TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Kolangitis
1.1.1. Defenisi
1
Di Amerika Serikat, kolangitis cukup jarang terjadi. Biasanya terjadi
bersamaan dengan penyakit lain yang menimbulkan obstruksi bilier dan infeksi
bakteri empedu (misal: setelah prosedur ERCP, 1-3% pasien mengalami
kolangitis).7 Resiko tersebut meningkat apabila cairan pewarna diinjeksikan secara
retrograd. Insidensi Internasional kolangitis adalah sebagai berikut: kolangitis
pyogenik rekuren, kadangkala disebut sebagai kolangio hepatitis iriental, endemik
di Asia Tenggara. Kejadian ini ditandai oleh infeksi saluran bilier berulang,
pembentukan batu empedu intrahepatik dan ekstrahepatik, abses hepar, dan
dilatasi dan striktur dari saluran empedu intra dan ekstrahepatik.6
Trias Charcot terdiri dari nyeri abdomen kanan atas, demam dan ikterik,
dapat digunakan untuk mendiagnosa kolangitis akut secara klinis. Umumnya
pasien-pasien dengan kolangitis akut menunjukan respon dan terjadi resolusi
dengan antibiotik, namun demikian pembersihan saluran bilier secara endoskopi
pada akhirnya tetap diperlukan untuk mengatasi terapi penyebab obstruksi. 6
Meskipun umumnya pasien dapat berespon dengan terapi antibiotik dan drainase
bilier, penelitian-penelitian melaporkan angka morbiditas dari kolangitis akut
mencapai 10% .2
1.1.3. Etiologi
Kolangitis akut terjadi sebagai hasil dari obstruksi saluran bilier dan
pertumbuhan bakteri dalam empedu (infeksi empedu). Kolangitis akut
membutuhkan kehadiran dua faktor:1,4
(1) obstruksi bilier
(2) pertumbuhan bakteri dalam empedu (bakterobilia)
Cairan empedu biasanya normal pada individu yang sehat dengan anatomi
bilier yang normal. Bakteri dapat menginfeksi sistem saluran bilier yang steril
melalui ampula vateri (karena adanya batu yang melewati ampula), sfingterotomi
atau pemasangan sten (yang disebut kolangitis asending) atau bacterial portal,
yaitu terjadinya translokasi bakteri melalui sinusoid-sinusoid hepatik dan celah
disse. Bakterobilia tidak dengan sendirinya menyebabkan kolangitis pada individu
yang sehat karena efek bilasan mekanik aliran empedu, kandungan antibakteri
garam empedu, dan produksi IgA. Namun demikian, obstruksi bilier dapat
mengakibatkan kolangitis akut karena berkurangnya aliran empedu dan produksi
2
IgA, menyebabkan gangguan fungsi sel kupffer dan rusaknya celah membran sel
sehingga menimbulkan refluks kolangiovena.1
Penyebab paling sering obstruksi bilier adalah koledokolitiasis, stenosis
bilier jinak, striktur anastomosis empedu, dan stenosis dengan penyakit ganas.
Koledokolitiasis digunakan untuk menjadi penyebab paling sering, tetapi baru-
baru ini kejadian kolangitis akut yang disebabkan oleh penyakit ganas, sklerosis
kolangitis, dan instrumentasi non-bedah saluran empedu telah meningkat. Hal ini
dilaporkan bahwa penyakit ganas sekitar 10-30% menyebabkan kasus akut
kolangitis.2
Berikut adalah beberapa penyebab terjadinya kolangitis akut, antara lain:2,4
· Kolelitiasis
· Benign biliary stricture
· Faktor kongenital
Faktor post-operatif (kerusakan ductus bilier, strictured
choledojejunostomy, etc.)
· Faktor inlamasi
· Oklusi keganasan
· Tumor duktus bilier
· Tumor kandung empedu
· Tumor ampula
· Tumor pankreas
· Tumor duodenum
· Pankreatitis
· Tekanan eksternal
· Fibrosis papila
· Divertikulum duodenal
· Bekuan darah
· Faktor iatrogenic
· Parasit yang masuk ke duktus bilier (Biliary ascariasis)
· Sump syndrome setelah anastomosis enterik bilier
1.1.4. Faktor Resiko
3
Empedu dari subyek sehat umumnya bersifat aseptik. Namun, kultur
empedu positif mengandung mikroorganisme pada 16% dari pasien yang
menjalani operasi non-bilier, 72% dari pasien kolangitis akut, 44% dari pasien
kolangitis kronis, dan 50% dari mereka dengan obstruksi bilier. 5 Bakteri dalam
empedu teridentifikasi pada 90% pasien dengan koledokolitiasis disertai dengan
ikterus.8 Pasien dengan obstruksi tidak lengkap dari saluran empedu menyajikan
tingkat kultur empedu positif yang lebih tinggi dibandingkan dengan obstruksi
lengkap dari saluran empedu. Faktor resiko untuk bakterobilia mencakup berbagai
faktor, seperti dijelaskan di atas. Faktor resiko lain terjadinya kolangitis yang
disebut riwayat infeksi sebelumnya, usia >70 tahun dan diabetes.7,8
1.1.5. Patofisiologi
Dalam keadaan normal sistem bilier steril dan aliran cairan empedu tidak
mengalami hambatan sehingga tidak terdapat aliran balik ke sistem bilier.
Kolangitis terjadi akibat adanya stasis atau obstruksi di sistem bilier yang disertai
oleh bakteria yang mengalami multiplikasi. Obstruksi terutama disebabkan oleh
batu common bile duct (CBD), striktur, stenosis, atau tumor, serta manipulasi
endoskopik CBD. Dengan demikian aliran empedu menjadi lambat sehingga
bakteri dapat berkembang biak setelah mengalami migrasi ke sistem bilier melalui
vena porta, sistem limfatik porta ataupun langsung dari duodenum.3,4
Oleh karena itu akan terjadi infeksi secara ascenden menuju duktus
hepatikus, yang pada akhirnya akan menyebabkan tekanan intrabilier yang tinggi
dan melampaui batas 250 mmH20. Oleh karena itu akan terdapat aliran balik
empedu yang berakibat terjadinya infeksi pada kanalikuli biliaris, vena hepatika
dan limfatik perihepatik, sehingga akan terjadi bakteriemia yang bisa berlanjut
menjadi sepsis (25-40%). Apa bila pada keadaan tersebut disertai dengan
pembentukan pus maka terjadilah kolangitis supuratif.9
Terdapat berbagai bentuk patologis dan klinis kolangitis, yaitu: 1,8
4
1. Kolangitis dengan kolesistitis
Pada keadaan ini tidak ditemukan obstruksi pada sistem bilier, maupun
pelebaran dari duktus intra maupun ekstra hepatal. Keadaan ini sering disebabkan
oleh batu CBD yang kecil, kompresi oleh vesica felea /kelenjar getah
bening/inflamasi pankreas, edema/spasme sfinkter Oddi, edema mukosa CBD,
atau hepatitis.
2. Kolangitis non-supuratif akut
Terdapat bakterobilia tanpa pus pada sistem bilier yang biasanya
disebabkan oleh obstruksi parsial.
3. Kolangitis supuratif akut
Pada CBD berisi pus dan terdapat bakteria, namuntidak terdapat obstruksi
total sehingga pasien tidak dalam keadaan sepsis.
4. Kolangitis supuratif akut dengan obstruksi
Di sini terjadi obstruksi total sistem bilier sehingga melampaui tekanan
normal pada sistem bilier yaitu melebihi 250mm H20 sehingga terjadi 9bakterimia
akibat reflluk cairan empedu yang disertaidengan influks bakteri ke dalam sistem
limfatik dan vena hepatika.
5. Syok sepsis
Apabila bakteriemia berlanjut maka akan timbul berbagai komplikasi yaitu
sepsis berlarut, syok septik, gagal organ ganda yang biasanya didahului oleh gagal
ginjal yang disebabkan oleh sindroma hepatorenal, abses hati piogenik (sering
multipel) dan bahkan peritonitis. Jika sudah terdapat komplikasi, maka
prognosisnya menjadi lebih buruk.
1.1.6. Diagnosis
Diagnosis kolangitis akut dapat ditegakan melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik serta melalui pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis penderita
kolangitis secara klinis dapat ditemukan trias Charcot yaitu adanya keluhan
demam, ikterus, dan sakit pada perut kanan atas. Beberapa penderita hanya
mengalami dingin dan demam dengan gejala perut yang minimal. Ikterus atau
perubahan warna kuning pada kulit dan mata didapatkan pada sekitar 80%
penderita. 1,4
5
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya demam, hepatomegali,
ikterus, gangguan kesadaran (delirium), sepsis, hipotensi dan takikardi. Adanya
tambahan syok septis dan delirium pada trias Charcot dikenal sebagai Pentad
Reynold.3
Morbiditas dari kolangitis akut dikaitkan dengan terjadinya
cholangiovenous dan cholangiolymphatic refluks bersama dengan tekanan tinggi
di saluran empedu dan infeksi empedu akibat obstruksi saluran empedu yang
disebabkan oleh batu dan tumor. Kriteria diagnostik menurut Tokyo Guideline
2013 (TG13) kolangitis akut adalah kriteria untuk menegakkan diagnosis ketika
kolestasis dan peradangan berdasarkan tanda-tanda klinis atau tes darah di
samping manifestasi empedu berdasarkan pencitraan yang hadir.9,10
6
paling tidak 1 tanda disfungsi organ). Tanda tanda disfungsi organ meliputi
hipotensi, sehingga memerlukan pemberian dobutamin atau dopamine, delirium,
rasio PaO2/FiO2 <300, kreatinin serum >1,5mg/dl, INR >1.5 atau kadar trombosit
<100000/µl.11,12
Adapun kriteria diagnosis kolangitis akut apat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Kriteria diagnosis kolangitis akut12
A. Inflamasi sistemik
A-1. Demam
A-2. Hasil pemeriksaan laboratorium, menunjukan adanya respnon
inflamasi
B. Kolestasis
B-1. Ikterus
B-2. Hasil laboratorium menunjukan tes fungsi hati yang abnormal 12
C. Pencitraan
C-1. Dilatasi Bilier
C-2. Bukti dari etiologi dilakukan pencitraan (penyepitan, batu, sumbatan
dan
lainnya)
Diagnosis suspek : satu dari item di A + satu dari item B maupun C
Diagnosis definitif : satu dari item A, satu dari B and satu dari C
Catatan:
A-2: nilai hitung abnormal sel darah putih, peningkatan serum level C-reaktif
protein, dan perubahan lain dari indikator inflamasi.
B-2: peningkatan serum ALP, Gamma GT, AST dan ALT. Faktor lain yang dapat
membantu diagnosis kolangitis akut termasuk nyeri abdomen kanan atas dan
adanya riwayat dari penyakit bilier sebelumnya seperti gallstones, proses bilier
sebelumnya, dan pemasangan sten bilier. Dalam hepatitis akut penanda respon
sistemik inflamasi juga dipantau.
Batasan :
7
A-1 Demam Suhu tubuh >380C
A-2 Adanya bukti respon inflamasi WBC (x1000/µ) <4.or>10
CRP (mg/dl) ≥1
B-1 Ikterus T-bil≥2mg/dL
B-2 Fungsi liver abnormal ALP (IU) >1.5xSTD
GGT (IU) >1.5xSTD
AST (IU) >1.5xSTD
Ket: White Blood Cell (WBC), C-reaktif protein (CRP), Alkaline Phosphatase
(ALP), Gamma Glutamil Transpeptidase (GGT), Aspartate Transaminase
(AST/SGOT) dan Alanine Transaminase (ALT/SGPT)
8
Pemeriksaan penunjang untuk diagnostik kolangitis akut dapat dilakukan
dengan mendeteksi dilatasi bilier dan pemeriksaan penyebab kolangitis akut
adalah EUS (endoscopic ultrasonography), MRCP (magnetic resonance
cholangiopancreotography) dan ERCP (endoscopic retrograde
cholangiopancreotography). Diantara semuanya hanya MRCP yang tidak bersifat
invasif, namun tidak praktis hanya dapat digunakan pada pasien yang dapat
dibawa keruang radiologi, umumnya studi menunjukkan sensivitas >90% untuk
MRCP dalam mendeteksi batu di CBD dan sensivitasnya makin berkurang untuk
batu yang kecil. ERCP selain memiliki sensivitas untuk mendeteksi juga memiliki
potensi untuk terapeutik, dalam mendiagnosis batu CBD, EUS lebih baik dari
ERCP, dalam hal keganasan EUS sama dengan ERCP. Dilatasi intrahepatik tanpa
adanya dilatasi CBD, menunjukkan kesan suatu striktur jinak, sindrom mirri atau
lesi di daerah hilus duktus biliaris seperti tumor ganas.11,13
Sebaliknya dilatasi CBD dengan atau tanpa dilatasi intrahepatik konsisten
dengan obstruksi distal seperti batu CBD atau kanker pancreas. Mengetahui
penyebab dilatasi meminimalisai kebutuhan injeksi kontras yang dapat
meningkatkan tekanan bilier cukup kuat untuk menimbulkan refluks cairan bilier
kedalam sirkulasi sistemik dan menghindarkan resiko injeksi yang tidak
diinginkan kedalam segmen yang tidak terdrainase (misalnya pasien dengan
striktur daerah hilus yang kompleks) yang secara potensial dapat menyebabkan
terjadinya kolangitis berat. MRCP dapat meberikan informasi serupa dengan EUS
dan ERCP, namun kurang akurat untuk mendeteksi batu ukuran kecil dan harus
dilakukan sebagai prosedur terpisah. Meskipun USG transabdominal relatif tidak
sensitif untuk mendeteksi batu CBD (biasanya <30%), namun tersedia mudah dan
dapat membantu bila batu atau tumor ditemukan. CT scan lebih sensitive dari
USG transabdominal untuk mendeteksi batu CBD, dan sensitivitas helical CT
tampaknya sebanding dengan MRCP atau EUS pada beberapa studi. Namun EUS
lebih sensitif dari CT dan MRCP untuk mendiagnosis batu dengan diameter
<1cm.12,13
9
1.1.8. Penatalaksanaan
Pada semua pasien kolangitis akut, hidrasi agresif harus diberikan segera
setelah akses vena didapatkan untuk koreksi kekurangan volume/dehidrasi dan
menormalkan tekanan darah. Terapi kolangitis akut terdiri dari pemberian
antibiotik dan drainase bilier. Beratnya kolangitis akut menetukan perlu tidaknya
pasien dirawat di rumah sakit. Bila klinis penyakitnya ringan, dapat berobat jalan,
teruma jika kolangitis akut ringan yang kambuh/berulang (misalnya pada pasien
dengan batu intrahepatik). Namun demikian umumnya dokter menyarankan
perawatan rumah sakit pada kasus kolangitis akut. Kolangitis ringan sampai
sedang dapat ditatalaksana di ruangan umum, akan tetapi pada kolangitis berat
sebaiknya dirawat di ICU (Intensive Care Unit) 3,12,13
10
seftriakson 1-2 gr sekali sehari atau cefepim 1-2 gr setiap 12 jam) dengan
metronidazol iv 500 mg setiap 6-8 jam untuk bakteri anaerob. 11,12,13
Pada pasien yang resiko tinggi terkena pathogen resistensi antibiotik dapat
diberikan imipenem iv 500 mg setiap 6 jam, meropenem iv 1 gr setiap 8 jam atau
doripenem iv 500 mg setiap 8 jam. Pengecualian terdapat pada semua panduan,
misalnya sefalosporin generasi pertama tidak mencakup infeksi enterococcus spp.
Walaupun cefazolin disetujui untuk terapi kolangitis akut. Karena itu pemilihan
terapi antibiotik sebaiknya berdasarkan sejumlah faktor meliputi sensitivitas
antibiotik, beratnya penyakit, adanya disfungsi ginjal atau hati, riwayat pemakaian
antibiotik sebelumnya, pola resistensi kuman lokal dan penetrasi bilier dari
antibiotik. Pilihan antibiotik harus disesuaikan dengan hasil kultur darah dan
cairan empedu begitu diperoleh, namun pemberian antibotik tidak boleh
terhambat/tertunda karena menunggu hasil kultur. Pada akhirnya yang lebih
penting dari pemilihan terapi antibiotik adalah drainase bilier efektif, karena
adanya obstruksi menghambat ekskresi bilier antibiotik. Pada suatu studi, dimana
pasien mendapat satu antibiotik (ceftazime, cefoperazone, imipenem, netilmisin
atau siprofloksasin), hanya siproflokasasin diekskresi kedalam sistem bilier yang
obstruksi dan hanya 20% dari konsentrasi serum10.11.12
11
kolangitis. Suatu studi dari Hongkong melakukan ERCP emergency pada 225
pasien kolangitis. 13
Table 2. Rekomendasi antimikrobial untuk infeksi bilier akut6,12
Community-acquired biliary infections Healthcare-
associated biliary
infections
12
Monbactam- - - Aztreonam ± Aztreonam ±
based therapy metronidazol metronidazol
metronidazol
Moxifloxica
m
Frekuensi denyut jantung >100 x/menit, kadar albumin <30 g/l, kadar
bilirubin >50 µmol/l dan masa protrombin > 14 detik pada saat masuk rumah sakit
signifikan berkaitan dengan diperlukannya ERCP, serta menunjukkan terapi
endoskopi lebih aman dibandingkan pembedahan dalam tatalaksana kolangitis
akut, sehingga dekompresi surgical tidak mempunyai peranan dalam managemen
kolangitis akut. Sebuah studi secara random mengalokasikan 82 pasien dengan
kolangitis akut berat kedalam 2 grup, endoskopi atau dekompresi bilier surgical,
kelompok surgical signifikan lebih banyak mengalami komplikasi dan mortalitas
selama di rumah sakit dibandingkan kelompok endoksopi (66% vs 34%, p >0.05
dan 32% vs 10%, p<0.03 secara berurutan). Dengan demikian, pasien dengan
kolangitis akut sebaiknya masuk dirawat diruangan medical untuk terapi
antibiotik intravena dan dekompresi endoskopi. Dekompresi bilier surgical
sebaiknya dihindari pada pasien kolangitis akut.12
ERCP lebih jadi pilihan dibandingkan PTBD (percutaneus biliary
drainage) karena lebih tidah invasif, lebih aman, dapat dilakukan bedside dan
dapat membersihkan batu saluran empedu, tidak perlu koreksi koagulopati dan
dapat dilakukan tanpa paparan radiasi jika perlu (pada pasien yang hamil).
Keberhasilan ERCP lebih tinggi dibandingkan PTBD untuk tatakasana obstruksi
CBD, namun PTBD dipertimbangkan pada obstruksi hilar, bila ahli endoskopi
tidak tersedia. PTBD biasanya dilakukan pada pasien yang gagal dengan ERCP
13
awal atau bila terdapat anatomi yang abnormal akibat prosedur pembedahan
sebelumnya seperti koledokoyeyunostomi, kecuali bila ahli endsokopi utntuk
tatalaksana pasien seperti itu ada.13,14 Pasien dengan kolangitis akut dimana
kontras tidak terdrainase setelah gagal ERCP dapat memerlukan drainase bilier
perkutan mendesak untuk menghindari perburukan sepsis. Kolangitis akut yang
terjadi stelah manipulasi saluran bilier merupakan faktor resiko prognosis buruk
pada kolangitis akut. Karena itu tidak direkomendasikan injeksi kontras tanpa
terlebih dahulu menempatkan guidwire kedalam sistem bilier. Pada umumnya
pusat endoskopi, keberhasilan ERCP untuk drainase bilier lebih dari 90%, jika
tidak demikian sebaiknya dirujuk pada unit/pusat layanan endoskopi yang lebih
baik. EUS terbatas, bila tersedia sebaiknya dilakukan sebelumnya untuk evaluasi
dilatasi saluran bilier intrahepatik dan ekstrahepatik, adanya batu, massa pankreas
atau hilus atau batu kandung empedu. Aspirasi jarum halus pada suatu massa
sebaiknya dilakukan hanya jika pasien stabil dan tidak memerlukan dekompresi
bilier mendesak.13,14
2.1. Definisi
2.2. Epidemiologi
14
pada pasien diperawatan intensif non koroner dan menyebabkan penyebab
tersering morbiditas dan tingginya biaya rumah sakit.17
2.3. Patofisiologi
Pada sebagian besar pasien MODS, tidak dapat ditelusuri satu penyebab
sebagai pemicu MODS. Oleh sebab itu hipotesis terintegrasi menyatakan bahwa
nampaknya MODS merupakan akibat akhir dari disregulasi homeostasis yang
melibatkan sebagian besar mekanisme yang telah diuraikan diatas17
15
2.5. Prognosis
16
BAB II
ILUSTRASI KASUS
17
Batuk sejak 3 hari yang lalu. Batuk disertai dahak berwarna putih kekuningan,
batuk darah tidak ada.
Buang air besar hitam seperti aspal sejak 1 hari yang lalu, frekuensi 2-3 kali
per hari, volume ± ¼ gelas kecil.
Penurunan berat badan tidak ada
Keringat banyak pada malam hari tidak ada
Pasien sebelumnya dirawat di bagian bedah dengan diagnosis adhesif intestinal
dengan kolestasis extrahepatal ec koledokolithiasis dan di ruang isolasi sejak
22 mei 2020 dan sudah dilakukan swab 2 kali dengan hasil negatif.
18
Pasien merokok selama 30 tahun dan menghabiskan 1 bungkus rokok per
hari
Riwayat berganti pasangan seks tidak ada
Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Sakit berat
Kesadaraan : Sopor
Tekanan Darah : 80/60 mmHg
Frekuensi Nadi : 120 x/menit, reguler
Frekuensi Nafas : 30 x/menit, teratur
Suhu : 39,7 0C
SO 2 : 96 %
Ikterus : (+)
Edema : (-)
Anemis : (-)
Sianosis : (-)
Tinggi badan : 170 cm
Berat badan : 60 kg
BMI : 20,76 cm/kg2 (normoweight)
19
Gigi dan Mulut : Oral thrush (-), Caries (-), atrofi papil lidah (-), stomatitis
angularis (-), hipertropi ginggiva (-), candidiasis (-)
Leher : JVP 5-2 cmH2O, kelenjar tiroid tidak membesar
Thorax : Normochest, Spider nervi (-), Ginekomasti (-)
Paru :
Paru depan
Inspeksi : simetris kanan dan kiri,
Palpasi : taktil fremitus tidak bisa dinilai
Perkusi : sonor, batas pekak hepar sulit dinilai
Auskultasi : Bronkovesikuler, rhonki basah halus nyaring (+/+)
dikedua apex lapangan paru setinggi RIC IV kebawah,
wheezing -/-
Paru belakang
Inspeksi : simetris kanan dan kiri,
Palpasi : stem fremitus tidak bisa dinilai
Perkusi : Sonor, peranjakan paru sulit dinilai
Auskultasi : Bronkovesikuler, rhonki basah halus nyaring (+/+)
dikedua apex lapangan paru setinggi RIC IV kebawah ,
wheezing -/-
Jantung:
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V, luas 1
jari, tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung atas RIC II,
Batas kanan linea sternalis dekstra,
20
Batas kiri 1 jari medial RIC V, pinggang jantung (+).
Auskultasi : Bunyi jantung murni,irama teratur, bising (-), M1>M2,
P2<A2.
Abdomen:
Inspeksi : Tidak tampak membuncit, kolateral vein (-)
Palpasi : Hepar teraba 2 jari bawah arcus cortarum, konsistensi
kenyal, tepi tajam, permukaan rata, nyeri tekan (+), dan
lien tidak teraba
Perkusi : timpani. Shifting dullnes (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
21
neutrofilia shift to the right dengan limfopenia.
22
Urinalisa
Makroskopis Mikroskopis Kimia
Warna Kuning Leukosit 0-1/LPB Protein Positif
Kekeruhan Negatif Eritrosit 0-1/LPB Glukosa Negatif
Feses rutin
Makroskopis Mikroskopis
EKG
23
Irama Sinus rythm
Axis Normal
Gel P Normal
ST segmen Isoelektris
Gel T Normal
24
Quick SOFA : 3
Total 3
Daftar Masalah
Penurunan kesadaran
Syok sepsis
Melena
Bronkopneumonia
Ikterik
Anemia
Bilirubinuria
Proteinuria
DIAGNOSIS KERJA
Primer : Penurunan kesadaran ec Ensephalopati hepatikum grade III
Sekunder :
Syok sepsis ec Kolangitis akut
Kolestasis ekstrahepatal ec koledokolitiasis
Melena ec variceal bleeding ec pecah varices esofagus ec sirosis bilier
Anemia sedang normositik normokrom ec perdarahan akut
Hospital acquired pneumonia
25
DIAGNOSIS BANDING
Penurunan kesadaran ec elektrolit inbalance
Penurunan kesadaran ec Sepsis assosiated ensephalopati
Kolestasis ekstrahepatal ec Ca Caput Pankreas
Melena ec Perdarahan saluran cerna bagian atas ec Stress ulcer
Syok sepsis ec hospital acquired pneumonia
Pemeriksaan anjuran
Cek Analisa Gas Darah
Faal Hepar (albumin, globulin, SGOT/SGPT, Alkai fosfatase, Gamma GT,
Bilirubin Total, Bilirubin direct, bilirubin indirect )
Faal Ginjal (Ureum, Kreatinin)
Cek elektrolit (Na, K, Cl)
Faal hemostatik (PT/APTT, D-dimer)
Hepatitis marker ( HbSag, Anti HCV)
Procalsitonin
Ca 19-9
Kultur Sputum
Kultur darah
Chest X-ray
USG Abdomen
TERAPI
Istirahat/Puasa/Diet MC Hepar I 6 x 150 cc via NGT/O2 5l/i
Loading cairan NaCl 0,9 % 30cc/kgBB selama 3 jam lanjut 30 cc/kgBB
selama 6 jam , selanjutnya IVFD Comafusin : triofusin : Nacl 0,9% (1:1:2)
6 jam / kolf
Drip Norepinefrin dengan dosis 0,01-0,5 µg/kgBB/menit titrasi naik tiap
15 menit dengan terget mean arterial pressure (MAP) ≥ 65 mmHg.
Bolus ocreotide 100 ug dilanjutkan drip ocreotide 600ug dalam 44 cc NaCl
0,9% habis dalam 24 jam (syringe pump) kecepatan 2,08 cc/jam (25 ug
/jam)
26
Cefepime 3x1 gram (iv)
Inf levofloxacin 1x750 mg (iv)
Inf metronidazol 3x500 mg (iv)
Inj Vit K 3x1 amp (iv)
Inj Transamin 3x1 amp (iv)
Paracetamol infus 1 gr (iv), selanjutnya paracetamol 4x500 mg (po)
N acetilsistein 3x200 mg (po)
Madopar 3x1 (po)
Ursodeoxycholic acid 3x1 (po)
Lactulac 3x 30 cc (po)
Folley kateter balance cairan positif
A/
Penurunan kesadaran ec Ensephalopati hepatikum grade III
27
Syok sepsis ec Kolangitis
Kolestasis ekstrahepatal ec koledokolitiasis
Melena ec variceal bleeding ec pecah varices esofagus ec sirosis bilier
Anemia sedang normositik normokrom ec perdarahan akut
Hospital acquired pneumonia
Hiponatremia ec GI loss
P/
IVFD NaCl 3 % 12jam/kolf
Terapi lain lanjut
FOLLOW UP
29 Mei 2020 (08.00 wib)
S/ penurunan kesadaran (+) sesak (+) demam (+) perdarahan via NGT (-) buang
air besar hitam (+) kejang (-)
O/
KU Kesadaran TD Nadi Nafas Suhu
Balance Cairan :
28
Keluar hasil laboratorium
MCV :86 fL Ureum : 207 mg/dl
MCH : 28 pg Creatinin : 3,3 mg/dl
MCHC : 33 % SGOT : 82 u/l
Retikulosit : 0,8 % SGPT : 60 u/l
Albumin : 2,1 g/dl HbsAg : Non reaktif
Globulin : 2,6 g/dl Anti HCV : Non reaktif
Bilirubin total : 24,96 mg/dl PT : 26,2 detik
Bilirubin indirek : 9,96 mg/dl APTT : 35 detik
Bilirubin direk : 15 mg/dl D-dimer :5341,77 ng/m
Alkali Fosfatase : 123 u/l Gama-GT : 84 u/l
Skor DIC :5
Nilai Skor
Trombosit >100.000/ml 0
50.000-100.000/ml 1
<50.000/ml 2
D-dimer >500 0
500-1000 2
>1.000 3
Masa protrombin < 3” 0
4-6” 1
>6” 2
Fibrinogen <100 mg/dl 1
>100 mg/dl 0
Bila skor : ≥ 5 : sesuai dengan DIC
<5 : ulang skoring 1-2 hari kemudian
29
Trakea di tengah
Jantung membesar ke kiri, apeks tertanam, pinggang jantung (CTR < 50%)
Aorta dan mediastinum superior tidak melebar
Kedua hillus tidak menebal
Corakan brokovaskular kedua paru bertambah
Tampak infiltrat di lapang tengah sampai bawah kanan
Kedua diafragma licin, kedua sinus costofrenicus lancip
Tulang intak, tak tampak destruksi
Kesimpulan :
Bronkopneumonia
30
SOFA Score : 13 (Mortality Rate 95 %)
Sistem 0 1 2 3 4
Pernafasan
PaO2/FiO2, ≥ 400 < 400 < 300 < 200 dengan < 100 dengan
mmHg bantuan bantuan
pernafasan pernafasan
Koagulasi
Trombosit, ≥ 150 < 150 < 100 < 50 < 20
3 3
x10 /mm
Hati
Ginjal
31
Konsul Konsultan Gastroenterohepatologi
Kesan :
Penurunan kesadaran ec Ensefalopati Hepatikum Grade III
Kolestasis ekstrahepatal ec Koledokolitiasis DD/ Ca Caput Pankreas
Melena ec variceal bleeding ec pecah varises esofagus ec sirosis bilier
Kolangitis akut
Hipoalbumin
Advice :
IVFD Comafusin hepar : triofusin : Nacl 0,9% (1:1:2) 6 jam / kolf
Inf albumin 20 %
USG Abdomen jika kondisi keadaan umum stabil
CT Scan abdomen jika kondisi keadaan umum stabill
Esogastroduodenoskopi jika perdarahan berhentidan jika keadaan umum
stabil
Advice :
Inj Cefepime 3 x 1 gr (iv)
Inf levofloxacin 1x750 mg (iv)
N Acetilsistein 3x200mg (po)
Kultur sputum
Cek ulang leukosit dan diffcount/3 hari
32
Konsul Konsultan Penyakit Tropik Infeksi
Kesan :
Syok sepsis ec Kolangitis
Advice :
Atasi infeksi
Titrasi norepinefrin dengan terget mean arterial pressure (MAP) ≥ 65
mmHg.
Jika Norepinefrin > 0,1 ug/kgBB/jam target tidak tercapai, drip
vasopressin 20 unit dalam 49 cc NaCl 0,9% dengan syringe pump dengan
dosis 0,01-0,04 unit/menit dan Hidrokortison 2x100 mg (iv)
Kultur darah
Kultur sputum
33
A/
Penurunan kesadaran ec Ensephalopati hepatikum grade III
Syok sepsis ec Kolangitis
Kolestasis ekstrahepatal ec koledokolitiasis
Melena ec variceal bleeding ec pecah varices esofagus ec sirosis bilier
Anemia sedang normositik normokrom ec perdarahan akut
Disseminated Intravascular Coagulation overt
Hospital acquired pneumonia
Hiponatremia ec GI loss
P/
IVFD Comafusin : triofusin : Nacl 0,9% (1:1:2) 6 jam / kolf
IVFD Nacl 3% 12 jam/kolf
Titrasi norepinefrin, Jika Norepinefrin > 0,1 ug/kgBB/jam target tidak
tercapai, drip vasopressin 20 unit dalam 49 cc NaCl 0,9% dengan syringe
pump dengan dosis 0,01-0,04 unit/menit dan Hidrokortison 2x100 mg (iv)
Bolus ocreotide 100 ug dilanjutkan drip ocreotide 600ug dalam 44 cc NaCl
0,9% habis dalam 24 jam (syringe pump) kecepatan 2,08 cc/jam (25 ug
/jam) dengan NaCl 0,9 % (via syringe pump) kecepatan 2,08 cc/jam.
Inj Cefepime 3 x 1 gr (iv)
Inf levofloxacin 1x750 mg (iv)
Inf metronidazole 3x500 mg (iv)
Vit K 3x1 amp (iv)
Transamin 3x1 amp (iv)
Inf Albumin 20 % (iv)
N Acetilsistein 3x200mg (po)
Madopar 3x1 (po)
Lactulac syr 3 x 30 cc (po)
Transfusi PRC 2 unit/hari
Transfusi FFP 250 cc
Kultur sputum
34
Kultur darah
Skoring DIC/hari
Cek ulang leukosit dan diffcount/3 hari
USG abdomen jika kondisi keadaan umum stabil
CT Scan abdomen jika kondisi keadaan umum stabil
Esogastroduodenoskopi jika perdarahan berhenti
Balance cairan positif
Pukul 15.00
Keluar hasil labor
Ca 19-9 :1056.20 u/mL
Procalcitonin : 173,39 ng/ml
A/
Penurunan kesadaran ec Ensephalopati hepatikum grade III
Syok sepsis ec Kolangitis
Kolestasis ekstrahepatal ec koledokolitiasis
Melena ec variceal bleeding ec pecah varices esofagus ec sirosis bilier
35
Anemia sedang normositik normokrom ec perdarahan akut
Disseminated Intravascular Coagulation overt
Hospital acquired pneumonia
Hiponatremia ec GI loss
P/
Ganti nasal kanul dengan NRM /10 l/i
Titrasi norepinefrin dengan terget mean arterial pressure (MAP) ≥ 65
mmHg.
Jika Norepinefrin > 0,1 ug/kgBB/jam dan MAP < 65 mmHg, drip
vasopressin 20 unit dalam 49 cc NaCl 0,9% dengan syringe pump dengan
dosis 0,01-0,04 unit/menit dan Hidrokortison 2x100 mg (iv)
Kontrol vital sign intensif/15 menit
Terapi lain lanjut
36
Keluar hasil kultur sputum
Comments:
Kualitas sputum cukup baik, tampak sel PMN > 10 sel / LP dan sel epitel < 10 /
LP. Kemungkinan bakteri yang tumbuh ini berperan pada infeksi saluran nafas
ID Analysis Messages
Trimethoprim/Sul >=320 R
famethixazole
37
Tabel 2. kontrol intensive
Hid
Vasco Vaso
Kesa- TD Nadi RR Suhu rok
Tangal Jam SpO2 n press
daran (mmHg) (x/i) (x/i) (0C) orti
(mcg) in
son
28/5 22.00 Sopor 80/60 120 30 39,7 96 0,01 - -
28/5 22.15 Sopor 80/50 124 30 96 0,02 - -
38
29/5 21.00 Sopor 110/80 100 26 36,7 98 0,06 - -
39
Tabel 1. balans cairan
(08.00-05.00)
40
DISKUSI
41
empedu untuk pemeriksaan dan kultur selain dengan aspirasi pada ERCP,
pungsi perkutan dan pembedahan 7.
Suatu studi prospektif melaporkan hanya 22% pasien dengan
cairan empedu purulen pada operasi koledoktomi memenuhi criteria trias
Charcot. Adanya tambahan syok sepsis dan delirium (confusion) pada
triad Charcot dikenal sebagai pentad Reynold.
Kriteria diagnostik Tokyo Guidelines 13 (TG13) untuk Akut
Kolangitis adalah kriteria untuk menegakkan diagnosis berdasarkan
tanda-tanda klinis atau tes darah di samping manifestasi empedu
berdasarkan hasil pencitraan yang didapat.
Tabel . Kriteria diagnosis kolangitis akut
A. Inflamasi sistemik
A-1. Demam
A-2. Hasil pemeriksaan laboratorium, menunjukan
adanya respnon inflamasi A-2. Hasil pemeriksaan
laboratorium, menunjukan adanya respnon inflamasi
A. Kolestasis
B-1. Ikterus
B-2. Hasil laboratorium menunjukan tes fungsi hati yang
abnormal
C. Pencitraan
C-1. Dilatasi Bilier
C-2. Bukti dari etiologi dilakukan pencitraan (penyepitan, batu,
sumbatan dan lainnya)
Catatan :
A-2: nilai hitung abnormal sel darah putih, peningkatan serum level
C-reaktif protein, dan perubahan lain dari indikator inflamasi.
42
B-2: peningkatan serum ALP, Gamma GT, AST dan ALT.
Faktor lain yang dapat membantu diagnosis kolangitis akut
termasuk nyeri abdomen kanan atas dan adanya riwayat dari
penyakit bilier sebelumnya seperti gallstones, proses bilier
sebelumnya, dan pemasangan sten bilier. Dalam hepatitis akut
penanda respon sistemik inflamasi juga dipantau
43
Batasan :
0
A-1 Demam Suhu tubuh >38 C
Ket: White Blood Cell (WBC), C-reaktif protein (CRP), Alkaline Phosphatase
(ALP), Gamma Glutamil Transpeptidase (GGT), Aspartate
Transaminase (AST/SGOT) dan Alanine Transaminase (ALT/SGPT)
44
Pada pasien ini menurut kriteria diagnosis TG 13 termasuk kolangitis akut
(definit diagnosis) karena memenuhi kriteria satu item A yaitu adanya demam dan
bukti laboratorium berupa leukositosis, satu kriteria B yaitu ikterik dan bukti
laboratorium berupa peningkatan alkali fosfatase, Gamma GT dan SGOT/SGPT, dan
untuk item C Tidak bisa dinilai dikarenakan pada pasien ini keadaan umum tidak
stabil untuk dilakukan pencitraan.
Pada pasien ini digolongkan kepada kolangitis akut derajat berat karena
didapatkannya suatu tanda disfungsi organ, yaitu hipotensi, kreatinin serum >1,5
mg/dl, dan juga dijumpai keadaan Disseminated Intravascular Coagulation overt
Kolangitis akut terutama disebabkan oleh infeksi bakteri pada pasien dengan
obstruksi bilier. Organisme biasanya naik dari duodenum. Faktor predisposisi yang
paling penting pada kolangitis akut adalah obstruksi bilier dan stasis. Penyebab
paling umum dari obstruksi bilier pada pasien dengan kolangitis akut tanpa stent
saluran empedu adalah batu empedu (28-70 persen), stenosis jinak (5-28 persen),
dan keganasan (10-57 persen).
Diagnosis sepsis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan kriteria sepsis
menurut qSOFA (quick Sequential Organ Failure Assessment) dimana didapatkan
skor 2. Kriteria qSOFA pasien ini adalah hipotensi (tekanan darah sistolik < 100
mmhHg), Perubahan status mentalPerubahan status mental ( Soporous ) dan frekensi
nafas yang meningkat (> 22 x / menit).
Nilai skor 3 ini menyatakan perlu adanya suatu pemeriksaan lanjutan untuk
menentukan adanya disfungsi organ. Skor SOFA pasien ini didapatkan PaO2/FiO2 >
400, trombosit ≥ 150.000, Bilirubin > 12,0, hipotensi dengan penggunaan
norepinefrin > 0,1, Glasgow Coma Scale (6-9), kreatinin 3,3 mg/dL sehingga
didapatkan hasil SOFA skor 13. Peningkatan nilai skor SOFA ≥ 2 menggambarkan
risiko mortalitas sekitar 10 % pada populasi umum dengan kecurigaan infeksi, pada
pasien ini didapatkan skor SOFA 13 dengan risiko mortalitas sekitar 95,2 %. Skor
SOFA tidak digunakan sebagai alat untuk penatalaksanaan pasien, namun untuk
menilai sepsis secara klinis dan laboratorium.
Sepsis yang berat disertai dengan satu atau lebih tanda disfungsi organ,
hipotensi, atau hipoperfusi seperti menurunnya fungsi ginjal, hipoksemia, dan
perubahan status mental. Syok septik merupakan sepsis dengan tekanan darah arteri
<90 mmHg atau 40 mmHg di bawah tekanan darah normal pasien tersebut selama
sekurang-kurangnya 1 jam meskipun telah dilakukan resusitasi cairan atau
45
dibutuhkan vasopressor untuk mempertahankan agar tekanan darah sistolik tetap ≥90
mmHg atau tekanan arterial rata-rata ≥70 mmHg.
Perjalanan sepsis akibat bakteri diawali oleh proses infeksi yang ditandai
dengan bakteremia selanjutnya berkembang menjadi systemic inflammatory
response syndrome (SIRS) dilanjutkan sepsis, sepsis berat, syok sepsis dan berakhir
pada multiple organ dysfunction syndrome (MODS). Komplikasi bervariasi
berdasarkan etiologi yang mendasari. Potensi komplikasi yang mungkin terjadi
meliputi:13,14
Cedera paru akut (acute lung injury)
Gagal jantung
Gagal ginjal
46
Gambaran klinis umum meliputi : demam, hipotensi, asidosis, hipoksia dan
proteinuria. Pada sebuah studi yang melibatkan 118 pasien didapatkan gambaran
utama yang terjadi pada pasien-pasien DIC antara lain: (1) perdarahan (64%), dapat
berasal dari gusi, saluran cerna, luka bekas operasi maupun rongga serosa paska
operasi, petechiae, ekimosis, epistaksis, hematoma, purpura, perdarahan dari kateter
intra vena maupun kateter urin (hematuri); (2) gangguan fungsi ginjal (25%) ; (3)
gangguan fungsi hati (19%) ; (4) gangguan pernafasan (16%) ; (5) Syok (14%) ; (6)
gangguan susunan saraf pusat (2%) 13.
Diagnosis AKI stage III pada pasien di tegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan kreatinin dan urine output. Pada pemeriksaan kreatinin awal cukup
tinggi 3,3 mg/dL. Pada urine ouput awal < 0.5 / kg BB/ jam dan berlangsung > 12
jam 14.
AKI pada pasien sepsis yang dirawat biasanya berada dalam kondisi klinis
yang lebih kritis. Mereka mempunyai risiko kematian yang lebih tinggi, hari
perawatan yang lebih lama dan biaya yang jauh lebih besar, terutama bila disertai
dengan kegagalan organ multipel. Menurut Schrier dan Wang, kematian pasien AKI
dengan sepsis jauh lebih tinggi (70%) jika dibandingkan dengan pasien AKI tanpa
sepsis (45 %)14,15.
Terapi antibiotik intravena harus diberikan sesegera mungkin. Pedoman
pemberian antibiotic sebaiknya berdasarkan pola infeksi spesifik dan resistensi lokal
rumah sakit. Beberapa panduan (guidelines) menyarankan pada kolangitis akut
ringan sebaiknya pemberian jangka pendek 2-3 hari dengan sefalosporin generasi
pertama atau kedua, penisilin dan inhibitor β laktamase.
Sedangkan kolangitis sedang sampai berat sebaiknya pemberian antibiotic
minimal 5-7 hari dengan sefalosporin generasi ketiga atau keempat, nonbaktam
dengan atau tanpa metronidazol untuk kuman anaerob, atau karbapenem. Mortalitas
dari cholangitis tinggi karena predisposisinya pada penderita dengan penyakit
penyerta yang lain.Pada zaman dahulu, tingkat mortalitasnya mencapai 100%.
Dengan ditemukannya Endoscopic Retrograde Cholangiography,
sphincterotomy terapeutik secara endoskopik, ekstraksi batu dan stenting bilier,
tingkat mortalitas telah menurun sampai kira-kira 5-10%.10,11,12.
47
DAFTAR PUSTAKA
48
12. Brunicardi F, Andersen D, Billiar T, dkk. Cholangitis in Schwartz Principles of
Surgery, Eight edition, New York ; McGraw-Hill, 2012, p : 1203-1213.
13. Wada H, Thachil J, Di Nisio, M, Mathew P, Kurosawa S, Gando S, Kim HK,
Nielsen JD, Dempfle C-E, Levi M, Toh CH. Guidance for diagnosis and treatment
of disseminated intravascular coagulation from harmonization of the
recommendations from three guidelines. J Thromb Haemost 2013; 11: 761–7.
14. Munford RS. Severe sepsis and septic shock. Dalam: Longo DL, Kasper DL,
Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, ed. Harrison’s Principle edition.
McGraw-Hill Companies, Inc. Vol 1, Chapter 271. p2223-31
15. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM, et al.
Surviving sepsis campaign: international guidelines for management of severe sepsis
and septic shock: 2013. Critical Care Medicine. Volume 41. p580-637
16. American College of Chest Physicians/Society of Critical Care Medicine Consensus
Conference: definitions for sepsis and organ failure and guidelines for the use of
innovative therapies in sepsis. Crit Care Med 1992;20:864-74.
17. Suwondo, Aryanto. Kegagalan Multi Organ. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B,
Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi Jakarta. Pusat
Penerbitan Fakultas Kedokteran: 4099 – 106
18. Herwanto V amin Z sindroma disfungsi organ multiple : patofisiologis dan diagnosa
majalah kedokteran Indonesia, volume 59 : 11 november 2009: P 547-54
19. Levy MM, Fink MP, Marshall JC, et al: 2001 SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS
International Sepsis Definitions Conference. Crit Care Med 2003; 31:1250–1256.
20. Marshall J C, Cook D J, Christou N V, Bernard G R, Sprung C L, Sibbald W J.
Multiple organ dysfunction score: A reliable descriptor of a complex clinical
outcome. Crit Care Med. (1995);23:1638–1652.
49
50