Anda di halaman 1dari 3

Fanatisme Budaya Populer dan Peran Pendidikan Karakter

Belakangan makin mudah untuk kita menemukan perselisihan sengit di internet hanya karena
persoalan idola. Suatu perselisihan yang jika dilihat dengan cara pandang yang sehat, maka sama
sekali tidak penting untuk dibawa lebih jauh. Lebih parah lagi ialah hal ini paling mengakar ke anak
sekolah lewat budaya populer, perdebatan tidak sehat tentang budaya populer menjadi tema yang
umum di kehidupan selancar internet sehari-hari.

Sebelumnya, apa itu budaya populer? Dikutip dari artikel berjudul “Studi Sosial: Makna Budaya Pop
di Masyarakat” (https://pmb.lipi.go.id/studi-sosial-makna-budaya-pop-di-masyarakat/) yang ditulis
Ranny Rastati di situs LIPI, budaya populer atau yang biasa disebut budaya pop adalah budaya yang
paling banyak dinikmati masyarakat. Budaya populer semakin masif salah satunya dengan
perkembangan teknologi informasi yang membuat semua orang baik tua maupun muda bisa untuk
mengaksesnya.

Melansir dari Tempo, usia 15-19 tahun merupakan pengakses internet terbesar berdasarkan umur
menurut survei penetrasi internet dan perilaku pengguna internet di Indonesia pada tahun 2018
yang dirilis Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). Lebih lanjut, Sekjen APJII, yaitu
Henri Kasyfi mengatakan pengguna usia 15-19 yang mengakses internet sebesar 91 persen,
sementara yang tidak menggunakan internet sebesar 9 persen. Angka ini menunjukkan sudah
meluasnya penggunaan internet di kalangan pelajar yang membuatnya dapat mendapatkan
referensi budaya akibat globalisasi.

Globalisasi tentunya sudah membawa banyak hal melewati batas-batas negara, hingga bisa
dinikmati seluruh orang di dunia. Film, musik, gaya berpakaian, makanan, dan lain sebagainya sudah
bisa menjadi bagian dari seseorang yang bahkan sama sekali bukan berasal dari tempat di mana
budaya itu pertama kali tumbuh. Maka sudah menjadi wacana umum bahwa globalisasi seringkali
melunturkan kecintaan orang-orang pada budaya asli.

Hal ini juga menjalar dalam pengidolaan, ketika seseorang menjadi penggemar fanatik hingga
akhirnya menjadikan idolanya seakan-akan tanpa kekurangan dan tak boleh dikritik. Gejala ini, yang
menjadi bagian dari post-truth di masyarakat kita, menjadikan suatu kebenaran tidaklah objektif,
tetapi mengikuti subjektivitas yang mengutamakan sentimen atau aspek emosional saja. Sayangnya,
gejala seperti ini marak pada kalangan pelajar.

Tak ayal, seakan budaya populer telah tumbuh di kalangan pelajar menjadi pola agama baru, suatu
“popular culture religion”. Istilah ini diambil dari sebutan “agama sipil” atau “civil religion” yang
tumbuh dalam nasionalisme. Keduanya, baik budaya populer maupun nasionalisme, ialah bentuk
solidaritas yang sering berakhir pada kebutaan dalam pembelaan “nabi-nabi” mereka atau idola-
idola yang mereka puja.

Gregorio Fuschillo di dalam “Fans, Fandom, or Fanatism?” yang termuat di dalam Journal of
Consumer Culture (2020), mengutip Henry Jenkins, bahwa “fandoms have their roots in fanaticism,
namely, ‘religious and political zealotry, false beliefs, orgiastic excess, possession and madness’”.
Sama seperti agama pula, fanatisme dalam pemujaan budaya populer membawa antagonisme
sendiri dan cenderung menumbuhkan hegemoni yang menantang keberadaan budaya yang lain.

Apa yang dibawa budaya populer dapat dilihat pula dalam tulisan Annisa Istiqomah yang berjudul
“Ancaman Budaya Pop (Pop Culture) Terhadap Penguatan Identitas Nasional Masyarakat Urban” di
dalam Jurnal Politik Walisongo (2020), yang menyebut budaya pop semakin mendominasi perasaan
realitas kehidupan, mempengaruhi pemikiran masyarakat dalam mendefinisikan jati diri dan dunia di
sekitar. Maka selanjutnya akan terbentuklah rezim makna yang dibangun konsumennya atas tafsir
budaya tersebut, yang tunggal dan menolak kritik.

Penolakan atas kritik ini, yang biasanya dibalas dengan serangan-serangan celaan dan hinaan pada
pengkritik, jelas-jelas merebut ruang publik untuk bersuara bahkan hanya untuk budaya populer—
yang sejatinya bisa kembali ke selera masing-masing dan posisinya tak ada yang lebih tinggi. Masalah
sosial ini tentu salah satunya berakar pada ketidakselarasan atau tidak berdampingannya
pengaksesan internet dengan edukasi tentang etika di dalam bermedia sosial.

Konsumsi terhadap kebudayaan ini, selayaknya konsumsi untuk representasi kelas sosial pemikiran
Jean Baudrillard di dalam buku Membongkar Rezim Kepastian (2019) karya Haryatmoko, malah
menjadi ideologi. Masyarakat menjadi terpolarisasi dengan tajam dalam kebudayaan populer, di
dalam kondisi ketika kita seringkali “meliyankan” orang lain dalam urusan konsumsi budaya. Seakan
yang tidak satu selera dengan kita tidaklah setara dengan kita.

Kuntowijoyo di dalam kumpulan esainya berjudul Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas
(2019), menyebut bahwa ciri-ciri budaya populer atau budaya massa adalah yang pertama
objektivasi, yaitu konsumen budaya hanya sebagai objek budaya yang tidak berperan apa-apa dalam
pembentukan simbol budaya. Yang kedua adalah alenasi, ketika pemilik budaya tersebut terasing
dari dan dalam kenyataan hidup. Yang ketiga adalah pembodohan karena waktu yang habis tanpa
pelajaran hidup berguna.

Kepasifan konsumen budaya populer dalam menerima budaya tersebut yang bertemu dengan
fanatisme semakin membuat persoalan ini menjadi pelik. Jelas masalah ini harus dihadapkan pada
pendidikan karakter di sekolah yang pada dasarnya berlaku dalam membangun sikap kritis untuk
mencegah segala bentuk fanatisme. Selayaknya fanatisme dalam berbagai bentuk lain, budaya
populer tak boleh luput untuk diperhatikan dinamikanya.

Hal yang disayangkan adalah bahwa budaya populer seringkali terlalu dianggap banal untuk
ditindaklanjuti. Sifat yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari dan anggapan remeh
terhadapnya membuat perilaku berlebihan di dalamnya tak tersentuh. Tetapi, sekolah tidak boleh
diam dalam sosialisasi etika, pengenalan pada toleransi bahkan pada hal terkecil seperti perbedaan
selera budaya. Toh, mengapa pula kita membiarkan hal-hal yang dianggap kecil seperti itu
memecah-belah kita?

Lantas, apa saja caranya untuk mengurangi atau bahkan menyelesaikan persoalan ini? Yang
pertama, sekolah perlu kembali mengajarkan etika berinternet dan bermedia sosial, yang menjadi
arena perselisihan berlangsung. Ruang publik haruslah tetap bisa dinikmati siapa saja, tapi tidak
melepaskan diri dari tanggungjawab. Sekolah jangan berhenti hanya pada pembahasan untuk
menjaga diri dari melontarkan pernyataan-pernyataan yang tidak pantas karena ketidaksetujuan
penggunaan atas hal-hal tertentu berimplikasi merebut ruang publik, tetapi juga mengajarkan
betapa perbedaan cara pandang budaya adalah normal. Perbedaan selera musik, film, tim olahraga,
dan lain sebagainya tidak perlu dijadikan masalah. Terbuka terhadap kritik juga adalah tonggak
dalam kebebasan berpendapat.

Yang kedua, sekolah menyadarkan bahwa kultus individu atau fanatisme dalam pengidolaan
bukanlah hal yang baik. Seperti apa kata Voltaire, fanatisme yang merupakan ramuan dua unsur,
yaitu takhayul dan kebodohan, adalah penyakit segala zaman. Para pelajar harus diingatkan bahwa
manusia tetaplah makhluk yang penuh kekurangan, maka apa yang dihasilkannya tokoh idola bisa
senantiasa punya celah untuk dikritik demi perkembangan budaya. Dalam hal tersebut pun kita
akhirnya bisa mengambil apa yang baik dan memperbaiki apa yang buruk.
Yang ketiga sekaligus yang terakhir, sekolah harus peka dengan dinamika budaya dan mengajarkan
secara dasar cara kerjanya, apalagi di masa yang akademisi sebut sebagai post-modern ini, situasi
ketika berbagai hal bersifat sementara atau efemeral. Ketika para pelajar sudah mengerti secara
kerja budaya ini, maka mereka akan lebih bijak dalam melihat fenomena-fenomena di masyarakat
dan dapat lebih kritis agar tidak jatuh kepada masalah-masalah sosial. Kesadaran ini pula akan
membuat para pelajar merefleksikan betapa budaya populer yang mereka pegang teguh pada suatu
saat, bisa benar-benar tersingkir oleh wacana budaya lain, selayaknya apa yang dikatakan Seno
Gumira Ajidarma di dalam pidato kebudayaannya untuk Dewan Kesenian Jakarta 2019, berjudul
Kebudayaan dalam Bungkus Tusuk Gigi (2020).

“Kebudayaan sebagai situs pertarungan ideologi memang berlangsung sebagai pergulatan


antarwacana.”

Anda mungkin juga menyukai