnya sikap individualistis dan
berkurangnya tanggungjawab sosial masyarakat yang mewarnai pandangan
tentang civil society pada fase ini.

c. Fase Ketiga
Pada tahun 1762, Thomas Paine memaknai civil society sebagai sesuatu yang
berlawanan dengan Lembaga Negara, bahkan sebagai antitesis negara. Menurut
pandangakonsepn Paine, negara yang sah adalah perwujudan dari delegasi
kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat demi terciptanya kesejahteraan

182
bersama. Semakin sempurna masyarakat sipil, semakin besar pula peluang untuk
mengatur kehidupan warganya sendiri.

Menurut Paine, terdapat batas-batas wilayah otonom masyarakat sehingga negara


tidak diperkenankan memasuki wilayah sipil. Dengan demikian, menurut Paine,
civil society adalah ruang dimana warga dapat mengembangkan kepribadian dan
memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas tanpa paksaan.
Ruang gerak warga sipil dalam pandangan ini adalah suatu ruang gerak
masyarakat tanpa intervensi negara. Sejalan dengan pandangan ini civil society
harus lebih dominan dan sanggup mengontrol negara demi keberlangsungan
kebutuhan anggotanya.

d. Fase Keempat
Wacana selanjutnya dikembangkan oleh Hegel (1779 -1831 M), Karl Marx (1818-
1883 M), dan Antonio Gramsci (1891 – 1837). Dalam pandangan ini, civil society
merupakan elemen ideologis kelas dominan. Pemahaman ini adalah reaksi atas
pandangan Paine yang memisahkan civil society dengan negara. Berbeda dengan
pandangan Paine, Hegel memandang civil society sebagai kelompok subordinatif
terhadap negara. Hal ini erat kaitannya dengan perkembangan sosial masyarakat
borjuis Eropa yang pertumbuhannya ditandai dengan perjuangan untuk
melepaskan diri dari dominasi negara.

Selanjutnya Hegel menjelaskan bahwa dalam struktur sosial civil society terdapat
tiga entitas sosial, yaitu Keluarga, Masyarakat Sipil, dan Negara. Keluarga
merupakan ruang sosialisasi pribadi sebagai anggota masyarakat yang bercirikan
keharmonisan. Masyarakat Sipil merupakan lokasi atau tempat berlangsungnya
percaturan berbagai kepentingan pribadi dan golongan terutama kepentingan
ekonomi. Hegel tidak memandang civil society sebagai arena untuk praktek politik
yang mengakibatkan monopoli negara.

Menurut Hegel, Negara merupakan representasi dari ide universal yang bertugas
melindungi kepentingan politik warganya dan mempunyai hak penuh untuk
melakukan intervensi terhadap civil society. Dari pandanganini, intervensi negara
terhadap wilayah masyarakat sipil tidak dianggap sebagai tindakan ilegal
183
(melanggar hukum). Mengingat posisi negara sebagai pemilik ide universal maka
hanya pada level negaralah politik bisa berlangsung secara murni dan utuh.

Hegel juga berpendapat bahwa masyarakat sipil memiliki kelemahan yang identik.
Pada kenyataannya yaitu tidak mampu mengatasi kelemahannya sendiri dan tidak
mampu mempertahankan diri akan keberadaannya tanpa dukungan keteraturan
politik dan tunduk pada institusi yang lebih tinggi yaitu negara. Berdasarkan
pandangan ini, negara dan masyarakat sipil merupakan dua komponen yang saling
memperkuat satu dengan lainnya.

Berbeda dengan Hegel, Karl Marx memandang masyarakat sipil sebagai


masyarakat borjuis. Dalam hubungan produksi kapitalis, keberadaan civil society
merupakan kendala terbesar bagi upaya pembebasan manusia dari penindasan
pemilik modal. Demi terciptanya proses pembebasan manusia, civil society harus
dilenyapkan guna mewujudkan tatanan masyarakat tanpa kelas.

Berbeda dengan Marx, Antonio Gramsci tidak memandang masyarakat sipil


dalam konteks relasi produksi tetapi lebih kepada sisi ideologis. Apabila Marx
menempatkan civil society pada basis material, Gramsci meletakkannya pada
sesuatu yang berdampingan dengan negara yang disebut superstruktur, yang juga
di sebut sebagai political society. Menurut Gramsci, civil society merupakan
tempat perebutan posisi hegemoni di luar kekuatan negara, aparat
mengembangkan hegemoni untuk membentuk konsesus dalam masyarakat.
Pandangan Gramsci tentang civil society di atas memberikan peran penting kepada
kaum cendekiawan sebagai aktor utama dalam proses perubahan sosial dan
politik. Gramsci memandang adanya sifat kemandirian dan politis pada
masyarakat sipil, sekalipun keberadaannya juga amat dipengaruhi oleh basis
material ekonomi sebagaimana pandangan Marx.

e. Fase Kelima
Sebagai reaksi dari pandangan Hegel, Alexis de Toqueville (1805-1850)
memandang civil society sebagai kelompok penyeimbang kekuatan negara.
Menurut de Toqueville, kekuatan politik dan masyarakat sipil merupakan
kekuatan utama yang menjadikan demokrasi Amerika memiliki daya tahan yang
184
kuat. Dengan melihat kekhasan budaya demokrasi rakyat Amerika, yang
bercirikan plural, mandiri dan kedewasaan berpolitik, menurutnya, warga negara
dimanapun akan mampu mengimbangi dan mengontrol kekuatan negara.
Pemikiran Tocqueville ini lebih menempatkan masyarakat sipil sebagai sesuatu
yang tidak apriori maupun tidak tersubordinasi dari lembaga negara. Menurut de
Toqueville, civil society bersifat otonom dan memiliki kapasitas politik cukup
tinggi sehingga mampu menjadi kekuatan penyeimbang terhadap kecenderungan
intervensi negara atas warganya. Selanjutnya diapun menyatakan bahwa karakter
civil society dapat menjadi sumber legitimasi kekuasaan negara dan pada saat
yang bersamaan bisa menjadi kekuatan kritis untuk mengurangi frekuensi konflik
dalam masyarakat akibat dari proses modernisasi. Model masyarakat sipil ala
Tocqueville ini merupakan model masyarakat sipil yang tidak hanya berorientasi
pada kepentingan individual, tetapi juga memiliki komitment terhadap
kepentingan publik.

Dari sejumlah model dan pandangan tentang civil society di atas, mashab
Gramscian dan Tocquevillian menjadi inspirasi gerakan pro-demokrasi di Eropa
Timur dan Eropa Tengah pada tahun 1980an. Pada saat itu, kawasan Eropa hidup
dibawah dominasi negara, sehingga telah melumpuhkan kehidupan sosial
masyarakat sipil. Gagasan tentang civil society kemudian berkembang menjadi
sebuah landasan ideologis yang memotivasi perjuangan kelompok demokratis
untuk membebaskan masyarakat dari cengkeraman negara yang secara sistematis
melemahkan daya kreativitas dan kemandirian masyarakat.

Pemikiran civil society Tocqueville di Indonesia dikembangkan oleh Dawam


Raharjo, seorang cendekiawan muslim dengan konsep masyarakat madaninya.
Dawam memadukan konsep Tocqueville dengan konsep Hannah Arendt dan
Juergen Habermas tentang ruang publik yang bebas. Menurut keduanya, dengan
adanya ruang publik yang bebaslah, maka setiap individu warga negara dapat dan
berhak melakukan kegiatan secara merdeka. Dalam menyampaikan pendapat,
berserikat, berkumpul serta memublikasikan penerbitan berkaitan dengan
kepentingan umum yang lebih luas. Raharjo juga menyatakan bahwa
institusionalisasi dari ruang publik ini melalui kemunculan lembaga-lembaga
sosial yang bersifat sukarela, media massa, sekolah, partai politik sampai pada
185
lembaga-lembaga yang dibentuk oleh negara tetapi berfungsi sebagai lembaga
pelayanan masyarakat.

Seorang cendekiawan muslim lainnya, yaitu Nurcholis Madjid (1996),


berpendapat bahwa masyarakat Madani sebenarnya merujuk pada masyarakat
Islam yang pernah dibangun oleh Nabi Muhammad SAW di negeri Madinah.
Perkataan Madinah menurutnya dapat difahami dari dua sudut pengertian,
Pertama secara konvensional kata Madinah dapat berarti kota dan kedua secara
kebahasaan dapat berarti peradaban. Sebelumnya apa yang dikenal dengan kota
Madinah itu adalah daerah yang bernama Yasrib. Nabi Muhammad SAW yang
kemudian mengubahnya menjadi Madinah, setelah beliau hijrah ke kota itu.
Perubahan nama dari Yasrib menjadi Madinah, menurut Madjid pada hakikatnya
adalah sebuah pernyataan niat atau proklamasi untuk mendirikan dan membangun
masyarakat yang berperadaban.

Dasar-dasar masyarakat Madani inilah yang tertuang dalam sebuah dokumen


“Piagam Madinah” yang di dalamnya berisi antara lain tentang wawasan
kebebasan terutama di bidang agama dan ekonomi, tanggungjawab sosial dan
politik serta pertahanan secara bersama. Di kota Madinah, Nabi Muhammad SAW
membangun masyarakat berperadaban berlandaskan agama Islam, masyarakat
yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Semangat ketaqwaan ini untuk
menjamin hidup manusia agar tidak jatuh dalam kehinaan terkait hubungan
dengan sesama serta untuk membentuk karakteristik masyarakat manusia yang
berbudi luhur.

Madjid mengemukakan sejumlah ciri masyarakat Madani yang dibangun Nabi


Muhammad SAW. Ciri-ciri yang dimaksud adalah :
1. Egalitarianisme,
2. Penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan berdasar kesukuan,
keturunan, ras dan lain-lain),
3. Keterbukaan (partisipasi seluruh anggota masyarakat secara aktif),
4. Penegakan hukum dan keadilan,
5. Toleransi dan pluralism, dan
6. Musyawarah.
186
15.3. Karakteristik Masyarakat Madani
Menurut A.Ubaedillah dan Abdul Rozak (2010), Masyarakat Madani tidak
timbul dengan sendirinya. Mereka membutuhkan unsur-unsur sosial yang menjadi
prasyarat terwujudnya tatanan masyarakat Madani. Faktor-faktor tersebut merupakan
satu kesatuan yang saling mengikat dan menjadi karakter khas masyarakat Madani.
Beberapa unsur pokok yang harus dimiliki oleh masyarakat Madani adalah wilayah
publik yang bebas, demokrasi, toleransi, kemajemukan (pluralisme) dan keadilan
sosial (social justice). Adapun penjelasan dari masing-masing unsur pokok tersebut
adalah sebagai berikut :

1. Wilayah Publik yang Bebas (Free Public Sphere)


Free Public Sphere adalah ruang publik yang bebas sebagai sarana untuk
mengemukakan pendapat warga masyarakat. Di wilayah ruang publik ini semua
warga negara memiliki posisi dan hak yang sama untuk melakukan transaksi
sosial dan politik tanpa rasa takut dan terancam oleh kekuatan-kekuatan di luar
civil society. Ruang publik juga bisa diartikan sebagai wilayah bebas dimana
semua warga negara memiliki akses penuh dalam kegiatan yang bersifat publik.
Sebagai prasyarat mutlak lahirnya civil society yang sesungguhnya, tidak adanya
wilayah publik yang bebas pada suatu negara dapat menjadi suasana tidak bebas,
dan negara mengontrol warga negaranya dalam menyalurkan pandangan sosial
politiknya.

2. Demokrasi
Demokrasi adalah prasyarat mutlak lainnya bagi keberadaan civil society. Tanpa
demokrasi masyarakat sipil tidak mungkin terwujud, karena demokrasi adalah
suatu tatanan sosial politik yang bersumber dan dilakukan oleh, dari dan untuk
warga negara.

3. Toleransi
Toleransi adalah sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan. Menurut
pandangan Nurcholis Madjid (1996) toleransi berkaitan dengan persoalan ajaran
dan kewajiban melaksanakan ajaran itu. Apabila toleransi menghasilkan adanya
tata cara pergaulan yang menyenangkan antara berbagai kelompok yang berbeda-
187
beda, maka hasil itu harus difahami sebagai hikmah atau manfaat dari pelaksanaan
ajaran yang benar. Toleransi bukan hanya sekadar tuntutan sosial masyarakat
majemuk saja, akan tetapi sudah menjadi bagian penting dari pelaksanaan ajaran
moral agama. Jadi, pada dasarnya toleransi adalah kesediaan individu-individu
untuk menerima beragam perbedaan pandangan politik diantara warga negara.

4. Pluralisme
Kemajemukan atau pluralisme merupakan prasyarat lain bagi civil society.
Pluralisme tidak hanya difahami sebatas sikap harus mengakui dan menerima
kenyataan sosial yang beragam, tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus
untuk menerima kenyataan perbedaan sebagai sesuatu yang alamiah dan rahmat
Tuhan yang bernilai positif bagi kehidupan masyarakat. Menurut Madjid,
pluralisme adalah kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban, bahkan Madjid pun
berpendapat bahwa pluralisme merupakan keharusan bagi keselamatan umat
manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan (check
and balance). Dalam pandangan Madjid kemajemukan erat kaitannya dengan
sikap penuh pengertian (toleransi) kepada orang lain yang sangat diperlukan
dalam masyarakat majemuk

5. Keadilan Sosial
Keadilan sosial adalah adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional
atas hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek
kehidupan, ekonomi, politik, pengetahuan dan kesempatan. Dapat pula diartikan
bahwa keadilan sosial adalah hilangnya monopoli dan pemusatan sebagai salah
satu aspek kehidupan yang dilakukan oleh kelompok atau golongan tertentu.

15.4. Masyarakat Madani di Indonesia


Indonesia memiliki tradisi kuat civil society (masyarakat madani). Bahkan
jauh sebelum negara Indonesia berdiri, masyarakat sipil telah berkembang pesat yang
diwakili oleh kiprah beragam organisasi sosial keagamaan, dan pergerakan nasional
dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Selain berperan sebagai organisasi
perjuangan, penegakan HAM dan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial oleh
organisasi berbasis Islam seperti Sarekat Islam (SI), Nahdlatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah, telah menunjukkan kiprahnya sebagai komponen civil society yang
188
penting dalam sejarah perkembangan masyarakat sipil di Indonesia. Sifat kemandirian
dan kesukarelaan para pengurus dan anggota organisasi tersebut merupakan karakter
khas masyarakat madani di Indonesia.

Ada beberapa strategi tentang bagaimana seharusnya masyarakat Madani bisa


terwujud di Indonesia. Strategi yang dimaksud dapat diuraikan sebagai berikut :

Pertama adalah Pandangan integrasi nasional dan politik. Pandangan ini menyatakan
bahwa sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung apabila kehidupan sehari-hari
dalam masyarakat belum memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat.
Demokrasi tanpa kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat dikalangan warga
negara, hanya akan difahami sebagai kebebasan tanpa batas yang diwujudkan dengan
tindakan-tindakan anarkis yang berpotensi timbulnya kekacauan sosial, ekonomi dan
politik bahkan mungkin saja merambah ke masalah keamanan negara.

Kedua adalah Pandangan reformasi sistem politik demokrasi, yaitu pandangan yang
menekankan bahwa untuk membangun demokrasi tidak usah terlalu bergantung pada
pembangunan ekonomi. Dalam hal ini pembangunan institusi-institusi politik yang
demokratis lebih diutamakan oleh negara dibanding pembangunan ekonominya. Hal
ini dapat mengakibatkan tingginya tingkat kemiskinan masyarakat.

Ketiga adalah Paradigma membangun masyarakat Madani sebagai basis atau


landasan utama pembangunan demokrasi. Pandangan ini merupakan pandangan
alternatif. Pandangan yang pertama dianggap gagal dalam pengembangan demokrasi,
demikian pula pandangan kedua menimbulkan tingginya tingkat kemiskinan.
Pandangan ketiga ini lebih menekankan proses pendidikan dan penyadaran politik
warga negara, khususnya kalangan kelas menengah. Hal ini mengingat bahwa
demokrasi itu membutuhkan dukungan kultural disamping struktural. Usaha
pendidikan dan penyadaran politik warga negara merupakan upaya membangun
budaya demokrasi di kalangan warga negara. Upaya pendidikan dan penyadaran
politik kelas menengah dapat dianggap sebagai bagian dari proses penyadaran idelogi
warga negara. Melalui proses pendidikan politik diharapkan akan lahir tatanan
masyarakat yang secara ekonomi dan politik mandiri. Kemandirian mereka pada

189
akhirnya akan melahirkan kelompok masyarakat Madani yang mampu melakukan
kontrol terhadap hegemoni kekuasaan negara dengan bijak.

Berdasar pada tiga paradigma di atas, pengembangan demokrasi dan masyarakat


madani selayaknya tidak hanya bergantung pada salah satu pandangan saja.
Sebaiknya, untuk mewujudkan masyarakat Madani yang seimbang dengan kekuatan
negara dibutuhkan gabungan strategi dan paradigma (cara pandang).

Namun demikian setidaknya dengan tiga paradigma yang telah diuraikan di atas dapat
dijadikan acuan dalam pengembangan demokrasi, melalui beberapa cara :

Pertama adalah memperluas golongan menengah melalui pemberian kesempatan


bagi kelas menengah untuk berkembang menjadi kelompok masyarakat madani yang
mandiri secara politik dan ekonomi. Dalam pandangan ini negara hanya
menempatkan diri sebagai regulator dan fasilitator bagi pengembangan ekonomi
nasional. Tantangan pasar bebas dan demokrasi global mengharuskan negara
mengurangi perannya sebagai aktor dominan dalam proses pembangunan masyarakat
madani yang tangguh.

Kedua adalah melakukan reformasi sistem politik demokratis melalui pemberdayaan


lembaga-lembaga demokrasi yang ada sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Sikap
pemerintah untuk tidak mencampuri atau mempengaruhi putusan hukum yang
dilakukan oleh Lembaga Yudikatif merupakan salah satu komponen penting dari
pembangunan kemandirian lembaga demokrasi.

Ketiga adalah penyelenggaraan pendidikan politik (pendidikan demokrasi) bagi


warga negara secara keseluruhan. Pendidikan politik yang dimaksud adalah
pendidikan demokrasi yang dilakukan secara terus menerus dengan melibatkan semua
unsur masyarakat melalui prinsip pendidikan demokratis, yaitu pendidikan dari, oleh
dan untuk warganegaranya.

Saat ini, masyarakat Madani di Indonesia belum dapat diwujudkan dengan baik,
karena lembaga-lembaga yang dihasilkan oleh sistem politik masih cenderung
represif. Mereka lebih banyak melakukan protes daripada mengajukan solusi. Mereka

190
lebih banyak menuntut daripada memberikan sumbangan untuk pemecahan masalah.
Karakter masyarakat Madani di Indonesia masih sangat tergantung terhadap negara
dan selalu dalam posisi subordinasi, terutama pada strata sosial mayarakat bawah.

Mahasiswa merupakan salah satu komponen strategis bangsa Indonesia dalam


pengembangan demokrasi dan proses pembentukan masyarakat Madani. Peran
strategis mahasiswa dalam proses perjuangan reformasi sudah jelas perannya, maka
perlu ditindaklanjuti dalam upaya mewujudkan masyarakat madani. Utamanya
diharapkan keterlibatan mahasiswa dalam proses demokratisasi bangsa dan
pengembangan masyarakat Madani di Indonesia.

Sebagai bagian dari kelas menengah, mahasiswa memiliki tugas dan tanggungjawab
terhadap nasib masa depan demokrasi dan masyarakat Madani di Indonesia. Sikap
dan tanggungjawab itu dapat diwujudkan dengan pengembangan sikap-sikap
demokratis, toleran dan kritis yang d tunjukkan dalam sikap dan perilaku sehari-hari.
Sikap demokratis salah satunya bisa diekspresikan melalui peran aktif mahasiswa
dalam proses pendemokrasian semua lapisan masyarakat melalui cara-cara dialogis,
santun dan bermartabat. Sikap toleran bisa ditunjukkan dengan sikap menghargai
perbedaan, pandangan, keyakinan dan tradisi orang lain dengan kesadaran tinggi
bahwa perbedaan adalah rahmat Tuhan Yang Maha Esa, yang harus disyukuri,
dipelihara dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.

Sedangkan sikap kritis dapat dilakukan dengan mengamati, mengkritisi dan


mengontrol pelaksanaan kebijakan pemerintah atau lembaga publik lainnya
khususnya kebijakan yang berhubungan langsung dengan hajat hidup orang banyak
dan masa depan bangsa.

Sejalan dengan sikap ini, keterlibatan mahasiswa dalam menyuarakan isu-isu strategis
bangsa, seperti mutu pendidikan, disiplin nasional, pemberantasan korupsi,
penghindar pajak, penggunaan narkotika, KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dan
isu-isu lingkungan hidup yang tekait dengan perubahan iklim global. Secara sporadis
muncul, sejak demokrasi di terapkan, diharapkan partisipasi warganegara untuk
menyuarakan aspirasi masyarakat secara santun dan tertib. Hal ini merupakan salah
satu sumbangan penting bagi pembangunan demokrasi yang berkeadaban di
Indonesia, karena demokrasi adalah sarana untuk mewujudkan masyarakat Madani.

191

Anda mungkin juga menyukai