Anda di halaman 1dari 46

BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 DEFINISI
Trombosis adalah terbentuknya bekuan darah dalam pembuluh darah.
Trombus atau bekuan darah ini dapat terbentuk pada vena, arteri, jantung ataupun
mikrosirkulasi.1
Deep venous thrombosis (DVT) adalah suatu kondisi dimana bekuan darah
terbentuk di vena, paling sering di pembuluh darah darah vena dalam kaki atau
panggul. Trombus dapat lepas dan beredar dalam darah, terutama ke arteri
pulmonalis, hal ini dikenal sebagai emboli. Trombosis vena proksimal lebih
penting secara klinis, karena lebih sering dikaitkan dengan suatu penyakit kritis
dan penyakit kronis (misal kanker aktif, kegagalan kongestif, insufisisensi
pernafasan, usia > 75), sedangkan trombosis distal lebih sering dikaitkan dengan
faktor risiko sementara (riwayat operasi dalam waktu dekat, imobilisasi,
perjalanan). Sekitar > 90 % kasus lebih banyak berasal dari proksimal. Angka
kematian trombosis vena dalam proksimal lebih tinggi daripada distal. 2

1.2 EPIDEMIOLOGI
Deep venous thrombosis (DVT) merupakan penyebab penting morbiditas
dan mortalitas, terutama pada pasien rawat inap. Profilaksis primer dengan agen
farmakologis dan atau metode mekanis harus digunakan pada pasien dengan
risiko tinggi DVT.2 The Longitudinal Investigation of thromboembolism Etiology
(LITE), yang dikombinasikan informasi dari dua studi kohort prospektif,
Atherosclerosis Risk in Communities (ARIC) dan Cardiovascular Health Study
(CHS) meneliti kejadian DVT simptomatik pada 21.680 peserta usia > 45 tahun
yang diikuti selama 7,6 tahun. Pada penelitian tersebut dijumpai berdasarkan usia
kejadian pertama kali DVT adalah 1,92 per 1000 orang / tahun. Insidensi lebih
tinggi pada laki – laki dari pada perempuan, dan meningkat sesuai usia pada
kedua jenis kelamin. Dari 366 kejadian DVT, sebagian besar dari 191 kasus DVT
sekunder dikaitkan dengan lebih dari satu kondisi yang mendasarinya. Hal ini

1
termasuk rawat inap (52 %), kanker (48 %), operasi (42 %), dan trauma besar (6
%).3
Sebagian besar DVT adalah asimptomatis, akan tetapi menjadi serius
apabila trombus meluas atau menyebar kearah yang lebih proksimal. DVT akan
memiliki keluhan dan gejala apabila menimbulkan bendungan aliran vena,
peradangan dinding vena dan jaringan perivaskular, serta emboli pada sirkulasi
pulmoner. 2

Keluhan dan gejala dapat berupa nyeri, pembengkakan, dan perubahan


warna kulit. Intensitas nyeri tidak tergantung kepada besar dan luas trombosis.
Keluhan nyeri sangat bervariasi dan tidak spesifik, bisa terasa nyeri atau kaku
dengan intensitas yang ringan sampai berat. Pembengkakan disebabkan karena
adanya edema. Timbulnya edema disebabkan oleh sumbatan vena di bagian
proksimal dan peradangan jaringan perivaskular. Apabila pembengkakan
ditimbulkan oleh sumbatan, maka lokasi bengkak adalah dibawah sumbatan dan
tidak nyeri, sedangkan apabila disebabkan oleh peradangan perivaskular maka
bengkak timbul pada daerah trombosis dan biasanya disertai rasa nyeri.
Pembengkakan bertambah kalau penderita berjalan dan akan berkurang kalau
istirahat di tempat tidur dengan posisi kaki agak ditinggikan. Perubahan warna
kulit tidak spesifik dan tidak banyak ditemukan pada DVT dibandingkan dengan
trombosis arteri. Pada trombosis vena perubahan warna kulit ditemukan hanya 17
– 20 % kasus. Perubahan warna kulit bisa berubah pucat dan kadang berwarna
keunguan. Perubahan warna kaki menjadi pucat, lunak dan dingin, merupakan
tanda adanya sumbatan vena yang besar disertai spasme arteri. Keadaan ini
disebut flegmasia alba dolens. 2

1.4 DIAGNOSIS
Diagnosis DVT ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan tanda yang
ditemukan pada pemeriksaan fisik serta ditemukannya faktor resiko4. Tanda dan
gejala DVT antara lain edema, nyeri dan perubahan warna kulit (phlegmasia alba
dolens/milk leg, phlegmasia cerulea dolens/blue leg) 3. Skor dari Wells (tabel 1)

2
dapat digunakan untuk stratifikasi (clinical probability) menjadi kelompok resiko
ringan, sedang atau tinggi 4,5.

Pada pemeriksaan laboratorium hemostasis didapatkan penigkatan D-dimer


dan penurunan antitrombin. Peningkatan D-dimer merupakan indikator adanya
trombosis yang aktif. Pemeriksaan ini sensitif tetapi tidak spesifik dan sebenarnya
lebih berperan untuk menyingkirkan adanya trombosis jika hasilnya negatif.
Pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas 93%, spesivisitas 77% dan nilai prediksi
negatif 98% pada DVT proksimal, sedangkan pada DVT daerah betis
sensitivitasnya 70%. Pemeriksaan laboratorium lain umumnya tidak terlalu
bermakna untuk mendiagnosis adanya trombosis, tetapi dapat membantu
menentukan faktor risiko.6

Tabel-1. Skor Wells (Hirsh, 2002)

Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan yang penting untuk


mendiagnosis trombosis. Pada DVT, pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah
venografi / flebografi, ultrasonografi (USG) doppler (duplex scanning), USG

3
kompresi, Venous Impedance Plethysmography (IPG), dan Magnetic Resonance
Imaging (MRI). Ketepatan pemeriksaan ultrasonografi doppler pada pasien
dengan DVT proksimal yang simtomatik adalah 94% dibandingkan dengan
venografi, sedangkan pada pasien dengan DVT pada betis dan asimtomatik,
ketepatannya rendah. Ultrasonografi kompresi (Real-Time B-mode compression
ultrasound) mempunyai sensitivitas 89% dan spesifisitas 97%pada DVT
proksimal yang simtomatik, sedangkan pada DVT di daerah betis, hasil negatif
palsu dapat mencapai 50%. Pemeriksaan dupplex scanning mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk mendiagnosis DVT proksimal.
Venografi atau flebografi merupakan pemeriksaan standar untuk mendiagnosis
DVT, baik pada betis, paha, maupun sistem ileofemoral. Kerugiannya adalah
pemsangan kateter vena dan risiko alergi terhadap bahan radiokontras atau
yodium. MRI umumnya digunakan untuk mendiagnosis DVT pada perempuan
hamil atau pada DVT di daerah pelvis, iliaka dan vena kava di mana duplex
scanning pada ekstremitas bawah menunjukkan hasil negatif.7

Gambar-1. Algoritme diagnosis DVT 5(Hirsh, 2002)

4
1.5 PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan dari DVT adalah mencegah meluasnya trombosis dan
timbulnya emboli paru, mengurangi morbiditas pada serangan akut, mengurangi
keluhan paska flebitis, dan mengobati hipertensi pulmonal yang terjadi karena
proses tromboemboli. Intervensi farmakologis berupa antikoagulan sistemik
didindikasikan untuk pasien DVT. Pilihan antikoagulan diantaranya
unfractionated heparin (UFH), Low molecule weight heparin (LMWH),
Fondaparinux, Warfarin, Faktor Xa dan direct thrombin inhibitors.

1. Unfractionated Heparin (UFH)

Respon antikoagulan dengan dosis standar UFH bervariasi antara pasien.


Efikasi terapi heparin tergantung pada pencapaian tingkat terapeutik heparin
dalam 24 jam pertama pengobatan, biasanya heparin diberikan melalui infuse
kontiniu intravena. Kontrol heparin, yang diukur dengan aPTT adalah 1.5 kali
rata – rata nilai control dari aPTT normal, dengan kisaran target (aPTT ratio) dari
1,5 – 2,5. Heparin biasanya diberikan bersamaan dengan warfarin dengan cara
tumpang tindih dengan warfarin selama minimal 4 – 5 hari sampai International
Normalized Ratio (INR) tercapai dalam rentang terapeutik (2.0 – 3.0) selama dua
hari berturut – turut. UFH intravena adalah pilihan terapi untuk pasien dengan
gagal ginjal dan untuk pasien dengan potensial untuk penghentian anti koagulan
akut. 1

2. Low Molecular Weight Heparin (LMWH)

LMWH mempunyai beberapa keuntungan dibanding dengan UFH, antara


lain (a) bioavailabilitas yag lebih tinggi dengan pemberian subkutan, (b) durasi
efek antikoagulan yang lebih tinggi sehingga dapat diberikan sekali atau 2 x
sehari, (c) respon antikoagulan bergantung kuat dengan berat badan sehingga
dapat diberikan dengan dosis tetap, (d) tidak memerlukan evaluasi, (e) risiko
yang lebih rendah terjadinya heparin induced trombositopenia. 1

5
Enoxaparin (Lovenox) adalah LMWH pertama yang disetujui oleh US
Food and Drug Administration (FDA) untuk pengobatan DVT dalam dosis 1
mg/kgbb/dua kali sehari atau 1.5 mg/kgbb/sehari

3. Fondaparinux

Pedoman antikoagulan dari ACCP 2012 untuk pengobatan awal trombosis


vena dalam menyarankan penggunaa baik LMWH atau Fondaparinux dibanding
UFH (2C). Pasien yang menunjukkan gejala akut trombosis vena dan
menghasilkan pengobatan awal yang baik dengan fondaparinux (5,7.5, atau 10
mg subkutan sekali sehari untuk orang dengan berat < 50; 50 – 100 atau > 100
kg, atau jangka waktu setidaknya lima hari dan setelah diberikan antagonis vit K
sampai INR > 2.02

4. Warfarin

Pengobatan awal DVT dengan produk heparin biasanya diikuti oleh


setidaknya 3 – 6 bulan antikoagulan utuk mencegah penyakit berulang. Warfarin
(atau antagonis vitamin K lain)/ AVK sangat efektif untuk tujuan ini dan lebih
disukai pada kebanyakan pasien.

Warfarin biasanya diberikan sebagai dosis oral awal 5 mg/hari selama dua
hari pertama, dengan dosis harian yang kemudian disesuaikan dengan INR.
Heparin dihentikan pada hari keempat atau kelima setelah memulai terapi
warfarin, asalkan INR telah dalam kisaran terapi yang direkomendasikan untuk
DVT (INR 2 – 3) selama dua hari berturut – turut. Pencapaian sebuah INR 2 – 3
atau yang setara pada pasien dengan trombosis vena dalam nyata mengurangi
risiko perdarahan dibandingkan yang lebih intens, tanpa kehilangan efektivitas. 3

5. Faktor Xa dan direct thrombin inhibitors

Terdapat dua kelompok antikoagulan oral, yaitu faktor penghambat Xa


(rivaroxaban, apixaban) dan inhibitor thrombin langsung (dabigatran), adalah obat
oral antikoagulan dengan dosis tetap dan dibandingkan dengan antagonis vitamin
K, tidak memerlukan pemantauan laboratorium rutin dan penyesuain dosis. 4

6
Rivaroxaban (15 mg dua kali sehari selama 3 minggu, kemudian 20 mg
sekali sehari selama 3,6 atau 12 bulan) menghasilkan tingkat yang sama terhadap
rekurensi DVT dibandingkan dengan terapi konvensional.

Lama Pemberian Antikoagulan

International Society on Thrombosis and Haemostasis (ISTH) 2012


memberikan pedoman untuk menentukan durasi antikoagulan pada pasien yang
telah menerima antikoagulan tiga bulan untuk episode pertama DVT.

Episode pertama provoked DVT periode antikoagulan disarankan tidak


melebihi tiga bulan. Episode pertama unprovoked DVT proksimal  perawatan
awal selama tiga sampai enam bulan, dilanjutkan selama dianggap risiko
perdarahan terkait antikoagulan tidak begitu tinggi untuk mengahalangi
pengobatan lanjutan.

Tawarkan AVK pada pasien dengan konfirmasi DVT di proksimal dalam


waktu 24 jam diagnosis dan melanjutkan AVK selama 3 bulan. Pada 3 bulan, nilai
risiko dan manfaat melanjutkan pengobatan AVK. Pertimbangkan penggunaan
AVK melebihi 3 bulan untuk pasien DVT proksimal jika risiko DVT tinggi dan
tidak ada risiko tambahan perdarahan besar. 3

Intervensi Mekanis

Pemberian stocking kompresi di bawah lutut dengan tekanan pergelangan


kaki yang lebih besar dari 20-30 mmHg untuk pasien DVT proksimal yang
diberikan seminggu setelah diagnosis atau ketika bengkak berkurang, dilakukan
jika tidak ada kontraindikasi dan menyarankan pasien untuk terus mengenakan
stocking selama minimal 2 tahun, memastikan stocking diganti 2 – 3 kali per
tahun, menyarankan pasien bahwa stocking perlu dikenakan hanya pada kaki yang
terkena.3

TUBERKULOSIS MILIER

Definisi
7
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium Tuberculosis, yang dapat menyerang paru dan organ lainnya. 1
Tuberkulosis milier merupakan tuberkulosis yang terjadi akibat penyebaran
hematogen kuman Mycobacterium Tuberculosis dari kompleks primer.2 TB milier
merupakan bentuk dari TB diseminata yang fatal, yang memiliki ciri khas tuberkel
- tuberkel yang jelas dan banyak yang menyerupai benih milet (sejenis gandum)
berdiameter 1-2 mm. 3

Faktor Risiko

Beberapa faktor dihubungkan dengan terjadinya TB milier, diantaranya :


infeksi TB saat kecil, malnutrisi, HIV/AIDS, konsumsi alkohol, diabetes melitus,
gagal ginjal kronik, hemodialisis, post gastrectomy, post transplantasi organ,
kehamilan, dan keganasan. Namun patofisioogi terjadinya masih belum jelas.
Penggunaan steroid, obat-obat imunosupresan dan sitotoksik juga diketahui
meningkatkan predisposisi kejadian TB milier.4

8
Patofisiologi

Gambar 1. Gambaran spektrum TB primer dan sekunder, serta terjadinya TB ektra


paru

TB milier dapat terjadi karena penyebaran kuman Mycobacterium


Tuberculosis secara hematogen. Infeksi dan penyebaran kuman akan
mengaktifkan imunitas seluler, produksi TNF-α , IL-12 dan interferon gamma
yang akan mengawali terbentuknya granuloma yang berisi bakteri yang viable.
Hal ini dapat terjadi pada infeksi primer, namun pada umunya sering muncul pada
infeksi sekunder. Infeksi sekunder muncul pada infeksi primer yang bertahun-
tahun dan disertai kondisi imunosupresif, misalnya geriatri, kondisi penyakit atau
sedang menggunakan imunosupresan .7

Manifestasi Klinis
9
Gambar 2. Gejala dan tanda TB milier.

Manifestasi klinis TB milier tidak spesifik. Manifestasi klinis sesuai dengan


diagnosis TB, seperti demam dengan peningkatan suhu di malam hari, anoreksia,
penurunan berat badan, takikardi, keringat malam dengan gambaran “damp
shadow” (keringat membentuk gambar siluet pasien di tempat tidur pasien).
Demam menggigil sering terjadi pada pasien TB milier dewasa. Gejala batuk
kering dan sesak nafas sering muncul. Batuk bisa berdahak, tapi dengan jumlah
yang sedikit. Batuk bedarah jarang terjadi. Tuberkel koroid bisa menjadi gejala
patognomonis pada TB milier, namun pada umumnya terdapat pada anak. 4,7

10
Diagnosis

Diagnosis TB milier lebih sulit karena manifestasi klinisnya yang tidak


spesifik. Gambaran rontgen thorax tidak selalu menggambarkan pola milier yang
klasik. Kriteria berikut dapat membantu mendiagnosis TB milier.

1. Manifestasi klinis yang sesuai gambarn TB seperti demam dengan


peningkatan suhu di malam hari, anoreksia, penurunan berat badan, takikardi,
keringat malam. Keringat malam biasanya baru mulai menurun setelah 6
minggu terapi tuberkulosis.

2. Gambaran milier pada rontgen thorax.

3. Gambaran lesi retikulonodular yang difus pada kedua paru yang menjadi
background pola milier pada rontgen thorax dan High Resolution Computed
Tomography (HRCT)

4. Bukti adanya kuman TB dari pemeriksaan mikrobiologi ataupun


histopatologi. 4,7

Penatalaksanaan

Pengobatan TB milier perlu dilakukan rawat inap pada kasus yang berat.
Panduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang diberikan sama dengan TB paru
secara umum, 2 HRZE/4 RH. Pemberian kortikosteroid tidak dilakukan secara
rutin, hanya diberikan pada keadaan tertentu yaitu apabila terdapat tanda / gejala
meningitis.7

Definisi Geriatric Syndrome

Sindrom geriatri merupakan kumpulan gejala dan atau tanda klinis, dari
satu atau lebih penyakit yang sering dijumpai pada pasien geriatric. Tampilan
klinis yang tidak khas sering membuat sindrom geriatri tidak terdiagnosis.
Sindrom geriatri meliputi gangguan kognitif, depresi, inkontinensia,
ketergantungan fungsional, dan jatuh.Sindrom geriatrik menampilkan banyak
fitur-fitur umum. Keadaan lansia sangat umum yaitu lemah. Efeknya pada kualitas
hidup dan cacat substansial. Sering gejala utama tidak berhubungan dengan
11
kondisi patologis tertentu yang mendasari perubahan status kesehatan. Sebagai
contoh, ketika infeksi yang melibatkan saluran kemih menyebabkan delirium, itu
adalah perubahan fungsi saraf dalam bentuk perubahan kognitif dan perilaku yang
memungkinkan diagnosis delirium dan menentukan hasil fungsional yang banyak.
Karena sindrom ini melibatkan banyak sistem organ, diperlukan perencanaan dan
pemberian perawatan klinis.

Dalam bidang geriatri dikenal beberapa masalah kesehatan yang sering


dijumpai baik mengenai fisik atau psikis pasien usia lanjut. Menurut Solomon
dkk: The “13 i” yang terdiri dari Immobility (imobilisasi), Instability (instabilitas
dan jatuh), Intelectual impairement (gangguan intelektual seperti demensia dan
delirium), Incontinence (inkontinensia urin dan alvi), Isolation (depresi),
Impotence (impotensi), Immunodeficiency (penurunan imunitas), Infection
(infeksi), Inanition (malnutrisi), Impaction (konstipasi), Insomnia (gangguan
tidur), Iatrogenic disorder (gangguan iatrogenic) dan Impairement of
hearing,vision and smell (gangguan pendengaran, penglihatan dan penciuman)
(Setiati dkk., 2006 dalam AA Dini, 2013).

Imobilisasi

Didefinisikan sebagai keadaan tidak bergerak/tirah baring selama 3 hari


atau lebih, dengan gerak anatomi tubuh menghilang akibat perubahan fungsi
fisiologis. Berbagai faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan
imobilisasi pada usia lanjut. Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri,
lemah, kekakuan otot, ketidak seimbangan, dan masalah psikologis. Beberapa
informasi penting meliputi lamanya menderita disabilitas yang menyebabkan
imobilisasi, penyakit yang mempengaruhi kemampuan mobilisasi, dan pemakaian
obat-obatan untuk mengeliminasi masalah iatrogenesis yang menyebabkan
imobilisasi.

12
Etiologi Dan Faktor Resiko

.Imobilisasi

Berbagai faktor baik fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan


imobilisasi pada pasien usia lanjut. Beberapa penyebab utama imobilisasi adalah
adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot, ketidakseimbangan, dan masalah
psikologis. Penyakit Parkinson, artritis reumatoid, gout, dan obat‐obatan
antipsikotik seperti haloperidol juga dapat menyebabkan kekakuan. Rasa nyeri,
baik dari tulang (osteoporosis, osteomalasia, Paget’s disease, metastase kanker
tulang, trauma), sendi (osteoartritis, artritis reumatoid, gout), otot (polimalgia,
pseudoclaudication) atau masalah pada kaki dapat menyebabkan imobilisasi.

Gangguan fungsi kognitif berat seperti pada demensia dan gangguan


fungsi mental seperti pada depresi tentu sangat sering menyebabkan terjadinya
imobilisasi. Kekhawatiran keluarga yang berlebihan atau kemalasan petugas
kesehatan dapat pula menyebabkan orang usia lanjut terus menerus berbaring di
tempat tidur baik dirumah maupun di rumah sakit. Efek samping beberapa obat
misalnya obat hipnotik dan sedatif dapat pula menyebabkan gangguan mobilisasi.

Pengkajian Imobilisasi

Dalam mengkaji imobilisasi, perlu dilakukan anamnesis menenai riwayat penyakit


sekarang, lamanya mengalami disabilitas, penyakit yang dapat memengaruhi
kemampuan mobilisasi dan obat‐obatan yang dapat menyebabkan imobilisasi.
Keluhan nyeri, skrining depresi dan rasa takut jatuh serta pengkajian lingkungan,
termasuk kunjungan rumah bila perlu, penting dilakukan. Pada pemeriksaan fisik
perlu diperiksa status kardiopulmonal, pemeriksaan muskuloskeletal yang
mendetil misalnya kekuatan otot dan gerak sendi, pemeriksaan status neurologis
dan juga pemeriksaan kulit untuk identifikasi ulkus dekubitus. Status imobilisasi
pasien harus selalu dikaji secara terus‐menerus (Rizka, 2015).

13
Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan meliputi penatalaksanaan


farmakologik dan non farmakologik. Upaya non farmakologis yang dapat
dilakukan adalah dengan beberapa terapi fisik dan latihan jasmani secara teratur.
Pada pasien yang mengalami tirah baring total, perubahan posisi secara teratur
dan latihan di tempat tidur Selain itu, mobilisasi dini berupa turun dari tempat
tidur, berpindah dari tempat tidur ke kursi dan latihan fungsional dapat dilakukan
secara bertahap. Untuk mencegah terjadinya dekubitus, hal yang harus dilakukan
adalah menghilangkan penyebab terjadinya ulkus yaitu bekas tekanan pada kulit.
Untuk itu dapat dilakukan perubahan posisi lateral 30o, penggunaan kasur anti
dekubitus, atau menggunakan bantal berongga. Pada pasien dengan kursi roda
dapat dilakukan reposisi tiap jam atau diistirahatkan dari duduk. Melatih
pergerakan dengan memiringkan pasien ke kiri dan ke kanan serta mencegah
terjadinya gesekan juga dapat mencegah dekubitus. Pemberian minyak setelah
mandi atau mengompol dapat dilakukan untuk mencegah maserasi.

Kontrol tekanan darah secara teratur dan penggunaan obat‐obatan yang


dapat enyebabkan penurunan tekanan darah serta mobilisasi dini perlu dilakukan
untuk mencegah terjadinya hipotensi. Monitor asupan cairan dan makanan yang
mengandung serat perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya konstipasi. Selain
itu juga perlu dilakukan evaluasi dan pengkajian terhadap kebiasaan buang air
besar pasien. Pemberian nutrisi yang adekuat perlu diperhatikan untuk mencegah
terjadinya malnutrisi pada pasien imobilisasi. Tata laksana farmakologis yang
dapat diberikan terutama pencegahan terhadap terjadinya trombosis. Pemberian
antikoagulan yaitu Low dose heparin (LDH) dan low molecular weight heparin
(LMWH) merupakan profilaksis yang aman dan efektif untuk pasien geriatri
denganimobilisasi namun harus mempertimbangkan fungsi hati, ginjal dan
interaksi dengan obat lain (Rizka, 2015)

14
ILUSTRASI KASUS

Telah dirawat pasien laki-laki 61 tahun di Bangsal Penyakit Dalam RSUP


Dr. M. Djamil Padang, sejak tanggal 2 November 2019 pukul 18.30 dengan :

Keluhan Utama : (Auto dan Allo Anamnesis)


Sesak nafas meningkat sejak 2 hari yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang :
 Sesak nafas meningkat sejak 2 hari yang lalu. Sesak sudah dirasakan sejak 1
minggu ini,sesak tidak dipengaruhi aktivitas,cuaca dan makanan. Riwayat
terbangun malam hari karena sesak tidak ada. Riw tidur dengan bantal
ditinggikan tidak ada. Sesak nafas menciut tidak ada
 Bengkak pada tungkai kiri semakin membesar sejak 2 minggu yang lalu, awalnya
bengkak kecil, makin lama makin membesar bengkak pada kaki kiri, nyeri ada,
hal ini sudah dialami pasien sejak 2 bulan yang lalu.
 Nyeri pinggang bawah menjalar meningkat di kedua tungkai sejak 8 bulan
yang lalu, awalnya pasien terjatuh kedalam selokan 8 bulan yang lalu. Nyeri
Nyeri timbul setelah pasien terjatuh tetapi pasien masih bisa beraktivitas,
pasien lebih banyak berbaring sejak 2 bulan yang lalu.
 Penurunan nafsu makan sejak 2 bulan yang lalu, pasien makan 2x sehari dan
hanya menghabiskan 1/2 porsi dari porsi makan biasa.
 Batuk sejak 2 bulan yang lalu, batuk berdahak , dahak berwana kekuningan,
batuk berdarah tidak ada.
 Banyak berkeringat saat malam hari walaupun pasien tidak beraktivitas
dirasakan sejak 2 bulan ini.
 Penurunan berat badan 15 kg sejak 2 bulan yang lalu.
 Demam sejak 2 minggu yang lalu,demam tinggi, tidak desertai menggigil.
 Luka pada punggung , bokong ,dan tempat lain tidak ada.
 BAK frekuensi sering, pancaran melemah, pada akhir berkemih urine masih
menetes,nyeri BAK tidak ada, berpasir tidak ada, keluar batu saat BAK tidak ada.
 BAB warna dan frekuensi biasa.

15
Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat hipertensi tidak ada
 Riwayat DM tidak ada
 Riwayat menderita penyakit tuberkulosis paru sebelumnya tidak ada
 Riwayat menderita keganasan tidak ada

Riwayat Pengobatan
 Riwayat minum obat paru selama 6 bulan sebelumnya tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga :


 Riwayat tuberkulosis paru di keluarga tidak ada.
 Riwayat keluarga yang menderita keganasan tidak ada.
 Riwayat hipertensi di keluarga tidak ada
 Riwayat diabetes di keluarga tidak ada.

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi dan Status Perkawinan


 Pasien adalah seorang petani, menikah memiliki 1 orang istri dan memiliki
3 orang anak
 Pasien bertempat tinggal di lingkungan jarang penduduk, rumah semi
permanen dengan 3 kamar jendela dan ventilasi hanya di bagian depan
rumah, lantai papan serta pencahayaan kurang.
 Pasien tergolong keluarga dengan sosial ekonomi rendah
 Riwayat seks bebas tidak ada
 Riwayat narkoba suntik tidak ada
 Pasien tidak memiliki tato
 Pasien tidak merokok

16
Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaraan : CMC
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Frekuensi Nadi : 104 x/menit, reguler, pengisian cukup
Frekuensi Nafas : 26 x/menit
Suhu : 37,90C
Saturasi O2 : 92 %
Ikterus : (-)
Edema : (-)
Anemis : (-)
Sianosis : (-)
Tinggi badan : 160 cm
Berat badan : 50 Kg
BMI : 19,53 cm/kg2 (normoweight)
VAS :5

Pemeriksaan Fisik :
Kulit : Kulit teraba hangat, turgor kulit baik
Kelenjar getah bening : Tidak ada pembesaran KGB di supra klavikula, infra
klavikula, axilla, dan inguinal.
Kepala : Normocephal
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (+), Sklera ikterik (-), reflek cahaya
(+/+), diameter pupil 3 mm/3mm
Telinga : Deformitas (-), tanda-tanda radang (-)
Hidung : Deviasi septum (-), tanda-tanda radang (-)
Tenggorokan : Tonsil T1-T1, faring tidak hiperemis
Gigi dan Mulut : Oral thrush (-), Caries (-), atrofi papil lidah (-), stomatitis
angularis (-), hipertropi ginggiva (-)

17
Leher : JVP 5-2 cmH2O, kelenjar tiroid tidak membesar
Thorax : Normochest
Paru :
Paru depan
Inspeksi : statis : simetris kanan dan kiri,
dinamis : simetris kanan dan kiri
Palpasi : fremitus kiri sama dengan kanan
Perkusi : sonor, batas pekak hepar setinggi RIC V kanan
Auskultasi : Suara nafas bronkovesiculer, ronkhi +/+ basah halus
nyaring basal paru, wheezing -/-

Paru belakang
Inspeksi : statis : simetris kanan dan kiri,
dinamis: simetris kanan dan kiri.
Palpasi : fremitus kiri sama dengan kanan
Perkusi : Sonor, peranjakan paru 2 jari
Auskultasi : Suara nafas bronkovesiculer, ronkhi +/+ basah halus
nyaring basal paru, wheezing -/-

Tampak depan Tampak belakang

18
Jantung:
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V, luas 1
jari, tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung atas RIC II,
Batas kanan linea sternalis dekstra,
Batas kiri 1 jari medial RIC V, pinggang jantung (+).
Auskultasi : Bunyi jantung murni,irama teratur, bising (-), M1>M2,
P2<A2.
Abdomen:
Inspeksi : tidak tampak membuncit
Palpasi : Hepar teraba 1 jari bawah arcus costarum,permukaan
rata,pinggir tajam dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
Punggung : Nyeri ketok CVA (-/-), nyeri tekan CVA (-/-),gibbus (-)
Alat kelamin : Dalam batas normal
Anggota gerak : Reflek fisiologis +/+, refleks patologis -/-,
Ekstremitas bawah sinistra : edema kaki (+), edema tungkai (+), kemerahan (-),
perabaan hangat, nyeri (+), homan sign (+), venectasi (-)
Ukuran:
Ekstremitas Inferior Kanan Kiri
Lingkar Betis 32 cm 40 cm
Pulsasi :
Kanan Kiri
A. dorsalis pedis + +
A. poplitea + +
A. tibialis posterior + +
A. radialis + +
A. brachialis + +
Sensibilitas :
Kanan Kiri
Extremitas atas
Kasar + +

19
Halus + +
Extremitas bawah
Kasar + +
Halus + +

Wells Score :
Karakteristik Score Ket.
Kanker aktif (sedang dalam pengobatan, atau riwayat 1 -
menjalani pengobatan dalam bulan terakhir atau sedang
dalam terapi paliatif )
Paresis, paralisis, atau imobilisasi ekstremitas bawah 1 +
Tirah baring > 3 hari atau baru menjalani bedah mayor 1 +
dalam 4 minggu terakhir
Nyeri lokal terbatas pada daerah yang sesuai dengan 1 +
sistem distribusi vena dalam
Pembengkakan seluruh bagian tungkai 1 +
Pembengkakan tungkai bawah dengan diameter 3 cm 1 +
lebih besar dari tungkai bawah kontralateral (diukur 10
cm di bawah tuberositas tibia)
Pitting edema terbatas pada tungkai yang simptomatik 1 +
Kolateral vena-vena superfisial (bukan varises) 1 -
Diagnosis alternatif yang mirip atau sama kuatnya -2 -
dengan trombosis vena dalam
Total score 6
Score 6 : high risk for DVT

Laboratorium

Hemoglobin 9,6 gr/dl


Leukosit 13.290/mm3
Hematokrit 28 %
Trombosit 397.000/mm3
LED 75 mm/jam
Hitung jenis 0/0/5/88/5/2

20
Gambaran darah tepi :
Eritrosit : Normositik normokrom
Leukosit : leukositosis dengan Neutrofilia shift to the right
Trombosit : Jumlah cukup, morfologi normal
Kesan : Anemia ringan Normositik normokrom, leukositosis dengan
neutrofilia shift to the right, LED meningkat, limfopenia.

Urinalisa
Makroskopis :
Warna : kuning Silinder : negatif
Kekeruhan : negatif Kristal : negatif
Berat Jenis : 1.025 Epitel : gepeng (+)
pH : 5,0 Protein : negatif
Eritrosit : 0-1 /LPB Glukosa : negatif
Leukosit : 0-1 /LPB Bilirubin : negatif
Urobilinogen : positif
Kesan : dalam batas normal

Makroskopis Mikroskopis
Warna Coklat Leukosit 0-1/LPB
Konsistensi Lunak Eritrosit 0-1/LPB
Darah Negatif Amuba Negatif
Lendir Negatif Telur Cacing Negatif

Kesan : Hasil dalam batas normal


Feses rutin

EKG

21
Irama Sinus rythm

Frekuensi 110 x / menit

Axis Normal

Gel P Normal

PR interval 0.16 detik

QRS Kompleks 0.04 detik

ST segmen Isoelektris

Gel T Normal

Kesan : Sinus takikardi

22
Comprehensive Geriatric Assessment
Activities of daily living (INDEKS ADL BARTHEL) :
Sebelum sakit : 20 (mandiri)
Setelah sakit : 8 (ketergantungan berat)

Mini-mental state examination : 24


Kesan : dugaan MCI

Geriatric depression scale : 2


Kesan : tidak depresi

Mini nutrional assessment


Sebelum sakit : penapisan skor12
Setelah sakit :14 (malnutrisi)
Frail :0,41 (frail).
Resiko jatuh : 9 (resiko jatuh tinggi)
Daftar Masalah
 Pneumonia
 Hipoksemia
 Edema unilateral tungkai kiri
 Leukositosis
 TB paru
 Immobilisasi
 ketergantungan berat
 Anemia
 Malnutrisi
 LBP

23
DIAGNOSIS KERJA
Primer : Hospital acquared pneumonia dengan hipoksemia
Sekunder :
 Deep venous trombosis tungkai kiri
 Tuberkulosis Paru
 Immobilisasi dengan ketergantungan berat
 Anemia ringan Normositik normokrom ec penyakit kronik.
 Malnutrisi
 Low back pain

DIAGNOSIS BANDING
 Selulitis tungkai kiri
 Anemia ringan Normositik normokrom ec defesiensi Fe
 Anemia ringan Normositik normokrom ec perdarahan kronik.
 Frakture kompresi

Terapi :
 Istirahat/Makan Biasa Diet ML TKTP 2100 kkal (1260 kkal karbohidrat,
protein 420 kkal , 420 kkal lemak)/ O2 10 l/i via NRM
 IVFD NaCl 0,9 % 8 jam/kolf
 Injeksi Cefepime 3x1 gram IV
 Nebu N Acetil sistein 3x200 mg.
 Paracetamol 3x1000 mg.
 Pasang elastic bandage pada tungkai kiri, elevasi tungkai.
 Mobilisasi dini : miring kiri dan kanan setiap 2 jam, latihan gerak sendi.

24
Pemeriksaan anjuran
 Cek analisa gas darah
 Cek Darah perifer lengkap
 Cek Gula darah sewaktu
 Cek faal ginjal (ureum, kreatinin)
 Cek elektrolit (Natrium, Kalium, Klorida)
 Cek Albumin, globulin
 Cek PT/APTT, D-Dimer
 Cek Benzidine test
 Tes cepat molekuler
 Kultur sputum
 Chest X-Ray
 Rongent thoracolumbal
 Echo Doppler vascular
 Konsul spesialis saraf
 Konsul bedah urologi

Follow up tanggal 2 November 2019 pukul 19.00

S: bengkak tungkai kiri (+), nyeri (+), sesak (+) , batuk (+), demam (+)

O:

KU Kes TD Nadi Nafas T VAS


Sakit sedang CMC 130/70 mmHg 96 x/menit 22 x/menit 37,9oC 5

Keluar hasil labor


AGD : pH/pCO2/pO2/HCO3/BE/SO2 :7,481/31/67/23,3/-0,4/92,7
Kesan : Alkalosis metabolik dengam hipoksemia

25
A/
 Hospitalized Acquired Pneumonia dengan hipoksemia
 DVT tungkai kiri
 Tuberkulosis paru
 Immobilisasi dengan ketergantungan berat
 Anemia ringan Normositik normokrom ec penyakit kronik.
 Malnutrisi
 Low back pain

P/
Terapi lanjut

Follow up tanggal 3 November 2019 pukul 07.00

S: bengkak tungkai kiri (+), nyeri (+), sesak (+) , batuk (+), demam (+)

O:

KU Kes TD Nadi Nafas T VAS


Sakit sedang CMC 130/70 mmHg 96 x/menit 24 x/menit 37,5oC 4

26
 Keluar Hasil Labor

GDS 98 mg/dl Klorida serum 99 mmol/l


Ureum 20 mg/dl Total Protein 5,9 g/dl
Kreatinin 0,4 mg/dl Albumin 3,3 g/dl
Natrium 129 mmol/l Globulin 2,6 g/dl
Kalium 3,5mg/dl PT 10,9 detik
D-dimer 3.889 ng/ml aPTT 30,2 detik
MCHC 36 Retikulosit 1,19 %
MCV 83
MCH 27

Kesan : peningkatan kadar D-Dimer, aptt melebihi nilai normal, hiponatremia

Osmolaritas serum : 263,44

Keluar hasil tes darah samar : Negatif

Keluar hasil rontgen thorax :


Trakea ditengah.
Jantung tidak membesar (CTR <50%).
Aorta dan mediastinum superior tidak melebar.
Tampak infiltrate milier di seluruh lapangan paru.
Tampak konsolidasi di apex paru kanan. Hemithorax kanan suram dari
kiri.
Kedua diafragma licin, kedua sinus costofrenicus lancip.
Tulang dan jaringan lunak dinding dada terlihat baik.
Kesimpulan : TB Milier

27
Konsul konsultan Pulmonologi
Kesan :
 Hospitalized Acquired Pneumonia dengan hipoksemia
 TB milier
Advis
 Inj cefepime 3x1 gram IV
 INH 1x300 mg
 Pirazinamid 1x1000 mg
 Rifampicin 1x450 mg.
 Ethambutol 1x750 mg
 B6 1x10 mg.
 Cek Leukosit dan hitung jenis per 3 hari
 Rapid tes HIV
 Kultur Sputum
 Gene xpert
 Konsul mata
 AGD ulang

Konsul Konsultan Hematologi dan Onkologi Medik

Kesan :
 DVT tungkai kiri,
 Anemia ringan Normositik normokrom ec penyakit kronik.

Advis :
 Inj Heparin 2x5000unit SC
 Echo doppler vaskular
 Pasang elastic bandage, elevasi tungkai kiri

28
Konsul Konsultan Kardiovaskuler

Kesan : DVT Tungkai kiri

Advis : Echo Doppler vascular

Konsul konsultan Geriatri


Kesan : immobilisasi dengan ketergantungan berat.
Advice :
 konsul rehabilitasi medik
 Konsul gizi klinik

Konsul konsultan ginjal hipertensi


Kesan : Hiponatremia ec SIADH
Advice :
 IVFD NaCl 0,9 % 8jam/kolf
 Kapsul garam 3x1
 Cek Natrium urine dan osmolaritas urine

Konsul neurologi
Kesan: susp spondilitis TB
Advis
 Terapi sesuai penyakit dalam
 Konsul bedah ortopedi

Konsul bedah urologi


Kesan : BPH
Advice :
 Harnal ocas 1x0,4 mg
 Kontrol poli urologi

29
A/
 Hospitalized Acquired Pneumonia dengan hipoksemia
 DVT tungkai kiri
 Tb milier
 Immobilisasi dengan ketergantungan berat
 Anemia ringan Normositik normokrom ec penyakit kronik.
 Malnutrisi
 Hiponatremia
 BPH
 Susp spondilitis TB
P/
 IVFD NaCl 0,9 % 8jam/kolf
 Inj cefepime 3x1 gram IV
 Inj Heparin 2x5000 unit SC
 INH 1x300 mg
 Pirazinamid 1x1000 mg
 Rifampicin 1x450 mg.
 Ethambutol 1x750 mg
 B6 1x10 mg.
 Kapsul garam 3x1
 Harnal ocas 1x0,4 mg
 AGD ulang
 Cek Leukosit dan hitung jenis per 3 hari
 Rapid tes HIV
 Kultur Sputum
 Gene xpert
 Pasang elastic bandage, elevasi tungkai kiri
 Rontgen vertebrae thoracolumbal ap/lat
 Echo doppler vaskular

30
 Konsul mata
 konsul rehabilitasi medik
 Konsul gizi klinik
 Konsul bedah urologi
 Konsul bedah orthopedi

Follow up tanggal 4 november 2019

S: bengkak tungkai kiri (+), nyeri (+), sesak (+) berkurang,batuk (+)
berkurang, demam tidak ada.

O:

KU Kes TD Nadi Nafas T VAS


Sakit sedang CMC 130/70 mmHg 98 x/menit 21 x/menit 37oC 3

Ekstremitas Inferior Kanan Kiri


Lingkar Betis 30 cm 40 cm

Keluar hasil labor

AGD 7,358/34/96,7/25/-3/97
Rapid HIV Negatif

31
Keluar hasil Echo Doppler
Kesan :
Cus (+) di vena iliaka, vena femoralis, vena poplitea tungkai kiri dengan
augmentasi (-), positif dengan uji squeezed distal
Cus (-) pada vena femoralis, vena poplitea tungkai kanan
Augmentasi (+) positif dengan uji squeezed distal pada vena femoralis, vena
popliteal, vena tibialis posterior tungkai kanan
CVI (-) pada kedua tungkai
Kesimpulan :
Ditemukan DVT total di vena iliaka, vena femoralis, vena poplitea tungkai
kiri
Fresh trombus di vena poplitea tungkai kanan
Normal flow arteri kedua tungkai

Keluar hasil gene xpert


Kesan : MTB detected low
Rifampisin resistance not detected

Keluar hasil rontgen vertebrae torakolumbal proyeksi AP dan lateral


Kelengkungan dan kedudukan vertebrae torakolumbal baik, tidak tampak
listesis
Struktur dan bentuk vertebrae torakolumbal baik
Densitas vertebrae torakolumbal baik
Pedikel intak. Tidak tampak tanda-tanda fractur, destruksi, lesi litik
blastik.
Tampak pembentukan spur di Th9-L1 dan L1-3
Tidak tampak penyempitan celah diskus intervertebralis
Jaringan lunak paravertebrae torakolumbal kesan baik
Kesimpulan : Spondilosis torakolumbal

32
Konsul Konsultan Hematologi dan Onkologi Medik
Kesan :DVT total di vena iliaka, vena femoralis, vena poplitea tungkai kiri
Advis :
 Bolus heparin 5000 unit/kgBB, Drip heparin 10.000 unit/kgBB diencerkan
dalam 50 cc NaCl 0,9 % (syringe pump) mulai dengan kec 5 cc/jam
selama 5 hari
Jika APTT <35 : naikan kecepatan 2 cc
Jika APTT 35-45 : naikan kecepatan 1 cc
Jika APTT 46-75 : pertahankan
Jika APTT 76-90 : turunkan kecepatan 1 cc
Jika APTT > 90 : stop heparin selama 6 jam
Cek APTT/6 jam
 Simarc 1x2 mg dihari ke 3 heparinisasi
 Awasi perdarahan

Konsul Konsultan Kardiologi


Kesan
 DVT total di vena iliaka, vena femoralis, vena poplitea tungkai kiri
Advis
 Heparinisasi

Konsul konsultan Pulmonologi


Kesan :
 Hospitalized Acquired Pneumonia dengan hipoksemia (perbaikan)
 TB milier
Advis
 Terapi lanjut
 O2 3-5 l/i

33
Konsul bedah ortopedi
Kesan : susp Fracture kompresi L3-L4
Advice :
 Terapi sesuai interne
 kontrol poli orthopedi

Konsul mata
Kesan : tidak ditemukan khoroid tuberkel

Konsul gizi klinik


Kesan : Hipermetabolisme sedang
Advice :
 IVFD aminofluid :clinolec : 1:1 :20:4 jam/kolf
 B comp 3x2tab

A/
 Hospitalized Acquired Pneumonia dengan hipoksemia (perbaikan)
 DVT tungkai kiri
 Tb milier
 Immobilisasi dengan ketergantungan berat
 Hiponatremia
 Hipoalbumin ec Malnutrisi
 BPH
 Anemia ringan Normositik normokrom ec penyakit kronik
 Susp fracture kompresi l3-l4

34
P/
 O2 3-5 l/i
 IVFD aminofluid : clinolec : 1:1 (20 jam : 4 jam)
 Bolus heparin 5000 unit/kgBB, Drip heparin 10.000 unit/kgBB diencerkan
dalam 50 cc NaCl 0,9 % (syringe pump) mulai dengan kec 5 cc/jam
selama 5 hari
Jika APTT <35 : naikan kecepatan 2 cc
Jika APTT 35-45 : naikan kecepatan 1 cc
Jika APTT 46-75 : pertahankan
Jika APTT 76-90 : turunkan kecepatan 1 cc
Jika APTT > 90 : stop heparin selama 6 jam
Cek APTT/6 jam
 Vit b comp 3x2 tab

Follow up tanggal 7 november 2019


S/ Bengkak pada tungkai kiri dan kedua kaki berkurang, nyeri berkurang,
O/
KU Kes TD Nadi Nafas T VAS
Sakit sedang CMC 120/70 mmHg 98 x/menit 20 x/menit 37oC 2

Ekstremitas bawah : edema -/+, pitting edema, nyeri berkurang

Ekstremitas Inferior Kanan Kiri


Lingkar Betis 32 cm 38 cm

35
Keluar hasil labor
Hemoglobin 9 gr/dl Na/k/cl 128/3,6/101
Leukosit 6470/mm3 Alb/glo 2,1/2,6
Hematokrit 25 % Hitung jenis 0/1/2/83/7/7
Trombosit 351.000/mm3

Kesan : Anemia ringan Normositik normokrom, leukositosis dengan neutrofilia


shift to the right.

Keluar hasil kultur sputum :


Selected organism : Staphylococcus haemolyticus

Susceptibility Informati Analysis Time : 10.43 hours Status: Faal


on

Antimicrobial MIC Inerpretation Antimicrobal MIC Interpretation

Ceroxitin Screen POS + Moxifloxacin >=8 R

Benzylpenicillin >=0,5 R Erytromicin  >=8 R

Oxacillin >=4 R Clindamicin  >=8 R

Gentamicin >=16 R Vancomicin 2 S

Ciprofloxacin >=8 R Tetracyclin  2 S

Levofloxacin >=8 R Trimethoprim/ 20 R


Sulfamethixaz
ole

36
Keluar hasil Natrium urine dan osmolaritas urine :
Osmolaritas urine : 300
Natrium urine : 117 mmol/24jam

Konsul Konsultan Hematologi dan Onkologi Medik


Kesan :
 DVT total di vena iliaka, vena femoralis, vena poplitea tungkai kiri
 Anemia ringan Normositik normokrom ec penyakit kronik
Advis :
 Bridging simarc 1x2 mg PO

Konsul konsultan Geriatri


Kesan : immobilisasi dengan ketergantungan berat, hipoalbumin ec malnutrisi
Advice :
 Transfusi albumin 20 %
 Terapi lanjut

A/
 DVT tungkai kiri
 Hospitalized Acquired Pneumonia
 Tb milier
 Immobilisasi dengan ketergantungan berat
 Hiponatremia
 Hipoalbumin ec Malnutrisi
 Anemia ringan Normositik normokrom ec penyakit kronik
 BPH
 Susp fracture kompresi l3-l4

P/
 Simarc 1x2mg
 Transfusi albumin 20%
37
 Terapi lanjut

Follow up tanggal 11 November 2019


S/ Bengkak pada tungkai kiri dan kedua kaki berkurang
O/
KU Kes TD Nadi Nafas T
Sakit sedang CMC 120/80 mmHg 96 x/menit 20 x/menit 37oC

Ekstremitas : edema -/+, pitting edema, nyeri berkurang

Ekstremitas Inferior Kanan Kiri


Lingkar Betis 32 cm 35 cm

Keluar hasil labor


Hemoglobin 9,4 gr/dl Na/k/cl 135/3,6/99
Leukosit 5680/mm3 Alb/glo 2,6/2,5
Hematokrit 25 % PT/APTT 20,3/24,5
Trombosit 365.000/mm3 D-dimer 1887
Hitung jenis 0/3/3/65/22/7

Kesan : Anemia ringan Normositik normokrom, leukositosis dengan neutrofilia


shift to the right. D-dimer meningkat

Konsul Konsultan Hematologi dan Onkologi Medik


Kesan :
 DVT total di vena iliaka, vena femoralis, vena poplitea tungkai kiri
 Anemia ringan Normositik normokrom ec penyakit kronik
Advis :
 Rawat jalan
A/
38
 DVT tungkai kiri
 Hospitalized Acquired Pneumonia
 Tb milier
 Immobilisasi dengan ketergantungan berat
 Hiponatremia
 Hipoalbumin ec Malnutrisi
 Anemia ringan normositik normokrom ec penyakit kronik
 BPH
 Susp fracture kompresi l3-l4

P/
 Pasien rawat jalan

39
DAFTAR KONTROL PT/APTT DRIP HEPARINISASI

Tanggal Jam APTT Kecepatan Heparin


4/11 10.00 33,7 7cc
17.00 54 5cc
00.00 66 5cc
5/11 08.00 >300 Stop heparin
15.00 40 5cc
21.00 40 5cc
6/11 04.00 39,4 6cc
12.00 96,6 Stop heparin
19.00 30,2 7cc
7/11 03.00 35,1 6cc
12.00 56,6 5cc
21.00 29,4 7cc
8/11 05.00 95,4 Stop heparin
13.00 40,4 6cc
22.00 137,2 Stop heparin

40
BAB 3

DISKUSI

Telah dirawat seorang pasien laki laki 66 tahun dengan diagnosis :

 Deep Vein Thrombosis tungkai kiri


 Tuberkulosis milier
 Hospital acquared pneumonia
 Immobilisasi dengan ketergantungan berat
 Hiponatremia ec SIADH
 Hipoalbumin ec malnutrisi
 BPH
 Susp fracture kompresi l3-l4

Diagnosis DVT pada pasien ini ditegakan berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan
keluhan bengkak pada tungkai kiri yang semakin meningkat sejak 2 minggu yang
lalu. Bengkak terjadi perlahan-lahan yang awalnya dirasakan dari kaki dan
semakin membengkak hingga ke betis. Tungkai dirasakan nyeri, hangat, dan
tegang. Pada pemeriksaan fisik ditemukan bengkak di ekstremitas kiri dengan
diameter tungkai kiri lebih besar dari tungkai kanan. Diameter tungkai kiri 40 cm,
dibandingkan tungkai kanan 32 cm. Total well score pada pasien ini 6. Pasien ini
termasuk kriteria high risk DVT. Penegakan diagnosis pasien ini ditunjang dengan
pemeriksaan penunjang laboratorium dan radiologis.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil D Dimer : 3.889 ng/ml,
dimana D-dimer merupakan pemeriksaan yang sensitif untuk penegakan diagnosis
DVT, namun tidak spesifik, sehingga diperlukan pemeriksaan tambahan.
Diagnosis DVT didukung oleh Ultrasonografi (USG) Doppler dengan kesan
ditemukan trombus di vena iliaka, vena femoralis dan vena poplitea tungkai kiri.
USG doppler memiliki tingkat sensitivitas 97% dan spesifisitas 96% pada pasien
yang dicurigai menderita DVT simptomatis. Penatalaksanaan DVT pada pasien
ini bertujuan untuk menghentikan bertambahnya trombus, membatasi bengkak

41
tungkai yang progresif, melisis dan membuang bekuan darah serta mencegah
disfungsi vena atau terjadinya sindrom pasca-trombosis, mencegah terjadinya
emboli.6 Terapi non farmakologi dilakukan pemasangan balut elastis dengan
tekanan 40 mmHg dan elevasi tungkai 300. Terapi farmakologi diberikan terapi
Heparin intravena selama 14 hari. Pemeriksaan PT/APTT harus dilakukan secara
berkala setiap 6 jam/ hari, 8 jam/hari, 12 jam/hari dan 24 jam/hari dengan
mempertahankan nilai APTT 1,5-2,5 kontrol. Lama pemberian heparin selama 14
hari, kemudian dilanjutkan dengan pemberian antikoagulan oral.7 Pemberian anti
koagulan oral (warfarin) diberikan jika pasien siap untuk dimobilisasikan dengan
dosis 5 mg. Karena pasien ini adalah pasien usia tua maka diberikan dosis
warfarin 2 mg/hari. Oral antikoagulan diberikan dalam waktu jangka panjang.
Umumnya diberikan 3 – 6 bulan.

Tuberkulosis (TB) milier ditegakkan berdasarkan dari anamnesis,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan
keluhan sesak nafas, demam, penurunan berat badan, batuk berdahak, keringat
malam dan anoreksia. Menurut Sharma et al (2012), sesak nafas, demam
penurunan berat badan, batuk berdahak maupun tidak berdahak, keringat malam,
dan sesak nafas, merupakan gejala yang paling sering ditemui pada pasien TB
milier. Dari pemeriksaan fisik ditemukan ronkhi pada basal paru kiri dan kanan.
Dari pemeriksaan penunjang didapatkan peningkatan Laju Endap Darah (LED),
gambaran milier pada rontgen thorax, dan tes cepat molekuler yang positif.
Sharma et al (2012) menyatakan adanya gambaran milier pada rontgen thorax dan
ditemukannya kuman TB pada pemeriksaan mikrobiologi semakin menunjang
diagnosis TB milier.8
TB milier berpotensi menyebar ke organ ekstra paru. Adapun organ ekstra
paru yang bisa menjadi tempat penyebaran kuman Mycobacterium tuberculosis
adalah pleura, kelenjar getah bening, traktus urinarius, sistem saraf pusat, tulang
dan sendi, gastrointenstinal, perikardium, kulit, mata dan payudara.
Pada pasien tidak ditemukan adanya gambaran efusi pleura pada rontgen
thorax yang mendukung ke arah adanya TB pleura. Pada pasien juga tidak
didapatkan tanda-tanda pembesaran kelenjar getah bening, sehingga kecurigaan
42
adanya TB kelenjar dapat disingkirkan. Gangguan buang air kecil tidak
dikeluhkan dan pemeriksaan urinalisis didapatkan hasil dalam batas normal,
sehingga kecurigaan adanya TB genital dan traktus urinarius dapat disingkirkan.
Pada pasien juga tidak didapatkan gejala-gejala nyeri perut, diare maupun
konstipasi. Gejala kelainan tulang dan persendian juga tidak ditemukan. Gejala
meningitis seperti nyeri kepala, kaku kuduk dan tanda rangsangan meningeal yang
lain tidak ditemukan.
Pada pasien juga ditemukan hiponatremia dimana didapatkan Na 129,
Hiponatremia pada pasien ini ditegakkan karena SIADH. Menurut Khawar Khan
(2017), Hiponatremia terjadi pada hampir 50 % pasien dengan tuberculosis paru.
Hal ini terjadi karena disregulasi dari pelepasan Anti Diuretik Hormon atau
penyakit Addison’s. SIADH dicurigai pada kasus dengan hyponatremia dengan
kondisi osmolalitas serum rendah,osmolalitis urin lebih dari 100 mOsm/kg and
konsentrasi Natrium urim lebih dari 40 meq/L.

Pasien ini mendapatkan terapi OAT kategori I yang diberikan sama


dengan TB paru secara umum yaitu 2RHZE/4RH dengan pemberian dosis
berdasarkan berat badan yaitu Rifampisin 1x600 mg, INH 1x300 mg, Pirazinamid
1x1000 mg, Etambutol 1x750 mg. Pasien juga memiliki anak yang berumur 3
tahun, dimana berdasarkan Permenkes Nomor 67 tahun 2016 tentang
Penanggulangan Tuberkulosis, pemberian profilaksis INH diberikan pada anak
dibawah 5 tahun. Untuk pencegahan penularan diberikan edukasi kepada pasien dan
keluarganya tentang penyakit tuberkulosis dan bahaya penularan kepada anggota
keluarga lainnya, pasien dianjurkan untuk menggunakan masker ataupun menutup
mulut saat batuk dan bersin dengan tissue satu kali pakai.

43
Pada pasien ini ditegakkan dengan immobilisasi dengan ketergantungan
berat dimana usia pasien yang sudah 61 (sudah tergolong geriatri) terajadi trauma
pada pasien sejak 8 bulan yang lalu, yang mana setelah itu terajadi kelain anatomis
berupa kecurigaan akan frakture kompresi l3-l4 yang juga menyebabkan nyeri. Hal
ini menggangg aktivitas pasien, dampak dari kejadian ini pasin sejak 2 bulan ini lebih
banyak terbari karena nyeri yang dirasakan pasien apabila pasien bergerak.Berbagai
faktor baik fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi pada
pasien usia lanjut. Beberapa penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri,
lemah, kekakuan otot, ketidakseimbangan, dan masalah psikologis. Penyakit
Parkinson, artritis reumatoid, gout, dan obat‐obatan antipsikotik seperti haloperidol
juga dapat menyebabkan kekakuan. Rasa nyeri, baik dari tulang (osteoporosis,
osteomalasia, Paget’s disease, metastase kanker tulang, trauma), sendi
(osteoartritis, artritis reumatoid, gout), otot (polimalgia, pseudoclaudication) atau
masalah pada kaki dapat menyebabkan imobilisasi.

44
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohdi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar


Ilmu Penyakit Dalam edisi V. Jakarta : Interna Publishing 2009.
2. Sazli BI, Gatot D. Trombosis vena dalam. In: Lubis HR, Zain LH, editors.
Kegawatan Penyakit Dalam. Medan: USU Press, 2014;214 - 226
3. Hirsh J, Lee A (2002). How we diagnose and treat deep vein
thrombosis.Blood,  99: 3102-3110
4. JCS Guidelines (2011). Guidelines for the diagnosis, treatment and
prevention of pulmonary thromboembolism and deep vein thrombosis
(JCS 2009). Circ J; 75: 1258-1281
5. Adam S, Key N, Greenberg C (2009). D-dimer antigen: current concepts
and future prospects. Blood, 113:2878-87
6. Righini M (2007). Is it worth diagnosing and treating distal vein
thrombosis? no. J Thromb Haemost, 5:55-9
7. Bates S, Ginsberg G (2004). Treatment of deep vein thrombosis. N Engl J
Med, 351:268-77
8. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 67 tahun 2016.
Tentang Penanggulangan Tuberculosis.
9. Clinical Presentation of TB. In : National Tuberculosis Management
Guideline 2014. South Africa. TB DOTS Strategy Coordination, National
Department of Health Republic of South Africa. 2014.
10. Sharma, SK.Mohan, A. Sharma, A. Miliary Tuberculosis : A new look at
an old foe. Journal of Clinical Tuberculosis and Other Mycobacterial
Disease. 2016. Vol 3; 13-27.
11. Sharma, SK.Mohan, A. Sharma, A. Challenges in the diagnosis &
treatment of miliary tuberculosis. Indian Journal Medical Respiratory.
2012. Vol 135; 703-730.
12. Unaiyah, A. Fauzar. Soeroto, AY. Handoyo, T. Riyanto, BS. Muis, E.et al.
Dalam : Modul PPM TB Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia (PAPDI). Jakarta. Perhimpunan Respirologi dan Penyakit Kritis
Indonesia, 2017
13. Mulley G. A History of geriatrics and gerontology. European Geriatric
Medicine. 2012;3(4):225-7.

45
14. Setiati S, Harimurti K, Dewiasty E, Istanti R, Sari W, Verdinawati T.
Prevalensi geriatric giant dan kualitas hidup pada pasien usia lanjut yang
dirawat di Indonesia: penelitian multisenter. In Rizka A (editor).
Comprehensive prevention & management for the elderly:
interprofessional geriatric care. Jakarta: Perhimpunan Gerontologi Medik
Indonesia; 2013:183.

46

Anda mungkin juga menyukai