Anda di halaman 1dari 13

Vo l. 03 No.

01 Februari Jurnal Manajemen ISSN 2339-1510

KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL SERTA DAMPAKNYA TERHADAP


PERKEMBANGAN KUMUH

Goso1 , Suhardi M. Anwar 2


Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Muhammadiyah Palopo
1
E_Mail: goso@stiem.ac.id
2
E_Mail: mansuhardi@stiem.ac.id

Abstrak: Komunitas bangsa Indonesia yang teridentifikasi sebagai golongan miskin saat ini adalah nelayan, di
mana 14,58 juta jiwa atau 90 persen dari 16,2 juta jumlah nelayan di Indonesia berada di bawah garis
kemiskinan. Di Kelurahan Ponjalae dan Tapong terdapat 51 Kepala Keluarga bekerja sebagai nelayan
tradisional tergolong ke dalam kelompok masyarakat miskin. Penelitian ditujukan untuk mengetahui faktor -faktor
penyebab dan bentuk kemiskinan nelayan tradisional di Kelurahan Ponjalae dan Tapong, dengan metode
deskriptif kualitatif menggunakan data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan dengan menyebarkan
kuesioner, wawancara dan pengamatan. Data sekunder dilakukan dengan mengumpulkan dokumen -dokumen
terkait topic penelitian. Kehadiran lembaga ekonomi seperti koperasi belum sepenuhnya dapat membantu
peningkatan taraf hidup nelayan tradisional. Hal ini ditandai dengan tidak adanya akses nelayan tradisional
terhadap lembaga tersebut dalam memperoleh modal usaha. Ditambah lagi dengan pendapatan mereka yang
tidak menentu membuat nelayan tergatung kepada pemilik modal yang tidak hanya sebatas kebutuhan modal
usaha dan alat produksi, malah sampai kepada biaya kebu tuhan hidup keluarga sehari-hari. Hasil penelitian
mengkonfirmasi factor-faktor yang berpengaruh terhadap kemiskinan nelayan tradisional penyebab
perkampungan kumuh kota yaitu; factor kualitas sumber dayamanusia; factor ekonomi; dan factor kelembagaan.
Bentuk kemiskinan yang terjadi di masyarakat kumuh Kota Palopo adalah kemiskinan natural dan kultural.

Kata kunci: Masalah Kemiskinan, Kemiskinan Natural dan kemiskinan Kultural, Bentuk Kemiskinan, Nelayan
Tradisional, Perkampungan Kumuh Kota

hanya itu. Pendapatan yang lebih tinggi itu hanya


PENDAHULUAN
merupakan salah satu dari kesekian banyak syarat
Pembangunan seharusnya dijadikan sebagai
yang harus dipenuhi. Banyak hal-hal lain yang
arena dalam perluasan kebebasan subtantif
tidak kalah pentingnya yang juga harus
(subtantive freedom) bagi setiap orang. Artinya
diperjuangkan, yakni mulai dari pendidikan yang
pembangunan yang bersumber non-kebebasan
lebih baik, peningkatan standar kesehatan dan
(nonfreedom sources) harus disingkirkan, yakni
nutrisi, pemberantasan kemiskinan, perbaikan
kemiskinan dan tirani, minimnya peluang
lingkungan hidup, pemerataan kesempatan,
ekonomi dan kemiskinan sosial sistematis,
pemerataan kebebasan individual dan penyegaran
penelantaran sarana umum dan intoleransi serta
kehidupan budaya (Bank Dunia dalam Tadaro,
campur tangan rezim refresif yang berlebihan
2000: 19).
(Sen dalam Teddy, 2007: 1).
Kemiskinan merupakan fenomena social
Pandangan tersebut mengisyaratkan bahwa
yang sering terjadi, kemiskinan pada umumnya
tantangan pembangunan adalah memperbaiki
ditandai dengan derita keterbelakangan,
kualitas kehidupan. Terutama di negara-negara
ketertinggalan, rendahnya produktivitas,
yang paling miskin. Kualitas hidup yang baik
selanjutnya menjadi rendahnya pendapatan yang
memang mensyaratkan adanya pendapatan yang
diterima. Krisis ekonomi yang terjadi di tahun
lebih tinggi, namun yang dibutuhkan bukan

25 | J u r n a l M a n a j e m e n , V o l . 0 3 N o . 0 1 F e b r u a r i 2017
Vo l. 03 No. 01 Februari Jurnal Manajemen ISSN 2339-1510

1998 telah mengakibatkan meningkatnya jumlah Di sisi lain nelayan mempunyai peran yang
penduduk miskin di Indonesia secara drastis. sangat substansial dalam modernisasi kehidupan
Pada tahun 1998 jumlah penduduk miskin manusia. Mereka termasuk agent of development
meningkat menjadi 49,5 juta jiwa atau sekitar yang paling reaktif terhadap lingkungan. Sifatnya
24,2 persen dari seluruh penduduk. Dan pada yang lebih terbuka jika dibandingkan dengan
tahun 2004 jumlah penduduk miskin di Indonesia kelompok masyarakat yang hidup di pedalaman,
masih mencapai 36,2 juta jiwa atau sekitar 16,7 menjadi stimulator untuk menerima
persen dari seluruh penduduk (Kuncoro, 2006: perkembangan peradaban yang lebih modern
117). Selanjutnya pada tahun 2004-2008, angka (Sudrajad, 2008: 2). Namun dalam
penduduk miskin di Indonesia adalah: tahun 2005 perkembangannya, justru nelayan belum
sebesar 35,1 juta jiwa atau 15,97 persen. Kondisi menunjukkan kemajuan yang berarti sebagaimana
ini memburuk di tahun 2006 jumlah penduduk kelompok masyarakat yang lain. Keberadaan
miskin meningkat menjadi 39,3 juta jiwa atau mereka sebagai agent of development ternyata
17,75 persen, yang disebabkan oleh tingginya tidak ditunjukkan secara positif dengan
tingkat inflasi dan kenaikan harga BBM. Namun kehidupan ekonominya. Salah satu golongan
berangsur-angsur kondisi ini terus membaik. nelayan yang menerima efek langsung oleh krisis
Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan tersebut adalah nelayan tradisional boleh
Maret 2008 sebesar 34,96 juta jiwa atau 15,42 dikatakan adalah kelompok masyarakat pesisir
persen. Jumlah penduduk miskin sudah berkurang yang paling menderita dan merupakan korban
sebesar 2,21 juta jiwa dibandingkan dengan pertama dari perubahan situasi sosial ekonomi
jumlah penduduk miskin pada bulan Maret 2007, yang datangnya tiba-tiba dan berkepanjangan
yang berjumlah 37,17 juta jiwa atau 16,58 persen (Sudarso, 2008: 1). Sedangkan bila dilihat dari
(Sensenas, 2008). tempat tinggalnya, pada umumnya nelayan
Salah satu komunitas bangsa Indonesia yang tradisional berada dalam lingkungan sumberdaya
teridentifikasi sebagai golongan miskin saat ini laut yang kaya raya, namun mereka miskin.
adalah nelayan, di mana sedikitnya 14,58 juta Sehingga Sudjatmoko (1995: 47) menyatakan
jiwa atau sekitar 90 persen dari 16,2 juta jumlah kemiskinan yang terjadi pada nelayan tradisional
nelayan di Indonesia masih berada di bawah garis adalah kemiskinan struktural.
kemiskinan (Martadiningrat dalam Antara, 2008: Kehidupan mereka sungguh memprihatinkan
1). Padahal negara Indonesia adalah negara bahari karena sebagai nelayan tradisional yang tergolong
yang pulau-pulaunya di kelilingi oleh lautan yang ke dalam kelompok masyarakat miskin mereka
di dalamnya mengandung berbagai potensi seringkali dijadikan objek ekploitatif oleh para
ekonomi khususnya di bidang perikanan, namun pemilik modal. Harga ikan sebagai sumber
sampai saat ini kehidupan nelayan tetap saja pendapatannya dikendalikan oleh para pemilik
masih berada dalam jurang kemiskinan. modal atau para pedagang/tengkulak, sehingga
distribusi pendapatan menjadi tidak merata.

26 | J u r n a l M a n a j e m e n , V o l . 0 3 N o . 0 1 F e b r u a r i 2017
Vo l. 03 No. 01 Februari Jurnal Manajemen ISSN 2339-1510

Gejala modernisasi perikanan tidak banyak menerima pekerjaan apa saja demi
membantu bahkan membuat nelayan tradisional memperoleh upah yang ditawarkan.
terpinggirkan, seperti munculnya kapal tangkap 4) Target population adalah kelompok orang
yang berukuran besar dan teknologi moderen. tertentu yang dijadikan sebagai objek dan
Mereka mampu menangkap ikan lebih banyak kebijakan serta program pemerintah. Mereka
dibandingkan nelayan tradisional yang hanya dapat berupa rumah tangga yang dikepalai
menggunakan teknologi konvensional. Penelitian perempuan, anak-anak, buruh tani yang tak
ini bertujuan untuk mencari penyebab kemiskinan punya lahan, petani tradisional kecil, korban
nelayan dan bentuk kemiskinan yang terjadai perang dan wabah, serta penghuni kampung
pada nelayan tradisional. kumuh perkotaan.

Friedmann juga merumuskan kemiskinan


KAJIAN LITERATUR DAN
sebagai minimnya kebutuhan dasar sebagaimana
PENGEMBANGAN HIPOTESIS
yang dirumuskan dalam konferensi ILO tahun
Kajian kemiskinan yang dikemukakan oleh 1976. Kebutuhan dasar menurut konferensi itu
Friedmann (1992: 89) adalah sebagai berikut: dirumuskan sebagai berikut:
1) Powerty line (garis kemiskinan). Yaitu 1) Kebutuhan minimum dari suatu keluarga akan
tingkat konsumsi rumah tangga minimum konsumsi privat (pangan, sandang, papan dan
yang dapat diterima secara sosial. Ia biasanya sebagainya).
dihitung berdasarkan income yang dua 2) Pelayanan esensial atas konsumsi kolektif
pertiganya digunakan untuk “keranjang yang disediakan oleh dan untuk komunitas
pangan” yang dihitung oleh ahli statistik pada umumnya (air minum sehat, sanitasi,
kesejahteraan sebagai persediaan kalori dan tenaga listrik, angkutan umum, dan fasilitas
protein utama yang paling murah. kesehatan dan pendidikan).
2) Absolute and relative poverty (kemiskinan 3) Partisipasi masyarakat dalam pembuatan
absolut dan relatif). Kemiskinan absolut keputusan yang mempengaruhi mereka.
adalah kemiskinan yang jatuh di bawah 4) Terpenuhinya tingkat absolut kebutuhan dasar
standar konsumsi minimum dan karenanya dalam kerangka kerja yang lebih luas dari hak-
tergantung pada kebaikan (karitas/amal). hak dasar manusia.
Sedangkan relatif adalah kemiskinan yang Penciptaan lapangan kerja (employment) baik
eksis di atas garis kemiskinan absolut yang sebagai alat maupun tujuan dari strategi kebutuhan
sering dianggap sebagai kesenjangan antara dasar.
kelompok miskin dan kelompok non miskin Kemiskinan bukanlah suatu hal yang
berdasarkan income relatif. dikehendaki, akan tetapi lebih diakibatkan oleh
3) Deserving poor adalah kaum miskin yang adanya faktor-faktor tertentu yang menyebabkan
mau peduli dengan harapan orang-orang non- orang terjebak ke dalam jurang kemiskinan, baik
miskin, bersih, bertanggung jawab, mau itu berupa faktor alamiah maupun faktor buatan

27 | J u r n a l M a n a j e m e n , V o l . 0 3 N o . 0 1 F e b r u a r i 2017
Vo l. 03 No. 01 Februari Jurnal Manajemen ISSN 2339-1510

manusia itu sendiri. Hardiman dan Midgley (1982)


dalam Kuncoro (2006: 119) mengatakan; METODE DAN BAHAN
“Kemiskinan massal yang terjadi di banyak negara
Lokasi di kelurahan Ponjalae dan Tapong
yang baru saja merdeka setelah Perang Dunia ke II
Kota Palopo Provinsi Sulawesi Selatan, terpilihnya
memfokuskan pada keterbelakangan dari
kelurahan Pontap sebagai lokasi penelitian dengan
perekonomian negara tersebut sebagai akar
pertimbangan, dari 718 jiwa jumlah penduduk atau
permasalahannya”.
167 kepala keluarga, terdapat 86 kepala keluarga
Sharp, et,al (1996) mengatakan penyebab
tergolong ke dalam kelompok masyarakat miskin
kemiskinan bila diidentifikasikan berdasarkan
dan dari 86 kepala keluarga miskin 51 kepala
sudut pandang ekonomi adalah: Pertama; secara
keluarga bekerja sebagai nelayan tradisional yang
mikro, kemiskinan muncul karena ketidaksamaan
berada di Kecamatan Wara Timur. Data primer di
pola kepemilikan sumber daya, yang
peroleh dari 51 Kepala Keluarga (KK) Nelayan
menimbulkan kontribusi pendapatan yang
Tradisional, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan,
timpang. Penduduk miskin hanya memiliki
Camat Wara, Kelurahan Ponjalae dan Kelurahan
sumber daya dalam jumlah terbatas dan
Tapong. Populasi finit, 51 kepala keluarga nelayan
kualitasnya rendah. Kedua; kemiskinan muncul
tradisional kelurahan Ponjalae dan Tapong
akibat perbedaan dalam kualitas sumber daya
(Pontap) Kecamatan Wara Timur.
manusia. Kualitas sumber daya manusia yang
Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab
rendah berarti produktivitasnya rendah, yang
kemiskinan pada nelayan tradisional di Kelurahan
pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya
Ponjalae dan Tapong, maka pada setiap indikator
kualitas sumber daya manusia ini karena
dari masing-masing faktor diberikan ukuran atau
rendahnya pendidikan, nasib yang kurang
katagori secara kualitatif, yaitu:
beruntung adanya diskrimanasi. Ketiga;
1) Faktor kualitas sumber daya manusia
kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam
a. Tingkat pendidikan.
modal. Ketiga penyebab kemiskinan ini menurut
b. Ketrampilan alternatif.
Nurske: bermuara pada teori lingkaran setan
c. Pekerjaan alternatif.
kemiskinan. Adanya keterbelakangan,
Jika ketiga unsur terpenuhi, dikatagorikan sangat
ketidaksempurnaan pasar dan kurangnya modal
berpengaruh, jika dua unsur terpenuhi
menyebabkan rendahnya produktivitas.
dikatagorikan berpengaruh dan jika hanya satu
Rendahnya produktivitas, mengakibatkan
unsur yang terpenuhi dikatagorikan tidak
rendahnya pendapatan yang mereka terima.
berpengaruh.
Rendahnya pendapatan akan berimplikasi kapada
2) Faktor ekonomi
rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya
a. Kepemilikan modal usaha.
investasi berakibat kepada keterbelakangan, dan
b. Kepemilikan tanah.
seterusnya.
c. Teknologi yang digunakan.

28 | J u r n a l M a n a j e m e n , V o l . 0 3 N o . 0 1 F e b r u a r i 2017
Vo l. 03 No. 01 Februari Jurnal Manajemen ISSN 2339-1510

Jika ketiga unsur terpenuhi, dikatagorikan sangat panjang 5 meter, lebar 1 meter dan tinggi 0,5
berpengaruh, jika dua unsur terpenuhi meter, kapasitas penumpang maksimum 2
dikatagorikan berpengaruh dan jika hanya satu orang dan dijalankan dengan mesin tempel
unsur yang terpenuhi dikatagorikan tidak berkapasitas 5,5 PK. Alat tangkap yang
berpengaruh. digunakan jaring dan pancing.
3) Faktor hubungan kerja nelayan 2. Teknologi adalah alat tangkap yang
a. Ketergantungan modal kerja nelayan pada digunakan oleh nelayan dalam berburu ikan
pemilik modal. di laut.
b. Sistem bagi hasil nelayan dengan pemilik 3. Tingkat Pendidikan adalah jenjang
modal. pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh
c. Sistem bagi hasil nelayan pemilik perahu nelayan.
dengan nelayan penumpang. 4. Ukuran garis kemiskinan yang digunakan
Jika ketiga unsur terpenuhi, dikatagorikan sangat adalah garis kemiskinan Subjogyo dengan
berpengaruh, jika dua unsur terpenuhi mengasumsikan jumlah tanggungan keluarga
dikatagorikan berpengaruh dan jika hanya satu sebanyak 4 orang, yang terdiri dari 1 (satu)
unsur yang terpenuhi dikatagorikan tidak orang ibu dan 3 (tiga) orang anak.
berpengaruh.
4) Faktor kelembagaan HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Peranan lembaga pemasaran.
Tingkat Pendidikan
b. Peranan lembaga penyuluhan.
Distribusi responden berdasarkan tingkat
c. Peranan lembaga perkreditan.
pendidikan pada aspek dari kualitas sumber daya
Jika ketiga unsur terpenuhi, dikatagorikan sangat
manusia pada nelayan tradisional
berpengaruh, jika dua unsur terpenuhi
Karakteristik Responden Menurut Tingkat
dikatagorikan berpengaruh dan jika hanya satu
Pendidikan
unsur yang terpenuhi dikatagorikan tidak
Tingkat Pendidikan Jumlah Prosentase
berpengaruh. Tamat SD/Sederajat 27 53.0
Tamat SLTP/
Untuk mengetahui bentuk-bentuk 23 45.0
Sederajat
kemiskinan yang terjadi pada nelayan tradisional Tamat
1 2.0
SLTA/Sederajat
di kelurahan Ponjalae dan Tapong Kota Palopo,
Jumlah 51 100
dianalisis berdasarkan fenomena-fenomena yang
terjadi dalam kehidupan nelayan tradisional yang Dari 51 nelayan responden yang diteliti

berkaitan dengan kemiskinan nelayan itu sendiri. terdapat 53 persen responden tamat Sekolah Dasar

1. Nelayan Tradisional adalah orang yang (SD)/Sederajat, 45 persen responden tamat SLTP.

secara aktif melakukan usaha atau berburu Dan yang lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Atas

ikan di laut yang menggunakan peralatan (SLTP) hanya 2 persen. Keadaan tersebut

tangkap tradisional berupa perahu berukuran

29 | J u r n a l M a n a j e m e n , V o l . 0 3 N o . 0 1 F e b r u a r i 2017
Vo l. 03 No. 01 Februari Jurnal Manajemen ISSN 2339-1510

menggambarkan bahwa tingkat pendidikan nelayan a. Miskin : 320/12 x 5 x 9.200 = Rp. 1.226.667.-
di Kelurahan Ponjalae dan Tapong sangat rendah b. Miskin sekali : 240/12 x 5 x 9.200 = Rp.
Pendapatan Rata-rata Nelayan Tradisional Per 920.000.-
Bulan
c. Paling miskin : 180/12 x 5 x 9.200 = Rp.

Jumlah Pendapatan (Rp) Jumlah Prosentase 690.000.-


< 500.000,- - 0 Nelayan tradisional dikatagorikan sebagai
500.000,- s/d 750.000,- 7 14 kelompok masyarakat paling miskin dan miskin
750.000,- s/d 1.000.000,- 29 57
sekali. Karena pendapatannya tertinggi nelayan
>1.000.000,- 15 29
tradisional berada di bawah Rp. 920.000.- yakni
Jumlah 51 100
Rp. 750.000.- s/d Rp. 1.000.000.- dan >Rp.
1.000.000.-. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan
Diketahui 57 persen responden
oleh Mubyarto (1984: 67) dalam penelitiannya
berpendapatan rata-rata antara Rp. 750.000.- s/d
bahwa pada umumnya nelayan merupakan
Rp. 1.000.000.- per bulan, 29 persen responden
kelompok paling miskin.
berpendapatan antara Rp. 550.000.- s/d Rp.
Keterampilan alternatif
597.700.- per bulan, dan 14 persen responden
Dari data yang ditemukan bahwa pada
berpendapatan antara Rp. >1.000.000.- per bulan.
umumnya responden tidak menguasai ketrampilan
Hal ini menunjukkan pada umumnya rata-rata
alternatif. Ini terbukti ketika ditanyakan kepada 51
pendapatan nelayan tradisional di Kelurahan
responden tentang penguasaan ketrampilan selain
Ponjalae dan Tapong per bulan adalah antara Rp.
dari ketrampilan menangkap ikan di laut, 88 persen
750.000.- s/d Rp. 1.000.000.-. Bila pendapatan
responden menjawab tidak menguasai ketrampilan
nelayan tradisional kita ukur dengan menggunakan
alternatif, 4 persen responden menjawab
ukuran garis kemiskinan Sajogyo, di mana
menguasai ketrampilan alternatif berupa
perhitungan dilakukan dengan mengasumsikan
ketrampilan pertukangan dan 8 persen responden
anggota keluarga sebanyak 5 orang dan harga
menguasai ketrampilan di bidang perabotan.
beras saat dilakukan penelitian berkisar antara Rp.
Penguasaan Ketrampilan Alternatif (Non
9.200.- s/d Rp. 10.500.- per kilogram. Adapun
Perikanan)
garis kemiskinan ini dihitung dengan
Ketrampilan
menggunakan konsep kebutuhan fisik minimum Jumlah Prosentase
Alternatif
(KFM), yang dipakai oleh Purba (2002: 46-47), Menguasai ketrampilan
2 4
pertukangan
yaitu KFM= Kg Beras/12 x JAK x HB. Di mana Menguasai ketrampilan
4 8
KFM= kebutuhan fisik minimum, JAK = Jumlah perabotan
Tidak menguasai
anggota keluarga dan HB= harga beras saat 45 88
ketrampilan
dilakukan penelitian. Sehingga berdasarkan Jumlah 51 100
formula tersebut kebutuhan fisik minimum
keluarga nelayan tradisional dapat dihitung sebagai
berikut:

30 | J u r n a l M a n a j e m e n , V o l . 0 3 N o . 0 1 F e b r u a r i 2017
Vo l. 03 No. 01 Februari Jurnal Manajemen ISSN 2339-1510

Aspek Kepemilikan Modal di Kelurahan Pontap memiliki tanah perkarangan,


Pada factor ekonomi aspek kepemilikan namun luas tanah sangat kecil dan masih dalam
modal 100 persen responden tidak memiliki modal status milik Pemerintah Kota Palopo.
untuk pengembangan usaha. Akibatnya nelayan Teknologi yang Digunakan
tidak dapat melakukan peningkatan produksi. Berdasarkan pengamatan, perahu yang
Sedangkan rendahnya produksi sangat berpengaruh digunakan oleh nelayan tradisional di Kelurahan
kepada jumlah pendapatan yang diterima. Artinya Pontap, perahu tersebut menggunakan mesin
bila produksi rendah, maka akan rendah pula tempel bermerek Honda dengan kapasitas mesin
pendapatan yang diterima oleh nelayan. Sejalan 5,5 PK. Perahu berukuran panjang 5 meter, lebar 1
dengan itu sebagaimana dijelaskan pada lingkaran meter dan tinggi 0,5 meter. Badan perahu terbuat
kemiskinan Nurske bahwa rendahnya pendapatan dari kayu. Alat tangkap yang digunakan adalah
yang diterima berakibat kepada rendahnya jaring dan pencing. Umumnya mesin-mesin yang
tabungan. Selanjutnya rendahnya tabungan digunakan pada perahu-perahu tersebut kondisinya
berimplikasi kepada rendahnya investasi. sudah tua yang ditunjukkan oleh banyaknya
Sedangkan rendahnya investasi mengakibatkan karatan yang menempel pada mesin.
kembali terjadi kekurangan modal. Ketergantungan nelayan pada pemilik modal
Hasil Observasi Interaksi nelayan di Pontap ini
Jumlah Nelayan Menurut Kepemilikan Modal
Kepemilikan Modal berbentuk pola hubungan patron-klien. Patron-
Jumlah Prosentase
Usaha klien melibatkan hubungan seseorang individu
Memiliki modal usaha - -
Tidak memiliki modal dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi
51 100
usaha (Patron) yang menggunakan pengaruh dan sumber
Jumlah 51 100
dayanya untuk menyediakan perlindungan dan
Kepemilikan Tanah keuntungan bagi seseorang dengan status lebih
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap rendah (Klien). Khusus nelayan tradisional
51 responden tentang kepemilikan tanah bagi hubungan yang bersifat patron-klien dapat
nelayan tradisional, diketahui pada Tabel berikut: dijelaskan patron adalah toke ikan atau toke
perahu, yang lazim disebut dengan nelayan kaya.
Kepemilikan Tanah
Jumlah Prosentase Klien adalah nelayan tradisional yang
Perkarangan
Memiliki tanah menggantungkan hidupnya kepada toke ikan atau
47 75
perkarangan
Tidak memiliki tanah toke-toke perahu terutama saat laut pasang,
4 25
perkarangan sehingga mereka tidak boleh melaut.
Jumlah 51 100
Sistem bagi hasil nelayan dengan pemilik modal
Sistem bagi hasil ialah nelayan pemilik modal
Bahwa 75 persen responden memiliki tanah
(punggawa) memperoleh bagian lebih besar dari
perkarangan dan 25 persen responden tidak
pada nelayan buruh, sehingga terjadinya
memiliki tanah perkarangan. Dengan demikian
ketimpangan pendapatan yang tajam antara
dapat diketahui, pada umumnya nelayan tradisional

31 | J u r n a l M a n a j e m e n , V o l . 0 3 N o . 0 1 F e b r u a r i 2017
Vo l. 03 No. 01 Februari Jurnal Manajemen ISSN 2339-1510

nelayan pemilik dengan nelayan buruh. dilakukan adalah mendekatkan masyarakat dengan
Ketimpangan dalam bagi hasil ini disebabkan oleh pasar seperti eksportir komoditas perikanan.
pola hubungan nelayan yang bersifat patron-klien, Keuntungan dari hubungan seperti ini yaitu
di mana hubungan ini telah membentuk nelayan mendapat jaminan pasar dan harga,
ketergantungan nelayan buruh kepada nelayan pembinaan terhadap nelayan terutama dalam hal
pemilik sangat besar bukan hanya dalam modal kualitas barang bisa dilaksanakan, serta sering kali
kerja melainkan sampai kepada kebutuhan hidup nelayan mendapat juga bantuan modal bagi
keluarga nelayan buruh itu sendiri. Akibat dari pengembangan usaha yang dihasilkan. Struktur
ketergantungan itu, terbentuknya suatu jalinan pasar yang tidak menguntungkan nelayan ini
hubungan yang lebih bersifat hubungan emosional disebabkan karena informasi yang kurang
antara nelayan buruh dengan nelayan punggawa. mengenai harga. Sehingga harga lebih sering
Konsekwensi dari hubungan itu adalah membuat dimonopoli oleh toke-toke ikan, di mana mereka
nelayan buruh selalu menjadi korban eksploitasi membeli dengan harga murah dan menjualnya
dari nelayan pemilik modal atau ponggawa. kepada eksportir dengan harga yang berlipat
Sistem bagi hasil nelayan pemilik perahu ganda.
dengan nelayan penumpang
Peranan Lembaga Penyuluhan
Dalam kegiatan menangkap ikan di laut
Upaya pemberdayaan masyarakat diharapkan
nelayan tradisional pemilik perahu dengan nelayan
mampu berperan meningkatkan kualitas sumber
penumpang mempunyai resiko yang sama terhadap
daya manusia terutama dalam bentuk dan merubah
kegiatan usaha yang mereka jalankan. Sistuasi ini
perilaku masyarakat untuk mencapai taraf hidup
berdampak kepada sistem bagi hasil yang berlaku
yang lebih baik. Pemberdayan masyarakat tidak
diantara mereka, di mana nelayan tradisional yang
lain adalah memberikan motivasi dan dorongan
memiliki perahu memperoleh bagian yang sama
kepada masyarakat agar mampu menggali potensi
besarnya dengan nelayan penumpang. Hal ini
dirinya dan berani bertindak memperbaiki kualitas
sesuai dengan sistem bagi hasil yang dilakukan
hidupnya, melalui cara antara lain dengan
oleh nelayan tradisional pemilik perahu dengan
pendidikan untuk penyadaran dan pemampuan diri
nelayan penumpang di Kelurahan Ponjalae
mereka. Adapun perkembangan pemberdayaan
Tapong, di mana menurut hasil penelitian yang
tersebut dikenal dengan program penyuluhan
dilakukan kepada 51 responden, tentang sistem
Peranan Lembaga Perkreditan
bagi hasil yang berlaku antara nelayan tradisional
Sifat bisnis perikanan yang musiman,
pemilik perahu dengan nelayan penumpang,
penghasilan yang tidak menentu serta beresiko
diketahui bahwa hasil tangkapan yang diperoleh
tinggi sering menjadi alasan keengganan bank
oleh nelayan atas kerjasamanya dibagi sama
untuk memberikan bantuan modal usaha bagi
dengan nelayan penumpang
nelayan. Sifat bisnis perikanan yang kenyal dengan
Peranan Lembaga Pemasaran
resiko ini dan disertai dengan status nelayan yang
Untuk mengembangkan pasar bagi produk-
umumnya rendah dan tidak mampu secara
produk yang dihasilkan nelayan maka upaya yang

32 | J u r n a l M a n a j e m e n , V o l . 0 3 N o . 0 1 F e b r u a r i 2017
Vo l. 03 No. 01 Februari Jurnal Manajemen ISSN 2339-1510

ekonomi membuat mereka kesulitan dalam mau berusaha untuk memperbaiki dan merubah
memenuhi syarat-syarat yang diberlakukan oleh tingkat kehidupannya. Akibatnya tingkat
perbankan. Dengan memperhatikan kesulitan yang pendapatannya rendah menurut ukuran yang
dihadapi oleh nelayan akan modal, maka salah satu dipakai secara umum. Dengan kata lain mereka
alternatif adalah mengembangkan mekanisme miskin disebabkan karena faktor budaya seperti
pendanaan diri sendiri (self-financing mechanism) malas, tidak disiplin, boros dan lainnya.
Bentuk Kemiskinan Nelayan Tradisional Pernyataan di atas signifikan dengan yang terjadi
Kemiskinan Natural
pada keluarga nelayan tradisional di Kelurahan
Nelayan tradisional di Kelurahan Ponjalae
Ponjalai dan Tapong, di mana budaya malas, tidak
Tapong, sebagaimana yang telah kita bahas pada
disiplin dan boros ini tercermin dalam sikap dan
bagian sebelumnya bahwa terjadinya kemiskinan
kebiasaan keluarga nelayan itu sendiri seperti
pada nelayan tradisional salah satunya disebabkan
dalam hal pemanfaatan waktu senggang,
oleh faktor kualitas sumber daya manusia nelayan
pengeluaran terhadap konsumsi rumah tangga dan
yang masih rendah, yang ditunjukkan oleh
budaya setempat. Sebenarnya banyak pekerjaan
rendahnya tingkat pendidikan, tidak dimilikinya
sampingan yang bisa dikerjakan meskipun dengan
ketrampilan alternatif dan kurangnya pekerjaan
pendidikan dan ketrampilan yang terbatas, seperti
alternatif.
salah satunya ialah bekerja sebagai buruh pada
Kurangnya ketrampilan alternatif tergambar
proyek-proyek yang dilaksanakan di Kecamatan
dari ketrampilan yang dimiliki oleh nelayan
Wara Timur, tapi mereka dengan berbagai alasan
tradisional. Di mana berdasarkan hasil penelitian
tidak mau melakukannya, bahkan mereka sudah
yang dilakukan kepada 51 responden, tentang
merasa cukup dengan apa yang diperolehnya dari
penguasaan ketrampilan alternatif, diperoleh data
bekerja sebagai nelayan tradisional. Hal ini
bahwa pada umumnya nelayan tradisional tidak
terbukti dari hasil penelitian yang dilakukan
menguasai ketrampilan alternatif. meskipun
terhadap 51 responden tentang kegiatan yang
sumber daya alam yang terdapat di Kelurahan
dilakukan oleh nelayan ketika pulang dan tidak ke
Ponjalae Tapong boleh dikatakan cukup memadai
laut, diketahui bahwa umumnya nelayan
untuk dimanfaatkan sebagai sumber pandapatan,
menghabiskan waktunya dengan duduk di warung
namun bila tidak didukung oleh pendidikan dan
kopi dan hanya sebagian kecil yang memanfaatkan
ketrampilan yang tinggi tentunya potensi sumber
waktu senggangnya dengan melakukan pekerjaan
daya alam itu tidak mampu dikelola menjadi
sampingan. Dari segi konsumsi rumah tangga
sumber pendapatan. Sehingga meskipun mereka
terhadap jenis barang dan jasa, nelayan tradisional
tinggal di lingkungan sumber daya alam yang
di Kelurahan Ponjalae Tapong tergolong konsumtif
melimpah, tapi mereka tetap menjadi golongan
untuk ukuran keluarga yang penghasilannya di
masyarakat miskin.
bawah garis kemiskinan. Sehingga tidak heran bagi
Kemiskinan Kultural
kita bila menemukan adanya jenis-jenis konsumsi
Kelompok masyarakat seperti ini tidak mudah
barang dan jasa tertentu yang kurang wajar
diajak berpartisipasi dalam pembangunan, tidak

33 | J u r n a l M a n a j e m e n , V o l . 0 3 N o . 0 1 F e b r u a r i 2017
Vo l. 03 No. 01 Februari Jurnal Manajemen ISSN 2339-1510

dibelanjakan oleh nelayan tradisional yang Kualitas suberdaya yang rendah terlihat dari
berpenghasilan di bawah garis kemiskinan, seperti minimnya tingkat pendidikan, keterbatasan
merokok dan ngopi di warung kopi. keterampilan yang dimiliki (keterampilan
Kemiskinan Struktural alternative) oleh nelayan Pontap.
Pada nelayan tradisional di Kelurahan Ketidakberdayaan ekonomi nelayan terlihat dari
Ponjalae Tapong, di mana ketergantungan nelayan asset-aset yang dimiliki; kepemilikan tanah, modl
tradisional pada pemilik modal baik dalam kerja, serta teknologi modern nelayan
kebutuhan modal, alat produksi dan kebutuhan ketidakberdayaan dalam bidang kelembagaan di
keluarga tidak terlihat di sana. Dalam hal buktikan dengan lemahnya peranan lembaga dalam
keperluan modal atau kebutuhan keluarga, nelayan berperan untuk meningkatkan kesejahteraan
tradisional meminjamnya pada saudara atau anggotanya melalui kegiatan ekonomi nelayan
tetangga terdekat, sehingga secara emosional tidak tradisional di Kelurahan Ponjalae Tapong, seperti
adanya kewajiban bagi nelayan untuk menjual ikan keberadaan Koperasi Nelayan yang hanya bergerak
kepada pemilik modal sebagai pembayarannya. dalam bidang simpan pinjam. Koperasi tidak
Karena hubungan antara nelayan dengan pemilik melaksanakan perannya sebagai wadah dalam
modal bersifat hubungan horizontal. Sedangkan memasarkan hasil-hasil tangkapan nelayan dari
dalam hal kebutuhan alat produksi seperti perahu hasil kerjanya.
beserta alat tangkapnya, nelayan tradisional telah Keberadaan balai penyuluhan pertanian
memperolehnya dari bantuan pemerintah Propinsi dalam bidang perikanan belum aktif memberikan
Sulawesi Selatan dan Pemerintah Kabupaten Wara solusi denngan penyuluhan yang intesif kepada
Timur. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan warga nelayan di Kelurahan Ponjalai dan Tapong,
bahwa kemiskinan yang terjadi pada nelayan petugas penyuluhan lebih sering tidak berada di
tradisional di Kelurahan Ponjalae Tapong bukan tempat.
kemiskinan struktural. Artinya kemiskinan itu Selanjutnya lembaga keuangan yang ada
tidak disebabkan oleh adanya perbedaan struktur seperti Bank Perkreditan dan Koperasi Nelayan,
sosial masyarakat dan muncul oleh adanya suatu tidak dapat diakses oleh nelayan karena
kebijakan tertentu dari pemerintah. persyaratan yang diberlakukan untuk mendapat
pinjaman, mengharuskan nelayan untuk
memberikan jaminan. Sementara jaminan itu tidak
SIMPULAN
dimiliki oleh nelayan tradisional.
Kemiskinan yang terjadi pada nelayan
Bentuk Kemiskinan yang dialami oleh
tradisional di Kelurahan Ponjalae Tapong
nelayan tradisional di Kelurahan Ponjalae Tapong
disebabkan oleh 3 (tiga) faktor yang sangat
tergolong kemiskinan natural dan kultural.
berpengaruh, yaitu:
Kemiskinan natural terlihat dari banyaknya
1) faktor kualitas sumber daya manusia;
nelayan yang memiliki latar belakang sangat
2) Faktor ekonomi; dan
rendah, kualitas sumberdaya manusia yang ada
3) faktor kelembagaan.

34 | J u r n a l M a n a j e m e n , V o l . 0 3 N o . 0 1 F e b r u a r i 2017
Vo l. 03 No. 01 Februari Jurnal Manajemen ISSN 2339-1510

belum mampu untuk diakselerasi, keberlimpahan Friedmann, Jhon. (1992). Empowerment: The
Politics Alternative Development.
sumber daya alam yang tersedia belum Chambridge, Blackwell.
berkontribusi langsu dikarenakan keterbatasan
_______. (1995). Ekonomi dan Keadilan Sosial.
kualitas sumberdaya manusia yang ada.
Aditya Media. Yogyakarta.
Sumberdaya yang tersedia tidak mampu
Purwanti, P. (1994). Curahan Waktu dan
dikonversikan menjadi pendapatan untuk
Produktivitas Kerja Nelayan di Kabupaten
mengatasi kemiskinan yang ada. Pasuruan. Program Pascasarjana.
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Kemiskinan kultural terlihat dari sikap Tesis. Tidak dipublikasikan.
malas, gaya hidup konsumtif dan keberadaan
Rahardja, Pratama. dkk. (2008). Pengantar Ilmu
pengaruh budaya adat istiadat yang berlaku di
Ekonomi (Mikroekonomi &
Kelurahan Ponjalae Tapong. Sikap malas ditandai Makroekonomi). Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
dengan rendahnya pemanfaatan waktu luang saat Jakarta.
tidak turun melaut. Nelayan lebih suka
Satria, Arif. (2001). Dinamika Modernisasi
memanfaatkan waktu luang dengan kegiatan yang
Perikanan: Formasi Sosial dan Mobilitas
kurang produktif secara ekonomi. Waktu Nelayan. HUP. Bandung.
senggang seharusnya bias dimanfaatkan dengan
Sigit, H. (1993). Masalah Perhitungan Distribusi
kegiatan produktif seperti bekerja sampingan. Pola Pendapatan di Indonesia. Prisma. LP3ES.
Jakarta.
hidup konsumtif yang ada bisa dikurangi dengan
pembatasan gaya hidup yang boros seperti pada Salim, E. (1984). Perencanaan Pembangunan dan
Pemerataan Pendapatan. Yayasan Idayu.
pemenuhan kegiatan adat dan konsumsi rokok
Jakarta.
serta kegiatan nongkrong di warung kopi disaat
Situmorang, Chazali. (2008). Penanganan Masalah
tidak turun melaut. maksudnya hilangkan membeli Kemiskinan di Sumatera Utara (Poverty
barang dan jasa yang bukan merupakan kebutuhan Reduction At North Sumatera). Jurnal
Pembangunan.
dasar dan mendesak. Sedangkan dari segi budaya
(adat) yang berlaku di Kelurahan Ponjalae Tapong Soedjatmoko. (1995). Dimensi Manusia dalam
Pembangunan. dalam Bahtiar Chamsyah:
adalah banyaknya acara adat yang memaksa Teologi Penanggulangan Kemiskinan.
nelayan untuk mengeluarkan biaya melebihi LP3ES. Jakarta.
kemampuan pendapatannya, seperti pesta kawin, Sudarso. (2008). Tekanan Kemiskinan Struktural
lain sebagainya. Komunitas Nelayan Tradisional di
Perkotaan. Jurnal Ekonomi. FISIP.
Univesitas Airlangga. Surabaya.
DAFTAR PUSTAKA
Sudrajad, Iwan. (2008). Membangkit Kekuatan
Bengen. D.G. (2001). Pengelolaan Sumberdaya Ekonomi Nelayan. Jurnal Ekonomi.
Wilayah Pesisir Secara Terpadu, Ekonomi UNDIP. Semarang. Jawa
Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Tengah.
Makalah pada Sosialisasi Pengelolaan
Sumberdaya Berbasis Masyarakat. Bogor, Supradin dan Rahmania, Rohana. (2007). Kajian
21-22 September 2001. Kemiskinan Partisipatif Kota Kendari,
Kota Bau-Bau, Kabupaten Konawe,

35 | J u r n a l M a n a j e m e n , V o l . 0 3 N o . 0 1 F e b r u a r i 2017
Vo l. 03 No. 01 Februari Jurnal Manajemen ISSN 2339-1510

Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi


Tenggara. Jurnal Pembangunan.

Surya, Alwin. (2009). Studi Deskriptif Potret dan


Kehidupan Keluarga Nelayan Tradisional
Medan Labuhan. Jurnal Sain, Teknologi,
Kesehatan, Sosial, Ekonomi &
Imformatika. Volume 2, Nomor 1,
Ferbruari 2009. Media Prima Sain 2009.

Suryawaty, Chriswardani. (2005). Memahami


Kemiskinan Secara Multidimensional,
Fakultas Kesehatan Masyarakat dan
Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Jurnal Pembangunan. Universitas
Diponegoro. Semarang. Jawa Tengah.

Tadaro, Michel.P. (2000). Pembangunan Ekonomi.


Bumi Aksara.

Tarigan, Robinson. (2007). Ekonomi Regional,


Teori dan Aplikasi. Bumi Aksara

36 | J u r n a l M a n a j e m e n , V o l . 0 3 N o . 0 1 F e b r u a r i 2017

Anda mungkin juga menyukai