Anda di halaman 1dari 16

ABSES HEPAR

Written by Putri Maharani


Wednesday, 14 September 2011 06:55
I. Pendahuluan
Insiden dan jenis penyakit infeksi pada hati yang bersumber dari sistim gastrointestinal sangat
bervariasi dari satu negara ke negara lainnya. Infeksi ini dapat disebabkan oleh bakteri,
parasit atau jamur. Selama kurun waktu satu abad terakhir ini, telah banyak perubahan dalam
hal epidemiologi, etiologi, bakteriologi, cara diagnostik, pengelolaan maupun prognosis abses
hati.1
Hati adalah organ yang paling sering untuk terjadinya abses. Dari suatu studi di Amerika,
didapatkan 13% abses hati dari 48% abses viseral. Abses hati dapat berbentuk soliter ataupun
multipel. Sekitar 90% dari abses lobus kanan hepar merupakan abses soliter, sedangkan abses
lobus kiri hanya 10% yang merupakan abses soliter. Hal ini dapat terjadi dari penyebaran
hematogen maupun secara langsung dari tempat terjadinya infeksi di dalam rongga
peritoneum.1,2
Abses hati terbagi 2 secara umum, yaitu abses hati amuba dan abses hati piogenik. Angka
kejadian abses hati piogenik lebih tinggi dibandingkan abses hati amuba. Angka kejadian
abses hati amuba hanya sekitar 20% dari semua abses hati.1,2
Pada banyak kasus, perkembangan abses hati mengikuti proses supuratif pada daerah lain di
tubuh. Kebanyakan merupakan penyebaran langsung dari infeksi kandung empedu, misalnya
empiema kandung empedu atau kolangitis. Infeksi abdomen misalnya apendisitis atau
divertikulitis dapat menyebar melalui vena porta ke hati untuk membentuk abses. Beberapa
kasus lain berkembang setelah adanya sepsis dari endokarditis bakterial, infeksi ginjal, atau
pneumonitis. Pada 25% kasus tidak diketahui penyebab yang jelas (kriptogenik). Penyebab
lainnya adalah infeksi sekunder bakteri pada abses hati amuba dan kista hidatidosa.
Sedangkan abses hati amuba muncul sebagai salah satu komplikasi amebiasis ekstraintestinal
yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk Indonesia.2

II. Definisi
Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena infeksi bakteri,
parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistim gastrointestinal yang
ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus yang terdiri dari jaringan
hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel darah di dalam parenkim hati.1

III. Anatomi
Sumber : http://www.netterimages.com/image/4483.htm

Hati adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2-1,8 kg atau kurang lebih 25%
berat badan orang dewasa dan merupakan pusat metabolisme tubuh dengan fungsi sangat
kompleks yang menempati sebagian besar kuadran kanan atas abdomen. Batas atas hati
berada sejajar dengan ruang interkostal V kanan dan batas bawah menyerong ke atas dari iga
IX kanan ke iga VIII kiri. Permukaan posterior hati berbentuk cekung dan terdapat celah
transversal sepanjang 5 cm dari porta hepatis. Omentum minor terdapat mulai dari sistim
porta yang mengandung arteri hepatika, vena porta dan duktus koledokus. Sistim porta
terletak di depan vena kava dan di balik kandung empedu.1
Permukaan anterior yang cembung dibagi menjadi 2 lobus oleh adanya perlekatan
ligamentum falsiform yaitu lobus kiri dan kanan yang berukuran kira-kira 2 kali lobus kiri.
Pada daerah antara ligamentum falsiform dengan kandung empedu di lobus kanan kadang-
kadang dapat ditemukan lobus kuadratus dan sebuah daerah yang disebut sebagai lobus
kaudatus yang biasanya tertutup oleh vena kava inferior dan ligamentum venosum pada
permukaan posterior. 1

Vaskularisasi
Sekitar 25% dari 1500 mL darah yang memasuki hepar setiap menitnya berasal dari arteri
hepatika propria, sedangkan 75% berasal dari vena porta hepatis. Arteri hepatika propria
membawa darah yang kaya akan oksigen dari aorta, dan vena porta hepatis mengantar darah
yang miskin oksigen dari saluran cerna. Di porta hepatis (hilus) arteri hepatika propria dan
vena porta hepatis berakhir dengan membentuk ramus dekstra dan ramus sinistra, masing-
masing untuk lobus hepatika dekstra dan lobus hepatika sinistra. Lobus-lobus ini berfungsi
secara terpisah. Dalam masing-masing lobus cabang primer vena porta hepatis dan arteri
hepatika propria teratur secara konsisten untuk membatasi segmen vaskular. Bidang
horisontal melalui masing-masing lobus membagi hepar menjadi delapan segmen vaskular.
Antara segmen-segmen terdapat vena hepatika untuk menyalurkan darah dari segmen-
segmen yang bertetangga. 2,6
Sumber : http://www.netterimages.com/image/4816.htm

Arteri hepatika komunis berasal dari truncus coeliacus, naik mengikuti ligamentum
hepatoduodenal dan bercabang menjadi arteri gastrika kanan dan arteri gastroduodenal
sebelum bercabang ke kiri dan ke kanan di hilus. Pada 10% individu sumber arteri hepatika
komunis berbeda. Arteri hepatika komunis atau arteri hepatika dekstra bisa berasal dari arteri
mesenterika superior. Arteri hepatika sinistra pada 15% individu berasal dari arteri gastrika
sinistra.2
Sumber : http://www.netterimages.com/image/4506.htm

Vena porta hepatis merupakan pertemuan antara vena splenika dan vena mesenterika superior
setinggi vertebrae lumbal dua, di belakang kaput pankreas. Vena ini berjalan sepanjang 8-9
cm menuju ke hilus dari hepar dan selanjutnya akan mengalami percabangan. Vena gastrika
dekstra memasuki vena porta hepatis pada bagian anteromedial dan kranial dari tepi
pankreas. Pada 25% individu vena gasrika sinistra bermuara pada vena splenika. Vena
mesenterika inferior mengalir ke vena splenika, beberapa sentimeter dari pertemuan antara
vena splenika dan vena mesenterika superior. Tidak jarang vena ini bermuara pada vena
mesenterika superior.2
Vena hepatika merupakan muara terakhir dari vena sentralis lobulus hepar. Ada 3 vena
hepatika utama, yaitu: kiri, kanan dan tengah. Vena hepatika bagian tengah berjalan pada
fisura lobus mayor dan mendapat darah dari segmen medial lobus sinistra dan bagian inferior
dari segmen anterior lobus dekstra. Vena hepatis sinistra mengalirkan darah dari segmen
lateral lobus sinistra dan vena hepatis dekstra mendapat darah dari segmen posterior dan
segmen anterior lobus dekstra.2
Sumber : http://www.netterimages.com/image/47402.htm

Secara mikroskopis di dalam hati manusia terdapat 50.000-100.000 lobuli, setiap lobulus
berbentuk heksagonal yang terdiri atas sel hati berbentuk kubus yang tersusun radial
mengelilingi vena sentralis. Di antara lembaran sel hati terdapat kapiler yang disebut sinusoid
yang merupakan cabang vena porta dan arteri hepatika. Sinusoid dibatasi oleh sel fagositik
(sel kupffer) yang merupakan sistim retikuloendotelial dan berfungsi menghancurkan bakteri
dan benda asing lain di dalam tubuh, jadi hati merupakan salah satu organ utama pertahanan
tubuh terhadap serangan bakteri dan organ toksik. Selain cabang-cabang vena porta dan arteri
hepatika yang mengelilingi bagian perifer lobulus hati, juga terdapat saluran empedu yang
membentuk kapiler empedu yang dinamakan kanalikuli empedu yang berjalan diantara
lembaran sel hati.2

IV. Klasifikasi
Abses hati terbagi 2 secara umum, yaitu abses hati amuba dan abses hati piogenik. Abses hati
amuba merupakan salah satu komplikasi amebiasis ekstraintestinal yang paling sering
dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk Indonesia. Abses hati piogenik dikenal juga
sebagai hepatic abscess, bacterial liver abscess, bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic
abscess.1

1. Abses Hati Amuba


a. Epidemiologi
Amebiasis merupakan penyakit endemik yang berhubungan dengan aspek sosial
kemasyarakatan yang luas, terutama di daerah dengan sanitasi, status hygiene yang
kurang baik dan status ekonomi yang rendah. Indonesia memiliki banyak daerah
endemik untuk strain virulen E. histolytica. E. histolytica hidup komensal di usus manusia,
namun dengan keadaan gizi yang buruk dapat menjadi patogen dan menyebabkan angka
morbiditas yang tinggi. Penelitian di Indonesia menunjukan perbandingan pria : wanita
berkisar 3:1. Usia penderita berkisar antara 20-50 tahun, terutama pada dewasa muda, jarang
pada anak-anak.4
Abses hati amuba lebih jarang ditemukan dibandingkan abses hati piogenik, angka
kejadiannya hanya sekitar 20% dari semua abses hati. Infeksi ini sering terjadi di daerah
tropis, dimana sekitar 10-20% populasi mengandung organ ini. Pusat pengendalian penyakit
melaporkan 1,3 kasus amubiasis per 100.000 populasi.3
b. Etiologi
Abses hati amuba terjadi karena Entameba histolytica terbawa aliran vena porta ke hepar,
tetapi tidak semua amuba yang masuk ke hepar dapat menimbulkan abses. Untuk terjadinya
abses, diperlukan faktor pendukung atau penghalang berkembang biaknya amuba tersebut.
Faktor tersebut antara lain adalah pernah terkena infeksi amuba, kadar kolesterol meninggi,
pascatrauma hepar, dan ketagihan alkohol. Akibat infeksi amuba tersebut, terjadi reaksi
radang dan akhirnya nekrosis jaringan hepar. Sel hepar yang jauh dari fokus infeksi juga
mengalami sedikit perubahan meskipun tidak ditemukan amuba. Perubahan ini diduga akibat
toksin yang dikeluarkan oleh amuba.5
c. Patogenesis
E. Hystolitica memiliki dua bentuk yaitu tropozoit dan kista. Bentuk kista ini dapat bertahan
di luar tubuh manusia. Kista dipindahkan melalui kontaminasi makanan dan air minum atau
secara langsung. Tropozoid akan berubah dari bentuk kista dalam usus kecil dan akan terus
ke kolon dan dari sini akan memperbanyak diri. Baik bentuk trophozoit maupun kista
dapat ditemukan pada lumen usus. Namun hanya bentuk trophozoit yang dapat
menginvasi jaringan. Amuba ini dapat menjadi patogen dengan mensekresi enzim cys-teine
protease, sehingga melisiskan jaringan maupun eritrosit dan menyebar keseluruh organ
secara hematogen dan perkontinuinatum. Amuba yang masuk ke submukosa memasuki
kapiler darah, ikut dalam aliran darah melalui vena porta ke hati. Di hati E. hystolitica
mensekresi enzim proteolitik yang melisis jaringan hati, dan membentuk abses. Lokasi
yang sering adalah di lobus kanan (70% - 90%), superfisial serta tunggal. Kecenderungan
ini diperkirakan akibat penggabungan dari beberapa tempat infeksi mikroskopik, serta
disebabkan karena cabang vena porta kanan lebih lebar dan lurus dari pada cabang vena porta
kiri. Ukuran abses bervariasi dari diameter 1-25 cm. Dinding abses bervariasi tebalnya,
bergantung pada lamanya penyakit.4,7
Sumber : http://www.netterimages.com/image/47480.htm

Abses ini sebetulnya bukan abses yang sebenarnya, tetapi lebih menyerupai proses pencairan
jaringan nekrosis multipel yang makin lama makin besar dan bergabung membentuk apa
yang disebut abses. Cairan abses terdiri atas jaringan hati yang nekrosis dan eritrosit yang
berwarna tengguli. Cairan ini terbungkus oleh hiperplasia jaringan ikat yang disebut simpai
walaupun bukan berupa simpai sejati. Jaringan ikat ini membatasi perusakan lebih jauh,
kecuali bila ada infeksi tambahan. Kebanyakan abses hati bersifat soliter, steril dan terletak di
lobus kanan dekat kubah diafragma. Jarang ditemukan amuba pada cairan tersebut; bila ada
amuba biasanya terdapat di daerah dekat dengan simpainya. Secara klasik, cairan abses
menyerupai ”achovy paste” dan berwarna coklat kemerahan, sebagai akibat jaringan hepar
serta sel darah merah yang dicerna. Evaluasi cairan abses untuk penghitungan sel dan
enzimatik secara umum tidak membantu dalam mendiagnosis abses amuba. Amuba bisa
didapatkan ataupun tidak di
dalam cairan pus.4,5
Sumber : http://www.netterimages.com/image/6872.htm

d. Gejala klinis
Pada penderita abses hepar amuba tidak selalu ditemukan riwayat diare sebelumnya. Diare
hanya dialami oleh 20-50% penderita. Penyakit ini timbul secara perlahan, disertai demam,
berkeringat, dan berat badan menurun. Tanda lokal yang paling sering adalah nyeri spontan
dan nyeri tekan perut kanan atas, di daerah lengkung iga dengan hepar yang membesar.
Kadang nyeri ditemukan di daerah bahu kanan akibat iritasi diafragma. Hepatomegali dan
nyeri biasanya ditemukan, tetapi jarang sekali disertai ikterus, prekoma atau koma. Bila
lobus kiri yang terkena, akan ditemukan massa di daerah epigastrium. Gejala khas adalah
suhu tubuh yang tidak lebih dari 38,5°C. Penderita tak kelihatan sakit berat seperti pada abses
karena bakteria. Kadang gejalanya tidak khas, timbul pelan-pelan atau asimptomatis.4,5
e. Pemeriksaan penunjang
• Laboratorium
Jumlah leukosit berkisar antara 5.000 dan 30.000, tetapi umumnya antara 10.000-12.000.
Kadar fosfatase alkali serum meningkat pada semua tingkat abses amuba. Tes serologi titer
amuba di atas atau sama dengan 1:128. Dapat ditemukan anemia ringan sampai sedang. Pada
pemeriksaan faal hati, tidak ditemukan kelainan yang spesifik. Kista dan tropozoit pada
kotoran hanya teridentifikasi pada 15-50% penderita abses amuba hepar, karena infeksi
usus besar seringkali telah mereda saat penderita mengalami abses hepar. Complement
fixation test lebih dapat dipercaya dibanding riwayat diare, pemeriksaan kotoran, dan
proktoskop.4,5
• Pencitraan
Tak ada perbedaan radiologi yang jelas antara abses hati piogenik dan amuba. Perbedaan
terlihat pada hasil tes serologi E. histolytica. Pada foto roentgen pasien dengan abses hati
amuba dapat terlihat kubah diafragma kanan meninggi, efusi pleura, abses paru dan
atelektasis. Pemeriksaan ultrasonografi merupakan pemeriksaan yang penting untuk
membantu diagnosis serta menentukan lokasi abses dan besarnya. Sensitivitasnya dalam
mendiagnosis amebiasis hati adalah 85%-95%. Gambaran ultrasonografi pada amebiasis
hati adalah:
1. Bentuk bulat atau oval
2. Tidak ada gema dinding yang berarti
3. Ekogenitas lebih rendah dari parenkim hati normal.
4. Bersentuhan dengan kapsul hati
5. Peninggian sonik distal (distal enhancement)
Pemeriksaan CT-scan hati sama dengan pemeriksaan ultrasonografi. Pada endoskopi,
sebagian penderita tidak menunjukkan tanda kolitis amuba. Kadang abses amuba baru timbul
bertahun-tahun setelah infeksi amuba kolon.3,4,5
f. Diagnosis
Untuk membuat diagnosis abses hati amuba yang penting adalah kesadaran akan
kemungkinan penyakit ini. Bila ada nyeri daerah epigastrium kanan dan hepatomegali serta
demam yang tidak begitu tinggi, dugaan abses hepar harus dipertimbangkan. Riwayat diare
dan ditemukannya amuba dalam feses membantu diagnosis meskipun tidak ditemukannya
kedua hal ini tidak berarti bukan abses hati amuba.5
Untuk selengkapnya dapat kita lihat berbagai kriteria yang ada pada tabel berikut ini:7

Kriteria Sherlock Kriteria Ramachandran Kriteria Lamont & Pooler


1. Hepatomegali yang nyeri 1. Hepatomegali yang 1. Hepatomegali yang nyeri
tekan nyeri
2. Kelainan hematologis
2. Respon yang baik 2. Riwayat disentri
terhadap obat amebisid 3. Kelainan radiologis

3. Leukositosis 3. Leukositosis
4. Pus amebik
4. Peninggian diafragma
4. Kelainan radiologis
kanan dan pergerakan
5. Tes serologis (+)
yang kurang
5. Respon terhadap
5. Aspirasi pus 6. Kalainan sidikan hati
amebisid
6. Pada USG didapatkan
rongga di dalam hati Ket : 7. Respon yang baik
terhadap amebisid
7. Tes haemaglutinasi (+) Bila terdapat 3 atau lebih
dari gejala diatas Ket :
Bila didapatkan 3 atau lebih
Kriteria Sherlock Kriteria Ramachandran Kriteria Lamont & Pooler
1. Hepatomegali yang nyeri 1. Hepatomegali yang 1. Hepatomegali yang nyeri
tekan nyeri
2. Kelainan hematologis
2. Respon yang baik 2. Riwayat disentri
terhadap obat amebisid 3. Kelainan radiologis

3. Leukositosis 3. Leukositosis
4. Pus amebik
4. Peninggian diafragma
4. Kelainan radiologis
kanan dan pergerakan
5. Tes serologis (+)
yang kurang
5. Respon terhadap
5. Aspirasi pus 6. Kalainan sidikan hati
6. Pada USG didapatkan
rongga di dalam hati amebisid 7. Respon yang baik
terhadap amebisid
7. Tes haemaglutinasi (+) Ket :
Ket :
Bila terdapat 3 atau lebih Bila didapatkan 3 atau lebih
dari gejala diatas

g. Diagnosis banding
Penyakit lain yang gejala klinisnya mirip dengan abses hati amuba antara lain:
• Abses hati piogenik
1) Disebabkan paling banyak oleh bakteri gram negatif yang terbanyak yaitu E. coli serta
kuman yang lainnya yaitu S. faecalis, P. vulgaris dan S. typhi. Dapat juga disebabkan oleh
bakteri anaerob yang berasal dari v. porta, saluran empedu (yang paling sering), infeksi
langsung (seperti luka pada penetrasi, fokus septik berdekatan), septisemia atau bakterimia
pada infeksi tempat lain, kriptogenik terutama pada usia lanjut.
2) Pus yang diaspirasi kuning kehijauan dan berbau sedangkan pada abses amuba coklat
kemerahan (anchovy sauce) dan tidak berbau.
3) Manifestasi sistemik yang lebih berat, terutama demam yang dapat bersifat remiten,
intermitten dan kontinu yang disertai menggigil.
4) Ikterus yang lebih nyata karena adanya penyakit billier seperti kolangitis.
5) Abses biasanya didapatkan pada kedua lobus (53,2%) dan pada lobus kanan (41,8%)
sedangkan pada lobus kiri hanya 4,8%.
6) Pengobatan dilakukan dengan antibiotik.
7) Sering muncul pada pasien berusia diatas 50 tahun
8) Berhubungan dengan ikterus, pruritus, sepsis, dan peningkatan bilirubin dan alkali
fosfatase.
• Keganasan (Ca. Hepatik primer) tipe febril
• Kolesistisis akut
• Hepatitis kronis, hepatitis virus akut
• Kista hati
• Massa intra abdomen
• Kelainan intra torakal kanan bawah
• Abdomen akut oleh karena adanya apendisitis atau ulkus peptikum
Untuk memastikan diagnosis perlu dilihat hasil pemeriksaan ultrasonografi, pungsi dan
percobaan pengobatan dengan amubisid yang merupakan diagnosis per eksklusionem.2,5,7
h. Penatalaksanaan
• Pengobatan medis3,4,5
Obat amebisid digolongkan berdasarkan tempat kerjanya menjadi:
(1) amebisid jaringan atau sistemik, yaitu obat yang bekerja terutama di dinding usus, hati
dan jaringan ekstra intestinal lainnya; contohnya emetin, dehidroemetin, klorokuin,
(2) amebisid luminal, yaitu yang bekerja dalam usus dan disebut juga amebisid kontak
contohnya, diyodohidroksikuin, yodoklorhidroksikuin, kiniofon, glikobiarsol, karbason,
klifamid, diklosanid furoat, tetrasiklin dan paromomisin dan
(3) amebisid yang bekerja pada lumen maupun jaringan, contohnya obat-obat golongan
nitroimidazol
Abses hati ameba tanpa komplikasi lain dapat menunjukan penyembuhan yang besar
bila diterapi hanya dengan antiamuba. Pengobatan yang dianjurkan adalah:
a) Metronidazole. Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole. Dosis 50mg/kgBB/hari.
Dosis yang dianjurkan untuk kasus abses hati amuba adalah 3 x 750 mg/hari selama 7-10
hari. Derivat nitroimidazole lainnya yang dapat digunakan adalah tinidazole dengan dosis 3 x
800 mg perhari selama 5 hari. Metronidazol merupakan obat terpilih dan telah dilaporkan
menyembuhkan 80-100% abses hati amuba. Pasien yang berhasil diterapi dengan
metronidazol mempunyai respon klinis dramatis, biasanya menjadi tidak demam dan bebas
nyeri dalam 24 dan 48 jam.
b) Dehydroemetine (DHE). Merupakan derivat diloxanine furoate. Dosis yang
direkomendasikan untuk mengatasi abses liver sebesar 3 x 500 mg perhari selama 10 hari.
c) Chloroquin. Dosis yang dianjurkan adalah 1g/hari selama 2 hari dan diikuti 500mg/hari
selama 20 hari. Absorbsi klorokuin di usus halus sangat baik dan lengkap (kadar di hati 200-
700 kali di plasma), sehingga kadar dalam kolon sangat rendah. Oleh karena itu perlu
ditambah amebisid luminal untuk menghindari relaps. Pada penelitian ditemukan bahwa
kadar klorokuin setelah diabsorbsi tertinggi di dalam jaringan hati; maka sangat baik untuk
terapi abses hati amebiasis
• Terapi bedah
Terapi bedah berupa aspirasi dan penyaliran. Teknik aspirasi dapat dilakukan secara buta,
tetapi sebaiknya dengan tuntunan ultrasonografi sehingga dapat mencapai sasaran dengan
tepat. Jika gejala menetap lebih dari 1 minggu dan gambaran radiologi menunjukkan kista
yang tetap ada setelah terapi antibiotika, maka bisa diindikasikan aspirasi per kutis atau
drainase bedah. Sumber lain juga mengatakan, apabila pengobatan medikamentosa dengan
berbagai cara tersebut di atas tidak berhasil (72 jam) atau bila terapi dengan metronidazol
merupakan kontraindikasi seperti pada kehamilan, perlu dilakukan aspirasi. Aspirasi dapat
dilakukan berulang-ulang secara tertutup atau dilanjutkan dengan pemasangan kateter
penyalir. Pada semua tindakan harus diperhatikan prosedur aseptik dan antiseptik untuk
mencegah infeksi sekunder. Cara aspirasi menguntungkan karena tidak mengganggu fungsi
vital, sedikit mempengaruhi kenyamanan penderita, tidak menyebabkan kontaminasi rongga
peritoneum dan murah. Aspirasi harus dilakukan dengan kateter yang cukup besar.
Kontraindikasi adalah asites dan struktur vital menghalangi jalannya jarum.3,4,5
Penyaliran terbuka dilakukan bila pengobatan gagal dengan terapi konservatif, termasuk
aspirasi berulang. Indikasi lain adalah abses hati lobus kiri yang terancam pecah ke rongga
peritoneum dan ke organ lain termasuk ke dinding perut, dan infeksi sekunder yang tidak
terkendali. Angka kematian dengan cara ini lebih tinggi.5
i. Komplikasi
Komplikasi abses hati amuba umumnya berupa perforasi atau ruptur abses ke berbagai
rongga tubuh (pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal) dan ke kulit, sebesar 5-5,6%.
Perforasi ke kranial dapat terjadi ke pleura dan perikard. Insiden perforasi ke rongga pleura
adalah 10-20%. Akan terjadi efusi pleura yang besar dan luas yang memperlihatkan cairan
cokelat pada aspirasi. Perforasi dapat berlanjut ke paru sampai ke bronkus sehingga didapat
sputum yang berwarna khas cokelat. Penderita mengeluh bahwa sputumnya terasa seperti
rasa hati selain didapatkan hemoptisis. Perforasi ke rongga perikard menyebabkan efusi
perikard dan tamponade jantung. Bila infeksi dapat diatasi, akan terjadi inflamasi kronik
seperti tuberkulosis perikard dan pada fase selanjutnya terjadi penyempitan jantung
(perikarditis konstriktiva).4,5
Perforasi ke kaudal terjadi ke rongga peritoneum. Perforasi akut menyebabkan peritonitis
umum. Abses kronik, artinya sebelum perforasi, omentum dan usus mempunyai kesempatan
untuk mengurung proses inflamasi, menyebabkan peritonitis lokal. Perforasi ke depan atau ke
sisi terjadi ke arah kulit sehingga menimbulkan fistel. Infeksi sekunder dapat terjadi melalui
sinus ini. Meskipun jarang, dapat juga terjadi emboli ke otak yang menyebabkan abses amuba
otak.5
j. Prognosis
Tingkat kematian dengan fasilitas yang memadai di RS 2%, sedangkan pada fasilitas yang
kurang 10%, pada kasus yang membutuhkan operasi 12%, jika ada peritonitis amebik 40–
50%. Tingkat kematian akan semakin meningkat dengan keadaan umum yang jelek,
malnutrisi, ikterus atau renjatan. Kematian biasanya disebabkan oleh sepsis atau sindrom
hepatorenal.7

2. Abses Hati Piogenik


Abses hati piogenik merupakan 75% dari semua abses hati. Abses ini pada anak dan dewasa
muda terjadi akibat komplikasi apendisitis dan pada orang tua sebagai komplikasi penyakit
saluran empedu. Biasanya abses berbentuk soliter dan ini membutuhkan pembedahan,
sedangkan yang bentuk multipel kecil-kecil tersebar di kedua lobus hati tidak memerlukan
pembedahan. Abses hati piogenik merupakan kondisi serius dengan angka kematian tinggi
bila diagnosis tidak dibuat secara dini. Bila terapi dilakukan dini dan tepat, angka kematian
cenderung mengecil.5
a. Epidemiologi
Abses hati piogenik tersebar di seluruh dunia dan terbanyak di daerah tropis dengan kondisi
higiene/sanitasi yang kurang. Secara epidemiologi, didapatkan 8-15 per 100.000 kasus abses
hati piogenik yang memerlukan perawatan di RS dan dari beberapa kepustakaan Barat
didapatkan prevalensi autopsi bervariasi antara 0,29-1,47% sedangkan prevalensi di RS
antara 0,008-0,016%. Penyakit ini lebih sering terjadi pada pria dibandingkan perempuan,
dengan rentang usia berkisar lebih dari 40 tahun dengan insidensi puncak pada dekade ke-6.1
b. Etiologi dan Patogenesis5,7
Hampir semua organisme patologik dapat menimbulkan abses hati piogenik. Yang terpenting
ialah E. Coli, Staphylococcus aureus, Proteus, Klebsiella, Pseudomonas dan bakteri anaerob,
seperti Bacteroides dan Clostridium. Pada dua per tiga kasus dapat dibiakkan lebih dari satu
organisme. Kecurigaan kuman anaerob lebih besar bila didapat nanah yang berbau busuk, gas
dalam abses dan tidak ada kuman pada pembiakan aerob. Mungkin juga terjadi infeksi
sekunder pada kelainan intrahepatik seperti abses tuberkulosis atau infeksi askariasis. Bila
organisme Streptococcus milleiri dapat dibiakkan dalam darah, dapat diduga ada abses hati
yang tidak tampak (abses tersamar).
Abses hati dapat berasal dari radang bilier, dari daerah splanknik melalui vena porta atau
sistemik dari manapun di tubuh melalui arteri hepatika. Sebagian sumber tidak diketahui.
Kadang disebabkan oleh trauma atau infeksi langsung ke hati atau sistem di sekitarnya.
• Penyakit bilier/kandung empedu
Obstruksi saluran empedu karena kolelitiasis atau karsinoma merupakan penyebab utama
abses hati piogenik. Kolesistitis akut dan pankreatitis akut juga dapat menyebabkan abses hati
piogenik. Infeksi pada saluran empedu yang mengalami obstruksi naik ke cabang saluran
empedu intrahepatik menyebabkan kolangitis yang menimbulkan kolangiolitis dengan akibat
abses multipel. Abses hati piogenik multipel terdapat pada 50% kasus. Hati dapat
membengkak dan daerah yang mengandung abses menjadi pucat kekuningan, berbeda
dengan hati sehat di sekitarnya yang berwarna merah tua. Kebanyakan terdapat pada lobus
kanan dengan perbandingan 5 kali lobus kiri. Abses hati piogenik juga dapat timbul sebagai
penyulit pankreatitis kronik.
• Infeksi melalui sistim porta (piemia porta)
Sebelum era antibiotik, sepsis intraabdomen, terutama apendisitis, divertikulitis, disentri
basiler, infeksi daerah pelvik, hemoroid yang terinfeksi dan abses perirektal, merupakan
penyebab utama abses hati piogenik. Biasanya berawal sebagai pileflebitis perifer disertai
pernanahan dan trombosis yang kemudian menyebar melalui aliran vena porta ke dalam hati.
Apabila abses hati piogenik berhubungan dengan pileflebitis, vena porta dan cabangnya
tampak melebar dan mengandung nanah, bekuan darah, dan bakteria. Di sekitar abses
terdapat infiltrasi radang. Apabila abses merupakan penyulit penyakit bilier, biasanya abses
berisi nanah yang berwarna hijau.
• Hematogen (melalui arteri hepatika)
Trauma tajam atau tumpul dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan, dan nekrosis jaringan
hati serta ekstravasasi cairan empedu yang mudah terinfeksi. Hematoma subkapsuler dapat
juga mengundang infeksi dan menimbulkan abses yang soliter dan terlokalisasi.
Sebagian kecil disebabkan tindakan diagnostik atau terapeutik. Terjadinya abses pasca
trauma sangat bergantung pada kualitas pembedahan yang dilakukan untuk menanggulangi
trauma hati sebelumnya. Sepsis dengan penyebaran melalui arteri hepatika menyebabkan
abses pada 20-40% pasien. Abses biasanya multipel dan kecil di kedua lobus hati.
• Kriptogenik
Tidak ada penyebab ditemukan pada hampir separuh kasus. Namun angka kejadiannya
meningkat pada pasien diabetes mellitus dan kanker yang mengalami metastasis. Pasien
dengan abses hepar piogenik berulang sebaiknya dilakukan evaluasi traktus biliaris dan
gastrointestinal.
• Penyebaran langsung
Abses hati dapat terjadi akibat penyebaran langsung infeksi dari struktur yang berdekatan,
seperti empiema kandung empedu, pleuritis, ataupun abses perinefrik. Abses hati piogenik
dapat merupakan penyulit dari keganasan hati, baik primer maupun sekunder. Nekrosis
jaringan baik dari tumor maupun jaringan hati akan mudah mengundang infeksi sekunder dan
menimbulkan abses yang biasanya soliter.
Kista di dalam jaringan hati juga dapat mengalami infeksi sekunder sebagaimana kelainan
hati yang lain, seperti sistosomiasis, tuberkulosis, askariasis dan penyakit hidatidosa (kista
ekinokokus).
c. Gambaran Klinis
Manifestasi sistemik abses hati piogenik biasanya lebih berat daripada abses hati amuba.
Dicurigai adanya Abses hati piogenik apabila ditemukan sindrom klinis klasik berupa nyeri
spontan perut kanan atas, yang ditandai dengan jalan membungkuk ke depan dengan kedua
tangan diletakkan di atasnya.1
Demam/panas tinggi merupakan keluhan paling utama, keluhan lain yaitu nyeri pada kuadran
kanan atas abdomen di bawah iga kanan dan disertai dengan keadaan syok. Nyeri sering
berkurang bila penderita berbaring pada sisi kanan. Dapat dijumpai gejala dan tanda efusi
pleura. Setelah era pemakaian antibiotik yang adekuat, gejala dan manifestasi klinis abses
hati piogenik adalah malaise, demam yang tidak terlalu tinggi, dan nyeri tumpul pada
abdomen yang menghebat dengan adanya pergerakan. Apabila abses hati piogenik letaknya
dekat dengan diafragma, maka akan terjadi iritasi diafragma sehingga terjadi nyeri pada bahu
sebelah kanan, batuk ataupun terjadi atelektasis. Gejala lainnya adalah mual dan muntah,
berkurangnya nafsu makan, penurunan berat badan, kelemahan badan, ikterus, buang air
besar berwarna seperti kapur, dan buang air kecil berwarna gelap.1,5
Pada pemeriksaan mungkin didapatkan febris yang sumer-sumer hingga demam/panas tinggi
yang hilang timbul atau menetap bergantung pada jenis abses dan kuman penyebabnya. Pada
palpasi terdapat hepatomegali atau ketegangan pada perut kuadran lateral atas abdomen atau
pembengkakan pada daerah interkostal. Ketegangan lebih nyata pada perkusi. Apabila abses
terdapat pada lobus kiri, mungkin dapat diraba tumor di epigastrium. Splenomegali
didapatkan apabila abses telah menjadi kronik, selain itu bisa didapatkan asites, ikterus, serta
tanda-tanda hipertensi portal. Ikterus terutama terdapat pada abses hati piogenik karena
penyakit saluran empedu yang disertai dengan kolangitis supurativa dan pembentukan abses
multipel. Jenis ini prognosisnya buruk.1,5
Dapat terjadi penyulit berupa pecahnya abses ke dalam rongga perut, rongga dada atau
perikard. Dapat pula terjadi septikemia dan syok. Akan tetapi, banyak juga yang tidak
menunjukkan gejala khas. Oleh karena itu, kemungkinan abses hati piogenik patut dipikirkan
pada setiap penderita dengan demam tanpa sebab yang jelas, terutama pascabedah abdomen.5
Tabel berikut ini menampilkan tanda dan gejala dari abses hati piogenik8

Gejala Persentase Tanda Persentase


Sakit perut 89-100 Temuan normal 38

Demam 67-100 Nyeri kuadran kanan atas 41-72

Menggigil 33-88 Hepatomegali 51-92

Anoreksia 38-80 Teraba massa 17-18

Penurunan berat badan 25-68 Ikterus 23-43

Batuk 11-28 Kelainan paru 11-48

Nyeri dada 9-24

d. Pemeriksaan penunjang
• Laboratorium
Leukosit meningkat jelas (>10.000/mm3) pada 75-96% pasien, dengan pergeseran ke kiri,
walaupun beberapa kasus menunjukkan nilai normal. Laju endapan darah biasanya
meningkat dan dapat terjadi anemia ringan (50-80% pasien), meningkatnya alkali fosfatase
(pada 95-100% pasien), enzim transaminase dan serum bilirubin (pada 28-73% pasien),
berkurangnya kadar albumin serum (<3 g/dl), meningkatnya nilai globulin (>3 g/dl) dan
waktu protrombin yang memanjang (71-87% pasien) menunjukkan adanya kegagalan fungsi
hati yang disebabkan abses hati piogenik. Prognosis buruk bila kadar serum amino
transferase meningkat. Tes serologi digunakan untuk menyingkirkan diagnosis diferensial.
Kultur darah yang memperlihatkan bakteri penyebab menjadi standar emas untuk
menegakkan diagnosis secara mikrobiologik.1,5,8
• Pencitraan
Pada foto polos rontgen, elevasi atau perubahan diafragma kanan terlihat pada 50% kasus.
Dapat dijumpai efusi pleural, atelektasis basiler, pleuritis, empiema, abses paru, dan jarang
sekali fistel bronkopleural. Kadang dapat dilihat garis batas udara dan cairan yang terdapat di
dalam rongga abses. Pada foto toraks PA, sudut kardiofrenikus tertutup, pada posisi lateral
sudut kostofrenikus anterior tertutup. Abses lobus kiri akan mendesak kurvatura minor.
Secara angiografik, abses merupakan daerah avaskuler. Pemeriksaan penunjang yang lain
yaitu CT-scan abdomen atau MRI, ultrasonografi abdomen dan biopsi hati, kesemuanya
saling menunjang sehingga memiliki nilai diagnostik semakin tinggi. CT-scan abdomen
memiliki sensitivitas 95-100% dan dapat mendeteksi luasnya lesi hingga kurang dari 1 cm.
Ultrasonografi abdomen memiliki sensitivitas 80-90%, Ultrasound-Guided Aspiraate for
Culture and Special Stains didapatkan positif 90% kasus, sedangkan gallium and technectium
radionuclide scanning memiliki sensitivitas 50-90%.1,5
e. Diagnosis
Menegakkan diagnosis abses hati piogenik berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
laboratorium serta pemeriksaan penunjang. Diagnosis kadang-kadang sulit ditegakkan sebab
gejala dan tanda klinis sering tidak spesifik. Sedangkan diagnosis dini memberikan arti
penting dalam pengelolaan karena penyakit ini dapat disembuhkan. Sebaliknya, diagnosis dan
pengobatan yang terlambat akan meningkatkan angka kejadian morbiditas dan mortalitas.
Diagnosis dapat ditegakkan bukan hanya dengan CT-scan saja, meskipun pada akhirnya
dengan CT-scan mempunyai nilai prediksi yang tinggi untuk diagnosis, demikian juga
dengan tes serologi yang dilakukan. Tes serologi yang negatif menyingkirkan diagnosis abses
hati amuba, meskipun terdapat pada sedikit kasus, tes ini menjadi positif setelah beberapa
hari kemudian. Diagnosis berdasarkan penyebab adalah dengan menemukan bakteri
penyebab pada pemeriksaan kultur hasil aspirasi, ini merupakan standar emas untuk
diagnosis.1
f. Penatalaksanaan
• Aspirasi
Aspirasi tertutup dapat dilakukan dengan bimbingan ultrasonografi atau tomografi komputer.
Pungsi ini dilakukan untuk tujuan aspirasi berulang, memasukkan antibiotik ke dalam rongga
abses, serta memasang pipa penyalir, baik sebagai tindakan diagnosis maupun pengobatan.
Komplikasi yang bisa terjadi adalah perdarahan, pneumotoraks, kebocoran dinding abses ke
dalam rongga peritoneum, perforasi organ intraabdominal, infeksi ataupun terjadi kesalahan
dalam penempatan kateter untuk drainase. Drain dilepas jika dinding abses kolaps, yang
dikonfirmasi lewat pemeriksaan CT-scan. Adanya asites dan struktur yang menghalangi
drainase merupakan kontraindikasi. Keberhasilan tindakan ini sebesar 80-87%.
Pertimbangkan terjadinya kegagalan drainase perkutan bila tidak ada perbaikan terjadi dan
kondisi memburuk dalam 72 jam,atau bila abses berulang meskipun drainase awal memadai.
Kegagalan drainase perkutan dapat ditangani dengan pemasangan ulang kateter, atau
melakukan drainase bedah terbuka.1,5,8
• Pengobatan medis
Pemberian antibiotik disesuaikan dengan hasil tes kepekaan kuman. Bila hasil tes belum ada,
sedangkan pengobatan harus dimulai, pada terapi awal digunakan penisilin. Selanjutnya
dikombinasikan antara ampisilin, aminoglikosida atau sefalosporin generasi III dan
klindamisin atau metronidazol. Metronidazol dan klindamisin baik untuk melawan bakteri
anaerob dan mampu melakukan penetrasi ke dalam kavitas abses. Aminoglikosida dan
sefalosporin generasi III mampu melawan bakteri gram negatif. Floroquinolon dapat
dijadikan alternatif bagi pasien yang alergi terhadap golongan penisilin. Terapi ini biasanya
efektif pada pasien dengan abses unilokular dengan ukuran <3 cm. Jika dalam waktu 48-72
jam belum ada perbaikan klinis dan laboratoris maka antibiotik yang digunakan diganti
dengan antibiotik yang sesuai dengan hasil kultur sensitivitas aspirat abses hati. Pengobatan
secara parenteral dapat dirubah menjadi oral setelah pengobatan parenteral selama 10-14 hari
dan kemudian dilanjutkan kembali hingga 6 minggu kemudian. Bilamana perlu, antibiotik
dapat diberikan langsung ke saluran empedu melalui penyalir T yang dipasang sewaktu
melakukan laparatomi atau langsung ke sistem porta melalui vena umbilikalis. Keberhasilan
pengobatan bergantung pada ukuran, letak dan jumlah abses.1,5,8
• Pengobatan bedah1,5,8
Penyaliran tertutup dan pemberian antibiotik melalui penyalir ternyata efektif pada banyak
penderita. Pembedahan dilakukan pada penderita yang tidak menunjukkan hasil baik dengan
pengobatan nonbedah. Indikasi untuk drainase bedah adalah sebagai berikut:
a) Adanya penyakit intra-abdomen yang membutuhkan tindakan operatif
b) Kegagalan terapi antibiotik
c) Kegagalan aspirasi perkutan
d) Kegagalan drainase perkutan
Kontraindikasi relatif untuk tindakan operatif:
a) Abses multipel
b) Infeksi polimikroba
c) Adanya penyakit imunosupresif atau keganasan pada pasien
d) Adanya masalah kesehatan lain pada pasien yang mempersulit tindakan
Laparatomi dilakukan dengan sayatan subkostal kanan. Abses dibuka, dilakukan penyaliran,
dicuci dengan larutan garam fisiologik dan larutan antibiotik serta dipasang penyalir. Apabila
letak abses jauh dari permukaan, penentuan lokasi dilakukan dengan ultrasonografi
intraoperatif, kemudian dilakukan aspirasi dengan jarum. Abses multipel bukan indikasi
untuk pembedahan dan pengobatannya hanya dengan pemberian antibiotik dan pungsi.
Kadang-kadang abses hati piogenik multipel diperlukan reseksi hati.
g. Komplikasi
Saat diagnosis ditegakkan, menggambarkan keadaan penyakit yang berat, seperti
septikemia/bakteremia dengan mortalitas 85%, ruptur abses hati disertai peritonitis
generalisata dengan mortalitas 6-7%, kelainan pleuropulmonal, gagal hati, perdarahan ke
dalam rongga abses, hemobilia, empiema, fistula hepatobronkial, ruptur ke dalam perikard
atau retroperitoneum. Sesudah mendapat terapi, sering terjadi diatesis hemoragik, infeksi
luka, abses rekuren, perdarahan sekunder dan terjadi rekurensi atau reaktivasi abses.1
h. Prognosis
Jika disertai septikemia, mortalitas dan morbiditas tinggi. Mortalitas abses hati piogenik yang
diobati dengan antibotika yang sesuai bakterial penyebab dan dilakukan drainase adalah 10-
16%. Prognosis juga dipengaruhi oleh umur penderita, adanya penyakit saluran empedu,
adanya hubungan dengan keganasan dan penyulit di paru-paru. Prognosis buruk apabila
terjadi keterlambatan diagnosis dan pengobatan, jika hasil kultur darah yang memperlihatkan
penyebab bakterial organisme multipel, tidak dilakukan drainase terhadap abses, adanya
ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleural atau adanya penyakit lain.5

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo, Aru. W., dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi IV. Jakarta :
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
2. Way. Lawrence. W., 2003. Current Surgical Diagnosis and Treatment. Lange USA :
Medical Publication.
3. Kortz, Warren J. & Sabiston, David C., 1994. Sabiston Buku Ajar Bedah, Bagian 2.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
4. Junita, A., dkk. 2006. Jurnal Penyakit Dalam, Volume 7 Nomor 2 : Beberapa Kasus
Abses Hati Amuba. Available from: Http://ejournal.unud.ac.id/. Accessed on : June 02nd,
2009.
5. Sjamsuhidayat, R., Jong, Wim de. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. Jakarta : EGC.
6. Moore, L. Keith., Agur, Anne. M. R., 2002. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta : Hipokrates.
7. Hetti. 2010. Liver Abses. Available from Http://wordpress.com/2010/03/17/liver-abses.
Accessed on : June 02nd, 2009.
8. Nickloes, Todd. A., 2009. Pyogenic Hepatic Abscess. Available from:
Http://emedicine/193182.htm. Accessed on : June 02nd, 2009.

Anda mungkin juga menyukai