Anda di halaman 1dari 21

TUGAS

MAKALAH KEPERAWATAN ANAK LANJUT I : ASUHAN


KEPERAWATAN ANAK DENGAN PENYAKIT AKUT PADA
SISTEM PENCERNAAN : THYPOID

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Anak Lanjut


I (Penyakit Akut dan Kegawatdaruratan)

OLEH:
WAHYUNI AGUSTIA
NIM : 20200920100040

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2020 1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-nya, sehingga Karya Tulis dengan judul “Tugas Makalah
Keperawatan Anak Lanjut I : Asuhan Keperawatan Anak dengan Penyakit
Akut Thypoid” telah terselesaikan dengan tepat waktu.

Tugas makalah ini merupakan tugas individu yang pertama di semester genap
program magister keperawatan anak. Dalam tugas ini dibahas mulai dari anatomi
fisiologi hingga asuhan keperawatan pada anak dengan kasus penyakit akut
pneumonia. Dalam tugas ini juga disertakan dengan evidence base practice terbaru
yang berhubungan dengan penyakit akut thypoid.

Meskipun upaya semaksimal sudah dilakukan dalam penyusunan tugas makalah


ini, namun saya menyadari masih banyak kekurangan dan keterbatasan yang
ditemukan. oleh karena itu, saya mohon adanya kritik dan saran serta perbaikan
revisi yang bersifat membangun guna melengkapi dan menyempurnakan
penulisan makalah ini.

Jakarta, Maret 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

Hala
HALAMAN JUDUL......................................................................................................1
KATA PENGANTAR....................................................................................................2
DAFTAR ISI..................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG.........................................................................................4
1.2 TUJUAN..............................................................................................................5
1.2.1 Tujuan Umum................................................................................5
1.2.2 Tujuan Khusus...............................................................................5

BAB II TINJAUAN TEORI


2.1 Anatomi Sistem Pencernaan ...............................................................................8
2.2 Konsep Penyakit Thypoid .....................................................................................11
2.3 Proses Keperawatan...............................................................................................17
2.4 Web of Caution/WOC............................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demam tifoid ditemukan dalam kehidupan masyarakat, baik perkotaan maupun
pedesaan.Penyakit demam tifoid erat kaitannya dengan hygiene dan sanitasi
lingkungan seperti hygiene perseorangan dan hygiene makanan yang tidak sehat,
lingkungan yang kumuh, kebersihan tempat-tempat umum yang kurang serta perilaku
masyarakat yang tidak mendukung untuk hidup sehat.Demam tifoid bersifat endemik
dan merupakan masalah kesehatan masyarakat sehingga penyakit demam tifoid harus
mendapatkan perhatian serius karena permasalahannya yang sangat kompleks
sehingga menyulitkan upaya pengobatan dan pencegahan.
Demam typhoid (tifus abdominalis, enteric fever) ialah penyakit infeksi akut yang
mengenai saluran cerna yang disebabkan oleh bakteri Salmonella thyphosa. Demam
thypoid akan sangat berbahaya jika tidak segara di tangani secara baik dan benar,
bahkan menyebabkan kematian. Prognosis menjadi tidak baik apabila terdapat
gambaran klinik yang berat, seperti demam tinggi (hiperpireksia), febris kontinua,
kesadaran sangat menurun (sopor, koma, atau delirium), terdapat komplikasi yang
berat misalnya dehidrasi dan asidosis, perforasi (Elisabeth Purba et al. 2016).
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai
negara sedang berkembang. Menurut dataWorld Health Organizatio n(WHO) tahun
2013 memperkirakan angka kejadian di seluruh dunia terdapat sekitar 17 juta per
tahun dengan 600.000 orang meninggal karena penyakit ini dan 70% kematiannya
terjadi di Asia. Diperkirakan angka kejadian dari 150/100.000 per tahun di Amerika
Selatan dan 900/100.000 per tahun di Asia. Salah satu negara di Asia Tenggara
dengan kasus demam thypoid yang tinggi adalah Kamboja, di Kamboja demam
thypoid banyak ditemukan pada anak. Prevalensi kasus demam thypoid dari 11,36 per
1.000 penduduk, terjadi pada anak usia kurang dari 15 tahun (Ilmiah 2016).
Di Indonesia, penyakit demam thypoid bersifat endemic (penyakit yang selalu
ada di masyarakat sepanjang waktu walaupun dengan angka kejadian yang kecil).
Prevalensi nasional untuk demam thypoid (berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan)
adalah 1,60%. Sebanyak 14 provinsi mempunyai prevalensi demam thypoid diatas4
prevalensi nasional yaitu Nanggroe Aceh Darussalam (2,96%), Bengkulu (1,60%),
Jawa Barat (2,14%), Jawa Tengah (1,61%), Banten (2,24%), NTB (1,93%), NTT
(2,33%), Kalimantan Selatan (1,95%), Kalimantan Timur (1,80%), Sulawesi Selatan
(1,80%), Sulawesi Tengah (1,65%), Gorontalo (2,25%), Papua Barat (2,39%), dan
Papua (2,11%).
Prevalensi demam thypoid banyak ditemukan pada kelompok umur sekolah (5-24
tahun) yaitu 1,9%, dan tertendah pada bayi yaitu 0,8% (Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan 2013). Berdasarkan data yang didapat di Dinas Kesehatan
Provinsi Bali, terdapat anak yang menderita penyakit demam typhoid dari tahun 2013-
2015 di Provinsi Bali khususnya Kabupaten Tabanan yang termasuk 3 Kabupaten
terbanyak anak yang menderita penyakit demam typhoid sebanyak 1892 kasus.
Data yang didapat di Rumah Sakit Umum Tabanan untuk demam thypoid pada
anak-anak yang melakukan rawat inap pada tahun 2014 sejumlah 196 anak, tahun
2015 sejumlah 85 anak, tahun 2016 sejumlah 61 anak, dan tahun 2017 sejumlah 61
anak, jadi jumlah dari tahun 2014-2017 mencapai 403 anak. Demam adalah
peningkatan abnormal suhu badan rectal minimal 380C, biasanya 38,90C sampai
40,60C yang diukur melalui aksila. Demam merupakan tanda adanya masalah yang
menjadi penyebab, bukan suatu penyakit, dan tidak terjadi dengan sendirinya.
Demam umumnya terjadi akibat adanya gangguan pada hipotalamus, penyebab
umum demam pada bayi antara lain infeksi pernapasan atas dan bawah, faringitis,
otitis media, dan infeksi virus umum dan enterik. Reaksi vaksinasi dan pakaian yang
terlalu tebak juga sering menjadi penyebab deman pada bayi (Muscari 2005). Demam
thypoid pada anak biasanya memiliki salah satu tanda seperti demam, diare
(konstipasi), muntah, nyeri perut, dan sakit kepala. Hal ini terutama bila demam sudah
berlangsung selama 7 hari atau lebih dan penyakit lain sudah di sisihkan (Sodikin
2011).
Gejala yang paling menonjol pada demam thypoid adalah demam lebih dari 7
hari. Demam ini bisa diikuti oleh gejala tidak khas lainnya seperti diare, anoreksia,
atau batuk. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sari di Mojokerto ditemukan
penderita demam typhoid yang melakukan pemeriksaan test Widal mengalami
masalah hipertermi sebesar 100% (Sari 2016). Keadaan yang parah bisa disertai
gangguan kesadaran. Komplikasi yang bisa terjadi adalah perforasi usus, perdarahan
usu, dan koma. Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya salmonella dalam darah
melalui kultur.
5
Karena isolasi salmonella relative sulit dan lama, maka pemeriksaan serologi
Widal untuk mendeteksi antigen O dan H sering digunakan sebagai alternal. Titer>
1/40 dianggap positif demam thypoid (Widoyono 2005). Berdasarkan masalah diatas
Hipertermi adalah suatu masalah yang harus segera di atasi. Demam yang tidak segera
di atasi atau berkepanjangan akan menyebabkan kejang demam pada anak, dehidrasi
bahkan terjadi syok, dan gangguan tumbuh kembang pada anak. Anak adalah suatu
individu yang unik dan menarik. Anak di lahirkan untuk melanjutkan generasi, baik
didalam keluarga maupun untuk bangsa, sehingga tumbuh kembang anak harus
diperhatikan.
Penyakit demam thypoid menyebabkan kelainan pada mukosa usus halus dan
dapat menyebabkan timbulnya komplikasi pendarahan usus atau perforasi usus jika
tidak mendapatkan pengobatan, diet, dan perawatan yang adekuat. Penatalaksanaan
medis yang diberikan salah satunya adalah kloramfenikol. Selain pemberian terapi
sesuai dengan program dokter, pasien yang menderita demam thypoid memerlukan
istirahat dengan mutlak selama demam, kemudian diteruskan dua minggu lagi setelah
suhu turun menjadi normal (Ilmiah 2016).
Berdasarkan penelitian peningkatan suhu tubuh pada anak lebih efektif dilakukan
tindakan tapidsponge yang dapat menurunkan suhu sebesar 0,7oC, dibandingkan
dengan menggunakan kompres hangat yang dapat menurunkan suhu 0,5oC, namun
dalam melakukan tindakan tapidsponge anak sering merasa tidak nyaman (Wardiyah,
Setiawati, dan Romayati 2016).
Angka kesakitan yang tinggi pada kasus demam thypoid dengan hipertermi
menunjukkan bahwa terdapat keluhan yang sama yaitu panas tinggi dengan rentang
suhu (38-41°C). Hipertermi dapat membahayakan keadaan pasien jika tidak segera
ditangani, sehingga dalam hal ini penulis tertarik untuk melakukan Asuhan
Keperawatan dengan Demam Thypoid khususnya pada anak dan mengambil judul
“Gambaran Asuhan Keperawatan Pada Anak Demam Typhoid Dengan Hipertermi Di
Ruang Anggrek BRSU Tabanan Tahun 2018”.

1.2 Tujuan
a) Tujuan Umum
Mahasiswa dapat memahami konsep teori dan asuhan keperawatan anak dengan
gangguan sistem Pencernaan, khususnya thypoid.
b) Tujuan khusus
6
1) Konsep teori
a) Menjelaskan anatomi dan fisiologi sistem pencernaan
b) Mengetahui definisi thypoid.
c) Mengetahui etiologi thypoid.
d) Mengetahui patofisiologi dan WOC thypoid.
e) Mengetahui manifestasi klinis thypoid.
f) Mengetahui penatalaksanaan thypoid
g) Mengetahui komplikasi thypoid
h) Mengetahui prognosis thypoid
i) Dapat menjelaskan proses keperawatan pada klien thypoid serta dapat
memberikan asuhan keperawatan pada klien thypoid
2) Asuhan keperawatan klien dengan gangguan thypoid
a) Menjelaskan tentang pengkajian klien dengan thypoid
b) Menjelaskan tentang diagnosis keperawatan klien dengan pthypoid
c) Menjelaskan intervensi dan rasional tindakan kepada klien dengan thypoid

1.3 Manfaat
a) Untuk memermudah mahasiswa dalam mencari sumber informasi mengenai
thypoid
b) Untuk menambah literatur/referensi mengenai asuhan keperawatan anak dengan
thypoid

7
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernapasan

Anatomi dan fisiologi sistem pernapasan


Saluran Gastrointestinal mencakup semua struktur dari mulut hingga anus. Fungsi
utama system GI adalah mencerna dan mengabsorpsi zat gizi dan air,
mengeliminasi produk sisa, dan mensekresi berbagai zat yang diperlukan untuk
pencernaan. Bayi lahir dengan saluran GI yang imatur belum matur sepenuhnya
hingga usia 2 tahun. Karena imaturitas ini, ada banyak perbedaan antarasaluran
pencernaan anak kecil dan anak yang berusia lebih tua atau orang dewasa.

a) Mulut
Mulut sangat kaya pembulu darah, hal ini seringkali membuat mulut menjadi pintu
masuk organisme penyerang yang menimbulkan infeksi. Selain itu, bayi dan anak
kecil secara berulang memasukkan benda ke mulut mereka dan memeriksa benda
dengan cara tersebut. Perilaku ini meningkatkan risiko bayi dan anak kecil untuk8
kontak dengan agen infeksius melalui mulut .
b) Esofagus
Esophagus bertindak sebagai jalan masuk makanan dari mulut ke lambung.
Sfingter esophagus bawah ( lower esophageal sphingter, LES) mencegah
regurgitasi ( aliran balik) isi lambung kedalam esophagus dan/ atau rongga mulut.
Tonus otot LES belum berkembang sepenuhnya hingga usia 1 bulan sehingga bayi
yang berusia kurang dari 1 tahun terus mengalami regurgitasi hingga beberapa
bulan, tetapi hal ini biasanya menghilang seiring dengan pertambahnya usia. Jika
edema atau penyempitan esophagus terjadi pada anak yang tonus otot esofagusnya
tidak berkembang, disfagia ( kesulitan atau nyeri ketika menelan ) dapat terjadi.

c) Lambung
Bayi baru lahir memiliki kapasitas lambung hanya sebesar 10 hingga 20 ml. Pada
usia 2 bulan, bayi memiliki kapasitas untuk menampung hingga 200 ml, meskipun
sebagian besar bayi kecil tidak dapat menoleransi pemberian makan sebanyak 200
ml. saat usia 16 tahun, kapasitas lambung mencapai 1500ml ; pada masa dewasa
kapasitasnya adalah 2000 hingga 3000 ml. asam hidroklorida, yang ditemukan
didalam isi lambung untuk membantu pencernaan, mencapai kadar dewasa pada
saat anak berusia 6 bulan.
d) Usus
Secara fungsional, usus kecil belum matur saat lahir. Bayi cukup bulan memiliki
panjang usus kecil sekitar sekitar 250 cm; dan orang dewasa memiliki usus kecil
yang panjangnya mencapai 600 cm. Bayi yang mengalami kehilangan sedikit
usus besarnya selama masa bayi awal lebih banyak mengalami maslaah absorpsi
dan diare dari pada orang dewasa yang mengalami sedikit kehilangan usus besar
dalam jumlah yang sama.
e) System Empedu
Hati berukuran relatif lebih besar pda saat lahir sehingga tepi hati yang halus
mudah dipalpasi pada masa bayi, yaitu 2 cm di bawah margin kosta. Enzim
pancreas terus berkembang selama postnatal, yang mencapai kadar orang dewasa
pada sekitar usia 2 tahun.
2.2 Konsep Penyakit Thypoid
2.2.1 Definisi Thypoid
9
Typhoid fever adalah suatu penyakit infeksi oleh bakteri
Salmonella typhii dan bersifat endemik yang termasuk dalam penyakit
menular (Cahyono, 2010). Demam typhoid adalah infeksi sistemik akut
yang disebabkan oleh Salmonella typhii (Elsevier, 2013). Typhoid fever
( typhus abdominalis ,enteric fever ) adalah infeksi sistemik yang
disebabkan kuman salmonella enterica, khususnya varian varian
turunanya, yaitu salmonella typhi, Paratyphi A, Paratyphi B, Paratyphi C.
Kuman kuman tersebut menyerang saluran pencernaan, terutama di perut
dan usus halus. Typhoid fever sendiri merupakan penyakit infeksi akut
yang selalu ditemukan di masyarakat (endemik) Indonesia. Penderitanya
juga beragam, mulai dari usia balita, anak- anak, dan dewasa (Suratun dan
Lusianah, 2010).

2.2.2 Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella Typhosa/
Eberthella typhosa yang merupakan kuman negative, motil dan tidak
menghasilkan spora.
Kuman ini dapat hidup baik sekali pada suhu tubuh manusia maupun suhu
yang ebih rendah sedikit serta mati pada suhu 70ºC maupun oleh antiseptic.
Sampai saat ini diketahui bahwa kuman ini hanya menyerang manusia.
Salmonella typhosa mempunyai 3 macam antigen, yaitu:
 Antigen O = Ohne Hauch = Somatik Antigen (tidak menyebar)
 Antigen H = Hauch ( menyebar), terdapat pada flagella dan bersifat
trmolabil.
 Antigen V¹ = Kapsul; merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman
dan melindungi O antigen terdapat fagositosis.
Ketiga jenis antigen tersebu di dalam tubuh manusia akan menimbulkan pembentukan
tiga macam antibody yang lazim disebut agglutinin.
Ada 3 spesies utama yaitu :
Salmonella typhosa (satu serotipe)
Salmonella choleraesius (satu serotipe)
Salmonella enteretidis (lebih dari 1500 serotipe).

2.2.3 Patofisiologi
Kuman masuk melalui mulut, sebagian kuman akan dimusnahkan dalam10
lambung oleh asam lambung. Sebagian kuman lagi masuk ke usus halus, ke
jaringan limfoid dan berkembang biak menyerang usus halus. Kemudian kuman
masuk ke peredaran darah (bakterimia primer), dan mencapai sel-sel retikulo
endoteleal, hati, limpa dan organ lainnya.Proses ini terjadi dalam masa tunas
dan akan berakhir saat sel-sel retikulo endoteleal melepaskan kuman ke dalam
peredaran darah dan menimbulkan bakterimia untuk kedua kalinya. Selanjutnya
kuman masuk ke beberapa jaringan organ tubuh terutama limpa, usus, dan
kandung empedu (Suriadi &Yuliani, 2006, hal: 254).
Pada minggu pertama sakit, terjadi hiperplasia plaks player. Ini terjadi
pada kelenjar limfoid usus halus. Minggu kedua terjadi nekrosis dan pada
minggu ketiga terjadi ulserasi plaks player. Pada minggu keempat terjadi
penyembuhan ulkus yang dapat menimbulkan sikatrik. Ulkus dapat
menyebabkan perdarahan, bahkan sampai perforasi usus. Selain itu hepar,
kelenjar-kelenjar mesentrial dan limpa membesar. Gejala demam disebabkan
oleh endotoksil, sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan oleh
kelainan pada usus halus (Suriadi &Yuliani, 2006, hal: 254).
2.2.4 Manifestasi klinis
Menurut Ngastiyah (2005, hal: 237) Gambaran klinik demam tifoid pada anak
biasanya lebih ringan daripada orang dewasa. Penyakit ini masa tunasnya 10-20
hari, tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi melalui makanan. Sedangkan jika melalui
minuman yang terlama 30 hari. Selama masa inkubasi 9 mungkin ditemukan gejala
prodromal yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak
bersemangat, nafsu makan berkurang. Gambaran klinik yang biasa ditemukan
menurut Ngastiyah (2005, hal: 237) adalah:
1. Demam Pada kasus yang khas demam berlangsung 3 minggu, bersifat febris
remiten dan suhu tidak tinggi sekali. Selama seminggu pertama, suhu tubuh
berangsur-angsur naik setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat
lagi pada sore hari dan malam hari. Dalam minggu kedua, pasien terus berada
dalam keadaan demam. Pada minggu ketiga, suhu berangsur-angsur turun dan
normal kembali pada akhir minggu ketiga
2. Gangguan pada saluran pencernaan Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap,
bibir kering, dan pecahpecah (ragaden), lidah tertutup selaput putih kotor (coated
tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen dapat
ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus), hati dan limpa membesar
11
disertai nyeri pada perabaan. Biasanya sering terjadi konstipasi tetapi juga dapat
terjadi diare atau normal
3. Gangguan kesadaran Umumnya kesadaran pasien menurun walaupun tidak dalam
yaitu apatis sampai samnolen, jarang terjadi sopor, koma atau gelisah kecuali
penyakitnya berat dan terlambat mendapatkan pengobatan. Di samping gejala
tersebut mungkin terdapat gejala lainnya. Pada punggung dan anggota gerak dapat
ditemukan roseola yaitu bintik-bintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler
kulit yang dapat ditemukan pada minggu pertama yaitu demam. Kadang-kadang
ditemukan pula bradikardi dan epitaksis pada anak dewasa
4. Relaps Relaps (kambuh) ialah berulangnya gejala penyakit tifus abdominalis, akan
tetapi berlangsung ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah
suhu badan normal kembali, terjadinya sukar diterangkan. 10 Menurut teori relaps
terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak dapat dimusnahkan
baik oleh obat maupun oleh zat anti. Mungkin terjadi pada waktu penyembuhan
tukak, terjadi invasi basil bersamaan dengan pembentukan jaringan fibrosis.

2.2.5 Pemeriksaan Penunjang


Menurut Suriadi & Yuliani (2006, hal: 256) pemeriksaan penunjang demam tifoid
adalah:
1. Pemeriksaan darah tepi Leukopenia, limfositosis, aneosinofilia, anemia,
trombositopenia
2. Pemeriksaan sumsum tulang Menunjukkan gambaran hiperaktif sumsum tulang
3. Biakan empedu Terdapat basil salmonella typhosa pada urin dan tinja. Jika pada
pemeriksaan selama dua kali berturut-turut tidak didapatkan basil salmonella
typhosa pada urin dan tinja, maka pasien dinyatakan betulbetul sembuh
4. Pemeriksaan widal Didapatkan titer terhadap antigen 0 adalah 1/200 atau lebih,
sedangkan titer terhadap antigen H walaupun tinggi akan tetapi tidak bermakna
untuk menegakkan diagnosis karema titer H dapat tetap tinggi setelah dilakukan
imunisasi atau bila penderita telah lama sembuh
2.2.6 Komplikasi
Menurut Widagdo (2011, hal: 220-221) Komplikasi dari demam tifoid dapat
digolongkan dalam intra dan ekstra intestinal.
1. Komplikasi intestinal diantaranya ialah :
a. Perdarahan Dapat terjadi pada 1-10 % kasus, terjadi setelah minggu pertama
12
dengan ditandai antara lain oleh suhu yang turun disertai dengan peningkatan
denyut nadi.
b. Perforasi usus 11 Terjadi pada 0,5-3 % kasus, setelah minggu pertama didahului
oleh perdarahan berukuran sampai beberapa cm di bagian distal ileum ditandai
dengan nyeri abdomen yang kuat, muntah, dan gejala peritonitis.
2. Komplikasi ekstraintestinal diantaranya ialah :
a. Sepsis Ditemukan adanya kuman usus yang bersifat aerobik
b. Hepatitis dan kholesistitis Ditandai dengan gangguan uji fungsi hati, pada
pemeriksaan amilase serum menunjukkan peningkatan sebagai petunjuk adanya
komplikasi pankreatitis
c. Pneumonia atau bronkhitis Sering ditemukan yaitu kira-kira sebanyak 10 %,
umumnya disebabkan karena adanya superinfeksi selain oleh salmonella
d. Miokarditis toksik Ditandai oleh adanya aritmia, blok sinoatrial, dan perubahan
segmen ST dan gelombang T, pada miokard dijumpai infiltrasi lemak dan
nekrosis
e. Trombosis dan flebitis Jarang terjadi, komplikasi neurologis jarang menimbulkan
gejala residual yaitu termasuk tekanan intrakranial meningkat, trombosis
serebrum, ataksia serebelum akut, tuna wicara, tuna rungu, mielitis tranversal,
dan psikosis
f. Komplikasi lain Pernah dilaporkan ialah nekrosis sumsum tulang, nefritis,
sindrom nefrotik, meningitis, parotitis, orkitis, limfadenitis, osteomilitis, dan
artritis
2.2.7 Penatalaksanaan
Menurut Ngastiyah (2005, hal: 239) & Ranuh (2013, hal: 184-185)
pasien yang dirawat dengan diagnosis observasi tifus abdominalis harus
dianggap dan diperlakukan langsung sebagai pasien tifus abdominalis dan
diberikan pengobatan sebagai berikut :
1. Isolasi pasien, desinfeksi pakaian dan ekskreta
2. Perawatan yang baik untuk menghindari komplikasi, mengingat sakit yang
lama, lemah, anoreksia, dan lain-lain
3. Istirahat selama demam sampai dengan 2 minggu setelah suhu normal
kembali (istirahat total), kemudian boleh duduk, jika tidak panas lagi boleh
berdiri kemudian berjalan di ruangan
4. Diet
13
Makanan harus mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein.
Bahan makanan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang dan
tidak menimbulkan gas. Susu 2 gelas sehari. Apabila kesadaran pasien
menurun diberikan makanan cair, melalui sonde lambung. Jika kesadaran dan
nafsu makan anak baik dapat juga diberikan makanan lunak.
5. Pemberian antibiotik
Dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran bakteri. Obat
antibiotik yang sering digunakan adalah :
a. Chloramphenicol dengan dosis 50 mg/kg/24 jam per oral atau dengan
dosis 75 mg/kg/24 jam melalui IV dibagi dalam 4 dosis Chloramphenicol
dapat menyembuhkan lebih cepat tetapi relapse
terjadi lebih cepat pula dan obat tersebut dapat memberikan efek
samping yang serius
b. Ampicillin dengan dosis 200 mg/kg/24 jam melalui IV dibagi dalam 6
dosis. Kemampuan obat ini menurunkan demam lebih rendah
dibandingkan dengan chloramphenicol
c. Amoxicillin dengan dosis 100 mg/kg/24 jam per os dalam 3 dosis
d. Trimethroprim-sulfamethoxazole masing-masing dengan dosis 50 mg
SMX/kg/24 jam per os dalam 2 dosis, merupakan pengobatan klinik
yang efisien
e. Kotrimoksazol dengan dosis 2x2 tablet (satu tablet mengandung 400
mg sulfamethoxazole dan 800 mg trimethroprim. Efektivitas obat ini
hampir sama dengan chloramphenicol.
2.3 Proses Keperawatan
2.3.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama di dalam memberikan
asuhan keperawatan. Perawat harus mengumpulkan data tentang status kesehatan
pasien secara sistematis, menyeluruh, akurat, singkat, dan berkesinambungan.
Pengumpulan data ini juga harus dapat menggambarkan status kesehatan klien dan
kekuatan masalah-masalah yang dialami oleh klien. (Hutahaean Serri, 2010).
Menurut sodikin 2012 pengkajian pada anak demam typhoid antara lain:
Identifikasi, sering ditemukan pada anak berumur diatas satu tahun. Keluhan utama
Berupa perasaan yang tidak enak badan, lesu, nyeri kapala, pusing dan kurang
14
bersemangat, serta nafsu makan kurang (terutama selama masa inkubasi).
Pada kasus yang khas, demam berlangsung selama 3 minggu, bersifat febris
remiten, dan suhu tubuhnya tidak tinggi sekali. Selama minggu pertama, suhu
tubuh berangsur-angsur baik setiap harinya biasanya menurun pada pagi hari dan
meningkat lagi pada sore dan malam hari. Pada minggu kedua, pasien terus berada
dalam keadaan demam. Saat minggu ke tiga, suhu beragsur turun dan normal
kembali pada akhir minggu ke tiga.
Umumnya kesadaran pasien menurun walaupun tidak berada dalam kedaaan
yaitu apatis sampai samnolen. Jarang terjadi stupor, koma, atau gelisah (kecuali bila
penyakitnya berat dan terlambat mendapatkan pengobatan). Disamping gejala-
gejala tersebut mungkin terdapat gejala lainnya. Kadang-kadang ditemukan pula
bradikardia dan epitaksis pada anak besar.
Pemeriksaan fisik
1) Kepala Melihat kebersihan kulit kepala, distribusi rambut merata dan warna
rambut.
2) Wajah, melihat ke semetrisan kiri dan kanan.
3) Mata, terlihat sklera putih, konjuntiva merah muda, dan reflek pupil mengecil
ketika terkena sinar. 19
4) Mulut, terdapat napas yang berbau tidak sedap serta bibir kering, dan pecah-
pecah (ragaden). Lidah tertutup selaput putih kotor, sementara ujung dan
tepinya berwarna kemerahan dan jarang disertai tremor.
5) Leher, tidak adanya distensi vena jugularis.
6) Abdomen, dapat ditemukan keadaan perut kembung. Bisa terjadi konstipasi,
atau mungkin diare atau normal.
7) Hati dan limfe membesar disertai dengan nyeri pada perabaan.
8) Ektermitas, pergerakan baik antara kiri dan kanan.
9) Integumen, akral teraba hangat dan terdapat pada punggung dan anggota gerak
dapat ditemukan reseola (bintik-bintik kemerahan karena emboli basil dalam
kapiler kulit yang dapat ditemukan pada minggu pertama demam).
Pemeriksaan laboratorium
1) Pada pemeriksaan darah tepi terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif
dan aneosinofillia pada permukaan yang sakit.
2) Darah untuk kultur (biakan darah, empedu) dan widal.
15
3) Biakan empedu basil salmonella typhosa dapat ditemukan dalam darah pasien
pada minggu pertama sakit. Selanjutnya lebih sering ditemukan dalam urine dan
feses.
4) Pemeriksaan widal Untuk membuat diagnosis, pemeriksaan yang diperlukan
ialah titer zat anti terhadap antigen O yang bernilai 1/200 atau lebih 20
menunjukkan kenaikan yang progresif (Nursalam Susianingrum, Rekawati
Utami, Sri, 2008).
2.3.1 Diagnosa Keperawatan
1) Ketidakefektifan termoregulasi berhubungan dengan fluktuasi suhu
lingkungan, proses penyakit
2) Nyeri akut berhubungan dengan proses peradangan
3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake yang tidak adekuat
4) Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake yang tidak
adekuat dan peningkatan suhu tubuh
5) Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas traktus gastrointestinal
(penurunan motilitas usus).
2.3.2 Intervensi
Rencana tindakan keperawatan untuk anak dengan pneumonia dapat sesuai
dengan NIC dan NOC dalam Moorhead et al (2015) dapat dilihat pada uraian
berikut ini :
1. Ketidakefektifan termoregulasi berhubungan dengan fluktuasi suhu
lingkungan, proses penyakit
Tujuan : Setelah dilakukan pemberian asuhan keperawatan diharapkan
bersihan jalan nafas efektif
Kriteria hasil :
1)Temperatur stabil : 36.5-37ºC
2)Tidak ada kejang
3)Tidak ada perubahan warna kulit
4)glukosa darah stabil
5)keseimbangan asam basa bayi baru lahir

16
Intervensi :
1) monitor suhu minimal 2 jam
2) rencanakan monitoring suhu secara kontinyu .
3) monitor TD,Nadi,RR
4) monitor warna dan suhu kulit
5) monitor tanda-tanda hipertermi dan hipotermi
6) tingkatkan intake cairan dan nutrisi
7) selimuti pasien untuk mencegah hilangnya kehangatan tubuh
8) berikan antipiretik jika perlu

2. Nyeri akut berhubungan dengan proses peradangan


Tujuan : Setelah dilakukan pemberian asuhan keperawatan diharapkan nyeri
berkurang atau hilang
Kriteria hasil :
1) Mampu mengontrol nyeri
2) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen
nyeri
3) Mampu menali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
4) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang.
Intervensi :
1) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik,durasi, frekuensi, kualitas dan factor presipitasi
2) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
3) Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman
nyeri pasien
4) Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri

3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan intake tidak adekuat
Tujuan : setelah dilakukan pemberian asuhan keperawatan diharapkan intake
adekuat
Kriteria hasil :
1) Adanya peningkatan BB sesuai dengan tujuan
17
2) Bb ideal sesuai dengan TB
3) Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
4) Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
5) Menunjukkan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan
6) Tidak terjadi penurunan BB yang berart
1ntervensi :
1) Kaji adanya alergi makanan
2) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang
dibutuhkan pasien
3) Anjurkan pasien untuk meningkatkan Fe
4) Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C
5) Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah
konstipasi.
4. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake tidak
adekuat dan peningkatan suhu tubuh
Tujuan : setelah dilakukan pemberian asuhan keperawatan diharapkan intake
adekuat
Kriteria hasil :
1) Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB,BJ urine normal, HT
normal
2) Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal
3) Tidak ada tanda-tanda dehidrasi,elastisitas turgor kulit baik membrane mukosa
lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan
Intervensi
1) Timbang popok jika diperlukan
2) Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
3) Monitor status hidrasi
4) Monitor vital sign
5) Monitor masukan makanan/cairan dan hitung intake kalori harian
6) Kolaborasi pemberian cairan IV
7) Monitor status nutrisi
5. Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas traktur
gastrointestinal (motilitas usus)
Tujuan : setelah dilakukan pemberian asuhan keperawatan diharapkan konstipasi
18
tidak terjadi
Kriteria Hasil :
1) Mempertahankan bentuk feses lunak setiap 1-3 hari
2) Bebas dari ketidaknyamanan dan konstipasi
3) Mengidentifikasi indicator untuk mencegah konstipasi
4) Feses lunak dan berbentuk
Intervensi
1) Monitor tanda dan gejala konstipasi
2) Monitor bising usus
3) Monitor feses: frekuensi, konsistensi, dan volume
4) Konsultasi dengan dokter tentang penurunan dan peningkatan bising usus
5) Dukung intake cairan
6) Kolaborasi pemberian laksatif
7) Pantau tanda-tanda dan gejala konstipasi

2.3.2 Discharge Planning


Discharge planning untuk typhoid antara lain :
1) Hindari tempat yang tidak sehat
2) Hindari daerah endemis demam typhoid
3) Cuci tangan dengan sabun dan air bersih
4) Makanlah makanan bernutrisi lengkap dan seimbang dan masak/panaskan
sampai 570C beberapa menit dan secara merata
5) Salmonellatyphio didalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 570C
untuk beberapa menit atau dengan proses iodinasi/klorinasi
6) Buanglah sampah pada tempatnya
7) Istirahat cukup dan lakukan olahraga secara teratur

2.4 Web Of Caution Penyakit Pneumonia (WOC)


(Terlampir)

19
DAFTAR PUSTAKA

Bowden R Vicky et al. 2006. Children and their families the continuum of care volume
2. Philadelphia : WB Saunders Company File:///E:/BAHAN%20TIFOID/MATERI
%20DAN%20PATHWAY%20DEMAM%20TIFOID,%20THYPOID,%20TIFOID
%20FEVER%20Jofan% 20Ar %20Pratama%20-%20Jofan%20Arya%20 Pratama.htm
Gulanick, M, Myers, L. J. (2007). Nursing care plan: diagnosis and intervention, pp. 240
- 247, St. Louis: Mosby
Hockenberry, M.J.,& Wilson, D. (2007). Wong’s nursing care of infant and children (8th
ed.). Philadelphia: Mosby Year Book.
Hutahaean Serri. (2010). Konsep dan Dokumentasi Proses Keperawatan. Jakarta: Tim.
Hydration for children. (2013). Children current’s hydration habits.
Keddy, K.H. (2011). Sensitivity and specificity of typhoid fever rapid antibody tests for
laboratory diagnosis at two sub- Saharan African sites
KEPMENKES RI NO 364/MENKES/SK/V/2006. Pedoman pengendalian demam tifoid.
Khanna, A et al. (2015). Comparative Evaluation of Tubex TF (Inhibition Magnetic
Binding Immunoassay) for Typhoid Fever in Endemic Area
Mukhtar,H.M.E, & Elnimeiri MK.(2014). Physical methods used by Sudanese mothers
in rural settings to manage a child with fever.
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan
diagnosa medis & nanda nic-noc. Edisi revisi jilid 1.
Nursalam, dkk. (2008). Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak (untuk perawat dan bidan).
20
Jakarta: Salemba Medika.
Price, S., & Wilson, L. (2015). Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit.
Jakarta: EGC
Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, et al. (2014). Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I edisi
VI. Jakarta: Internapublshing.
Suriadi & Yuliani, R., 2006, Asuhan Keperawatan Pada Anak,Jakarta: PT. Percetakan
Penebar Swadaya,
Wong, D., et all. (2009).Buku ajar keperawatan pediatrik volume 2. Jakarta: EGC
Widagdo, 2011, Masalah & TataLaksana Penyakit Infeksi Pada Anak, Jakarta: CV
Sagung Seto

21

Anda mungkin juga menyukai