Anda di halaman 1dari 14

Catatan UU PT 2007

Pasal 1 ayat (7)

“Perseroan Terbuka adalah Perseroan Publik atau Perseroan yang melakukan penawaran umum saham,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.”

Penawaran umum saham= Penawaran umum saham perdana dikenal dengan istilah Initial Public
Offering (IPO). Penawaran umum adalah kegiatan penawaran efek yang dilakukan oleh emiten
untuk menjual efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam undang-undang
pasar modal dan peraturan pelaksananya (UU No. 8 Tahun 1995).

Saham perusahaan yang akan go public akan dijual dipasar perdana terlebih dahulu sebelum
diperdagangkan dipasar sekunder (bursa efek). Selanjutnya saham baru dapat diperjualbelikan di
bursa efek atau yang disebut pasar sekunder (secondary market). Harga saham pada penawaran
perdana ditentukan berdasarkan kesepakatan antara emiten dengan underwriter (penjamin emisi
efek). Pada pasar sekunder harga saham terbentuk dari mekanisme pasar atau kekuatan
permintaan dan penawaran atas saham tersebut. Penilaian investor difase ini besar pengaruhnya
terhadap perkembangan harga saham.

1.Pasar Perdana (Primary Market)


Merupakan pasar di mana saham diperdagankan untuk pertama kalinya, sebelum dicatatkan di
Bursa Efek Indonesia. Di sini, biasanya saham pertama kali ditawarkan kepada investor dengan
mekanisme Penawaran Umum Perdana (Initial Public Offering / IPO).
2.Pasar Sekunder (Secondary Market)
Pasar sekunder adalah kelanjutan dari pasar perdana setelah perusahaan melepas IPO. Transaksi
jual beli saham di pasar sekunder dilangsungkan di Bursa Efek Indonesia. Bila kita
menggunakan software online trading saham untuk membeli saham, biasanya berarti kita
bertransaksi di pasar sekunder. Di pasar sekunder, ada Pasar Reguler, Pasar Negosiasi dan Pasar
Tunai

Emiten adalah istilah yang sangat umum dalam dunia investasi dan pasar modal. Sebutan ini
mengacu pada sebuah pihak (baik swasta maupun pemerintah) yang melakukan penawaran Efek
secara umum kepada publik dalam rangka memperoleh modal atau dana tambahan.
emiten adalah pihak yang menerbitkan menjual Efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara
yang telah diatur dalam peraturan undang-undang yang berlaku. Adapun pihak yang dimaksud
dengan emiten adalah perseorangan, perusahaan, asosiasi, usaha bersama, maupun kelompok
yang terorganisasi.

Jenis Efek yang ditawarkan oleh sebuah emiten dapat berupa saham, obligasi, tanda bukti utang,
surat berharga komersial, surat pengakuan utang, dan derivatif Efek lainnya. Selain itu, Efek juga
dapat berupa sukuk yang merupakan Efek Syariah. Khusus untuk sukuk, akad dan penerbitannya
disesuaikan dengan prinsip syariah di pasar modal

Pasal 1 ayat (9), (10), (11)

(9)Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk
menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan
pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang
menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan
diri berakhir karena hukum.

(10) Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Perseroan atau lebih untuk
meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan baru yang karena hukum memperoleh
aktiva dan pasiva dari Perseroan yang meleburkan diri dan status badan hukum Perseroan yang
meleburkan diri berakhir karena hukum.

(11)Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang
perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya
pengendalian atas Perseroan tersebut.

(12) Pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Perseroan untuk memisahkan usaha yang
mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 2 (dua) Perseroan
atau lebih atau sebagian aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 1 (satu) Perseroan
atau lebih.
1. Apa yang dimaksud dengan penggabungan (merger) perusahaan?

Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk
menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada dan selanjutnya perseroan yang
menggabungkan diri menjadi bubar.

Contoh PT A dengan alasan tertentu menggabungkan diri dengan PT B. perbuatan PT A


dinayatakn berakhir karena hukum. Kita akan mengenal PT B yang mengenal penggabungan PT
A

2. Apa yang dimaksud dengan peleburan (fusie/consolidation) perusahaan?

Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua perseroan atau lebih untuk
meleburkan diri dengan cara membentuk satu perseroan baru dan masing-masing perseroan yang
meleburkan diri menjadi bubar.

Contoh 2 perseroan PT A dan PT B meleburkan perseroan tersebut maka PT A DAN B akan


berakhir status hukumnya/ berakhir karena hukum dan kini sudah lahir PT C

Contoh : pembentukan Bank Mandiri yang berasal dari peleburan empat Bank BUMN yang
sedang sekarat akibat dampak krisis moneter 1997/1998, yaitu Bank BDN, Bank Bumi Daya,
Bank Ekspor Impor, dan Bank Bapindo. Kebijakan peleburan empat Bank BUMN tersebut
diambil pemerintah guna menyelematkan bank dari risiko kebangkrutan karena pada saat itu
modal keempat Bank BUMN tersebut sudah negatif.

3. Apa yang dimaksud dengan pengambilalihan (akuisisi) perusahaan?

Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang
perseorangan untuk mengambil alih baik seluruh ataupun sebagian besar saham perseroan yang
dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap perseroan tersebut. Sebagian besar
saham meliputi lebih dari 50% maupun suatu jumlah tertentu yang menunjukkan bahwa jumlah
tersebut lebih besar dari kepimilikan saham dari pemegang saham lainnya.
Bagi perseroan yang akan diambil alih, maka saham yang akan dialihkan adalah saham yang
telah dikeluarkan. Termasuk saham yang telah dibeli kembali oleh perseroan tersebut. Termasuk
saham yang telah dibeli kembali oleh perseroan tersebut. Sebagai pembayaran atau imbalan,
perseroan yang akan mengambil alih memberikan kepada pemegang saham perseroan yang
diambilalih berupa uang atau bukan yang yang terdiri dari:

Benda atau kekayaan lainnya.

Saham yang telah dikeluarkan atau saham baru yang akan dikeluarkan oleh perseroan
yang akan mengambilalih atas perseroan lain.

Akibat hukum akuisisi:

beralihnya hak dan kewajiban suatu perusahaan yang diakuisisi kepada pengakuisisi,Apabila
akuisisi PT diikuti dengan perubahan AD yang membutuhkan persetujuan Menkumham, akuisisi
dianggap mulai berlaku sejak tanggal persetujuan AD oleh Menkumham. Apabila akusisi PT
disertai perubahan  AD yang tidak memerlukan persetujuan Menkumham, akusisi dianggap
mulai berlaku sejak tanggal pendaftaran akta akuisisi dalam daftar perusahaan. Di sisi lain,
apabila akuisisi PT tidak mengakibatkan perubahan AD, akuisisi dianggap mulai berlaku sejak
tanggal penandatanganan Akta akuisisi di hadapan notaris.

Contoh: Yg diambil alih adalah saham nya sehingga Ketika ada perusahaan A dan B kemudian
B membeli saham-saham milik pemegang saham perusahaan A maka perusahaan B mengambil
alih pengendalian atas PT A tersebut. Pt A masih hidup dan teteap berjalan

Contoh : pengambilalihan saham mayoritas pabrik rokok asal Indonesia (PT HM Sampoerna)
oleh perusahaan rokok asal Amerika (Philip Morris Ltd). Akibat akuisisi tersebut, kendali
perusahaan PT HM Sampoerna tidak lagi berada di tangan keluarga besar Sampoerna tetapi
sudah beralih tangan Philip Morris Ltd.

Contoh pemisahan A dipisahkan menjadi B dan C dan Sebagian aktiva dan pasiva milik A
menjadi milik B
Sederhananya, aktiva merupakan aset atau harta yang dimiliki oleh sebuah perusahaan.
Sedangkan pasiva atau yang kerap juga disebut sebagai liability ialah hutang atau kewajiban
yang harus dibayarkan oleh perusahaan pada pihak ketiga. Hal ini bisa mencakup hutang jangka
pendek maupun jangka panjang.

Pasal 14

(1) Perbuatan hukum atas nama Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum, hanya
boleh dilakukan oleh semua anggota Direksi bersama-sama semua pendiri serta semua anggota
Dewan Komisaris Perseroan dan mereka semua bertanggung jawab secara tanggung renteng atas
perbuatan hukum tersebut.

(2) Dalam hal perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendiri atas
nama Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum, perbuatan hukum tersebut
menjadi tanggung jawab pendiri yang bersangkutan dan tidak mengikat Perseroan.

(3) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), karena hukum menjadi tanggung
jawab Perseroan setelahPerseroan menjadi badan hukum. (

4) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya mengikat dan menjadi tanggung
jawab Perseroan setelah perbuatan hukum tersebut disetujui oleh semua pemegang saham dalam
RUPS yang dihadiri oleh semua pemegang saham Perseroan.

(5) RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah RUPS pertama yang harus
diselenggarakan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah Perseroan memperoleh status badan
hukum.

Pasal 15

(1) Anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) memuat sekurang-kurangnya:
a. nama dan tempat kedudukan Perseroan;

b. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan;

c. jangka waktu berdirinya Perseroan;

d. besarnya jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor;

e. jumlah saham, klasifikasi saham apabila ada berikut jumlah saham untuk tiap klasifikasi, hak-hak yang
melekat pada setiap saham, dan nilai nominal setiap saham;

f. nama jabatan dan jumlah anggota Direksi dan Dewan Komisaris;

g. penetapan tempat dan tata cara penyelenggaraan RUPS;

h. tata cara pengangkatan, penggantian, pemberhentian anggota Direksi dan Dewan Komisaris;

i. tata cara penggunaan laba dan pembagian dividen

Pasal 16

(1) Perseroan tidak boleh memakai nama yang:

a. telah dipakai secara sah oleh Perseroan lain atau sama pada pokoknya dengan nama Perseroan
lain;

b. bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan;

c. sama atau mirip dengan nama lembaga negara, lembaga pemerintah, atau lembaga
internasional, kecuali mendapat izin dari yang bersangkutan;
d. tidak sesuai dengan maksud dan tujuan, serta kegiatan usaha, atau menunjukkan maksud dan
tujuan Perseroan saja tanpa nama diri;

e. terdiri atas angka atau rangkaian angka, huruf atau rangkaian huruf yang tidak membentuk
kata; atau f. mempunyai arti sebagai Perseroan, badan hukum, atau persekutuan perdata.

(2) Nama Perseroan harus didahului dengan frase “Perseroan Terbatas” atau disingkat “PT”.

(3) Dalam hal Perseroan Terbuka selain berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
pada akhir nama Perseroan ditambah kata singkatan “Tbk”.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemakaian nama Perseroan diatur dengan peraturan
pemerintah

Pasal 21

(1) Perubahan anggaran dasar tertentu harus mendapat persetujuan Menteri.

Perubahan anggaran dasar yang harus mendapat persetujuan Menteri meliputi:[6]


a.    nama Perseroan dan/atau tempat kedudukan Perseroan;
b.    maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan;
c.    jangka waktu berdirinya Perseroan;
d.    besarnya modal dasar;
e.    pengurangan modal ditempatkan dan disetor; dan/atau
f.     status Perseroan yang tertutup menjadi Perseroan Terbuka atau sebaliknya.
 
Lain daripada yang disebutkan di atas, perubahan anggaran dasar hanya perlu diberitahukan
kepada Menteri.

Untuk perubahan anggaran dasar yang harus mendapat persetujuan Menteri, perubahan anggaran
dasar tersebut berlaku sejak tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai persetujuan
anggaran dasar. Sedangkan dalam hal perubahan anggaran dasar hanya perlu diberitahukan
kepada Menteri, perubahan anggaran dasar tersebut berlaku sejak tanggal diterbitkannya surat
penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar oleh Menteri.
Perbedaan Perseroan Publik dan Perseroan Terbuka (Tbk)

Pengertian Perseroan Publik diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat 8 Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU 40/2007”) yaitu Perseroan yang memenuhi kriteria
jumlah pemegang saham dan modal disetor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang pasar modal.
 
Kriteria jumlah pemegang saham dan modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat 8
UU40/2007 tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 1 ayat 22 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1995 tentang Pasar Modal (“UU 8/1995”) yaitu apabila Perseroan telah dimiliki sekurang-
kurangnya oleh 300 pemegang saham dan memiliki modal disetor sekurang-kurangnya Rp 3
miliar.
 
Sehingga dalam hal suatu perseroan yang sebelumnya didirikan sebagai Perseroan Tertutup
namun seiring beroperasinya Perusahaan tersebut telah terdapat sekurangnya 300 pemegang
saham dan modal disetor sebesar minimal Rp. 3 Miliar, maka secara hukum Perseroan Tertutup
tersebut berubah menjadi Perseroan Publik dan harus memenuhi ketentuan Pasal 24 UU 40/2007
yang mengatur bahwa:
1.      Perseroan yang modal dan jumlah pemegang sahamnya telah memenuhi kriteria sebagai
Perseroan Publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal,
wajib mengubah anggaran dasarnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
terpenuhi kriteria tersebut; dan
2.  Direksi Perseroan yang telah memenuhi kriteria sebagai Perseroan Publik tersebut wajib
mengajukan pernyataan pendaftaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang pasar modal.
Sedangkan yang dimaksud dengan Perseroan Terbuka (Tbk.) berdasarkan Pasal 1 ayat 7 UU
40/2007 terbagi menjadi dua kriteria, yaitu:
 
1.    Perseroan publik yang telah memenuhi kriteria sebagai perseroan publik yaitu memiliki
pemegang saham sekurangnya 300 orang dan modal disetor sekurang-kurangnya Rp 3 miliar,
atau
2.  Perseroan yang melakukan penawaran umum (public offering) saham di Bursa Efek. Maksudnya
perseroan tersebut menawarkan atau menjual saham atau efeknya kepada masyarakat luas.
 
Jadi berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Perseroan Publik merupakan salah satu
Perseroan Terbuka (Tbk) yang memenuhi persyaratan tertentu sesuai dengan ketentuan pasar
modal. Sehingga Perseroan Publik belum tentu melakukan penawaran saham (public offering) di
Bursa Efek. Namun demikian, baik Perseroan publik maupun Perseroan yang melakukan
penawaran saham (public offering) keduanya dikategorikan sebagai Perseroan Terbuka (Tbk).

Pasal 39

(1) RUPS dapat menyerahkan kewenangan kepada Dewan Komisaris guna menyetujui pelaksanaan
keputusan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 untuk jangka waktu paling lama 1 (satu)
tahun.

dengan syarat dan kondisi tertentu, RUPS dapat mendelegasikan kewenangan yang dimilikinya
kepada Dewan Komisaris. Kewenangan tersebut di antaranya sebagai berikut:

1.Menyetujui pelaksanaan keputusan RUPS tentang pembelian kembali saham PT. Dewan
komisaris dapat memberi persetujuan mengenai penentuan saat, cara pembelian kembali saham,
dan jumlah saham yang akan dibeli kembali, tetapi tidak termasuk hal-hal yang menjadi tugas
Direksi dalam pembelian kembali saham, seperti melakukan pembayaran, menyimpan surat
saham, dan mencatatkan dalam daftar pemegang saham. Perlu dicatat, kewenangan ini hanya
dapat didelegasikan untuk jangka waktu paling lama 1 tahun dan dapat diperpanjang untuk
durasi yang sama. Namun perlu diingat, penyerahan kewenangan ini dapat ditarik sewaktu-waktu
oleh RUPS.

2.Menyetujui pelaksanaan keputusan RUPS tentang penambahan modal PT. Dewan


Komisaris dapat memberi persetujuan mengenai penentuan saat, cara, dan jumlah penambahan
modal yang tidak melebihi batas maksimum yang telah ditetapkan oleh RUPS, tetapi tidak
termasuk hal-hal yang menjadi tugas Direksi dalam penambahan modal, seperti menerima
setoran saham dan mencatatnya dalam daftar pemegang saham. Penyerahan kewenangan dalam
hal ini berlaku untuk jangka waktu paling lama 1 tahun. Sama seperti sebelumnya, penyerahan
kewenangan ini juga dapat ditarik sewaktu-waktu oleh RUPS

3.Menetapkan besarnya gaji dan tunjangan anggota Direksi PT. Dewan komisaris, melalui
keputusan rapat dapat menetapkan besarnya gaji dan tunjangan bagi setiap anggota Direksi PT,
apabila RUPS melimpahkan kewenangan ini kepada Dewan Komisaris.

perbedaan antara modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor?

Modal Dasar
M. Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Perseroan Terbatas menjelaskan bahwa modal
dasar adalah seluruh nilai nominal saham perseroan yang disebut dalam anggaran dasar.
Modal dasar perseroan pada prinsipnya merupakan total jumlah saham yang dapat diterbitkan
oleh perseroan terbatas (“PT”). Anggaran dasar sendiri yang menentukan berapa jumlah saham
yang dijadikan modal dasar. Jumlah yang ditentukan dalam anggaran dasar merupakan “nilai
nominal yang murni” (hal. 233).

Modal Ditempatkan
Selain modal dasar, dikenal pula modal ditempatkan yang dicantumkan dalam format isian untuk
memperoleh pengesahan badan hukum PT serta dicantumkan dalam anggaran dasar PT. 
 
M. Yahya Harahap menjelaskan bahwa modal ditempatkan adalah jumlah saham yang sudah
diambil pendiri atau pemegang saham, dan saham yang diambil tersebut ada yang sudah
dibayar dan ada yang belum dibayar (hal. 236)
Jadi, modal ditempatkan itu adalah modal yang disanggupi pendiri atau pemegang saham untuk
dilunasinya, dan saham itu telah diserahkan kepadanya untuk dimiliki (hal. 236).
 
Patut dicatat, minimal 25% dari modal dasar harus ditempatkan dan disetor penuh yang
dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah

Modal Disetor
Masih dari buku yang sama, arti modal disetor menurut M. Yahya Harahap adalah modal yang
sudah dimasukkan pemegang saham sebagai pelunasan pembayaran saham yang diambilnya
sebagai modal yang ditempatkan dari modal dasar perseroan. Jadi, modal disetor adalah saham
yang telah dibayar penuh oleh pemegang atau pemiliknya (hal. 236).
Ketentuan mengenai modal disetor merujuk pada bunyi Pasal 33 ayat (1) dan (2) UU PT yang
juga mengatur modal ditempatkan.
Selain itu, pengeluaran saham lebih lanjut yang dilakukan setiap kali untuk menambah modal
yang ditempatkan harus disetor penuh.[6]
Sehingga, paling sedikit 25% dari modal dasar harus (hal. 236):
1.    telah ditempatkan, dan
2.    telah disetor penuh pada saat pendirian PT.

Contoh
Sebagai ilustrasi, kami akan memberikan contoh sebagai berikut:
 
A dan B sebagai pendiri PT X telah menyepakati modal dasar PT X adalah Rp150 juta yang
terbagi atas 1000 lembar saham, masing-masing saham bernilai nominal Rp150 ribu.
 
Dari jumlah Rp150 juta tersebut, kemudian A dan B ternyata menyanggupi untuk mengambil
sebagian saja, misalnya total saham yang diambil A dan B adalah Rp100 juta, maka nilai Rp100
juta tersebut merupakan modal ditempatkan yang harus disetor penuh.

Sedangkan, sisa Rp50 juta yang belum diambil bagiannya itu disebut saham portefel yang artinya
menurut M. Yahya Harahap yaitu saham yang “belum dikeluarkan” atau “belum ditempatkan”.
Setiap saat saham portefel dapat dikeluarkan untuk menambah modal ditempatkan dan harus
disetor penuh, tidak boleh mengangsur (hal. 238).
 
Kemudian melanjutkan ilustrasi di atas, karena modal ditempatkan (jumlah saham yang sudah
diambil A dan B sebagai pendiri atau pemegang saham) adalah sebesar Rp100 juta, bila A dan B
telah melakukan penyetoran, misalnya sebesar Rp37.5 juta, berarti ada sisa yang belum dilunasi
sebesar Rp62.5 juta. Sesuai konsep modal disetor, seluruh saham yang diambil bagian oleh A
dan B (modal ditempatkan) harus sudah dilunasi pembayarannya. Jadi, sisa Rp62.5 juta itu harus
sudah dilunasi saat pendirian PT.
 
Ini juga terkait dengan ketentuan bahwa tidak dimungkinkan penyetoran atas saham dengan cara
mengangsur (hal. 237). Sehingga sebelum pendirian PT dilakukan, semua modal yang
ditempatkan harus sudah disetor penuh.

Pasal 53

(4) Klasifikasi saham sebagaimana dimaksud pada ayat (3), antara lain:

a. saham dengan hak suara atau tanpa hak suara;

b. saham dengan hak khusus untuk mencalonkan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris;

c. saham yang setelah jangka waktu tertentu ditarik kembali atau ditukar dengan klasifikasi saham lain;
d. saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima dividen lebih dahulu dari
pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian dividen secara kumulatif atau nonkumulatif;

e. saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima lebih dahulu dari pemegang
saham klasifikasi lain atas pembagian sisa kekayaan Perseroan dalam likuidasi.

Pasal 66

(1) Direksi menyampaikan laporan tahunan kepada RUPS setelah ditelaah oleh Dewan Komisaris dalam
jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku Perseroan berakhir.

(2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat sekurang-kurangnya:\

a. laporan keuangan yang terdiri atas sekurang-kurangnya neraca akhir tahun buku yang baru lampau
dalam perbandingan dengan tahun buku sebelumnya, laporan laba rugi dari tahun buku yang
bersangkutan, laporan arus kas, dan laporan perubahan ekuitas, serta catatan atas laporan keuangan
tersebut;

b. laporan mengenai kegiatan Perseroan;

c. laporan pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan;

d. rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang mempengaruhi kegiatan usaha Perseroan;
e. laporan mengenai tugas pengawasan yang telah dilaksanakan oleh Dewan Komisaris selama tahun
buku yang baru lampau;

f. nama anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris;

g. gaji dan tunjangan bagi anggota Direksi dan gaji atau honorarium dan tunjangan bagi anggota Dewan
Komisaris Perseroan untuk tahun yang baru lampau.

Pasal 84

(1) Setiap saham yang dikeluarkan mempunyai satu hak suara, kecuali anggaran dasar menentukan lain.
(2) Hak suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:

a. saham Perseroan yang dikuasai sendiri oleh Perseroan;

b. saham induk Perseroan yang dikuasai oleh anak perusahaannya secara langsung atau tidak langsung;
atau

c. saham Perseroan yang dikuasai oleh Perseroan lain yang sahamnya secara langsung atau tidak
langsung telah dimiliki oleh Perseroan

Pasal 104

(1) Direksi tidak berwenang mengajukan permohonan pailit atas Perseroan sendiri kepada Pengadilan
Niaga sebelum memperoleh persetujuan RUPS, dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana diatur
dalam undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaan KewajibanPembayaran Utang.

(2) Dalam hal kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat terjadi karena kesalahan atau kelalaian
Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan
tersebut, setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban
yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut.

(3) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku juga bagi anggota Direksi yang salah
atau lalai yang pernah menjabat sebagai anggota Direksi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum
putusan pernyataan pailit diucapkan.
(4) Anggota Direksi tidak bertanggungjawab atas kepailitan Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) apabila dapat membuktikan:

a. kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab untuk
kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;

c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan
pengurusan yang dilakukan; dan

d. telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) berlaku juga bagi Direksi dari
Perseroan yang dinyatakan pailit berdasarkan gugatan pihak ketiga.

Anda mungkin juga menyukai