Anda di halaman 1dari 5

C.

Kegiatan Manajemen Bencana


1. Definisi Manajemen Bencana
Manajemen bencana pada dasarnya berupaya untuk menghindarkan
masyarakat dari bencana baik dengan mengurangi kemungkinan munculnya hazard
maupun mengatasi kerentanan. Terdapat lima model manajemen bencana yaitu:
a. Disaster management continuum model
Model ini mungkin merupakan model yang paling popular karena terdiri dari
tahap-tahap yang jelas sehingga lebih mudah diimplementasikan. Tahap-tahap
manajemen bencana di dalam model ini meliputi emergency, relief,
rehabilitation, reconstruction, mitigation, preparedness, dan early warning.
b. Pre-during-post disaster model
Model manajemen bencana ini membagi tahap kegiatan di sekitar bencana.
Terdapat kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan sebelum bencana, selama
bencana terjadi, dan setelah bencana.
c. Contract-expand model
Model ini berasumsi bahwa seluruh tahap-tahap yang ada pada manajemen
bencana (emergency, relief, rehabilitation, reconstruction, mitigation,
preparedness, dan early warning) semestinya tetap dilaksanakan pada daerah
yang rawan bencana. Perbedaan pada kondisi bencana dan tidak bencana adalah
pada saat bencana tahap tertentu lebih dikembangkan (emergency dan relief)
sementara tahap yang lain seperti rehabilitation, reconstruction, dan mitigation
kurang ditekankan.
d. The crunch and release mode
Manajemen bencana ini menekankan upaya mengurangi kerentanan untuk
mengatasi bencana. Bila masyarakat tidak rentan maka bencana akan juga kecil
kemungkinannya terjadi meski hazard tetap terjadi.
e. Disaster risk reduction framework
Model ini menekankan upaya manajemen bencana pada identifikasi risiko
bencana baik dalam bentuk kerentanan maupun hazard dan mengembangkan
kapasitas untuk mengurangi risiko tersebut.
2. Pentingnya Manajemen Bencana
Manajemen Bencana (Disaster Management) adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari bencana beserta segala aspek yang berkaitan dengan bencana, terutama
risiko bencana dan bagaimana menghindari risiko bencana. Manajemen Bencana
merupakan proses dinamis tentang bekerjanya fungsi-fungsi planning, organizing,
actuating, dan controlling.
Penanggulangan bencana atau yang sering didengar dengan manajemen
bencana (disaster management) adalah serangkaian upaya yang meliputi
penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan
pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
Manajemen bencana penting ada agar saat terjadi bencana sebelum atau
sesudah kita sebagai masyarakat tidak menjadi takut atau panik, karena telah
memiliki pengetahuan dini mengenai manajemen bencana. Serta manajemen bencana
termasuk penting, karena manajemen bencana melakukan penanggulangan bencana.
Dalam penyelanggaraan penanggulangan bencana dilakukan beberapa hal, antara lain
yaitu meliputi tahap pra bencana, tahap tanggap darurat, dan tahap pasca bencana.
Hal yang dapat dilakukan oleh manajemen bencana adalah :
1. Perencanaan (pencegahan dan Mitigasi). Rumah sakit belum memiliki rencana
dan prosedur program yang dibuat oleh tim penanggulangan bencana di rumah
sakit, serta tidak memiliki catatan praktik manajemen bencana yang
terdokumentasikan oleh tim penanggulangan bencana di rumah sakit.
2. Pengorganisasian. Belum adanya visi dan misi yang tertera di tim penanggulangan
manajemen bencana. Tugas, pokok, dan fungsi sumber daya sudah dijalankan
dengan baik.
3. Actuating (tanggap darurat pembangunan dan rehabilitas). Rumah sakit tidak
memiliki sistem peringatan dini, belum melakukan pelatihan dan pembinaan
mengenai pertolongan seperti resque atau penyelamatan lainnya, kepala ruangan
di setiap instalasi juga tidak melakukan pencatatan pemindahan pasien jika terjadi
bencana. Hal ini akan menimbulkan penuhnya ruangan-ruangan yang dihuni oleh
pasien. Rumah sakit tidak mengkhususkan penanganan terhadap kelompok rentan
pada saat terjadi bencana, rumah sakit juga tidak memiliki rumah sakit lapangan
sehingga jika terjadi bencana pasien atau masyarakat rumah sakit harus menghuni
di tenda darurat.
4. Pengendalian (controlling) yang meliputi kesiapsiagaan bencana. Kesiapsiagaan
bencana merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi
bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah tepat guna dan berdaya
guna (UU No. 24 Tahun 2007). Hal ini sesuai dengan pernyataan-pernyataan yang
dijelaskan oleh informan-informan, bahwasanya kesiapsiagaan rumah sakit
meliputi adanya sistem peringatan dini, jalur evakuasi korban, tempat titik
berkumpul dan tanggap darurat bencana.
Manajemen bencana merupakan ilmu pengetahuan bagi masyarakat mengenai
bencana dan bagaimana cara menanganinya, sehingga dalam masalah berjatuhannya
korban menjadi lebih berkurang karena adanya pengetahuan mengenai manajemen
bencana.
3. Pemulihan Sarana dan Prasarana Kesehatan Pasca Bencana
Akses menuju pusat layanan kesehatan merupakan aspek yang penting
karena mempunyai dampak langsung dan menjadi beban permasalahan kesehatan.
Aksesibilitas masyarakat menuju pusat layanan kesehatan dipengaruhi oleh dua
faktor, yaitu keruangan dan nonkeruangan. Faktor keruangan mempertimbangkan
pentingnya faktor penghambat geografis antara konsumen dan penyedia jasa, seperti:
lokasi, jarak antara keduanya, dan lama waktu yang ditempuh untuk memperoleh
layanan tersebut. Faktor non keruangan menekankan pada aspek non geografis,
seperti: umur, jenis kelamin, suku atau etnis, budaya, tingkat pendapatan, sosial
ekonomi, tingkat pendidikan, dan lain-lain.
BRR Perwakilan Nias mengawali kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di
Kepulauan Nias melalui pendekatan utama bagaimana membangun jaringan
transportasi dalam kesatuan sistem yang secara hierarkis saling terkait, dari tingkat
desa, kecamatan, kabupaten, hingga provinsi dan regional. Jaringan transportasi
dikembangkan dalam suatu sistem terpadu dan saling menunjang, yang mengalir dari
pusat-pusat pertumbuhan dan pasar menuju pusat-pusat permukiman di pedesaan.
Berdasarkan konsepsi tersebut, pembangunan sistem transportasi di
Kepulauan Nias dilakukan dengan membagi ke dalam lima sentra kawasan
pertumbuhan ekonomi utama, yaitu: Gunungsitoli, Teluk Dalam, Lahewa, Sirombu,
dan Pulau Tello. Kelima kawasan tersebut merupakan sentra pertumbuhan primer
yang terhubung dengan wilayah kecamatan di sekitarnya sebagai sentra-sentra
pertumbuhan sekunder. Kemudian sentra-sentra pertumbuhan kecamatan
dihubungkan dengan wilayah-wilayah pedesaan sebagai kawasan tersier.
Selanjutnya, sentra-sentra wilayah pedesaan dihubungkan ke berbagai sentra
permukiman. Mengingat Nias merupakan kepulauan, pendekatan tersebut didukung
oleh sistem transportasi antarpulau yang memadai, baik melalui akses laut maupun
udara. Jaringan transportasi primer dihubungkan dengan transportasi sekunder berupa
jalan-jalan kabupaten, yang terhubung ke kawasan pertumbuhan di kecamatan-
kecamatan, dan selanjutnya jalan-jalan desa, sebagai jaringan tersier, yang
menghubungkan desa-desa dan permukiman penduduk.
Pada awal rehabilitasi dan rekonstruksi, BRR Perwakilan Nias membuat
kebijakan membangun semua jenis fasilitas kesehatan. Pada tahun kedua, kebijakan
tersebut disesuaikan dengan arah strategi pengembangan sistem kesehatan berjenjang
di Kepulauan Nias. ebelum gempa, terdapat 18 puskesmas di Kabupaten Nias yang
melayani 18 kecamatan, sedangkan di Kabupaten Nias Selatan terdapat 10
puskesmas untuk melayani delapan kecamatan. Sesudah pemekaran wilayah di kedua
kabupaten, terdapat 33 kecamatan di Kabupaten Nias dan 18 kecamatan di
Kabupaten Nias Selatan. Setelah terjadi bencana, terlihat dengan jelas adanya
peningkatan dan penyebaran fasilitas kesehatan yang lebih baik.
Kondisi geografis Kepulauan Nias yang sebagian besar berupa perbukitan
dengan akses jalan terbatas serta minimnya fasilitas komunikasi dan transportasi
umum membuat sistem rujukan untuk perawatan kesehatan kurang berjalan baik.
Banyak penduduk yang membutuhkan penanganan sekunder di rumah sakit tidak
bisa mencapainya dengan cepat, sehingga berisiko meninggal dalam perjalanan. BRR
Perwakilan Nias membangun infrastruktur yang mampu mendukung pelayanan
kesehatan dan sistem rujukan dengan menginisiasi pengembangan puskesmas plus.
Program ETESP di bidang kesehatan yang didanai Bank Pembangunan Asia
(ADB) tersebut dilaksanakan di tiga puskesmas di Kabupaten Nias (Gunungsitoli,
Sitolu Ori, dan Alasa) serta tiga puskesmas di Kabupaten Nias Selatan (Teluk Dalam,
Lahusa, dan Lolowa’u) sebagai proyek percontohan. Keenam puskesmas ini
menerapkan Puskesmas Improvement Model (PIM) yang mengarah ke puskesmas
plus. Istilah “plus” merujuk pada pelayanan medis yang lebih tinggi, seperti adanya
ranjang rawat inap, peralatan yang lebih lengkap, staf yang lebih terampil, serta
partisipasi dan kepemilikan masyarakat yang lebih kuat.
Dalam konteks pelayanan kesehatan di Kepulauan Nias, puskesmas plus akan
memainkan peran sebagai rujukan antara (intermediate), yang menjembatani
perawatan sekunder oleh titik rujukan utama (RSU Gunungsitoli) dengan perawatan
primer pada tingkat yang lebih rendah, yaitu puskesmas-puskesmas di wilayah
sekeliling enam puskesmas model yang ada di tingkat kecamatan. Sejalan dengan
upaya pengurangan risiko bencana, PIM akan menjadi model kesiapsiagaan bencana.
Sekalipun terjadi bencana, fasilitas kesehatan tidak boleh rusak. Harus bisa
menjadi bangunan penyelamat bagi pasien dan tenaga medis, serta menjadi garda
terdepan dalam layanan kondisi darurat. Prinsipnya adalah bagaimana menjadikan
rumah sakit sebagai lokus mitigasi dan pengurangan risiko bencana. UNISDR pun
telah mencanangkan Rumah Sakit Bebas dari Bencana pada tahun 2008 sebagai tema
kampanye hari pengurangan risiko bencana sedunia tahun 2008-2009 dengan tiga
tujuan utama. Pertama, proteksi atas hidup pasien dan pekerja kesehatan dengan
memastikan tingkat keamanan struktur fasilitas kesehatan. Kedua, memastikan
bahwa fasilitas kesehatan dan pelayanan kesehatan tetap dapat berfungsi secara
memadai pascadarurat dan bencana. Ketiga, meningkatkan kapasitas atau
kemampuan mereduksi risiko pekerja kesehatan kelembagaan/organisasi termasuk
manajemen kedaruratan. Dalam hal ini, pekerja kesehatan meliputi: dokter, perawat,
paramedis, dan para pekerja pendukung yang bekerja menggunakan fasilitas
kesehatan seperti rumah sakit dan puskesmas.
Jika pusat layanan kesehatan berjenjang terdistribusi dengan merata, maka
layanan kesehatan di masa tanggap darurat dapat terpenuhi dengan cepat dan tepat,
sehingga diharapkan mampu mengurangi risiko korban meninggal lebih banyak.
Pusat layanan kesehatan harus terletak di daerah yang mudah dijangkau atau dekat
dengan masyarakat. Jaringan transportasi yang baik juga mendukung upaya
penyelamatan korban bencana dan distribusi bantuan kemanusiaan.

Priyono, J. 2009. Pemodelan Spasial Dalam Perencnaan Sistem Layanan Kesehatan


Berjenjang Pasca bencana di Aceh dan Nias. dalam In Simposium Nasional Sains
Geoinformasi, Yogyakarta

Purnama, G. 2017. Modul Manajemen Bencana. Universitas Udayana

Febriawati et al. / Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, Maret 2017, 8(1):28-33

Anda mungkin juga menyukai