Anda di halaman 1dari 6

3.

MMM Etiologi, manifestasi klinis, dan prognosis DM dan coma diabetes (Hipoglikemia)

A. ETIOLOGI DIABETES MELITUS

Diabetes melitus (DM) adalah suatu penyakit dengan keadaan abnormal yang
ditunjukkan dengan tingginya kadar glukosa dalam darah. Klasifikasi diabetes mellitus
dibagi menjadi beberapa berdasarkan sebab yang mendasari kemunculannya, DM dibagi
menjadi beberapa golongan, yaitu:

 Diabetes Melitus Tipe 1


DM tipe 1 disebabkan oleh penghancuran sel pulau pankreas. Biasanya mengenai
anak-anak dan remaja sehingga DM ini disebut juvenile diabetes (diabetes usia
muda), namun saat ini DM ini juga dapat terjadi pada orang dewasa. Faktor penyebab
DM tipe 1 adalah infeksi virus dan reaksi auto-imun (rusaknya system kekebalan
tubuh) yang merusak sel-sel penghasil insulin, yaitu sel β pada pankreas, secara
menyeluruh. Oleh karena itu, pada tipe ini pankreas sama sekali tidak dapat
menghasilkan insulin. (Rumiris, 2017)

 Diabetes Melitus Tipe 2


DM tipe 2 disebabkan oleh kombinasi resistensi insulin dan disfungsi sekresi
insulin sel β. Diabetes tipe 2 biasanya disebut diabetes life style karena selain faktor
keturunan, juga disebabkan oleh gaya hidup yang tidak sehat. DM tipe 2 biasanya
terjadi pada usia dewasa yaitu di atas 40 tahun. (Rumiris, 2017)

 Diabetes Tipe Khusus


DM tipe khusus disebabkan oleh suatu kondisi seperti endokrinopati, penyakit
eksokrin pankreas, sindrom genetic, induksi obat atau zat kimia, infeksi, dan lain-lain.
(Rumiris, 2017)

 Diabetes Gestasional
Diabetes gestasional adalah Diabetes yang terjadi pertama kali saat hamil atau
diabetes yang hanya muncul pada saat kehamilan.Biasanya diabetes ini muncul pada
minggu ke-24 (bulan keenam).Diabetes ini biasanya menghilang sesudah melahirkan.
(Rumiris, 2017)

B. MANIFESTASI KLINIS DIABETES MELITUS

Manifestasi klinis atau gejala dari diabetes melitus bervariasi, bergantung pada
tingkatan kadar gula darah di dalam tubuh. Beberapa orang, Namun, gejala diabetes
melitus yang umum terjadi sebagai berikut:

1. Sering buang air kecil dengan volume yang banyak, yaitu lebih sering dari pada
biasanya, apalagi pada malam hari (poliuri), hal ini terjadi karena kadar gula darah
melebihi nilai ambang ginjal (>180mg/dl), sehingga gula akan keluar bersama urine.
Untuk menjaga agar urine yang keluar tidak terlalu pekat, tubuh akan menarik air
sebanyak mungkin kedalam urine sehingga urine keluar dalam volume yang banyak
dan buang air kecil pun menjadi sering. dalam keadaan normal, urine akan keluar
sekitar 1,5 liter perhari, tetapi pada penderita DM yang tidak terkontrol dapat
memproduksi lima kali dari jumlah itu. (Rumiris, 2017)

2. Sering merasa haus dan ingin minum sebanyak-banyaknya (polidipsi). Dengan


banyaknya urine yang keluar, badan akan kekurangan air atau dehidrasi. Untuk
mengatasi hal tersebut tubuh akan menimbulkan rasa haus sehingga penderita selalu
ingin minum terutama yang dingin, manis, segar, dan banyak. (Rumiris, 2017)

3. Nafsu makan meningkat (polifagi) dan merasa kurang tenaga. Insulin menjadi
bermasalah pada penderita DM sehingga pemasukan gula ke dalam sel-sel tubuh
kurang dan energi yang dibentuk pun menjadi kurang. Ini adalah penyebab mengapa
penderita merasa kurang tenaga. Selain itu, sel juga menjadi miskin gula sehingga
otak juga berfikir bahwa kurang energi itu karena kurang makan, maka tubuh
kemudian berusaha meningkatkan asupan makanan dengan menimbulkan alarm rasa
lapar. (Rumiris, 2017)

4. Berat badan turun dan menjadi kurus. ketika tubuh tidak bisa mendapatkan energi
yang cukup dari gula karena kekurangan insulin, tubuh akan bergegas mengolah
lemak dan protein yang ada didalam tubuh untuk diubah menjadi energi. Dalam
sistem pembuangan urine, penderita DM yang tidak terkendali bisa kehilangan
sebanyak 500 gram glukosa dalam urine per 24 jam (setara dengan 2000 kalori
perhari hilang dari tubuh). (Rumiris, 2017)

5. Gejala lain. gejala lain yang dapat timbul yang umumnya ditunjukkan karena
komplikasi adalah kaki kesemutan, gatal-gatal, atau luka yang tidak kunjung sembuh,
pada wanita kadang disertai gatal di daerah selangkangan (pruritus vulva) dan pada
pria ujung penis terasa sakit. (Rumiris, 2017)

C. ETIOLOGI KOMA DIABETES


1. HIPOGLIKEMIA

Hipoglikemia merupakan suatu keadaan penurunan konsentrasi glukosa serum


dengan atau tanpa adanya gejala sistem autonom dan neuroglikopenia. Hipoglikemia
ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah< 70 mh/dl (<4,0 mmol/L) dengan atau
adanya whipple’s triad, yaitu terdapat gejala-gejala hipoglikemia, seperti kadar glukosa
darah rendah, gejala berkurang dengan pengobatan. Hipoglikemia sering dialami oleh
pasien DM tipe 1, diikuti oleh pasien DM tipe 2 yang diterapi dengan insulin dan
sulfonylurea. (Rusdi, 2020)

Hipoglikemia merupakan efek samping yang paling umum dari penggunaan


insulin dan sulfonilurea pada terapi DM, terkait mekanisme aksi dari obat tersebut, yaitu
mencegah kenaikan glukosa darah daripada menurunkan konsentrasi glukosa. Metformin,
pioglitazone, inhibitor DPP- 4, acarbose, inhibitor SLGT-2 and analog GLP-1 yang
diresepkan tanpa insulin atau insulin sekretagog (sulfonylurea/ glinide) jarang
menyebabkan hipoglikemia. Hipoglikemia ditemukan sebagai hambatan utama dalam
mencapai kepuasan jangka panjang kontrol glikemik dan menjadi komplikasi yang
ditakuti dari terapi DM . (Rusdi, 2020)

Kurangnya asupan makanan diketahui merupakan salah satu faktor risiko


terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia diperkirakan menjadi penyebab kematian pada 2–
4% pasien DM tipe 1. Walaupun kontribusi hipoglikemia sebagai penyebab kematian
pada DM tipe 2 masih belum jelas, tidak jarang dugaan hipoglikemia menjadi penyebab
kematian. Angka kejadian hipoglikemia pada pasien DM tipe 2 beberapa kali lipat lebih
rendah dibandingkan DM tipe 1. Risiko hipoglikemia yang berat dikaitkan dengan
penggunaan insulin atau sulfonilurea dan glinid, perubahan dosis obat, dan perubahan
gaya/aktivitas hidup yang terlalu drastic. (Rusdi, 2020)

D. MANIFESTASI KLINIS KOMA DIABETES


1. HIPOGLIKEMIA

Gejala dan tanda hipoglikemia tidaklah spesifik antar individu. Hipoglikemia dapat
ditegakkan dengan adanya Whipple’s Triad. Gejala hipoglikemia dikategorikan menjadi
neuroglikopenia, yaitu gejala yang berhubungan langsung terhadap otak apabila terjadi
kekurangan glukosa darah. Otak sangat bergantung terhadap suplai yang berkelanjutan
dari glukosa darah sebagai bahan bakar metabolisme dan support kognitif. Jika level
glukosa darah menurun maka disfungsi kognitif tidak bisa terelakkan. Gejala
hipoglikemia kedua, adalah autonom, yaitu gejala yang terjadi sebagai akibat dari
aktivasi sistem simpato-adrenal sehingga terjadi perubahan persepsi fisiologi. Gejala dan
tanda hipoglikemia adalah sebagai berikut:
(Rusdi, 2020)

E. PROGNOSIS DIABETES MELITUS DENGAN KOMA HIPOGLIKEMIA


1. Keparahan Hipoglikemia
Tingkat keparahan hipoglikemia pada pasien DM dikategorikan sebagai berikut :
A. Ringan
Rentang glukosa darah adalah 54 -70 mg/dl. Terdapat gejala autonom, yaitu tremor,
palpitasi,gugup, takikardi, berkeringat, dan rasa lapar. Pasien dapat mengobati
sendiri.
B. Sedang
Rentang glukosa darah adalah 40-54 mg/dl.Terdapat gejala autonom dan
neuroglikopenia, seperti bingung, rasa marah, kesulitan konsenterasi, sakit kepala,
lupa, matirasa pada bibir dan lidah, kesulitan bicara, mengantuk dan pandangan
kabur.Pasien dapat mengobati sendiri.
C. Berat
Glukosa darah kurang dari 40 mg/dl. Terjadi kerusakan sistem saraf pusat, dengan
gejala perubahan emosi, kejang, stupor, atau penurunan kesadaran. Pasien
membutuhkan bantuan orang lain untuk pemberian karbohidrat, glukagon, atau
resusitasi lainnya. Bisa terjadi ketidaksadaran pasien.
(Rusdi, 2020)
2. Prognosis Diabetes Melitus dengan Koma Hipogikemia
Kejadian hipoglikemi pada pasien diabetes melitus dapat disembuhkan dengan
baik apabila terapi dilakukan dengan benar dan sesuai prosedur. Namun, apabila
terapi hipoglikemia terlambat dilakukan, justru prognosis dari hipoglikemia belum
tentu baik. Maka dari itu, terapi harus dilakukan sedini mungkin. Hal ini tentunya
tergantung dari kemampuan deteksi hipoglikemia yang dimiliki oleh pasien. Ada
beberapa factor yang mempengaruhi prognosis pada pasien diabetes melitus dengan
hipoglikemi :
1. Pengetahuan
Pengetahuan tentang hipoglikemia merupakan faktor yang harus dimiliki oleh
pasien diabetes dalam melakukan self care terhadap pengelolaan diabetes, namun
tidak sedikit pasien diabetes yang tidak dapat mengenal gejala hipoglikemia.
Penelitian yang dilakukan oleh Mulye & Almeida menyimpulkan bahwa hanya 26,7
% pasien diabetes yang memiliki pengetahuan tentang hipoglikemia (Mulye &
Almeida, 2002). Penelitian yang hampir sama juga disampaikan oleh Khan, et.al,
bahwa hampir separuh pasien DM dapat mengenal gejala hipoglikemia (Khan, et al.,
2000)
Kemampuan melakukan deteksi episode hipoglikemia sebagai perilaku
merupakan faktor yang dominan terhadap keberhasilan penatalaksanaan DM dan
prognosa penyakit. Pasien DM yang memiliki kemampuan melakukan deteksi
episode hipoglikemia berpeluang besar mencegah terjadinya komplikasi yang lebih
berat. (Diani, 2020)
2. Usia
Usia juga memiliki peran dalam menentukan keparahan dan prognosis penyakit
diabetes dengan hipoglikemia. Usia merupakan salah satu faktor resiko yang dapat
memperberat hipoglikemia, dimana pada lansia berkaitan erat dengan penurunan
fisiologi tubuh, penggunaan obat-obatan yang beragam dan peningkatan frekwensi
hospitalisasi
3. Jenis Kelamin
Menurut penelitian bahwa wanita memiliki resiko mengalami hipoglikemia lebih
besar dari pada pria. Kejadian hipoglikemia kurang lebih 60 % pada wanita (Harrison,
2007). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Davis, et al, (2000) tentang respon
hipoglikemia berdasarkan gender menyimpulkan bahwa pada keadaan glukosa darah
stabil/ normal kadar epinephrine dan glucagon menunjukkan level yang sama antara
pria maupun wanita, namun pada keadaan hipoglikemia (glukosa darah 70 - 60
mg/dl) terjadi peningkatan kadar epinephrine dan glucagon lebih besar pada pria
dibanding wanita, sehingga disimpulkan bahwa pria memiliki respon yang lebih cepat
daripada wanita (Davis, S.N, et al, 2000).
4. Ketersediaan Alat Ukur Glukosa Mandiri
Ketersediaan alat pengukur glukosa darah mendorong pasien DM untuk
melakukan monitoring glukosa secara rutin dan dapat dilakukan secara mandiri (Self
Monitoring of Blood Glucose / SMBG). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Cox,
et al (2001) bahwa SMBG secara signifikan mampu mendeteksi terjadinya
hypoglycemia berat kurang lebih 58 – 60 % kejadian episode hipoglikemia dan
SMBG mampu mencegah terjadinya hypoglycemia berat (Cox, et al, 2007).

F. FAKTOR RESIKO DIABETES MELITUS DENGAN COMA HIPOGLIKEMIA


Hipoglikemia terjadi karena ketidak seimbangan antara suplai glukosa, pengunaan
glukosa dan level insulin. Faktor risiko kejadian hipoglikemia pada pasien DM sering
berkaitan dengan penggunaan insulin atau insulin sekretagog (sulfonilurea/glinid) yang
kurang tepat, diantaranya:
1. Dosis insulin dan insulin sekretagog (sulfonilurea/glinid) yang berlebihan, salah
aturan pakai atau salah jenis insulin.
2. Intake glukosa berkurang, bisa disebabkan oleh lupa makan atau puasa.
3. Penggunaan glukosa yang meningkat (pada saat dan sehabis olahraga)
4. Produksi glukosa endogen berkurang (pada saat konsumsi alkohol)
5. Sensitivitas insulin meningkat (pada saat tengah malam, berat badan turun, kesehatan
membaik dan pada saat peningkatan kontrolglikemik)
6. Penurunan bersihan insulin (pada kasus gagal ginjal)
(Rusdi, 2020)

DAFTAR PUSTAKA

Diani, N. (2020). Peningkatan Pengetahuan dan kemampuan deteksi Hipoglikemi pada pasien Diabetes
Mellitus Di RSUD Ulin Banjarmasin.

Rusdi, M. S. (2020). Hipoglikemia Pada Pasien Diabetes Melitus. Journal Syifa Sciences and
Clinical Research, 2(2), 83–90.
Simatupang, Rumiris. 2017. PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN MELALUI MEDIA
LEAFLET TENTANG DIET DM TERHADAP PENGETAHUAN PASIEN DM DI
RSUD PANDAN KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2017. Vol. 1 No. 2.
Jurnal ilmiah kohesi.

Anda mungkin juga menyukai