Anda di halaman 1dari 50

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Kolangitis
1.1.1. Defenisi

Kolangitis akut adalah sindrom klinis yang ditandai dengan demam,


ikterus, dan nyeri perut kanan atas yang berkembang sebagai akibat dari sumbatan
dan infeksi di saluran empedu. Kolangitis pertama kali dijelaskan oleh Charcot
sebagai penyakit yang serius dan mengancam jiwa, sekarang diketahui bahwa
keparahan yang muncul dapat berkisar dari ringan hingga mengancam nyawa.
Koledokolitiasis atau adanya batu diadalam saluran empedu/bilier merupakan
penyebab utama kolangitis akut. 1,3
Istilah kolangitis akut, kolangitis bakterialis, kolangitis asending dan
kolangitis supuratif semuanya umumnya merujuk pada infeksi bakterial saluran
bilier, serta untuk membedakannya dari penyakit inflamasi saluran bilier seperti
kolangitis sklerosis.3
1.1.2. Epidemiologi
Prevalensi batu empedu di dunia sekitar 20-35% dan resiko terjadinya
kolangitis akut simtomatik dilaporkan sekitar 0.2%. Kolangitis akut dapat pula
1,6
disebabkan adanya batu primer di saluran bilier, keganasan dan striktur.
Dilaporkan angka kematian sekitar 13-88%. Kolangitis ini dapat ditemukan pada
semua ras. Berdasarkan jenis kelamin, dilaporkan perbandingan antara laki-laki
dan perempuan tidak ada yang dominan diantara keduanya.1
Berdasarkan usia dilaporkan terjadi pada usia pertengahan sekitar 50-60 tahun.3
Kasus yang parah di laporkan Tokyo Guideline 2007 (TG07) merujuk
kepada mereka yang memiliki faktor prognosis yang buruk termasuk syok,
gangguan kesadaran, kegagalan organ, dan disseminated intravascular
coagulation. Definisi itu masih diragukan sebelum penerbitan TG07, yang setelah
dilakukan penelitian terhadap frekuensi kolangitis akut, melaporkan bahwa
kejadian kasus yang parah adalah 7-25,5% terjadi syok, 7-22,2% terjadi gangguan
kesadaran, dan 3,5-7,7% terjadi Pentad Reynold. Proporsi kasus didiagnosis
sebagai berat (grade III) sesuai dengan kriteria penilaian keparahan TG07 adalah
12,3% atau 23 dari 187 kasus kolangitis akut karena saluran empedu batu.6

1
Di Amerika Serikat, kolangitis cukup jarang terjadi. Biasanya terjadi
bersamaan dengan penyakit lain yang menimbulkan obstruksi bilier dan infeksi
bakteri empedu (misal: setelah prosedur ERCP, 1-3% pasien mengalami
kolangitis).7 Resiko tersebut meningkat apabila cairan pewarna diinjeksikan secara
retrograd. Insidensi Internasional kolangitis adalah sebagai berikut: kolangitis
pyogenik rekuren, kadangkala disebut sebagai kolangio hepatitis iriental, endemik
di Asia Tenggara. Kejadian ini ditandai oleh infeksi saluran bilier berulang,
pembentukan batu empedu intrahepatik dan ekstrahepatik, abses hepar, dan
dilatasi dan striktur dari saluran empedu intra dan ekstrahepatik.6
Trias Charcot terdiri dari nyeri abdomen kanan atas, demam dan ikterik,
dapat digunakan untuk mendiagnosa kolangitis akut secara klinis. Umumnya
pasien-pasien dengan kolangitis akut menunjukan respon dan terjadi resolusi
dengan antibiotik, namun demikian pembersihan saluran bilier secara endoskopi
pada akhirnya tetap diperlukan untuk mengatasi terapi penyebab obstruksi. 6
Meskipun umumnya pasien dapat berespon dengan terapi antibiotik dan drainase
bilier, penelitian-penelitian melaporkan angka morbiditas dari kolangitis akut
mencapai 10% .2

1.1.3. Etiologi
Kolangitis akut terjadi sebagai hasil dari obstruksi saluran bilier dan
pertumbuhan bakteri dalam empedu (infeksi empedu). Kolangitis akut
membutuhkan kehadiran dua faktor:1,4
(1) obstruksi bilier
(2) pertumbuhan bakteri dalam empedu (bakterobilia)
Cairan empedu biasanya normal pada individu yang sehat dengan anatomi
bilier yang normal. Bakteri dapat menginfeksi sistem saluran bilier yang steril
melalui ampula vateri (karena adanya batu yang melewati ampula), sfingterotomi
atau pemasangan sten (yang disebut kolangitis asending) atau bacterial portal,
yaitu terjadinya translokasi bakteri melalui sinusoid-sinusoid hepatik dan celah
disse. Bakterobilia tidak dengan sendirinya menyebabkan kolangitis pada individu
yang sehat karena efek bilasan mekanik aliran empedu, kandungan antibakteri
garam empedu, dan produksi IgA. Namun demikian, obstruksi bilier dapat
mengakibatkan kolangitis akut karena berkurangnya aliran empedu dan produksi

2
IgA, menyebabkan gangguan fungsi sel kupffer dan rusaknya celah membran sel
sehingga menimbulkan refluks kolangiovena.1
Penyebab paling sering obstruksi bilier adalah koledokolitiasis, stenosis
bilier jinak, striktur anastomosis empedu, dan stenosis dengan penyakit ganas.
Koledokolitiasis digunakan untuk menjadi penyebab paling sering, tetapi baru-
baru ini kejadian kolangitis akut yang disebabkan oleh penyakit ganas, sklerosis
kolangitis, dan instrumentasi non-bedah saluran empedu telah meningkat. Hal ini
dilaporkan bahwa penyakit ganas sekitar 10-30% menyebabkan kasus akut
kolangitis.2
Berikut adalah beberapa penyebab terjadinya kolangitis akut, antara lain:2,4
· Kolelitiasis
· Benign biliary stricture
· Faktor kongenital
 Faktor post-operatif (kerusakan ductus bilier, strictured
choledojejunostomy, etc.)
· Faktor inlamasi
· Oklusi keganasan
· Tumor duktus bilier
· Tumor kandung empedu
· Tumor ampula
· Tumor pankreas
· Tumor duodenum
· Pankreatitis
· Tekanan eksternal
· Fibrosis papila
· Divertikulum duodenal
· Bekuan darah
· Faktor iatrogenic
· Parasit yang masuk ke duktus bilier (Biliary ascariasis)
· Sump syndrome setelah anastomosis enterik bilier
1.1.4. Faktor Resiko

3
Empedu dari subyek sehat umumnya bersifat aseptik. Namun, kultur
empedu positif mengandung mikroorganisme pada 16% dari pasien yang
menjalani operasi non-bilier, 72% dari pasien kolangitis akut, 44% dari pasien
kolangitis kronis, dan 50% dari mereka dengan obstruksi bilier. 5 Bakteri dalam
empedu teridentifikasi pada 90% pasien dengan koledokolitiasis disertai dengan
ikterus.8 Pasien dengan obstruksi tidak lengkap dari saluran empedu menyajikan
tingkat kultur empedu positif yang lebih tinggi dibandingkan dengan obstruksi
lengkap dari saluran empedu. Faktor resiko untuk bakterobilia mencakup berbagai
faktor, seperti dijelaskan di atas. Faktor resiko lain terjadinya kolangitis yang
disebut riwayat infeksi sebelumnya, usia >70 tahun dan diabetes.7,8

1.1.5. Patofisiologi
Dalam keadaan normal sistem bilier steril dan aliran cairan empedu tidak
mengalami hambatan sehingga tidak terdapat aliran balik ke sistem bilier.
Kolangitis terjadi akibat adanya stasis atau obstruksi di sistem bilier yang disertai
oleh bakteria yang mengalami multiplikasi. Obstruksi terutama disebabkan oleh
batu common bile duct (CBD), striktur, stenosis, atau tumor, serta manipulasi
endoskopik CBD. Dengan demikian aliran empedu menjadi lambat sehingga
bakteri dapat berkembang biak setelah mengalami migrasi ke sistem bilier melalui
vena porta, sistem limfatik porta ataupun langsung dari duodenum.3,4
Oleh karena itu akan terjadi infeksi secara ascenden menuju duktus
hepatikus, yang pada akhirnya akan menyebabkan tekanan intrabilier yang tinggi
dan melampaui batas 250 mmH20. Oleh karena itu akan terdapat aliran balik
empedu yang berakibat terjadinya infeksi pada kanalikuli biliaris, vena hepatika
dan limfatik perihepatik, sehingga akan terjadi bakteriemia yang bisa berlanjut
menjadi sepsis (25-40%). Apa bila pada keadaan tersebut disertai dengan
pembentukan pus maka terjadilah kolangitis supuratif.9
Terdapat berbagai bentuk patologis dan klinis kolangitis, yaitu: 1,8

4
1. Kolangitis dengan kolesistitis
Pada keadaan ini tidak ditemukan obstruksi pada sistem bilier, maupun
pelebaran dari duktus intra maupun ekstra hepatal. Keadaan ini sering disebabkan
oleh batu CBD yang kecil, kompresi oleh vesica felea /kelenjar getah
bening/inflamasi pankreas, edema/spasme sfinkter Oddi, edema mukosa CBD,
atau hepatitis.
2. Kolangitis non-supuratif akut
Terdapat bakterobilia tanpa pus pada sistem bilier yang biasanya
disebabkan oleh obstruksi parsial.
3. Kolangitis supuratif akut
Pada CBD berisi pus dan terdapat bakteria, namuntidak terdapat obstruksi
total sehingga pasien tidak dalam keadaan sepsis.
4. Kolangitis supuratif akut dengan obstruksi
Di sini terjadi obstruksi total sistem bilier sehingga melampaui tekanan
normal pada sistem bilier yaitu melebihi 250mm H20 sehingga terjadi 9bakterimia
akibat reflluk cairan empedu yang disertaidengan influks bakteri ke dalam sistem
limfatik dan vena hepatika.
5. Syok sepsis
Apabila bakteriemia berlanjut maka akan timbul berbagai komplikasi yaitu
sepsis berlarut, syok septik, gagal organ ganda yang biasanya didahului oleh gagal
ginjal yang disebabkan oleh sindroma hepatorenal, abses hati piogenik (sering
multipel) dan bahkan peritonitis. Jika sudah terdapat komplikasi, maka
prognosisnya menjadi lebih buruk.

1.1.6. Diagnosis
Diagnosis kolangitis akut dapat ditegakan melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik serta melalui pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis penderita
kolangitis secara klinis dapat ditemukan trias Charcot yaitu adanya keluhan
demam, ikterus, dan sakit pada perut kanan atas. Beberapa penderita hanya
mengalami dingin dan demam dengan gejala perut yang minimal. Ikterus atau
perubahan warna kuning pada kulit dan mata didapatkan pada sekitar 80%
penderita. 1,4

5
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya demam, hepatomegali,
ikterus, gangguan kesadaran (delirium), sepsis, hipotensi dan takikardi. Adanya
tambahan syok septis dan delirium pada trias Charcot dikenal sebagai Pentad
Reynold.3
Morbiditas dari kolangitis akut dikaitkan dengan terjadinya
cholangiovenous dan cholangiolymphatic refluks bersama dengan tekanan tinggi
di saluran empedu dan infeksi empedu akibat obstruksi saluran empedu yang
disebabkan oleh batu dan tumor. Kriteria diagnostik menurut Tokyo Guideline
2013 (TG13) kolangitis akut adalah kriteria untuk menegakkan diagnosis ketika
kolestasis dan peradangan berdasarkan tanda-tanda klinis atau tes darah di
samping manifestasi empedu berdasarkan pencitraan yang hadir.9,10

1.1.7. Pemeriksaan Penunjang


1.1.7.1. Pemeriksaan Laboratorium

Kriteria untuk diagnosis definitif kolangitis akut adalah sebagai berikut :


adanya trias Charcot atau bila tidak lengkap, adanya 2 unsur trias Charcot
ditambah adanya bukti laboratorium terjadinya respons inflamasi (leukosit yang
abnormal, meningkatnya CRP atau perubahan-perubahan lain yang
mengindikasikan adanya inflamasi), test fungsi hati abnormal (Alkaline
Phosphatase/ALP, Gamma Glutamil Transpeptidase/GGT, Aspartate
Transaminase.AST/SGOT, Alanine Transaminase/ALT/SGPT) dan temuan-
temuan pencitraan dilatasi bilier atau bukti etiologi (misalnya adanya batu, striktur
atau stenosis). TG13 mendefinisikan suatu diagnosis suspek kolangitis akut bila
terdapat 2 atau lebih dari salah satu kriteria berikut: riwayat penyakit bilier,
demam dan/atau menggigil, ikterik dan nyeri abdomen bagian atas atau kanan
atas. Pedoman tersebut menunjukkan adanya kemajuan dan suatu upaya yang
jarang dalam standarisasi definisi kolangitis kaut, namun pedoman tersebut
dirasakan kurang teliti. Misalnya tidak definiskannya berapa tingkat demam atau
ikterik, begitu juga nyeri abdomen kuadran kanan atas. 11
Pada TG13 mendefinisikan kolangitis akut dalam kategori ringan
(merespon terhadap terapi suportif dan antibiotik), sedang (tidak merespon
terhadap terapi medikal namun tidak terjadi disfungsi organ), atau berat (adanya

6
paling tidak 1 tanda disfungsi organ). Tanda tanda disfungsi organ meliputi
hipotensi, sehingga memerlukan pemberian dobutamin atau dopamine, delirium,
rasio PaO2/FiO2 <300, kreatinin serum >1,5mg/dl, INR >1.5 atau kadar trombosit
<100000/µl.11,12
Adapun kriteria diagnosis kolangitis akut apat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Kriteria diagnosis kolangitis akut12
A. Inflamasi sistemik
A-1. Demam
A-2. Hasil pemeriksaan laboratorium, menunjukan adanya respnon
inflamasi
B. Kolestasis
B-1. Ikterus
B-2. Hasil laboratorium menunjukan tes fungsi hati yang abnormal 12
C. Pencitraan
C-1. Dilatasi Bilier
C-2. Bukti dari etiologi dilakukan pencitraan (penyepitan, batu, sumbatan
dan
lainnya)
Diagnosis suspek : satu dari item di A + satu dari item B maupun C
Diagnosis definitif : satu dari item A, satu dari B and satu dari C
Catatan:
A-2: nilai hitung abnormal sel darah putih, peningkatan serum level C-reaktif
protein, dan perubahan lain dari indikator inflamasi.
B-2: peningkatan serum ALP, Gamma GT, AST dan ALT. Faktor lain yang dapat
membantu diagnosis kolangitis akut termasuk nyeri abdomen kanan atas dan
adanya riwayat dari penyakit bilier sebelumnya seperti gallstones, proses bilier
sebelumnya, dan pemasangan sten bilier. Dalam hepatitis akut penanda respon
sistemik inflamasi juga dipantau.

Batasan :

7
A-1 Demam Suhu tubuh >380C
A-2 Adanya bukti respon inflamasi WBC (x1000/µ) <4.or>10
CRP (mg/dl) ≥1
B-1 Ikterus T-bil≥2mg/dL
B-2 Fungsi liver abnormal ALP (IU) >1.5xSTD
GGT (IU) >1.5xSTD
AST (IU) >1.5xSTD
Ket: White Blood Cell (WBC), C-reaktif protein (CRP), Alkaline Phosphatase
(ALP), Gamma Glutamil Transpeptidase (GGT), Aspartate Transaminase
(AST/SGOT) dan Alanine Transaminase (ALT/SGPT)

Tingkat keparahan kolangitis akut dibagi kedalam tiga kelompok12 :


1. Derajat ringan, yaitu kolangitis fase awal yang tidak memenuhi kriteria derajat
sedang
maupun berat.
2. Derajat sedang, yaitu kolangitis yang diikuti dua dari empat gejala yaitu:
a. Jumlah leukosit yang abnormal (>18.000/mm3)
b. Teraba masa pada kuadran kanan atas
c. Durasi keluhan >72 jam
d. Terdapat tanda inflamasi lokal (abses hepar, peritonitis bilier,
empisematus kolesisitis)
3. Derajat berat, yaitu kolangitis akut yang diikuti minimal satu disfungsi organ
lainya yaitu
a. Disfungsi kardiovaskular
b. Disfungsi neurologi
c. Disfungsi respiratori
d. Disfungsi renal
e. Disfungsi hepatik
f. Disfungsi hematologi

1.1.7.2. Pemeriksaan penunjang Lainnya

8
Pemeriksaan penunjang untuk diagnostik kolangitis akut dapat dilakukan
dengan mendeteksi dilatasi bilier dan pemeriksaan penyebab kolangitis akut
adalah EUS (endoscopic ultrasonography), MRCP (magnetic resonance
cholangiopancreotography) dan ERCP (endoscopic retrograde
cholangiopancreotography). Diantara semuanya hanya MRCP yang tidak bersifat
invasif, namun tidak praktis hanya dapat digunakan pada pasien yang dapat
dibawa keruang radiologi, umumnya studi menunjukkan sensivitas >90% untuk
MRCP dalam mendeteksi batu di CBD dan sensivitasnya makin berkurang untuk
batu yang kecil. ERCP selain memiliki sensivitas untuk mendeteksi juga memiliki
potensi untuk terapeutik, dalam mendiagnosis batu CBD, EUS lebih baik dari
ERCP, dalam hal keganasan EUS sama dengan ERCP. Dilatasi intrahepatik tanpa
adanya dilatasi CBD, menunjukkan kesan suatu striktur jinak, sindrom mirri atau
lesi di daerah hilus duktus biliaris seperti tumor ganas.11,13
Sebaliknya dilatasi CBD dengan atau tanpa dilatasi intrahepatik konsisten
dengan obstruksi distal seperti batu CBD atau kanker pancreas. Mengetahui
penyebab dilatasi meminimalisai kebutuhan injeksi kontras yang dapat
meningkatkan tekanan bilier cukup kuat untuk menimbulkan refluks cairan bilier
kedalam sirkulasi sistemik dan menghindarkan resiko injeksi yang tidak
diinginkan kedalam segmen yang tidak terdrainase (misalnya pasien dengan
striktur daerah hilus yang kompleks) yang secara potensial dapat menyebabkan
terjadinya kolangitis berat. MRCP dapat meberikan informasi serupa dengan EUS
dan ERCP, namun kurang akurat untuk mendeteksi batu ukuran kecil dan harus
dilakukan sebagai prosedur terpisah. Meskipun USG transabdominal relatif tidak
sensitif untuk mendeteksi batu CBD (biasanya <30%), namun tersedia mudah dan
dapat membantu bila batu atau tumor ditemukan. CT scan lebih sensitive dari
USG transabdominal untuk mendeteksi batu CBD, dan sensitivitas helical CT
tampaknya sebanding dengan MRCP atau EUS pada beberapa studi. Namun EUS
lebih sensitif dari CT dan MRCP untuk mendiagnosis batu dengan diameter
<1cm.12,13

9
1.1.8. Penatalaksanaan
Pada semua pasien kolangitis akut, hidrasi agresif harus diberikan segera
setelah akses vena didapatkan untuk koreksi kekurangan volume/dehidrasi dan
menormalkan tekanan darah. Terapi kolangitis akut terdiri dari pemberian
antibiotik dan drainase bilier. Beratnya kolangitis akut menetukan perlu tidaknya
pasien dirawat di rumah sakit. Bila klinis penyakitnya ringan, dapat berobat jalan,
teruma jika kolangitis akut ringan yang kambuh/berulang (misalnya pada pasien
dengan batu intrahepatik). Namun demikian umumnya dokter menyarankan
perawatan rumah sakit pada kasus kolangitis akut. Kolangitis ringan sampai
sedang dapat ditatalaksana di ruangan umum, akan tetapi pada kolangitis berat
sebaiknya dirawat di ICU (Intensive Care Unit) 3,12,13

1.1.8.1. Terapi Antibiotik

Terapi antibiotik intravena harus diberikan sesegera mungkin. Pedoman


pemberian antibiotik sebaiknya berdasarkan pola infeksi spesifik dan resistensi
lokal rumah sakit. Beberapa panduan menyarankan pada kolangitis akut ringan
sebaiknya pemberian jangka pendek 2-3 hari dengan sefalosporin generasi
pertama atau kedua, penisilin dan penghambat β laktam. Sedangkan kolangitis
sedang sampai berat sebaiknya pemberian antibiotik minimal 5-7 hari dengan
sefalosporin generasi ketiga atau keempat, non baktam dengan atau tanpa
metronidazol untuk kuman anaerob, atau karbapenem. Rekomendasi lain
menyarankan regimen berikut pada pasien kolangitis akut ringan sampai sedang
atau community acquired: (misalnya Ampisilin sulbactam iv 3 gram setiap 6 jam,
atau ertepenem 1gram sekali sehari, atau ampisilin iv 2 gram setiap 6 jam plus
gentamicin iv 1.7 mg/kgbb setiap 8 jam atau golongan fluorokuinolon (misalnya
siprofloksasin iv 400 mg setiap 12 jam, levofloksasin iv 500 mg sekali sehari, atau
moxiflokasain iv atau oral 400 mg sekali sehari) ditambah metronidazol iv 500mg
setiap 6-8 jam untuk bakteri anaerob. Untuk pasien kolangitis akut berat atau
nosokomial (hospital acquired), direkomendasikan pemberian antibiotik sebagai
berikut: piparisilin-tazobaktam (3.375 gr iv stiap 6 jamatau 4.5 gr iv setiap 8 jam),
stau 3.1 gr iv tikarsilin-klavulanat setiap 6 jam, atau tigesilin (100 mg iv bolus,
diteruskan 50 mg iv sekali sehari) atau sefalosporin generasi ketiga (misalnya

10
seftriakson 1-2 gr sekali sehari atau cefepim 1-2 gr setiap 12 jam) dengan
metronidazol iv 500 mg setiap 6-8 jam untuk bakteri anaerob. 11,12,13
Pada pasien yang resiko tinggi terkena pathogen resistensi antibiotik dapat
diberikan imipenem iv 500 mg setiap 6 jam, meropenem iv 1 gr setiap 8 jam atau
doripenem iv 500 mg setiap 8 jam. Pengecualian terdapat pada semua panduan,
misalnya sefalosporin generasi pertama tidak mencakup infeksi enterococcus spp.
Walaupun cefazolin disetujui untuk terapi kolangitis akut. Karena itu pemilihan
terapi antibiotik sebaiknya berdasarkan sejumlah faktor meliputi sensitivitas
antibiotik, beratnya penyakit, adanya disfungsi ginjal atau hati, riwayat pemakaian
antibiotik sebelumnya, pola resistensi kuman lokal dan penetrasi bilier dari
antibiotik. Pilihan antibiotik harus disesuaikan dengan hasil kultur darah dan
cairan empedu begitu diperoleh, namun pemberian antibotik tidak boleh
terhambat/tertunda karena menunggu hasil kultur. Pada akhirnya yang lebih
penting dari pemilihan terapi antibiotik adalah drainase bilier efektif, karena
adanya obstruksi menghambat ekskresi bilier antibiotik. Pada suatu studi, dimana
pasien mendapat satu antibiotik (ceftazime, cefoperazone, imipenem, netilmisin
atau siprofloksasin), hanya siproflokasasin diekskresi kedalam sistem bilier yang
obstruksi dan hanya 20% dari konsentrasi serum10.11.12

1.1.8.2. Drainase bilier


Drainase bilier biasanya diperlukan pada pasien kolangitis akut untuk
menghilangkan sumber infeksi dan juga karena obstruksi dapat menurunkan
ekskresi bilier antibiotik. Beratnya penyakit menetukan dan menegaskan saatnya
untuk dilakukan drainase. Drainase dapat dilakukan secara elektif pada pasien
kolangitis akut ringan, dalam 24-28 jam pada pasien kolangitis sedang, dan segera
(dalam beberapa jam) pada pasien kolangitis berat karena tidak akan merespon
dengan pemberian antibiotik saja. Beratnya kolangitis ditentukan oleh respon
klinik terhadap terapi medical sebagaimana diuraikan dalam TG13, sehingga
penggolangan derajat beratnya penyakit kolangitis akut menuntut observasi untuk
mengetahui pasien-pasien mana akan respons baik terhadap terapi. Pada suatu
studi didapatkaan bahwa sekitar 80% pasien kolangitis akut merespon terhadap
terapi medical saja dan resolusi infeksi. 11,12 Namun semua pasien tersebut akhirnya
memerlukan tindakan pembersihan saluran bilier untuk mencegah kekambuhan

11
kolangitis. Suatu studi dari Hongkong melakukan ERCP emergency pada 225
pasien kolangitis. 13
Table 2. Rekomendasi antimikrobial untuk infeksi bilier akut6,12
Community-acquired biliary infections Healthcare-
associated biliary
infections

Severity Grade I Grade II Grade III


Antimicrobial Cholangitis Cholangitis Cholangitis & Healthcare-
agents & cholecystitis associated
cholecystitis cholangitis &
cholecystitis

Penicillin Ampicilin/Sulabctam Piperacillin Piperacillin Piperacillin


based therapy is /tazobactam /tazobactam /tazobactam
not recommended
without an
aminoglycoside

Cephalospori Cefazolin, or Ceftriaxon, Cefepime, or Cefepime, or


n- cefotiam, or ceftazidime, ceftazidime,
based therapy or cefuroxime,or cefotaxime, or or
ceftriaxone,or or cefozopran ± cefozopran ±
cefotaxime ± cefepim, or metronidazol metronidazol
metronidazol cefozopran,
or
Cefmetazole, ceftazidime
cefoxitin, ±
Flomoxef, metronidazol
Cefoperazone/sulbacta
m Cefoperazon
e/
sulbactam

Carbapenem- Ertapenem Ertapenem Imipenem/cilastati Imipenem/cilastati


based therapy n, n,
meropenem, meropenem,
doripenem, doripenem,
ertapenem ertapenem

12
Monbactam- - - Aztreonam ± Aztreonam ±
based therapy metronidazol metronidazol

Fluoroqui Ciprofloxacin, or Ciprofloxaci - -


Nolone based levofloxacin, or n, or
therapy pazufloxacin ± levofloxacin,
metronidazol or
pazufloxacin
Moxifloxicam ±

metronidazol
Moxifloxica
m

Frekuensi denyut jantung >100 x/menit, kadar albumin <30 g/l, kadar
bilirubin >50 µmol/l dan masa protrombin > 14 detik pada saat masuk rumah sakit
signifikan berkaitan dengan diperlukannya ERCP, serta menunjukkan terapi
endoskopi lebih aman dibandingkan pembedahan dalam tatalaksana kolangitis
akut, sehingga dekompresi surgical tidak mempunyai peranan dalam managemen
kolangitis akut. Sebuah studi secara random mengalokasikan 82 pasien dengan
kolangitis akut berat kedalam 2 grup, endoskopi atau dekompresi bilier surgical,
kelompok surgical signifikan lebih banyak mengalami komplikasi dan mortalitas
selama di rumah sakit dibandingkan kelompok endoksopi (66% vs 34%, p >0.05
dan 32% vs 10%, p<0.03 secara berurutan). Dengan demikian, pasien dengan
kolangitis akut sebaiknya masuk dirawat diruangan medical untuk terapi
antibiotik intravena dan dekompresi endoskopi. Dekompresi bilier surgical
sebaiknya dihindari pada pasien kolangitis akut.12
ERCP lebih jadi pilihan dibandingkan PTBD (percutaneus biliary
drainage) karena lebih tidah invasif, lebih aman, dapat dilakukan bedside dan
dapat membersihkan batu saluran empedu, tidak perlu koreksi koagulopati dan
dapat dilakukan tanpa paparan radiasi jika perlu (pada pasien yang hamil).
Keberhasilan ERCP lebih tinggi dibandingkan PTBD untuk tatakasana obstruksi
CBD, namun PTBD dipertimbangkan pada obstruksi hilar, bila ahli endoskopi
tidak tersedia. PTBD biasanya dilakukan pada pasien yang gagal dengan ERCP

13
awal atau bila terdapat anatomi yang abnormal akibat prosedur pembedahan
sebelumnya seperti koledokoyeyunostomi, kecuali bila ahli endsokopi utntuk
tatalaksana pasien seperti itu ada.13,14 Pasien dengan kolangitis akut dimana
kontras tidak terdrainase setelah gagal ERCP dapat memerlukan drainase bilier
perkutan mendesak untuk menghindari perburukan sepsis. Kolangitis akut yang
terjadi stelah manipulasi saluran bilier merupakan faktor resiko prognosis buruk
pada kolangitis akut. Karena itu tidak direkomendasikan injeksi kontras tanpa
terlebih dahulu menempatkan guidwire kedalam sistem bilier. Pada umumnya
pusat endoskopi, keberhasilan ERCP untuk drainase bilier lebih dari 90%, jika
tidak demikian sebaiknya dirujuk pada unit/pusat layanan endoskopi yang lebih
baik. EUS terbatas, bila tersedia sebaiknya dilakukan sebelumnya untuk evaluasi
dilatasi saluran bilier intrahepatik dan ekstrahepatik, adanya batu, massa pankreas
atau hilus atau batu kandung empedu. Aspirasi jarum halus pada suatu massa
sebaiknya dilakukan hanya jika pasien stabil dan tidak memerlukan dekompresi
bilier mendesak.13,14

Gambar 1.Alur penatalsanaan kolangitis akut menurut Tokyo Guidline 2013.


2. SINDROMA DISFUNGSI ORGAN MULTIPLE ( M O D S )

2.1. Definisi

Sindroma disfungsi organ multiple adalah kegagalan fungsi organ yang


melibatkan >2 organ sehingga homeostasis tidak bisa dipertahankan lagi tanpa
intervensi. Berdasarkan konsensus the Americans college of chest physician
(ACCP) / society of critical care medicine ( SCCM ) tahun 1992 sindroma
disfungsi organ multiple didefinisikan sebagai adanya fungsi organ yang berubah
pada pasien yang sakit akut, sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan lagi
tampa intervensi.16

2.2. Epidemiologi

Frekuensi MODS diantara seluruh populasi resiko tinggi diseluruh dunia


rata rata setara, berkisar antara 7 % pada pasien trauma multiple hingga 22 % pada
populasi ICU secara umum. MODS merupakan penyebab kematian yang tersering

14
pada pasien diperawatan intensif non koroner dan menyebabkan penyebab
tersering morbiditas dan tingginya biaya rumah sakit.17

Faktor resiko terjadinya MODS adalah sepsis dan systemic inflammatory


response syndrome ( SIRS ), beratnya penyakit, syok dan hipotensi yang
berkepanjangan, terdapat focus jaringan mati, trauma berat, operasi besar, adanya
gagal hati stadium akhir, infark usus, disfungsi hati, usia >65 th dan penyalah
gunaan alcohol.17,18

2.3. Patofisiologi

Saat ini berbagai teori berusaha untuk menjelaskan patofisiologi terjadinya


MODS, antara lain hipotesis mediator, hipotesis “gut-as motor”, hipotesis
kegagalan mikrovascular, hipotesis two hit, dan hipotesis terintegrasi.18

Pada sebagian besar pasien MODS, tidak dapat ditelusuri satu penyebab
sebagai pemicu MODS. Oleh sebab itu hipotesis terintegrasi menyatakan bahwa
nampaknya MODS merupakan akibat akhir dari disregulasi homeostasis yang
melibatkan sebagian besar mekanisme yang telah diuraikan diatas17

2.4. Gejala dan tanda

System respirasi , kardiovasculer, ginjal, hati , hematologi, dan neurologi


merupakan 6 sistem organ yang paling sering dievaluasi pada MODS. Sistem
organ lain yang juga seriing diikutsertakan dalam evaluasi adalah system
gastrointestinal (GI) endokrin dan imunologi.16,17,18

Table 4. Diagnostic criteria for multiple organ dysfunction syndrome in an adult


septic patient19

15
2.5. Prognosis

Resiko kematian pasien MODS berbandiing lurus dengan jumlah organ


yang terlibat dan lamanya disfungsi yang terjadi. Disfungsi > 3 organ selama
minimal 1 minggu memberikan mortalitas antara 60-98 %, tergantung pada usia
seseorang. Bila organ yang terlibat adalah otak hati paru paru atau ginjal angka
mortalitas akan lebih tinggi. Fry melaporkan bahwa peningkatan jumlah
kegagalan organ dari 1 menjadi 4 , mortalitas meningkat progresif dari 30 %
menjadi 100 %. Marsall et al melaporkan mortalitas 7% pada kegagalan 1 organ,
26 % pada kegagalan 2 organ , 50% pada kegagalan 3 organ , 70 % pada
kegagalan 4 organ dan 80% pada kegagalan 5 organ. Faktor lain yang juga
bepengaruh adalah penyakit dasar yang menyebabkan MODS tersebut. 20

16
BAB II

ILUSTRASI KASUS

Telah dirawat pasien laki-laki 54 tahun di Bangsal Penyakit Dalam RSUP


Dr. M. Djamil Padang, sejak tanggal 28 Mei 2020 pukul 22.00 dengan :

Keluhan Utama : (Allo Anamnesis)


Penurunan kesadaran sejak 3 hari yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang :
 Penurunan kesadaran sejak 3 hari yang lalu, penurunan kesadaran ini terjadi
perlahan-lahan, awalnya pasien sadar dan dapat komunikasi, lama-kelamaan
tampak mengantuk dan sulit untuk diajak komunikasi. Kejang tidak ada.
Trauma pada kepala sebelumnya tidak ada.
 Nyeri perut kanan atas sejak 2 bulan yang lalu, nyeri semakin meningkat sejak
1 minggu yang lalu, nyeri hilang timbul, nyeri menjalar ke pinggang
 Mual dan muntah sejak 2 bulan yang lalu, muntah berisi apa yang dimakan dan
minum, frekuensi 2-3 kali per hari, volume ± ¼ gelas kecil. Muntah hitam
tidak ada
 Penurunan nafsu makan sejak 2 bulan yang lalu. Pasien hanya makan 2 kali
sehari dan hanya menghabiskan 1 sampai 2 sendok makan tiap kali makan
 Tampat kuning sejak 8 hari yang lalu, tampak kuning disadari awalnya pada
mata pasien, kemudian menyebar keseluruh tubuh.
 Buang air kecil seperti teh pekat sejak 1 minggu yang lalu, nyeri saat buang air
kecil tidak ada, buang air kecil keruh dan berpasir tidak ada.
 Gatal-gatal pada seluruh tubuh sejak 1 minggu yang lalu.
 Sesak nafas sejak 3 hari yang lalu, meningkat 1 hari yang lalu, sesak tidak
dipengaruhi aktivitas, cuaca dan makanan. Sesak nafas menciut tidak ada.
Terbangun malam hari karena sesak tidak ada. Tidur dengan bantal di
tinggikan tidak ada.
 Demam sejak 3 hari yang lalu, demam tinggi terus menerus, tidak disertai
menggigil dan tidak berkeringat banyak

17
 Batuk sejak 3 hari yang lalu. Batuk disertai dahak berwarna putih kekuningan,
batuk darah tidak ada.
 Buang air besar hitam seperti aspal sejak 1 hari yang lalu, frekuensi 2-3 kali
per hari, volume ± ¼ gelas kecil.
 Penurunan berat badan tidak ada
 Keringat banyak pada malam hari tidak ada
 Pasien sebelumnya dirawat di bagian bedah dengan diagnosis adhesif intestinal
dengan kolestasis extrahepatal ec koledokolithiasis dan di ruang isolasi sejak
22 mei 2020 dan sudah dilakukan swab 2 kali dengan hasil negatif.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat hipertensi tidak ada
 Riwayat diabetes tidak ada
 Riwayat sakit kuning tidak ada.
 Riwayat menderita penyakit tuberkulosis paru tidak ada.
 Riwayat menderita keganasan tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga :


 Tidak ada keluarga pasien yang memderita DM, Hipertensi.
 Riwayat tuberkulosis paru di keluarga tidak ada.
 Riwayat keluarga yang menderita keganasan tidak ada.

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi dan Status Perkawinan


 Pasien saat ini tidak bekerja, sudah menikah dan memiliki 3 orang anak
 Pasien bertempat tinggal di lingkungan ramai penduduk, rumah semi
permanen dengan 3 kamar jendela dan ventilasi hanya di bagian depan
rumah, lantai papan.
 Pasien tergolong keluarga dengan sosial ekonomi sedang
 Riwayat seks bebas tidak ada
 Riwayat narkoba suntik tidak ada
 Pasien tidak memiliki tato

18
 Pasien merokok selama 30 tahun dan menghabiskan 1 bungkus rokok per
hari
 Riwayat berganti pasangan seks tidak ada

Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Sakit berat
Kesadaraan : Sopor
Tekanan Darah : 80/60 mmHg
Frekuensi Nadi : 120 x/menit, reguler
Frekuensi Nafas : 30 x/menit, teratur
Suhu : 39,7 0C
SO 2 : 96 %
Ikterus : (+)
Edema : (-)
Anemis : (-)
Sianosis : (-)
Tinggi badan : 170 cm
Berat badan : 60 kg
BMI : 20,76 cm/kg2 (normoweight)

Pemeriksaan Fisik (28 mei 2020) :


Kulit : Kulit teraba dingin, turgor kulit > 3 detik, ikterik (+)
Kelenjar getah bening : Tidak ada pembesaran KGB di supra klavikula, infra
klavikula, axilla, dan inguinal.
Kepala : Normocephal
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (+), Sklera ikterik (+), reflek cahaya
(+/+), diameter pupil 3 mm/3mm
Telinga : Deformitas (-), tanda-tanda radang (-)
Hidung : Deviasi septum (-), tanda-tanda radang (-)
Tenggorokan : Tonsil T1-T1, faring tidak hiperemis

19
Gigi dan Mulut : Oral thrush (-), Caries (-), atrofi papil lidah (-), stomatitis
angularis (-), hipertropi ginggiva (-), candidiasis (-)
Leher : JVP 5-2 cmH2O, kelenjar tiroid tidak membesar
Thorax : Normochest, Spider nervi (-), Ginekomasti (-)
Paru :
Paru depan
Inspeksi : simetris kanan dan kiri,
Palpasi : taktil fremitus tidak bisa dinilai
Perkusi : sonor, batas pekak hepar sulit dinilai
Auskultasi : Bronkovesikuler, rhonki basah halus nyaring (+/+)
dikedua apex lapangan paru setinggi RIC IV kebawah,
wheezing -/-
Paru belakang
Inspeksi : simetris kanan dan kiri,
Palpasi : stem fremitus tidak bisa dinilai
Perkusi : Sonor, peranjakan paru sulit dinilai
Auskultasi : Bronkovesikuler, rhonki basah halus nyaring (+/+)
dikedua apex lapangan paru setinggi RIC IV kebawah ,
wheezing -/-

Tampak depan Tampak belakang

Jantung:
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V, luas 1
jari, tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung atas RIC II,
Batas kanan linea sternalis dekstra,

20
Batas kiri 1 jari medial RIC V, pinggang jantung (+).
Auskultasi : Bunyi jantung murni,irama teratur, bising (-), M1>M2,
P2<A2.
Abdomen:
Inspeksi : Tidak tampak membuncit, kolateral vein (-)
Palpasi : Hepar teraba 2 jari bawah arcus cortarum, konsistensi
kenyal, tepi tajam, permukaan rata, nyeri tekan (+), dan
lien tidak teraba
Perkusi : timpani. Shifting dullnes (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal.

Punggung : Nyeri ketok CVA (-/-), nyeri tekan CVA (-/-)


Alat kelamin : Dalam batas normal
Anus : Dilakukan rectal toucher dengan hasil
 Anus tenang, sikatrik tidak ada, laserasi tidak ada
 Spinchter ani menjepit kuat
 Mukosa recti licin, tidak teraba massa
 Ampula recti tidak kolaps
 Handscoen terdapat feces warna hitam, pus (-)
Anggota gerak : reflek fisiologis (+/+), reflek patologis(-/-), palmar
eritem (-), Ulkus (-)

Laboratorium ( 28 mei 2020 )

Hemoglobin : 7,9 gr/dl Trombosit : 182.000 /mm3


Leukosit : 19.700 /mm3 Hematokrit : 21 %
Hitung Jenis : 0/0/7/87/2/3 LED : 6 mm

Gambaran Darah Tepi


Eritrosit : normositik normokrom
Leukosit : jumlah meningkat, neutrofilia shift to the right dengan limfopenia
Trombosit : Jumlah normal, morfologi normal
Kesan: Anemia ringan dengan gambaran Normositik normokrom, leukositosis dengan

21
neutrofilia shift to the right dengan limfopenia.

22
Urinalisa
Makroskopis Mikroskopis Kimia
Warna Kuning Leukosit 0-1/LPB Protein Positif
Kekeruhan Negatif Eritrosit 0-1/LPB Glukosa Negatif

BJ 1.050 Silinder Negatif Bilirubin Positif


pH 7,5 Kristal Negatif Urobilinogen Positif (+)
Epitel Gepeng (+)
Kesan :Proteinuria dan Bilirubinuria

Feses rutin

Makroskopis Mikroskopis

Warna Hitam Leukosit 0-1/LPB

Konsistensi Lunak Eritrosit 30-40/LPB

Darah Negatif Amuba Negatif

Lendir Negatif Telur Cacing Negatif

Kesan : Didapatkan feses berwarna hitam dengan konsistensi lunak/encer, dijumpai


eritrosit feses 30-40/LBP

EKG

23
Irama Sinus rythm

Frekuensi 108 x / menit

Axis Normal

Gel P Normal

PR interval 0.16 detik

QRS Kompleks 0.04 detik

ST segmen Isoelektris

Gel T Normal

Kesan : Sinus Takikardia

24
Quick SOFA : 3

Kriteria qSOFA Poin Nilai


Frekuensi Nafas > 22x/menit 1 1
Perubahan status mental 1 1
Tekanan darah sistolik < 100 mmHg 1 1

Total 3

Dilakukan pemeriksaan IVC : 18 mm

Daftar Masalah
 Penurunan kesadaran
 Syok sepsis
 Melena
 Bronkopneumonia
 Ikterik
 Anemia
 Bilirubinuria
 Proteinuria

DIAGNOSIS KERJA
Primer : Penurunan kesadaran ec Ensephalopati hepatikum grade III
Sekunder :
 Syok sepsis ec Kolangitis akut
 Kolestasis ekstrahepatal ec koledokolitiasis
 Melena ec variceal bleeding ec pecah varices esofagus ec sirosis bilier
 Anemia sedang normositik normokrom ec perdarahan akut
 Hospital acquired pneumonia

25
DIAGNOSIS BANDING
 Penurunan kesadaran ec elektrolit inbalance
 Penurunan kesadaran ec Sepsis assosiated ensephalopati
 Kolestasis ekstrahepatal ec Ca Caput Pankreas
 Melena ec Perdarahan saluran cerna bagian atas ec Stress ulcer
 Syok sepsis ec hospital acquired pneumonia

Pemeriksaan anjuran
 Cek Analisa Gas Darah
 Faal Hepar (albumin, globulin, SGOT/SGPT, Alkai fosfatase, Gamma GT,
Bilirubin Total, Bilirubin direct, bilirubin indirect )
 Faal Ginjal (Ureum, Kreatinin)
 Cek elektrolit (Na, K, Cl)
 Faal hemostatik (PT/APTT, D-dimer)
 Hepatitis marker ( HbSag, Anti HCV)
 Procalsitonin
 Ca 19-9
 Kultur Sputum
 Kultur darah
 Chest X-ray
 USG Abdomen

TERAPI
 Istirahat/Puasa/Diet MC Hepar I 6 x 150 cc via NGT/O2 5l/i
 Loading cairan NaCl 0,9 % 30cc/kgBB selama 3 jam lanjut 30 cc/kgBB
selama 6 jam , selanjutnya IVFD Comafusin : triofusin : Nacl 0,9% (1:1:2)
6 jam / kolf
 Drip Norepinefrin dengan dosis 0,01-0,5 µg/kgBB/menit titrasi naik tiap
15 menit dengan terget mean arterial pressure (MAP) ≥ 65 mmHg.
 Bolus ocreotide 100 ug dilanjutkan drip ocreotide 600ug dalam 44 cc NaCl
0,9% habis dalam 24 jam (syringe pump) kecepatan 2,08 cc/jam (25 ug
/jam)

26
 Cefepime 3x1 gram (iv)
 Inf levofloxacin 1x750 mg (iv)
 Inf metronidazol 3x500 mg (iv)
 Inj Vit K 3x1 amp (iv)
 Inj Transamin 3x1 amp (iv)
 Paracetamol infus 1 gr (iv), selanjutnya paracetamol 4x500 mg (po)
 N acetilsistein 3x200 mg (po)
 Madopar 3x1 (po)
 Ursodeoxycholic acid 3x1 (po)
 Lactulac 3x 30 cc (po)
 Folley kateter  balance cairan positif

Jam 23.00 wib


Keluar hasil labor :
 GDS : 120 mg/dl
Analisa Gas Darah :
 pH : 7,53
 pCO2 : 23,2 mmHg
 pO2 : 118,2 mmHg
 HCO3- : 22 mmol/L
 Beecf : -1,6 mmol/L
 SO2 : 99,2%
Kesan : Alkalosis Respiratorik

 Natrium : 127 mmol/L


 Kalium : 4,3 mmol/L
 Chlorida : 97 mmol/L
Kesan : Hiponatremia

A/
 Penurunan kesadaran ec Ensephalopati hepatikum grade III

27
 Syok sepsis ec Kolangitis
 Kolestasis ekstrahepatal ec koledokolitiasis
 Melena ec variceal bleeding ec pecah varices esofagus ec sirosis bilier
 Anemia sedang normositik normokrom ec perdarahan akut
 Hospital acquired pneumonia
 Hiponatremia ec GI loss

P/
 IVFD NaCl 3 % 12jam/kolf
 Terapi lain lanjut

FOLLOW UP
29 Mei 2020 (08.00 wib)
S/ penurunan kesadaran (+) sesak (+) demam (+) perdarahan via NGT (-) buang
air besar hitam (+) kejang (-)
O/
KU Kesadaran TD Nadi Nafas Suhu

Berat Sopourous 100/70 128x/i 31x/i 37,8oC

Balance Cairan :

Input OutPut Balance


Infus Oral Urin Feses Muntah IWL
1500 400 1000 200 - 980 - 280

28
Keluar hasil laboratorium
 MCV :86 fL Ureum : 207 mg/dl
 MCH : 28 pg Creatinin : 3,3 mg/dl
 MCHC : 33 % SGOT : 82 u/l
 Retikulosit : 0,8 % SGPT : 60 u/l
 Albumin : 2,1 g/dl HbsAg : Non reaktif
 Globulin : 2,6 g/dl Anti HCV : Non reaktif
 Bilirubin total : 24,96 mg/dl PT : 26,2 detik
 Bilirubin indirek : 9,96 mg/dl APTT : 35 detik
 Bilirubin direk : 15 mg/dl D-dimer :5341,77 ng/m
 Alkali Fosfatase : 123 u/l Gama-GT : 84 u/l

Kesan : Hipoalbuminemia, peningkatan bilirubin direk dan indirek,


Hiponatremia, peningkatan SGOT dan SGPT, pemanjangan PT dan APTT,
peningkatan D-Dimer peningkatan ureum dan creatinine

Skor DIC :5
Nilai Skor
Trombosit >100.000/ml 0
50.000-100.000/ml 1
<50.000/ml 2
D-dimer >500 0
500-1000 2
>1.000 3
Masa protrombin < 3” 0
4-6” 1
>6” 2
Fibrinogen <100 mg/dl 1
>100 mg/dl 0
Bila skor : ≥ 5 : sesuai dengan DIC
<5 : ulang skoring 1-2 hari kemudian

Keluar hasil expertise Rontgen Torak AP

29
 Trakea di tengah
 Jantung membesar ke kiri, apeks tertanam, pinggang jantung (CTR < 50%)
 Aorta dan mediastinum superior tidak melebar
 Kedua hillus tidak menebal
 Corakan brokovaskular kedua paru bertambah
 Tampak infiltrat di lapang tengah sampai bawah kanan
 Kedua diafragma licin, kedua sinus costofrenicus lancip
 Tulang intak, tak tampak destruksi
Kesimpulan :
 Bronkopneumonia

Pneumonia Severity Indeks : 124  Risk class IV, 8,2-9,3% mortality

30
SOFA Score : 13 (Mortality Rate 95 %)
Sistem 0 1 2 3 4

Pernafasan

PaO2/FiO2, ≥ 400 < 400 < 300 < 200 dengan < 100 dengan
mmHg bantuan bantuan

pernafasan pernafasan

Koagulasi
Trombosit, ≥ 150 < 150 < 100 < 50 < 20
3 3
x10 /mm

Hati

Bilirubin, < 1,2 1,2-1,9 2,0-5,9 6,0-11,9 > 12,0


mg/dl
Kardiovaskuler MAP ≥ 70 MAP < 70 Dopamin < 5 Dopamin Dopamin >
mmHg mmHg atau 5,1-15 atau 15 atau
dobutamin epinefrin ≤ epinefrin >
0,1 atau
(dosis berapa norepinefrin 0,1 atau
saja) ≤ 0,1 norepinefrin
> 0,1

Sistem Saraf Pusat

GCS 15 13-14 10-12 6-9 <6

Ginjal

Kreatinin, < 1,2 1,2-1,9 2,0-3,4 3,5-4,9 > 5,0


mg/dl

Jumlah urin, < 500 < 200


ml/hari

31
Konsul Konsultan Gastroenterohepatologi
Kesan :
 Penurunan kesadaran ec Ensefalopati Hepatikum Grade III
 Kolestasis ekstrahepatal ec Koledokolitiasis DD/ Ca Caput Pankreas
 Melena ec variceal bleeding ec pecah varises esofagus ec sirosis bilier
 Kolangitis akut
 Hipoalbumin

Advice :
 IVFD Comafusin hepar : triofusin : Nacl 0,9% (1:1:2) 6 jam / kolf
 Inf albumin 20 %
 USG Abdomen jika kondisi keadaan umum stabil
 CT Scan abdomen jika kondisi keadaan umum stabill
 Esogastroduodenoskopi jika perdarahan berhentidan jika keadaan umum
stabil

Konsul Konsultan Pulmonologi


Kesan :
 Hospital Acquired Pneumonia

Advice :
 Inj Cefepime 3 x 1 gr (iv)
 Inf levofloxacin 1x750 mg (iv)
 N Acetilsistein 3x200mg (po)
 Kultur sputum
 Cek ulang leukosit dan diffcount/3 hari

32
Konsul Konsultan Penyakit Tropik Infeksi
Kesan :
 Syok sepsis ec Kolangitis
Advice :
 Atasi infeksi
 Titrasi norepinefrin dengan terget mean arterial pressure (MAP) ≥ 65
mmHg.
 Jika Norepinefrin > 0,1 ug/kgBB/jam target tidak tercapai, drip
vasopressin 20 unit dalam 49 cc NaCl 0,9% dengan syringe pump dengan
dosis 0,01-0,04 unit/menit dan Hidrokortison 2x100 mg (iv)
 Kultur darah
 Kultur sputum

Konsul Konsultan Hemato Onkologi Medik


Kesan :
 Disseminated Intravascular Coagulation overt
 Anemia sedang normositik normokrom ec perdarahan akut
Advice :
 Transfusi FFP 1x250 cc
 Transufusi PRC 2 unit/hari , target Hb ≥ 10 g/dl
 Scoring DIC/hari
 Atasi penyakit dasar

Konsul Konsultan Ginjal Hipertensi


Kesan :
 AKI stage III ec renal ec sepsis
 Hiponatremia ec GI loss
Advice :
 IVFD Nacl 3% 12 jam/kolf
 Cek ulang ureum/creatinin /3hari
 Balance cairan positif

33
A/
 Penurunan kesadaran ec Ensephalopati hepatikum grade III
 Syok sepsis ec Kolangitis
 Kolestasis ekstrahepatal ec koledokolitiasis
 Melena ec variceal bleeding ec pecah varices esofagus ec sirosis bilier
 Anemia sedang normositik normokrom ec perdarahan akut
 Disseminated Intravascular Coagulation overt
 Hospital acquired pneumonia
 Hiponatremia ec GI loss
P/
 IVFD Comafusin : triofusin : Nacl 0,9% (1:1:2) 6 jam / kolf
 IVFD Nacl 3% 12 jam/kolf
 Titrasi norepinefrin, Jika Norepinefrin > 0,1 ug/kgBB/jam target tidak
tercapai, drip vasopressin 20 unit dalam 49 cc NaCl 0,9% dengan syringe
pump dengan dosis 0,01-0,04 unit/menit dan Hidrokortison 2x100 mg (iv)
 Bolus ocreotide 100 ug dilanjutkan drip ocreotide 600ug dalam 44 cc NaCl
0,9% habis dalam 24 jam (syringe pump) kecepatan 2,08 cc/jam (25 ug
/jam) dengan NaCl 0,9 % (via syringe pump) kecepatan 2,08 cc/jam.
 Inj Cefepime 3 x 1 gr (iv)
 Inf levofloxacin 1x750 mg (iv)
 Inf metronidazole 3x500 mg (iv)
 Vit K 3x1 amp (iv)
 Transamin 3x1 amp (iv)
 Inf Albumin 20 % (iv)
 N Acetilsistein 3x200mg (po)
 Madopar 3x1 (po)
 Lactulac syr 3 x 30 cc (po)
 Transfusi PRC 2 unit/hari
 Transfusi FFP 250 cc
 Kultur sputum

34
 Kultur darah
 Skoring DIC/hari
 Cek ulang leukosit dan diffcount/3 hari
 USG abdomen jika kondisi keadaan umum stabil
 CT Scan abdomen jika kondisi keadaan umum stabil
 Esogastroduodenoskopi jika perdarahan berhenti
 Balance cairan positif

Pukul 15.00
Keluar hasil labor
 Ca 19-9 :1056.20 u/mL
 Procalcitonin : 173,39 ng/ml

Kesan : High likelihood of severe sepsis ofseptic shock, peningkatan Ca 19-9

30 Mei 2020 (02.00 wib)


S/ Penurunan kesadaran (+), demam (+) , sesak (+)
O/
KU Kesadaran TD Nadi Nafas Suhu SatO2
Berat Sopor 70/40 Lemah 32 38 oC 88%
Urin : 100 cc
Mata : Konjunctiva anemis (+) sklera ikterik (+), Refleks Cahaya +/+
Cor : Cardiomegali (-)
Pulmo : Bronchovesikuler, Rhonki +/+ wheezing -/-
Abdomen : Supel, hepatomegali, lien tidak teraba
Ekstremitas : Akral dingin, Refleks fisiologis (+), refleks patologis (-)

A/
 Penurunan kesadaran ec Ensephalopati hepatikum grade III
 Syok sepsis ec Kolangitis
 Kolestasis ekstrahepatal ec koledokolitiasis
 Melena ec variceal bleeding ec pecah varices esofagus ec sirosis bilier

35
 Anemia sedang normositik normokrom ec perdarahan akut
 Disseminated Intravascular Coagulation overt
 Hospital acquired pneumonia
 Hiponatremia ec GI loss
P/
 Ganti nasal kanul dengan NRM /10 l/i
 Titrasi norepinefrin dengan terget mean arterial pressure (MAP) ≥ 65
mmHg.
 Jika Norepinefrin > 0,1 ug/kgBB/jam dan MAP < 65 mmHg, drip
vasopressin 20 unit dalam 49 cc NaCl 0,9% dengan syringe pump dengan
dosis 0,01-0,04 unit/menit dan Hidrokortison 2x100 mg (iv)
 Kontrol vital sign intensif/15 menit
 Terapi lain lanjut

Pukul 04.45 wib dosis Norepinefrin maksimal

30 Mei 2020 (05.000 wib)


 Pasien apneu. Tekanan darah tidak terukur, nadi tidak teraba, EKG Flat.
Pasien dinyatakan meninggal dunia dihadapan keluarga dan perawat dengan
COD : MODS

Kamis, 4 Juni 2020


 Keluar hasil kultur darah
Kesan : No growth

36
 Keluar hasil kultur sputum

Comments:
Kualitas sputum cukup baik, tampak sel PMN > 10 sel / LP dan sel epitel < 10 /
LP. Kemungkinan bakteri yang tumbuh ini berperan pada infeksi saluran nafas

Identification Information Analysis Time 3,93 hours Status Final

Selected Organism 99% Proability Staphylococcus haemolyticus


Bionumber 00110002240042210

ID Analysis Messages

Susceptibility Analysis Time : 10.43 hours Status: Faal


Information

Antimicrobial MIC Inerpretation Antimicrobal MIC Interpretation

Ampicillin >=32 R Cefepime <=1 S

Ampicillin/ <=2 R Meropenem <=0,25 S


Sulbactam

Cefazolin <=1 S Amikasin <=2 S

Ceftazidime <=1 S Gentamicin <=1 S

Ceftriaxone <=1 S Ciprofloxacin <=0,25 S

Trimethoprim/Sul >=320 R
famethixazole

37
Tabel 2. kontrol intensive
Hid
Vasco Vaso
Kesa- TD Nadi RR Suhu rok
Tangal Jam SpO2 n press
daran (mmHg) (x/i) (x/i) (0C) orti
(mcg) in
son
28/5 22.00 Sopor 80/60 120 30 39,7 96 0,01 - -
28/5 22.15 Sopor 80/50 124 30 96 0,02 - -

28/5 22.30 Sopor 80/50 120 27 97 0,03 - -

28/5 22.45 Sopor 90/60 128 30 97 0,04 - -


28/5 23.00 Sopor 90/50 124 28 39 96 0,05 - -
28/5 23.15 Sopor 100/60 120 28 96 0,06 - -

28/5 22.30 Sopor 110/60 128 28 96 0,06 - -

29/5 00.00 Sopor 100/60 120 28 98 0,06 - -


29/5 01.00 Sopor 110/70 118 28 38,6 96 0,06 - -
29/5 02.00 Sopor 110/60 120 28 38,4 96 0,06 - -

29/5 03.00 Sopor 100/70 116 28 38,5 96 0,06 - -

29/5 04.00 Sopor 100/70 114 28 38,2 96 0,06 - -

29/5 05.00 Sopor 100/70 116 26 38 98 0,06 - -

29/5 06.00 Sopor 100/70 114 26 37,8 98 0,06 - -

29/5 07.00 Sopor 100/70 116 26 37,8 98 0,06 - -

29/5 08.00 Sopor 110/80 114 26 37,8 98 0,06 - -

29/5 09.00 Sopor 100/80 112 26 37.5 98 0,06 - -

29/5 10.00 Sopor 110/70 110 26 37,5 98 0,06 - -

29/5 11.00 Sopor 100/70 112 26 37,7 98 0,06 - -

29/5 12.00 Sopor 100/70 110 26 38 98 0,06 - -

29/5 13.00 Sopor 100/70 108 26 37.6 98 0,06 - -

29/5 16.00 Sopor 110/80 106 26 37 98 0,06 - -

29/5 17.00 Sopor 100/80 106 26 36.9 98 0,06 - -

29/5 18.00 Sopor 100/70 106 26 36.9 98 0,06 - -

29/5 19.00 Sopor 100/70 104 26 36,7 98 0,06 - -

29/5 20.00 Sopor 100/70 102 26 36.7 98 0,06 - -

38
29/5 21.00 Sopor 110/80 100 26 36,7 98 0,06 - -

29/5 22.00 Sopor 100/80 102 26 36.9 98 0,06 - -

29/5 23.00 Sopor 110/70 100 26 36,7 98 0,06 - -

30/5 00.00 Sopor 110/70 96 26 39,0 98 0,06 - -

30/5 01.00 Sopor 120/80 96 26 38,0 98 0,06 - -

30/5 02.00 Sopor 70/40 98 32 37,3 98 0,07 - -

30/5 02.15 sopor 70/50 98 32 36,8 98 0,08 - -

30/5 02.30 sopor 96 32 36,8 98 0,09 - -


70/40
30/5 02.45 sopor 98 32 36.9 98 0,1 - -
60/40
30/5 03.00 sopor 96 32 36,7 98 0,15 0,01 -
60/40
30/5 03.15 sopor 96 32 36,9 98 0,2 0,02 -
60/p
30/5 03.30 sopor 96 32 37,0 98 0,25 0,03 -
60/p
30/5 03.45 sopor 96 32 36,8 98 0,3 0,04 -
60/p
30/5 04.00 koma 98 32 38,8 98 0,35 0,05 -
50/p
30/5 04.15 koma 96 32 38,4 98 0,4 0,06 -
50/p
30/5 04.30 koma 96 32 36,9 98 0,45 0,07 -
50/p
30/5 04.45 koma 96 32 36,9 98 0,5 0,08 -
50/p

39
Tabel 1. balans cairan

Tanggal Input (cc) Output (cc) Balance


Infus Oral Urine feses muntah iwl
e
28 Mei 2020 1500 400 1000 200 - 980 - 280
- 29 Mei 2020
(22.00-08.00)
29 Mei 2020 1800 800 1500 100 - 900 + 100

(08.00-05.00)

40
DISKUSI

Telah dirawat seorang laki-laki usia 54 tahun di bagian Penyakit


Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang sejak tanggal 28 Mei 2020 pukul
22.00 WIB dengan :
 Penurunan kesadaran ec Ensephalopati hepatikum grade III
 Syok sepsis ec Kolangitis
 Kolestasis ekstrahepatal ec koledokolitiasis
 Melena ec variceal bleeding ec pecah varices esofagus ec sirosis bilier
 Anemia sedang normositik normokrom ec perdarahan akut
 Disseminated Intravascular Coagulation overt
 Hospital acquired pneumonia
 Hiponatremia ec GI loss
Kolangitis akut pada pasien ini ditegakkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan
keluhan demam, nyeri perut kanan atas, kuning seluruh tubuh. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan, ikterik yang kehijauan, pada pemeriksaan
penunjang didapatkan leukositosis, hiperbilirubinemia, peningkatan
SGOT dan SGPT, peningkatan kadar Alkali Fosfatase dan Gamma GT,
pada pemeriksaan urinalisa didapatkan hiperbilirubinuria.
Diagnosis defenitif kolangitis akut memerlukan konfirmasi
infeksi bilier sebagai sumber gejala sakit sistemik, misalnya dengan
aspirasi cairan bilier purulen pada ERCP. Namun demikian, kolangitis
akut biasanya didiagnosis secara klinis dengan adanya trias Charcod :
( 1 ) demam dan / atau bukti inflamasi seperti peradangan , ( 2 ) ikterik
dan hasil tes fungsi hati yang abnormal seperti kolestasis , dan ( 3 )
riwayat penyakit empedu , nyeri abdomen kanan atas dan dilatasi
kandung empedu 5,6.
Jika memenuhi 3 kategori dapat didiagnosis sebagai cholangitis
akut, karena tidak adanya metode yang mudah untuk mendapatkan cairan

41
empedu untuk pemeriksaan dan kultur selain dengan aspirasi pada ERCP,
pungsi perkutan dan pembedahan 7.
Suatu studi prospektif melaporkan hanya 22% pasien dengan
cairan empedu purulen pada operasi koledoktomi memenuhi criteria trias
Charcot. Adanya tambahan syok sepsis dan delirium (confusion) pada
triad Charcot dikenal sebagai pentad Reynold.
Kriteria diagnostik Tokyo Guidelines 13 (TG13) untuk Akut
Kolangitis adalah kriteria untuk menegakkan diagnosis berdasarkan
tanda-tanda klinis atau tes darah di samping manifestasi empedu
berdasarkan hasil pencitraan yang didapat.
Tabel . Kriteria diagnosis kolangitis akut

A. Inflamasi sistemik
A-1. Demam
A-2. Hasil pemeriksaan laboratorium, menunjukan
adanya respnon inflamasi A-2. Hasil pemeriksaan
laboratorium, menunjukan adanya respnon inflamasi
A. Kolestasis
B-1. Ikterus
B-2. Hasil laboratorium menunjukan tes fungsi hati yang
abnormal
C. Pencitraan
C-1. Dilatasi Bilier
C-2. Bukti dari etiologi dilakukan pencitraan (penyepitan, batu,
sumbatan dan lainnya)

Diagnosis suspek : satu dari item di A + satu dari item B maupun C


Diagnosis definitif : satu dari item A, satu dari B and satu dari C

Catatan :
A-2: nilai hitung abnormal sel darah putih, peningkatan serum level
C-reaktif protein, dan perubahan lain dari indikator inflamasi.

42
B-2: peningkatan serum ALP, Gamma GT, AST dan ALT.
Faktor lain yang dapat membantu diagnosis kolangitis akut
termasuk nyeri abdomen kanan atas dan adanya riwayat dari
penyakit bilier sebelumnya seperti gallstones, proses bilier
sebelumnya, dan pemasangan sten bilier. Dalam hepatitis akut
penanda respon sistemik inflamasi juga dipantau

43
Batasan :
0
A-1 Demam Suhu tubuh >38 C

A-2 Adanya bukti respon inflamasi WBC (x1000/µ ) <4.or>10


CRP (mg/dl) ≥1

B-1 Ikterus T-bil≥2mg/dL


B-2 Fungsi liver abnormal ALP (IU) >1.5xSTD
GGT (IU) >1.5xSTD
AST (IU) >1.5xSTD

Ket: White Blood Cell (WBC), C-reaktif protein (CRP), Alkaline Phosphatase
(ALP), Gamma Glutamil Transpeptidase (GGT), Aspartate
Transaminase (AST/SGOT) dan Alanine Transaminase (ALT/SGPT)

Tingkat keparahan kolangitis akut dibagi kedalam tiga kelompok :1,9


1. Derajat ringan, yaitu kolangitis fase awal yang tidak memenuhi kriteria
derajat sedang maupun berat.
2. Derajat sedang, yaitu kolangitis yang diikuti dua dari empat gejala yaitu:
3
a. Jumlah leukosit yang abnormal (>18.000/mm )
b. Teraba masa pada kuadran kanan atas.
c. Durasi keluhan >72 jam
d. Terdapat tanda inflamasi lokal (abses hepar, peritonitis bilier,
empisematus kolesisitis)
3. Derajat berat, yaitu kolangitis akut yang diikuti minimal satu disfungsi
organ lainya yaitu
a. Disfungsi kardiovaskular
b. Disfungsi neurologi
c. Disfungsi respiratori
d. Disfungsi renal
e. Disfungsi hepatik
f. Disfungsi hematologi

44
Pada pasien ini menurut kriteria diagnosis TG 13 termasuk kolangitis akut
(definit diagnosis) karena memenuhi kriteria satu item A yaitu adanya demam dan
bukti laboratorium berupa leukositosis, satu kriteria B yaitu ikterik dan bukti
laboratorium berupa peningkatan alkali fosfatase, Gamma GT dan SGOT/SGPT, dan
untuk item C Tidak bisa dinilai dikarenakan pada pasien ini keadaan umum tidak
stabil untuk dilakukan pencitraan.
Pada pasien ini digolongkan kepada kolangitis akut derajat berat karena
didapatkannya suatu tanda disfungsi organ, yaitu hipotensi, kreatinin serum >1,5
mg/dl, dan juga dijumpai keadaan Disseminated Intravascular Coagulation overt
Kolangitis akut terutama disebabkan oleh infeksi bakteri pada pasien dengan
obstruksi bilier. Organisme biasanya naik dari duodenum. Faktor predisposisi yang
paling penting pada kolangitis akut adalah obstruksi bilier dan stasis. Penyebab
paling umum dari obstruksi bilier pada pasien dengan kolangitis akut tanpa stent
saluran empedu adalah batu empedu (28-70 persen), stenosis jinak (5-28 persen),
dan keganasan (10-57 persen).
Diagnosis sepsis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan kriteria sepsis
menurut qSOFA (quick Sequential Organ Failure Assessment) dimana didapatkan
skor 2. Kriteria qSOFA pasien ini adalah hipotensi (tekanan darah sistolik < 100
mmhHg), Perubahan status mentalPerubahan status mental ( Soporous ) dan frekensi
nafas yang meningkat (> 22 x / menit).
Nilai skor 3 ini menyatakan perlu adanya suatu pemeriksaan lanjutan untuk
menentukan adanya disfungsi organ. Skor SOFA pasien ini didapatkan PaO2/FiO2 >
400, trombosit ≥ 150.000, Bilirubin > 12,0, hipotensi dengan penggunaan
norepinefrin > 0,1, Glasgow Coma Scale (6-9), kreatinin 3,3 mg/dL sehingga
didapatkan hasil SOFA skor 13. Peningkatan nilai skor SOFA ≥ 2 menggambarkan
risiko mortalitas sekitar 10 % pada populasi umum dengan kecurigaan infeksi, pada
pasien ini didapatkan skor SOFA 13 dengan risiko mortalitas sekitar 95,2 %. Skor
SOFA tidak digunakan sebagai alat untuk penatalaksanaan pasien, namun untuk
menilai sepsis secara klinis dan laboratorium.
Sepsis yang berat disertai dengan satu atau lebih tanda disfungsi organ,
hipotensi, atau hipoperfusi seperti menurunnya fungsi ginjal, hipoksemia, dan
perubahan status mental. Syok septik merupakan sepsis dengan tekanan darah arteri
<90 mmHg atau 40 mmHg di bawah tekanan darah normal pasien tersebut selama
sekurang-kurangnya 1 jam meskipun telah dilakukan resusitasi cairan atau

45
dibutuhkan vasopressor untuk mempertahankan agar tekanan darah sistolik tetap ≥90
mmHg atau tekanan arterial rata-rata ≥70 mmHg.
Perjalanan sepsis akibat bakteri diawali oleh proses infeksi yang ditandai
dengan bakteremia selanjutnya berkembang menjadi systemic inflammatory
response syndrome (SIRS) dilanjutkan sepsis, sepsis berat, syok sepsis dan berakhir
pada multiple organ dysfunction syndrome (MODS). Komplikasi bervariasi
berdasarkan etiologi yang mendasari. Potensi komplikasi yang mungkin terjadi
meliputi:13,14
 Cedera paru akut (acute lung injury)

 Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)

 Gagal jantung

 Gangguan fungsi hati

 Gagal ginjal

 Sindroma disfungsi multiorgan

Diagnosis koagulasi intravaskular menyeluruh pada pasien ini ditegakkan


berdasar hasil pemeriksaan laboratorium yang menunjukan adanya trombositopenia,
pemanjangan protrombin time dan ada peningkatan D-dimer. Berdasarkan sistem
skoring DIC menurut ISTH (International Society on Thrombosis and Haemostasis)
didapatkan skor DIC ≥ 5 sehingga pasien ini tergolong pada Disseminated
Intravascular Coagulation ( DIC) 15.
DIC yang nyata dapat terjadi pada 30-50% pasien yang mengalami sepsis.
Mekanisme yang terjadi pada proses terjadinya DIC pada pasien sepsis berbeda dari
proses yang terlibat pada leukemia maupun tumor solid. Sepsis merupakan sindroma
klinis yang sudah dikenal secara luas dan merupakan respon sistemik host terhadap
infeksi. Gangguan hematologi yang terlihat pada DIC karena sepsis terdiri dari 4
mekanisme yang terjadi secara bersama-sama yakni : (1) Kerusakan endotel dan
pembentukan trombin yang diperantarai oleh faktor jaringan (tissue factor) ; (2)
Gangguan mekanisme fisiologis antikoagulasi (misal, penekanan sistem anti-trombin
dan protein C sehingga tidak dapat mengimbangi pembentukan trombin) ; (3)
gangguan degradasi fibrin akibat penekanan sistem fibrinolisis. Hal ini terutama
disebabkan oleh tingginya kadar plasminogen activator inhibitor tipe 1 (PAI-1) yang
beredar di sirkulasi, namun pada beberapa bentuk khusus DIC, fungsi fibrinolisis
dapat meningkat sehingga menyebabkan perdarahan ;(4) aktivasi inflamasi 13,14.

46
Gambaran klinis umum meliputi : demam, hipotensi, asidosis, hipoksia dan
proteinuria. Pada sebuah studi yang melibatkan 118 pasien didapatkan gambaran
utama yang terjadi pada pasien-pasien DIC antara lain: (1) perdarahan (64%), dapat
berasal dari gusi, saluran cerna, luka bekas operasi maupun rongga serosa paska
operasi, petechiae, ekimosis, epistaksis, hematoma, purpura, perdarahan dari kateter
intra vena maupun kateter urin (hematuri); (2) gangguan fungsi ginjal (25%) ; (3)
gangguan fungsi hati (19%) ; (4) gangguan pernafasan (16%) ; (5) Syok (14%) ; (6)
gangguan susunan saraf pusat (2%) 13.
Diagnosis AKI stage III pada pasien di tegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan kreatinin dan urine output. Pada pemeriksaan kreatinin awal cukup
tinggi 3,3 mg/dL. Pada urine ouput awal < 0.5 / kg BB/ jam dan berlangsung > 12
jam 14.
AKI pada pasien sepsis yang dirawat biasanya berada dalam kondisi klinis
yang lebih kritis. Mereka mempunyai risiko kematian yang lebih tinggi, hari
perawatan yang lebih lama dan biaya yang jauh lebih besar, terutama bila disertai
dengan kegagalan organ multipel. Menurut Schrier dan Wang, kematian pasien AKI
dengan sepsis jauh lebih tinggi (70%) jika dibandingkan dengan pasien AKI tanpa
sepsis (45 %)14,15.
Terapi antibiotik intravena harus diberikan sesegera mungkin. Pedoman
pemberian antibiotic sebaiknya berdasarkan pola infeksi spesifik dan resistensi lokal
rumah sakit. Beberapa panduan (guidelines) menyarankan pada kolangitis akut
ringan sebaiknya pemberian jangka pendek 2-3 hari dengan sefalosporin generasi
pertama atau kedua, penisilin dan inhibitor β laktamase.
Sedangkan kolangitis sedang sampai berat sebaiknya pemberian antibiotic
minimal 5-7 hari dengan sefalosporin generasi ketiga atau keempat, nonbaktam
dengan atau tanpa metronidazol untuk kuman anaerob, atau karbapenem. Mortalitas
dari cholangitis tinggi karena predisposisinya pada penderita dengan penyakit
penyerta yang lain.Pada zaman dahulu, tingkat mortalitasnya mencapai 100%.
Dengan ditemukannya Endoscopic Retrograde Cholangiography,
sphincterotomy terapeutik secara endoskopik, ekstraksi batu dan stenting bilier,
tingkat mortalitas telah menurun sampai kira-kira 5-10%.10,11,12.

47
DAFTAR PUSTAKA

1. Kimura Y, Takada T, Karawada Y,Nimura Y, Hirata K, Sekiomto M,et al.


Defenitions, Pathophysiology,and epidemiology of acute cholangitis and
cholecystitis: Tokyo Guidelines. J Hepatobiliary Pancreat Surg. 2007;14:15-26
2. Fauzi A. Kolangitis Akut.Dalam:Rani A,Simadibrata M,Syam AF,Editor. Buku ajar
Gastroenterohepatologi.Edisi-1.InternaPublishing;2011:579-90
3. Kimura Y, Takada T, Strasberg SM, Pitt HA, Dirk J. Gouma,et al. TG13 current
terminology, etiology, and epidemiology of acute cholangitis and cholecystitis. J
Hepatobiliary Pancreat Sci (2013) 20:8–23
4. Satapathy SK, Shifteh A, Kadam J, Friedman B,Cerulli M A, Yang SS. Acute
cholangitis secondary to biliary ascariasis, a case report. practical gastroenterology
march 2011:44-46
5. Attasaranya S,Fogel EL,Lehman GA, Choledocholithiasis, ascending cholangitis,
and gallstone pancreatitis. Med Clin N Am 92 (2008) 925–960
6. Takada T, Strasberg SM, Solomkin JS, Pitt HA, Gomi H, Yoshida M, Mayumi T. TG13:
Updated Tokyo Guidelines for the management of acute cholangitis and cholecystitis. J
Hepatobiliary Pancreat Sci (2013) 20:1–7
7. Miura F,Takada T, Strasberg MS, Solomkin JS, Pitt HA, Gouma DJ, TG13
flowchart for the management of acute cholangitis and cholecystitis. J Hepatobiliary
Pancreat Sci (2013) 20:47–54
8. Gomi H, Solomkin JS, Takada T, Strasberg SM, Pitt HA, Yoshida M,. TG13
antimicrobial therapy for acute cholangitis and cholecystitis. J Hepatobiliary
Pancreat Sci (2013) 20:60–70
9. Okamoto K, Takada T, Strasberg SM, Solomkin JS, Pitt HA, Garden OJ. TG13
management bundles for acute cholangitis and cholecystitis. J Hepatobiliary
Pancreat Sci. 2013;20:55–59
10. Takada T, Strasberg SM, Solomkin JS, Pitt HA, Gomi H, Yoshida M, Mayumi T.
TG13: Updated Tokyo Guidelines for the management of acute cholangitis and
cholecystitis. J Hepatobiliary Pancreat Sci. 2013;20:1–7.
11. Kiriyama S, Takada T, Strasberg SM, Solomkin JS, Mayumi T, Pitt HA,et al. TG13
Diagnostic criteria and severity grading of acute cholangitis. Tokyo Guidline. J
Hepatobiliary Pancreat Sci. 2013;20:24-34.

48
12. Brunicardi F, Andersen D, Billiar T, dkk. Cholangitis in Schwartz Principles of
Surgery, Eight edition, New York ; McGraw-Hill, 2012, p : 1203-1213.
13. Wada H, Thachil J, Di Nisio, M, Mathew P, Kurosawa S, Gando S, Kim HK,
Nielsen JD, Dempfle C-E, Levi M, Toh CH. Guidance for diagnosis and treatment
of disseminated intravascular coagulation from harmonization of the
recommendations from three guidelines. J Thromb Haemost 2013; 11: 761–7.
14. Munford RS. Severe sepsis and septic shock. Dalam: Longo DL, Kasper DL,
Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, ed. Harrison’s Principle edition.
McGraw-Hill Companies, Inc. Vol 1, Chapter 271. p2223-31
15. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM, et al.
Surviving sepsis campaign: international guidelines for management of severe sepsis
and septic shock: 2013. Critical Care Medicine. Volume 41. p580-637
16. American College of Chest Physicians/Society of Critical Care Medicine Consensus
Conference: definitions for sepsis and organ failure and guidelines for the use of
innovative therapies in sepsis. Crit Care Med 1992;20:864-74.
17. Suwondo, Aryanto. Kegagalan Multi Organ. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B,
Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi Jakarta. Pusat
Penerbitan Fakultas Kedokteran: 4099 – 106
18. Herwanto V amin Z sindroma disfungsi organ multiple : patofisiologis dan diagnosa
majalah kedokteran Indonesia, volume 59 : 11 november 2009: P 547-54
19. Levy MM, Fink MP, Marshall JC, et al: 2001 SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS
International Sepsis Definitions Conference. Crit Care Med 2003; 31:1250–1256.
20. Marshall J C, Cook D J, Christou N V, Bernard G R, Sprung C L, Sibbald W J.
Multiple organ dysfunction score: A reliable descriptor of a complex clinical
outcome. Crit Care Med. (1995);23:1638–1652.

49
50

Anda mungkin juga menyukai