Anda di halaman 1dari 28

Backpacker dan Kesehatan Pariwisata di Pulau Bali

Oleh :
Ni Made Dian Kurniasari, S.KM, MPH

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
Februari 2017
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ..................................................................................................................... i


Kata Pengantar ............................................................................................................... ii
1.1. Latar belakang ...................................................................................................................................... 1
1.2. Backpackers .......................................................................................................................................... 2
1.3. Aktivitas dan Perjalanan Wisata .................................................................................................. 3
1.4. Masalah dan Risiko Kesehatan Saat Berwisata ................................................................. 6
1.5. Masalah dan Risiko Kesehatan Saat Berwisata di Bali ............................................... 10
1.6. Pengetahuan Kesehatan Pariwisata Backpacker ........................................................... 14
1.7. Sikap Kesehatan Pariwisata Backpacker ............................................................................ 16
1.8. Perilaku Pencarian Informasi oleh Wisatawan ................................................................. 17
1.9. Peran Pegiat dan IndustrI Pariwisata dalam Kesehatan Wisata ............................ 18
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................................................... 24

i

Kata Pengantar

Puji Syukur dipanjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan
Yang Maha Esa) karena atas berkat dan rahmat-Nya dapat diselesaikannya
tulisan yang berjudul Backpacker dan Kesehatan Pariwisata di Pulau Bali.
Setiap tahunnya jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali
meningkat secara signifikan, termasuk jumlah wisatawan backpacker. Tren
tersebut juga diikuti dengan peningkatan morbiditas terkait perjalanan wisata
dan aktivitas wisata di daerah tujuan. Backpackers adalah wisatawan yang
berwisata seorang diri atau dengan kelompok kecil dengan pembiayaan minim
dan umumnya tinggal di akomodasi murah (wisma, homestay, berkemah, dan
lainnya). Backpackers lebih berisiko mengalami morbiditas bahkan mortalitas
dibandingkan wisatawan yang berwisata dengan agen perjalanan wisata,
karena backpackers cenderung lebih muda, suka bertualang, mencoba wisata
ekstrim, menyewa kendaraan yang murah serta berkendara yang tidak aman.
Tulisan ini bertujuan untuk membahas perilaku pencarian informasi
terkait masalah kesehatan di daerah tujuan wisata oleh wisatawan
backpackers.
Demikian tulisan ini disusun semoga dapat memberikan manfaat bagi diri
kami sendiri dan pihak lain yang menggunakan.

Denpasar, Maret 2017

Penulis

ii

1.1. Latar belakang

Setiap tahunnya jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia

mengalami peningkatan. Data BPS Indonesia menunjukkan bahwa dalam lima

tahun terakhir terjadi peningkatan jumlah wisatawan mancanegara.1 Pada tahun

2015, jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke Indonesia sekitar 10,4

juta orang, meningkat sejumlah sekitar 8 juta wisatawan dari tahun 2010.2 Tren

ini juga terjadi di Bali sebagai salah satu tujuan wisata favorit dunia. Sekitar 40%

wisatawan mancanegara yang ke Indonesia pada 2015 menjadikan Bali sebagai

daerah tujuan utama mereka, termasuk sepertiganya adalah wisatawan

backpackers.4 Backpackers adalah wisatawan yang berwisata seorang diri atau

dengan kelompok kecil dengan pembiayaan minim dan umumnya tinggal di

akomodasi murah (wisma, homestay, berkemah, dan lainnya).4 Data dari BPS

menunjukkan bahwa ada peningkatan jumlah tamu asing pada hotel non bintang

dari tahun ke tahun terutama di Provinsi Bali. Pada tahun 2013 terdapat 1,5 juta

wisatawan menginap di hotel non bintang, meningkat sekitar 700 ribu dari tahun

2008.3

Tren peningkatan jumlah wisatawan juga diikuti oleh peningkatan morbiditas dan

mortalitas terkait dengan perjalanan dan aktivitas wisata.5 Backpackers lebih

berisiko mengalami morbiditas bahkan mortalitas dibandingkan wisatawan yang

berwisata dengan agen perjalanan wisata, karena backpackers cenderung lebih

muda, suka bertualang, mencoba wisata ekstrim, menyewa kendaraan yang

1

murah serta berkendara yang tidak aman.6 Beberapa penelitian di negara asal

yang dilakukan pada wisatawan yang baru saja kembali dari berwisata di suatu

negara menunjukkan bahwa sepertiga sampai setengah dari wisatawan tersebut

menderita penyakit, infeksi pada kulit dan menunjukkan gejala penyakit tertentu

selama dan sesudah berwisata.5

Masalah tersebut sebenarnya dapat dicegah apabila backpackers mendapatkan

informasi risiko dan masalah kesehatan yang tepat dan akurat, sebelum dan

segera setelah mereka tiba di daerah tujuan wisata. Meskipun banyak wisatawan

yang datang ke Bali, namun saat ini masih sedikit informasi yang menunjukkan

bagaimana pemahaman dan kesadaran mereka akan risiko yang mungkin

muncul akibat perjalanan wisata dan aktivitas wisata yang dilakukan. Selain itu

masih minim informasi mengenai bagaimana mereka mengakses informasi

kesehatan wisata di daerah tujuan wisatanya terutama ketika berwisata di Pulau

Bali.

1.2. Backpackers

Backpackers adalah istilah untuk wisatawan yang berwisata seorang diri atau

dengan kelompok dengan anggaran minim dan selalu mengupayakan kegiatan

wisata yang cost-effective.4 Pada umumnya wisata Backpacking diminati oleh

anak muda atau yang berumur 15 sampai 30 tahun, mereka mandiri, suka

2

berpetualang, menggunakan ransel untuk membawa barang pribadi, makan di

warung lokal, mencoba berbagai aktivitas wisata, lebih sering berpindah-pindah

ke tempat satu dengan lainnya dan kunjungan wisatanya jauh lebih lama

dibandingkan wisatawan lain.6

Backpackers semakin populer dikalangan anak muda dan wisatawan

kemungkinan karena beberapa hal diantaranya wisatawan cenderung ingin

menekan biaya wisata dengan mencari biaya perjalanan wisata dan akomodasi

yang lebih murah dan mereka mencari kegiatan wisata yang lebih menantang

atau tertarik dengan hal yang berkaitan dengan petualangan.4 Organisasi

Backpackers Internasional juga telah menyediakan akses informasi tentang

akomodasi, tips dan perjalanan wisata dengan anggaran yang minim dan

jaringan antar wisatawan, hal ini tentunya membuka peluang bagi anak muda

untuk tidak ragu melakukan aktivitas wisata mandiri tanpa bantuan agen

perjalanan wisata.4

1.3. Aktivitas dan Perjalanan Wisata

Kegiatan perjalanan wisata dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu wisata

domestik, wisata inbound, dan wisata outbound.7 Aktivitas wisata domestik

mencakup wilayah yang masih berada pada satu negara. Sebagai contoh,

perjalanan wisata yang dilakukan dari Maluku ke Bali, atau sebaliknya. Sebagai

3

negara kepulauan, dengan karakteristik penyakit yang berbeda-beda antar satu

wilayah di Indonesia, wisata domestik juga dapat menjadi faktor risiko

penyebaran beberapa penyakit, khususnya malaria, dengue, tuberkulosis dan

sejenisnya.

Wisata inbound, terkait dengan aktivitas wisatawan mancanegara yang datang

ke Indonesia. Wisata jenis ini memiliki karakteristik khusus terkait dengan risiko

kesehatan yang mungkin dialami oleh wisatawan yang akan melakukan aktivitas

di Indonesia. Tidak hanya itu, wisatawan mancanegara juga bisa membawa

penyakit dari luar negeri untuk kemudian disebarkan pada penduduk lokal di

Indonesia.

Wisata outbound, merupakan jenis wisata yang dilakukan oleh orang Indonesia

ke luar negeri. Hampir sama dengan inbound tour, wisatawan Indonesia memiliki

kerentanan tersendiri terdapat berbagai bahaya dan risiko kesehatan yang

mungkin ada di tempat yang akan dikunjungi. Demikian juga risiko wisatawan

Indonesia untuk menularkan penyakit yang dibawa dari Indonesia ke tempat

tujuan nantinya.

Jumlah kunjungan wisatawan internasional ke Indonesia meningkat dari tahun

ketahun. Pada tahun 2015, jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke

Indonesia sekitar 10,4 juta orang, meningkat sejumlah sekitar 8 juta wisatawan

4

dari tahun 2010.2 Tren ini juga terjadi di Bali sebagai salah satu tujuan wisata

favorit dunia. Sekitar 40% wisatawan mancanegara yang ke Indonesia pada

2015 menjadikan Bali sebagai daerah tujuan utama mereka, termasuk

sepertiganya adalah wisatawan backpackers.3 Adapun jumlah kunjungan

wisatawan ke Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1 Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Indonesia dari Tahun

2009-2014

Asal 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Amerika 229,824 258,584 297,061 312,209 333,150 358,707

Eropa 978,369 1,038,420 1,045,865 1,108,521 1,243,005 1,332,593

Afrika 28,375 27,200 31,640 41,583 51,298 56,503

Timur Tengah 122,069 144,661 175,885 148,788 188,676 195,518

Asean 2,772,684 3,052,285 3,284,664 3,375,291 3,581,420 3,751,074

Asia Pasifik 2,192,409 2,481,794 2,814,616 3,058,070 3,404,580 3,741,016

Total 6,323,730 7,002,944 7,649,731 8,044,462 8,802,129 9,435,411

Sumber: BPS (2015), diolah. (1)

Seperti terlihat dari tabel, tren peningkatan perjalanan wisata terutama wisata

mancanegara terus terjadi. Mengingat tren linear yang ada maka, jumlah

wisatawan inbound yang akan datang ke Indonesia dan ke Bali pada khususnya

akan terus meningkat pada tahun-tahun mendatang.

5

Dengan telah berlakunya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dan meluasnya

perkembangan informasi mengenai jaringan akomodasi murah dan jaringan

antar wisatawan backpacker, tentunya meningkatkan jumlah wisatawan

backpacking yang datang ke Bali. Dari data Badan Pusat Statistik, pada tahun

2013 terdapat 1,5 juta wisatawan menginap di hotel non bintang di Bali,

meningkat sekitar 700 ribu dari tahun 2008.3

1.4. Masalah dan Risiko Kesehatan Saat Berwisata

Wisatawan adalah salah satu populasi yang berisiko untuk terpapar penyakit di

daerah wisata atau kecelakaan akibat aktivitas wisata yang dilakukan karena

mereka memiliki mobilitas yang tinggi dan berpindah-pindah dari satu destinasi

ke destinasi lainnya.9,10 Dari karakteristik tersebut, ada kemungkinan penularan

penyakit ke tempat asal dan sebaliknya. Selain dapat meningkatkan angka

morbiditas bahkan mortalitas, penularan penyakit tentu akan meningkatkan risiko

perubahan daerah non endemis menjadi endemis. Namun, sayangnya seringkali

masalah kesehatan yang ringan jarang dilaporkan.10

Wisatawan memiliki pola interaksi yang dinamis dengan mikroba dan tempat-

tempat umum. Wisatawan dapat berhubungan dengan perilaku kesehatan yang

berisiko menularkan patogen melalui darah atau cairan tubuh yang lainnya.

Wisatawan juga cenderung berkaitan dengan aktivitas seksual yang dapat

6

berisiko, terlibat dalam aktivitas wisata yang ektrim, bersepeda, mendaki gunung

dan mengalami cedera akibat aktivitas tersebut.

Adapun contoh masalah kesehatan dan penyakit yang dapat dialami oleh

wisatawan saat berwisata di daerah tujuan wisata adalah

a. Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS)

Kejadian wabah SARS di tahun 2003 menunjukkan adanya hubungan

perjalanan antar ruang dan wilayah dan aktivitas dinamis dari wisatawan

terhadap penyebaran penyakit ini.

b. Demam Berdarah Dengue

Endemis di daerah Asia Tenggara. Wisatawan mudah mengalami DBD

terutama karena tidak menggunakan salep anti nyamuk atau kelambu

saat tidur, terutama jika mereka menginap pada hotel kelas non bintang

dengan kondisi kamar yang seadanya.

c. Influensa

d. Zoonosis dan Vektor penyakit

e. Virus Ebola

f. Rabies

Secara ekonomi, jumlah wisatawan yang meningkat akan memberikan kontribusi

dalam pendapatan suatu daerah. Meskipun demikian, peningkatan tersebut juga

dibarengi dengan peningkatan risiko kesehatan yang terkait. Adapun risiko

masalah kesehatan yang akan dihadapi oleh wisatawan menurut berbagai

7

penelitian adalah bahwa dari setiap 100.000 wisatawan yang berkunjung ke

negara berkembang:

• 50.000 akan mengalami masalah kesehatan

• 8.000 akan memerlukan penanganan dokter

• 5.000 akan memerlukan istirahat di tempat tidur

• 1.100 akan tidak mampu beraktivitas rutin

• 300 akan memerlukan perawatan rumah sakit

• 50 akan memerlukan evakuasi udara

• 1 akan meninggal

Data ini menunjukkan bahwa separuh wisatawan mancanegara yang datang ke

negara berkembang akan mengalami masalah kesehatan yang terkait wisata.

Dalam penelitian yang menggunakan data GeoSentinel pada wisatawan yang

kembali ke daerah asal dan mencari pengobatan, dapat diketahui permasalahan

kesehatan yang umum terjadi pada wisatawan (Gambar 2).

8

Gambar 2. Surveilans Geosentinel, penyakit pada wisatawan yang

kembali, tahun 2007-2011

Backpackers memiliki risiko mengalami masalah kesehatan yang lebih tinggi dari

kelompok wisatawan lainnya karena mereka cenderung masih muda, berwisata

dalam waktu yang cukup lama, lebih banyak melakukan aktivitas wisata dan

lebih sering berpindah-pindah daerah tujuan tanpa dibantu oleh agen perjalanan

wisata.6 Karena keuangan adalah hal utama yang perlu diperhatikan oleh

Backpackers, sebagian besar dari mereka akan menekan biaya akomodasi dan

konsumsi.4 Mereka tinggal di akomodasi murah yang cenderung kurang aman.

Mereka tidak terlalu mempersoalkan higienitas makanan yang dimakan sehingga

mereka memiliki risiko yang tinggi mengalami diare dan infeksi saluran

9

pernafasan.4 Dari penelitian yang dilakukan oleh Peach dan Bath di Queensland

(2000), 62% Backpackers mengalami masalah kesehatan, diantaranya alergi

akibat digigit serangga, digigit ular, diare, infeksi kulit, pusing dan terbakar sinar

matahari.6

Backpackers juga memiliki risiko yang tinggi tertular rabies, demam berdarah dan

malaria ketika berwisata ke wilayah Asia Tenggara terutama di daerah-daerah

yang endemis atau dimana anjing dan kucing liar sangat banyak ditemukan.11

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Piyaphanee et.al (2010) di Thailand,

3.6% backpackers berisiko tertular rabies karena pernah dijilat oleh anjing atau

kucing liar dan 0.69% bahkan pernah digigit.11

Masalah kesehatan lainnya adalah risiko tertular penyakit menular seksual

termasuk HIV akibat aktivitas seksual yang tidak aman. Sebuah penelitian di

Denmark pada wisatawan bermalam di wisma besar di Copenhagen

menunjukkan bahwa hanya 1/5 dari mereka membawa kondom dan hanya

setengah wisatawan pria yang menggunakan kondom saat behubungan

seksual.12

1.5. Masalah dan Risiko Kesehatan Saat Berwisata di Bali

10

Bali sebagai daerah tujuan wisata favorit di Bali tentunya akan banyak menarik

wisatawan mancanegara dan lokal untuk datang ke Bali. Sekitar 40% wisatawan

mancanegara yang ke Indonesia pada 2015 menjadikan Bali sebagai daerah

tujuan utama mereka, termasuk sepertiganya adalah wisatawan backpackers.3

Adapun jumlah wisatawan yang datang ke Bali adalah sebagai berikut:

11

Tabel 1. Jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali dari tahun 2010-

20158

Asal 2010 2011 2012 2013 2014 2015

Amerika 113,094 139,451 145,595 162,887 176,320 213,643

Eropa 613,774 644,156 640,269 719,806 744,802 845,949

Afrika 12,973 14,865 18,964 14,389 14,661 21,378

Timur Tengah 6,600 7,534 8,079 18,245 21,586 30,644

Asean 294, 421 337,161 371,631 418,493 486,062 420,173

Asia Pasifik 1,451,965 1,613,045 1,706,910 1,868,047 2,278,402 2,426,882

Negara lain 231 367 571 76,731 44,805 43,263

Total 2,493,058 2,756,579 2,892,019 3,278,598 3,766,638 4,001,835

Sumber: BPS (2017), diolah.

Bali menawarkan berbagai bentuk aktivitas wisata baik wisata berpetualang,

wisata kuliner, rekreasi keluarga, rekreasi dengan risiko sedang hingga berat,

yang dapat berpengaruh terhadap kondisi dan kesehatan wisatawan. Masalah

kesehatan yang mungkin timbul adalah seperti rabies, diare, demam berdarah,

risiko cidera ringan sampai berat akibat aktivitas wisata. Hal tersebut tentunya

dapat dicegah apabila wisatawan sadar dan berprilaku sehat sebelum, sesaat

dan selama menjalankan aktivitas wisatanya di daerah tujuan. Penting bagi

mereka untuk mendapatkan pengetahuan yang baik mengenai kesehatan

pariwisata di daerah tujuan.

12

Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh wisatawan backpacker saat berwisata

di Bali adalah sebagai berikut

a. Masalah kesehatan personal, riwayat pengobatan dan riwayat

vaksinasi

b. Aktivitas wisata yang akan digeluti

c. Tipe perjalanan wisata (sendiri, berkelompok, dengan atau tanpa

jasa agen perjalanan wisata)

d. Jenis penginapan

e. Tahun saat bepergian

f. Lama berkunjung atau berwisata

Hal tersebut penting untuk memberikan gambaran persiapan kesehatan yang

perlu dilakukan oleh wisatawan yang dapat berupa vaksinasi, obat-obatan yang

perlu dibawa atau alat pelindung diri yang perlu disiapkan.

Adapun masalah kesehatan yang mungkin diperoleh wisatawan saat berwisata di

Bali adalah

• Hepatitis A,

• Hepatitis B,

• Tipoid,

• Tetanus,

• Pertusis dan Dipteri,

• Rubela dan
13

• Cacar air.

1.6. Pengetahuan Kesehatan Pariwisata Backpacker

Menurut Notoatmodjo, pengetahuan adalah proses hasil dari tahu dan terjadi

setelah seseorang melakukan penginderaan melalui penglihatan, pendengaran,

penciuman, rasa dan raba terhadap suatu obyek tertentu. Sebagian besar

pengetahuan manusia diperoleh dari indra mata dan telinga. Pengetahuan yang

dimaksud dalam penelitian ini adalah proses hasil dari tahu remaja putri tentang

kekerasan perempuan dan dampaknya terhadap kesehatan reproduksi, yang

meliputi definisi kekerasan terhadap perempuan, bentuk-bentuk kekerasan

terhadap perempuan, faktor-faktor yang mempengaruhi kekerasan terhadap

perempuan, dan dampak kekerasan perempuan terhadap kesehatan reproduksi.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang antara lain:

1. Umur

Umur individu dihitung dari saat dilahirkan sampai berulang tahun. Semakin

cukup umur, semakin matang dan dewasanya taraf berfikir seseorang.

2. Informasi

Informasi mempengaruhi tingkat pengetahuan, semakin banyak informasi

yang didapat maka semakin luas pengetahuan seseorang.

3. Pendidikan

14

Pendidikan dapat diartikan sebagai bimbingan yang diberikan oleh

seseorang pada orang lain (Wawan dan Dewi, 2011). Semakin tinggi

pendidikan seseorang maka semakin mudah pula mereka menerima

informasi, sehingga pada akhirnya semakin banyak pengetahuan yang

dimilikinya.

4. Sosial Budaya

Sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat di daerah tempat tinggal

mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap seseorang dalam

menerima informasi.

Menurut teori Lawrence Green perilaku kesehatan dipengaruhi beberapa faktor

salah satunya adalah pengetahuan. Dengan pengetahuan yang baik tentang

kesehatan wisata diharapkan para wisatawan dapat menjaga kesehatannya

selama melakukan perjalanan atau aktivitas wisata. Dari Penelitian yang

dilakukan di Thailand (2010), sebesar 95.7% backpackers mengetahui bahwa

mereka akan menderita rabies bila digigit anjing atau kucing yang terinfeksi

rabies, namun hanya 59% yang tau bahwa dijilat binatang yang terinfeksi juga

dapat menularkan rabies. Selain itu 40% berfikir bahwa digigit binatang (anjing,

kucing, monyet) yang tampak sehat tidak akan berisiko tertular rabies.11

Penelitian lain di Thailand (2009) menunjukkan bahwa kesalahpahaman juga

umum terjadi terkait masalah kesehatan, hampir setengah backpackers percaya

15

bahwa malaria dapat dicegah dengan pengobatan antimalaria, padahal

sebenarnya tidak seorangpun harus bergantung pada obat tersebut karena

sudah banyak penelitian yang melaporkan kegagalan obat itu dalam mencegah

penyakit malaria.14

1.7. Sikap Kesehatan Pariwisata Backpacker

Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap

suatu objek. Menurut Purwanto dalam Wawan dan Dewi (2011) sikap dapat

bersifat positif dan negatif. Sikap positif memiliki kecenderungan tindakan seperti

mendekati, menyenangi, dan mengharapkan suatu objek tertentu. Sedangkan

pada sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindari,

membenci, dan tidak menyukai objek tertentu.

Sikap adalah suatu reaksi atau respon terhadap hal tertentu. Sikap memiliki tiga

komponen utama yaitu kepercayaan terhadap suatu hal, reaksi emosional

terhadap suatu hal dan kecenderungan untuk bertindak.13

Menurut teori Health Belief Model komponen sikap adalah Perceived Suseptibility

yaitu seberapa jauh seseorang merasa dirinya berisiko terhadap penyakit yang

dapat dicegah. Perceived Severity yaitu seberapa jauh anggapan seseorang

terhadap bahaya dari penyakit tersebut. Perceived Benefits yaitu keuntungan

16

yang akan diperoleh dari kegiatan yang dilakukan untuk mencegah ancaman

penyakit tersebut. Perceived Barriers adalah hambatan yang dialami dalam

kegiatan dan Self-Efficacy yaitu perilaku kesehatan akan berjalan dengan sukses

untuk mendapatkan hasil dengan menggunakan keyakinan pada diri sendiri.13

Dari penelitian yang dilakukan di Thailand (2009), hampir semua (94%)

backpackers menyadari risiko malaria di Asia Tenggara dan hampir setengahnya

(45.8%) merasa bahwa mereka sangat berisiko menderita malaria. Hampir

setengahnya (48.8%) masih percaya bahwa di Bangkok ada risiko malaria,

padahal sebenarnya tidak ada risiko.14

1.8. Perilaku Pencarian Informasi oleh Wisatawan

Teori perilaku dikembangkan oleh Lawrence Green menyatakan ada 3 faktor

yang menentukan perilaku adalah faktor predisposisi, faktor pendukung dan

faktor pendorong. Faktor predisposisi adalah umur, pengetahuan, sikap,

kepercayaan, keyakinan dan nilai-nilai. Faktor pendukung adalah lingkungan

fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas kesehatan. Faktor

pendorong terwujud dalam sikap dan perilaku kelompok.13

Dari penelitian yang dilakukan di Thailand (2009) 54% backpackers yang

berwisata ke daerah hutan hanya 54%nya yang menggunakan obat anti nyamuk

17

bahkan 17% tidak pernah sama sekali menggunakan obat anti nyamuk.

Kepatuhan backpackers dalam menggunakan antimalarial propilaxis masih

kurang, 47% lupa menggunakannya lagi dan 30% bahkan menghentikan

pengobatan.14 Lebih dari setengah backpacker (75%) telah mencari informasi

kesehatan sebelum pergi ke daerah tujuan. Walaupun 75% backpackers sudah

mencari informasi kesehatan sebelum traveling tapi pengetahuannya mengenai

risiko malaria masih rendah, 35% masih percaya bahwa malaria dapat ditularkan

melalui makanan dan minuman yang kotor.14 Penelitian lain di Thailand (2010)

juga menemukan bahwa walaupun banyak dari wisatawan mencari informasi

kesehatan wisata sebelum bepergian namun masih sedikit dari mereka

mendapatkan informasi mengenai penyakit-penyakit yang endemis di daerah

tujuan wisata seperti rabies.14 Hasil penelitian di Queensland Australia

menunjukkan bahwa 17% dari wisatawan mendapatkan informasi dan saran

kesehatan yang salah/tidak akurat.6 Sedangkan menurut sumbernya, informasi

paling banyak diperoleh oleh backpackers dari berbagai penelitian adalah klinik

perjalanan wisata/dokter umum, internet, teman, majalah/buku dan apotek.11,14

1.9. Peran Pegiat dan IndustrI Pariwisata dalam Kesehatan

Wisata

18

Secara teoritis, pelaku pariwisata seperti tour guide dan agen perjalanan wisata

dapat berperan secara signifikan dalam upaya-upaya pencegahan masalah

kesehatan pada wisatawan. Mereka dapat berperan dalam memberikan

informasi mengenai kebutuhan sertifikat vaksinasi, bahwa wisatawan yang

datang sebelum mengunjungi suatu wilayah harus memiliki jaminan bahwa dia

sudah divaksinasi. Contohnya perlunya sertifikat vaksinasi meningitis untuk

berkunjung ke daerah Saudi Arabia. Selain itu konsultan wisata juga dapat

memberikan rekomendasi vaksinasi yang diperlukan untuk pencegahan penyakit

– penyakit tertentu. Misalnya, saat terjadi wabah rabies di Bali, maka agen0agen

dan pramuwisata dapat memberitahukan pentingnya vaksinasi rabies pra-

exposure kepada wisatawan sebelum berkunjung. Saat sudah di Bali, agen

perjalanan wisata maupun pramuwisata dapat memberikan informasi apa yang

mesti dilakukan jika tergigit atau tercakar binatang yang berpotensi menularkan

rabies. Selain itu, upaya kemoprofilaksis juga bisa disampaikan kepada

wisatawan yang berisiko tertular suatu penyakit, tetapi bisa dicegah dengan

pemberian obat-obatan tertentu. Sebagai contoh, wisatawan yang akan

berkunjung ke daerah Nusa Tenggara Barat, atau kawasan timur Indonesia

lainnya, bisa disarankan untuk berkonsultasi ke petugas kesehatan untuk

mendapatkan obat pencegahan. Agen perjalanan wisata dan pramuwisata juga

dapat membantu memberikan saran terkait situasi kesehatan yang mungkin ada

di suatu wilayah pada waktu-waktu tertentu. Pada saat kasus demam berdarah

meningkat misalnya, konsultan perjalanan wisata dapat memberikan informasi

mengenai upaya pencegahan terkait seperti perlindungan yang diperlukan saat

19

berada atau beraktivitas di luar ruangan. Selain itu mereka juga bisa berperan

dengan menyediakan berbagai media seperti brosur-brosur kemungkinan risiko

kesehatan di daerah destinasi wisata, berkoordinasi dengan agen perjalanan

wisata dan pramuwisata, termasuk menyampaikan pentingnya asuransi

perjalanan, informasi repatriasi dan kondisi layanan medis di darerah destinasi

wisata.

Sebuah penelitian di Kanada mendapatkan bahwa dengan melibatkan agen

perjalanan wisata rujukan wisatawan yang berisiko ke klinik wisata untuk

mendapatkan konseling pra-wisata meningkat secara bermakna. Penelitian ini

menunjukkan bahwa 65% APW melaporkan terjadinya peningkatan wisatawan

yang melakukan konseling (p=0,03). Pemilik atau manajer APW cenderung lebih

sering melaporkan adanya peningkatan dari sebelum adanya inervensi oleh

peneliti (OR = 7.25; 95% CI: 1.64–32.06). Peningkatan rujukan cenderung lebih

tinggi dilakukan oleh APW yang sudah lama beroperasi, yang memiliki jam kerja

lebih lama, dan yang memiliki riwayat merujuk sebelumnya.

Pada penelitian terhadap 145 APW di Western Australia8 didapatkan bahwa 56%

sudah memberikan informasi kesehatan secara umum kepada wisatawan yang

akan berkunjung ke daerah berisiko terjadinya masalah kesehatan. Hampir

semua APW sudah mendiskusikan asuransi perjalanan, tetapi sangat sedikit

yang sudah mendiskusikan masalah kesehatan spesifik. Lebih dari 80% APW

memiliki pengetahuan yang baik terutama mengenai yellow fever, malaria, dan

keamanan pangan, akan tetapi sebagian besar memiliki pengetahuan yang

20

kurang mengenai demam berdarah dan altitude sickness, atau penyakit yang

muncul pada lingkungan ketinggian.

Penelitian lain yang melibatkan 708 APW di Québec, Kanada,9 menyatakan

bahwa 81% responden yakin kalau APW dapat berperan penting dalam upaya

pencegahan masalah kesehatan pada wisatawan. Peran yang paling penting

bisa dilakukan menurut responden adalah dengan merujuk calon wisatawan

untuk mendapatkan konseling pra-wisata di klinik-klinik wisata. Mayoritas APW

mendapatkan informasi risiko kesehatan dari klinik-klinik wisata, namun demikian

40% responden berharap mendapatkan informasi lengkap dari departemen

kesehatan setempat secara reguler, dan 28% lebih suka mencari informasi

sendiri melalui Internet.

Akan tetapi, hal tersebut akan lebih sulit diperoleh oleh Backpacker karena

mereka cenderung bepergian tanpa menggunakan jasa pramuwisata ataupun

agen perjalanan wisata. Walaupun demikian, ada peluang backpacker untuk

mengakses informasi kesehatan di daerah tujuan wisatanya. Misalnya melalui

website backpacker, website pariwisata di daerah tujuan maupun dengan hotel

non-bintang yang mereka tempati. Hotel non-bintang dapat menyediakan

beberapa leaflet, brosur atau info mengenai kesehatan wisata di daerah

setempat dan fasilitas kesehatan yang tersedia.

Agar dapat memberikan informasi yang tepat pada wisatawan, maka perlu

menggali hal-hal sebagai berikut:

21

a. Pengetahuan wisatawan terhadap isu-isu penting terkait risiko kesehatan

yang ada di Bali. Isu-isu yang dapat digali yaitu terkait: rabies, demam

berdarah, keamanan pangan (diare, oplosan), hazard/bahaya aktivitas

wisata air dan wisata alam, penyakit kulit, dan penyakit menular seksual.

Akan ditanyakan hal seputar pengertian, cara penularan, cara

pencegahan dan pertolongan pertama bila mengalami masalah

kesehatan.

b. Sikap wisatawan backpacker dalam mengupayakan kesehatan wisata

untuk dirinya. Sikap yang terdiri dari komponen-komponen utama yang

dikembangkan berdasarkan konsep Health Belief Model, sebagai berikut :

• Kekhawatiran yang dirasakan (perceived susceptibility) terhadap risiko

kesehatan yang dialami oleh wisatawan

• Keparahan yang dapat ditimbulkan (perceived severity)

• Manfaat yang didapat bila mengupayakan kesehatan (perceived

benefits)

• Hambatan yang ada dalam mengupayakan kesehatan (perceived

barriers)

Keyakinan dalam mengupayakan kesehatan wisata (self-efficacy)

c. Perilaku wisatawan backpacker dalam mengupayakan kesehatan saat

berwisata mencakup perilaku mencari informasi kesehatan sebelum

maupun setelah tiba didaerah wisata dan upaya yang dilakukan untuk

mencegah risiko penyakit di daerah tujuan.

22

d. Informasi yang diharapkan didapatkan oleh responden terkait kesehatan

wisata (terkait informasi umum, pencegahan, penularan, pengobatan

pertama).

e. Sumber informasi yang paling sering di akses oleh responden

f. Sumber informasi kesehatan yang menurut responden paling mudah

diakses

Dengan mengetahui karakteristik, pengetahuan, sikap dan perilaku wisatawan

Backpackers terkait risiko kesehatan didaerah tujuan wisata, maka dapat

diketahui masalah yang ada untuk kemudian disusun suatu upaya untuk

meningkatkan akses wisatawan terhadap informasi kesehatan wisata yang

akurat dan dapat dipercaya.

23

DAFTAR PUSTAKA

1. Statistik Indonesia. Number of International Travelers to Indonesia by


Country of Origin, 2002-2014 [Internet]. Badan Pus. Stat.2015;Available
from: http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1388

2. Kementerian Pariwisata. Number of Internatinal Travelers to Indonesia


2015. Kementerian Pariwisata Republik Indonesia. 2015; Available from:
http://www.kemenpar.go.id/userfiles/desember.pdf

3. Statistics Indonesia. Jumlah Tamu Asing pada Hotel Non Bintang Menurut
Provinsi Tahun 2003-2015. Badan Pusat Statistik Indonesia. 2017;
Available from: https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1378.

4. Leggat PA, Shaw MTM. Travel Health Advice for Backpackers. J Travel
Medicine 2003;10:340-345

5. A. Yung, T. Ruff, J.Torresi, K. Leder DO. Manual of Travel Medicine: a pre-


travel guide for health care practitioners. 2nd ed. Melbourne: IP
Communications; 2004.

6. Peach HG, Bath NE. Health and Safety Problems and Lack of Information
among International Visitors Backpaking Through North Queensland. J
Travel Medicine 2000;7:234-238.

7. Yoeti OA. Tours and Travel Marketing. Jakarta: Pradnya Paramita; 2003.

8. Tourism Department of Bali Province. Number of International Travelers to


Bali by Country of Origin, 2010-2016 [Internet]. Dinas Pariwisata
Pemerintah Provinsi Bali.2017.Available from:
http://www.disparda.baliprov.go.id/id/Statistik3

9. WHO. International Health Regulations 2005. 2nd ed. Geneva: World


Health Organization; 2008.

10. Reid D, Keystone JS, Cossar JH. Health Risks Abroad: General
Considerations. In: DuPont HL, Steffen R, editors. Textbook of Travel
Medicine and Health. Hamilton, London: B.C Decker Inc.; 2001. page 3–9.

24

11. Piyaphanee W, Shantavasinkul P, Phumratanaprapin W, et.al. Rabies
Exposure Risk among Foreign Backpackers in Southeast Asia.
Am.J.Trop.Med.Hyg.,2010;82(6):1168-1171.

12. Worm AM, Lillelund H. Condoms and Sexual Behaviour of Young Tourist in
Copenhagen. AIDS Care 1989;1:93-96.

13. Notoatmojo S. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. 2003. Rineka Cipta,


Jakarta.

14. Piyaphanee W, Wattanagoon Y, Silachamroon MD. 2009. Knowledge,


Attitudes and Practices Among Foreign Backpackers Toward Malaria Risk
in Southeast Asia. Journal of Travel Medicine.2009;16(2):101-106.

25

Anda mungkin juga menyukai