Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

“BAKTERIAL ZOONOSIS (ANTRAKS)”

Kelompok 3 :

1. Evalin Nadia Kaheming 19111101023


2. Siti Hartina Buyung 19111101035
3. Keysia Morend Mamuko 19111101141
4. Ririn Abd. Rahman 19111101150
5. Windy Dalonto 19111101156

Mata Kuliah : Zoonosis

Dosen Mata Kuliah :

dr. Angela F. C. Kalesaran, MSc, MHSc

Dr. dr. Wulan P. J. Kaunang, GradDip, MKes, DK

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

2022

i
KATA PENGANTAR

Salam Sejahtera

Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan RahmatNya
sehingga, penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Tugas ini
disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang “Bacterial Zoonosis (Antraks)”
yang disajikan berdasarkan referensi dari berbagai sumber.

Penyusun mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Zoonosis yang telah
membimbing dan memberikan kesempatan kepada penyusun sehingga penyusun dapat
menyelesaikan makalah ini. Tak lupa juga penyusun ucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungannya dalam pembuatan makalah ini.

Penyusun menyadari bahwa makalah ini belum sempurna, untuk itu penyusun sangat
mengharapkan kritik dan saran, baik dari dosen pembimbing maupun teman-teman atau
pembaca agar makalah ini dapat lebih sempurna. Semoga makalah ini dapat memberikan
wawasan yang lebih luas kepada pembaca.

Manado, Februari 2022

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................ii

DAFTAR ISI......................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.....................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah................................................................................................2

1.3 Tujuan..................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................3

2.1 Pengertian Antraks...............................................................................................3

2.2 Penyebab Antraks................................................................................................4

2.3 Angka Kejadian Antraks......................................................................................4

2.4 Cara Penularan Antraks.......................................................................................6

2.5 Gejala Antraks......................................................................................................8

2.6 Diagnosis Antraks..............................................................................................13

2.6 Pencegahan Antraks...........................................................................................17

2.7 Pengendalian/Pengobatan Antraks.....................................................................18

BAB III PENUTUP...........................................................................................................19

3.1 Kesimpulan........................................................................................................19

3.2 Saran...................................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................20

iii
iv
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit antraks merupakan salah satu penyakit zoonotik yang menjadi masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia. Sumber penularan antraks pada manusia
biasanya akibat dari kontak dengan produk atau kontak dengan hewan pemamah
biak dan herbivora lainnya seperti sapi, kerbau, kambing dan domba yang terinfeksi
bakteri antraks.
Antraks telah menimbulkan dampak seperti masalah kesehatan dan kepanikan
masyarakat serta kerugian ekonomi yang cukup besar pada masyarakat peternak
karena penyakit ini mengakibatkan kematian pada hewan ternak ruminansia dalam
waktu yang singkat. Selain itu, penyakit antraks juga bisa dialami oleh manusia.
Sebagian besar kasus antraks pada manusia merupakan antraks tipe kulit akibat
kontak langsung dengan hewan atau produk hewan yang sakit/mati karena antraks.
Beberapa penderita antraks yang meninggal merupakan antraks tipe pencernaan
akibat memakan daging hewan terinfeksi bakteri antraks yang tidak dimasak secara
sempurna. Kesadaran masyarakat terhadap bahaya antraks masih kurang, sehingga
dapat menjadi penyebab terjadinya penularan antraks pada manusia serta penyebaran
antraks ke wilayah lainnya.
Beberapa faktor risiko yang memungkinkan penyebaran penyakit antraks
adalah rendahnya pengetahuan peternak tentang penyakit antraks. Selain itu,
kebiasaan orang menyembelih ternak yang sakit dan mengonsumsi dagingnya karena
alasan ekonomi, menjadi salah satu penyebab penularan antraks ke manusia.
Pengetahuan peternak tentang antraks dipengaruhi oleh pendidikan, sumber
informasi dan profesi. Pengetahuan masyarakat di Indonesia terhadap penyakit
antraks masih relatif rendah. Sebagian masyarakat masih mempunyai pemikiran
yang keliru tentang penyakit antraks sebagai penyakit yang tidak menular.
Pengendalian penyakit antraks pada ternak dan manusia akan efektif apabila
masyarakat memiliki pengetahuan, sikap dan persepsi yang baik terhadap penyakit
antraks. Oleh karena itu, tim penyusun membuat makalah ini untuk memberikan dan
menambah pengetahuan masyarakat mengenai penyakit antraks agar masyarakat
mendapat pengetahuan yang baik mengenai penaykit antraks.

1
1.2 Rumusan Masalah
- Apa yang dimaksud dengan penyakit antraks?
- Apa yang menjadi penyebab penyakit antraks?
- Jelaskan angka kejadian penyakit antraks!
- Bagaimana cara penularan penyakit antraks?
- Bagaimana gejala penyakit antraks?
- Jelaskan diagnosis penyakit antraks!
- Bagaimana cara pencegahan penyakit antraks?
- Bagaimana cara pengendalian/pengobatan penyakit antraks?

1.3 Tujuan
- Untuk mengetahui dan memahami pengertian penyakit antraks
- Untuk mengetahui dan memahami penyebab penyakit antraks
- Untuk mengetahui dan memahami angka kejadi penyakit antraks
- Untuk mengetahui dan memahami cara penularan penyakit antraks
- Untuk mengetahui dan memahami gejala penyakit antraks
- Untuk mengetahui dan memahami diagnosis penyakit antraks
- Untuk mengetahui dan memahami cara pencegahan penyakit antraks
- Untuk mengetahui dan memahami cara pengendalian/pengobatan penyakit
antraks

2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Antraks
Penyakit antraks termasuk salah satu penyakit zoonotik yang disebabkan oleh
Bacillus anthracis. Bakteri Bacillus anthracis termasuk kedalam kingdom Bacteria,
dengan kelas Bacilli, gen Bacillus, family Bacillaceae dan spesies Bacillus anthracis.
Bakteri ini berkembangbiak dengan membentuk rantai panjang dalam jaringan tubuh
(In vivo) dan biasanya tersusun dengan cara rantai tunggal (Murwani, 2017). Bakteri
ini termasuk Gram positif, bersifat fakultatif anaerob, dan membentuk spora
(Fatmawari, 2018). Spora yang dihasilkan bakteri ini berada di sentral dan tidak
memiliki warna (Clarasinta dan Tri, 2017). Panjang Bacillus anthracis 3-5 µm dan
lebar 1-1,2 µm. Kapsula bakteri terbentuk pada saat berada di dalam jaringan hospes
dan dapat di deteksi menggunakan pewarnaan Giemsa, media Colombia dan
M’Fadyean reaction (polychrome methylene blue staining) (Muwarni et al., 2017).
Gambar 1. Bacillus anthraciss dengan bentuk beruas seperti batang
bambu, spora terletak pada sentral tidak bewarna

(Sumber : Muwarni, 2017)


Bacillus anthracis dapat hidup pada lingkungan yang tidak menguntungkan dan
ketika memperoleh jumlah oksigen yang cukup akan membentuk spora. Pada suhu
panas maupun dingin spora dapat bertahan sehingga kontaminasi sulit dikendalikan.
Spora dapat bertahan hidup sampai berpuluh-puluh tahun di dalam tanah maupun
pada hasil produksi hewan seperti wol, kulit dan olahan-olahan lainnya (Parwanto,
2019). Lingkungan yang terkontaminasi spora antraks akan mengakibatkan penyakit
endemik jika tidak ditangani dengan baik (Damayanti et al., 2012).

3
2.2 Penyebab Antraks

Agent penyebab penyakit Antraks adalah Bacillus anthracis, pertama kali ditemukan
oleh Davaine dan Bayer (1849) yang kemudian diidentifikasi lebih lanjut oleh
Pollender (1855). Bacillus anthracis merupakan bakteri yang pertama kali dapat
dilihat dan dibuktikan sebagai penyebab penyakit antraks. Bacillus anthracis
merupakan bakteri berbentuk batang, ujung-ujungnya persegi dengan sudut-sudut
yang nampak jelas, tersusun dua-dua atau berderet, sehingga nampak seperti ruas
ruas bambu atau susunan batu bata, membentuk spora, bersifat gram positif, dengan
ukuran 1-2 μm x 5-10 μm (Kemenkes, 2017).

Pada tahun 1877, Robert Koch menanam organisme dalam media pembiakan
dan memperlihatkan kemampuan bakteri untuk membentuk endospora dan dalam
percobaannya ia dapat menimbulkan penyakit antraks pada binatang tersebut.

Gambar 2. Bacillus anthracis

(Sumber : Kemenkes RI, 2017)

2.3 Angka Kejadian Antraks

Indonesia merupakan daerah endemis antraks. Menurut Direktorat Bina Program,


Direktorat Jenderal Peternakan pada tahun 2000 ada 11 provinsi yang termasuk daerah
tertular antraks, yaitu Sumatera Barat, Jambi, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah,

4
Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,
Sulawesi Tengah dan Irian Jaya (Widarso et al. 2000).

Sementara itu,Indonesia pernah mengalami stastus KLB akibat antraks, terjadi pada
tahun 2001 di Kabupaten Bogor, Jawa Barat dimulai setelah ditemukannya lima orang
penderita antraks dari Desa Hambalang, Citeureup, Bogor. Dilaporkan jumlah penderita
seluruhnya 22orang menyebabkan dua orang korban meninggal (Noor et al. 2001; Hasan
2017). Selama periode tahun 2001-2007 di Kabupaten Bogor telah terjadi 97 kasus
penyakit antraks pada manusia dengan kematian mencapai delapan orang (Basri &
Kiptiyah 2010). Studi retrospektif antraks di Kabupaten Bogor menunjukkan kejadian
antraks waktu itu telah menyebar kesembilan wilayah (Noor et al. 2001). Pada tahun
2003 terjadi kasus antraks di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara
Timur, dan DI Yogyakarta (Ditjen PKH 2016). Pada tahun 2009, wabah antraks terjadi di
Boyolali, tahun 2010 terjadi di Sragen (Jawa Tengah) dan Goa, Sulawesi Selatan
(Joewono 2011). Awal tahun 2011 penyakit antraks terjadi lagi di Kabupaten Sragen dan
Boyolali (Alhamira 2011).

Pada tahun 2011 dan 2012 terjadi kasus antraks pada manusia dengan jumlah 63
tanpa kasus kematian, sedangkan pada tahun 2013 terjadi 11 kasus dengan satu kematian
dan pada tahun 2014 sebanyak 48 kasus dengan tiga kematian. Selama tahun 2015-2016
terjadi total kasus sebanyak 55 kasus antraks manusia tanpa kasus kematian. Kejadian
antraks pada manusia di Indonesia (2010-2016) sebagian besar merupakan antraks
kutaneus (97%) sedangkan 3% lainnya merupakan antraks gastrointestinal. Selain itu
sebagian besar penderita merupakan laki-laki (61%) dan berumur > 15 tahun (93%).
Pada tahun 2017 total sebanyak 77 kasus antraks pada manusia dilaporkan kasus tersebut
tersebar di lima provinsi yaitu DI Yogyakarta sebanyak empat kasus dengan satu kasus
meninggal, Jawa Timur sebanyak 25 kasus, NTT sebanyak satu kasus, Sulawesi Selatan
sebanyak dua kasus dan Gorontalo sebanyak 45 kasus (CFR 1,59%). Pada tahun 2018,
sebanyak sembilan kasus antraks pada manusia dilaporkan dengan persebaran delapan
kasus di Jawa Timur dan satu kasus di Sulawesi Selatan. Provinsi lain tidak lagi
ditemukan kasus antraks pada manusia akan tetapi masih merupakan daerah endemis
antraks yang berpotensi menyebabkan kasus pada manusia jika tidak dilakukan
pengendalian pada sektor kesehatan manusia maupun hewan .

5
Gambar 3. Peta sebaran kasus antraks di Indonesia periode tahun 2008 - 2017

(Sumber : Pudjiatmoko, 2017)

Menurut Pudjiatmoko (2017) data 10 tahun terakhir periode 2008-2017 wilayah


distribusi kasus antraks mencakup tujuh provinsi (Gambar 3), yaitu Nusa Tenggara
Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Barat, Gorontalo dan
DI Yogyakarta. Dari Gambar 3 tersebut terlihat bahwa beberapa provinsi seperti
Sumatera Barat, Jambi, Papua, Jawa Barat dan DKI Jakarta sudah menjadi area
terkendali antraks.

2.4 Cara Penularan Antraks

Antraks adalah suatu penyakit zoonotik, oleh karena itu penularan dapat terjadi
diantara hewan dan dapat menular juga kepada manusia. Cara penularan yang sering
terjadi adalah sebagai berikut:

1. Penularan dari Hewan ke Hewan atau ke manusia.


Penularan dapat terjadi bila hewan atau manusia terpapar dengan cairan tubuh
yang mengandung bakteri antraks atau oleh spora yang ada disekelilingnya.
Kondisi tanah dengan keasaman netral atau tanah berkapur alkalis dapat
menyebabkan bakteri antraks berkembang biak dan membentuk spora dalam
jumlah yang lebih banyak.
2. Penularan melalui spora.
Bakteri antraks akan dikeluarkan dari tubuh hewan melalui sekresi dan ekskresi
selama sakit atau menjelang kematiannya. Bila hewan tersebut mati di ladang
maka spora yang keluar melalui lubang-lubang kumlah spora dengan cepat akan
6
terbentuk dan mencemari tanah atau obyek lain di sekitarnya. Bila sudah terjadi
hal demikian maka sulit untuk memusnahkan spora yang sudah terlanjur
terbentuk sehingga tersebar mencemari lingkugan. Spora antraks juga ikut
terbongkar pada saat petani melakukan pengolahan tanah dan selanjutnya
terbawa oleh aliran air di musim hujan atau terbawa oleh limbah cair ke tempat
lain. Spora di permukaan tanah juga dapat terkikis oleh gerusan aliran air hujan
ke parit di sekitar lokasi dan terbawa ke tempat yang cukup jauh.
3. Penularan melalui hewan dan pakan ternak.
Rumput yang dipangkas untuk pakan ternak sangat berpotensi membawa spora
dan berisiko menularkan antraks dari satu daerah ke daerah lainnya. Selain itu
juga akibat dari hewan ternak yang digembalakan di daerah tercemar spora
antraks, dan merumput sampai pangkal batang yang berdekatan dengan tanah
pada saat mulai musim penghujan dimana rumput masih pendek.
4. Penularan melalui konsentrat atau bahan pakan dari hewan.
Penularan melalui konsentrat protein yang terkontaminasi oleh spora antraks ini
pernah terjadi di Inggris dan Amerika Serikat. Indonesia telah melarang
pemberian tepung tulang kepada ruminansia untuk menghindari penularan
antraks dan sapi gila (BSE).
5. Penularan dari bahan produk industri yang berasal dari hewan.
Penularan antraks pada orang yang disebabkan oleh secara tidak sengaja terpapar
dengan spora yang terbawa oleh produk ternak misalnya penyamakan kulit,
pembuatan wool
Gambar 4. Skema patogenesis bakteri Bacillus anhtracis

(Sumber : Robithul I, Siti FZ, Pramiasih, dkk. 2021. Jurnal Peternakan


7
Sriwijaya)
Berdasarkan (Gambar 4) infeksi dimulai dari masuknya endospora ke dalam
tubuh baik peroral, melalui luka, atau inhalasi. Spora dalam saluran pencernaan
berubah dalam bentuk vegetatif subkutan. Endospora akan difagositosis oleh sel
makrofag, dimana di dalam makrofag spora berubah menjadi bentuk vegetatif.
Spora yang telah berada di kelenjar getah bening akan aktif membelah dan
memproduksi toksin sehingga menimbulkan edema, nekrosis, dan limfadentis
hemorhagik (Tanzil, 2013). Penyebaran spora dalam tubuh terjadi melalui dua
cara yaitu secara hematogen dan limfogen. Dampak dari penyebaran tersebut
menyebabkan septikemia dan toksemia. Di dalam darah kuman dapat
berkembang hingga puluhan bahkan ratusan juta per milimeter darah. Spora yang
masuk ke selaput otak dapat menyebabkan meningitis. Proses limfadenitis
hemorhagik peribronkhial menyebabkan edema paru hingga terjadi komplikasi
dan menyebabkan kematian. Patogenesis berlangsung sekitar 10 hari sejak
terpapar spora (Tanzil, 2014).

2.5 Gejala Antraks

• Gejala klinis antraks pada hewan


Hewan dapat tertular antraks melalui pakan (rumput) atau minum yang
terkontaminasi spora. Spora yang masuk ke dalam tubuh melalui oral dan akan
mengalami germinasi, multiplikasi di sistem limfe dan limpa, menghasilkan
toksin sehingga menyebabkan kematian (biasanya mengandung ± 10,9
kuman/ml darah) (OIE, 2000) . Antraks pada hewan dapat ditemukan dalam
bentuk perakut, akut, subakut sampai dengan kronis . Untuk ruminansia
biasanya berbentuk perakut dan akut ; kuda biasanya berbentuk akut ; sedangkan
anjing, kucing dan babi biasanya berbentuk subakut sampai dengan kronis.
Gejala penyakit pada bentuk perakut berupa demarn tinggi (42 ° C), gemetar,
susah bernafas, kongesti mukosa, konvulsi, kolaps dan mati . Darah yang keluar
dari lubang kumlah (anus, hidung, mulut atau vulva) berwarna gelap dan sukar
membeku. Bentuk akut biasanya menunjukan gejala depresi, anoreksia, demam,
nafas cepat, peningkatan denyut nadi, kongesti membran mukosa . Pada kuda
terjadi enteritis, kolik, demam tinggi, depresi dan kematian terjadi dalam waktu
48 - 96 jam . Sedangkan pada bentuk subakut sampai dengan kronis, terlihat

8
adanya pembengkakan pada lymphoglandula pharyngeal karena kumnn antraks
terlokalisasi di daerah itu (OIE, 2000) . Di Indonesia, kejadian antraks biasanya
perakut, yaitu : demam tinggi, gemetar, kejang-kejang, konvulsi, kolaps dan
mati.

• Gejala klinis antraks pada manusia penyakit antraks pada manusia sangat
tergantung pada patogenesisnya, yaitu antraks kulit, antraks paru, antraks saluran
pencernaan dan antraks meningitis.
a. Antraks Kulit (Cutaneous anthrax).
Gambar 5. Antraks kulit yang ditemukan di Indonesia.

(Kemenkes, 2017)
Penderita antraks biasanya mempunyai riwayat pekerjaan yang kontak
erat dengan hewan atau produk hewan. Bagian tubuh yang sering terkena
terutama kepala, leher, dan esktremitas, meskipun bagian kulit lainnya
juga dapat terkena. Gejala antraks berupa Lesi kulit primer yang seperti
makula kecil berwarna merah yang gatal, selanjutnya berkembang
menjadi luka atau papel kecil yang tidak nyeri, timbul 3-5 hari setelah
masuknya endospore (walaupun dilaporkan masa inkubasi bisa
bervariasi antara 12 jam hingga 19 hari). Dalam waktu 24-36 jam, papel
menjadi vesikel dan mengalami ulserasi, dan berbentuk eskar yang khas
berwarna hitam dan mengering yang dikelilingi oleh edema dengan
sejumlah vesikel berwarna hitam keunguan. Edema bersifat non-pitting.
Edema ini biasanya lebih nyata pada bagian kepala atau leher dibanding
bagian ekstremitas. Bila ada infeksi sekunder, papel akan menjadi
pustula yang nyeri, biasanya disebabkan oleh kuman streptokokus atau
stafilokokus. Kelenjar limfe regional yang mengalami infeksi akan terasa
nyeri. Dari cairan vesikel dapat diidentifikasi B.anthracis yang
berkapsul, tetapi hanya pada penderita yang belum diobati. Pewarnaan
polychrome methylene blue (M’Fadyean) atau tinta India, dan diisolasi
pada agar biasa atau lebih baik dengan agar darah. Pada umumnya gejala
9
lain yang muncul adalah demam, sakit kepala, malaise dan limfadenopati
regional, tetapi pada lesi minimal dan dari strain yang kurang virulen
tidak ditemukan gejala-gejala tersebut tidak tampak. Ulkus dapat sembuh
spontan dalam waktu 2-3 minggu, namun 5-20% kasus yang tidak
diobati dengan antibiotika akan mengalami septikemi dan kematian.
Angka mortalitas pada kasus antraks kulit dengan terapi yang sesuai
adalah < 1%. Edema maligna merupakan komplikasi yang jarang terjadi,
dan ditandai dengan edema sangat berat, indurasi, bula yang multiple
dan gejala syok. Bila edema maligna mengenai bagian leher dan dada
akan menimbulkan kesulitan bernapas. Gejala sistemik adalah : demam,
sakit kepala, malaise, dan limfadenopati regional.

b. Antraks saluran pencernaan (Gastrointestinal anthrax).


Bentuk antraks ini dapat terjadi akibat dari infeksi bakteri antraks
melalui makanan yang tertular oleh bakteri/spora antraks, misalnya
daging, jerohan dari hewan, atau sayur-sayuran yang tidak dimasak
dengan sempurna. Dapat juga terjadi akibat pekerja peternakan makan
dengan tangan yang kurang bersih dan telah terkontaminasi bakteri
antraks. Masa inkubasi antraks intestinal bervariasi antara 2-5 hari.
Penyakit ini biasanya timbul secara akut atau perakut. Masuknya spora
antraks melalui saluran pencernaan dapat menyebabkan dua bentuk
kelainan yaitu: 1. Antraks orofarings
Gejala : demam, sakit tenggorokan , lesi mukosa pada rongga mulut
atau orofaring yang kemudian diikuti daerah nekrosis, adenopati
servikalis, disfagia dan limfadenopati regional. Pada tahap lebih
lanjut dapat terjadi edema dan pembengkakan leher dan dada anterior
sehingga memerlukan tracheostomy.
2. Antraks gastrointestinal.
Gejala pada awalnya tidak spesifik seperti mual, muntah, anoreksia,
diare ringan dan demam. Namun kadang-kadang parah seperti
hematemesis, diare berdarah dan asites masif. Keluhan utama yang
sering dite mukan pada penderita adalah mual, muntah, sakit perut
hebat, tidak nafsu makan, konstipasi, dapat juga terjadi
gastroenteritis akut yang kadang-kadang berdarah, hematemesis,

10
kelemahan umum, demam, dan ada riwayat kontak dengan hewan
atau makanan. Penyakit dapat berkembang menjadi tingkat yang
berat dan berakhir dengan kematian dalam waktu kurang dari 2 hari.
Angka kematian (CFR) tipe ini bervariasi yaitu 25-75%.
Pemeriksaan fisik didapatkan pembesaran kelenjar limfe daerah
inguinal (lipat paha), perut membesar dan keras, kemudian
berkembang menjadi ascites dan edema scrotum serta sering
dijumpai perdarahan gastrointestinal. Pada foto rontgen didapat
diafragma meninggi dan adanya pelebaran usus akibat timbunan
banyak udara, tidak tampak adanya udara bebas didalam rongga
perut. Laparatomi didapatkan bahwa didalam rongga peritoneum
penuh dengan cairan purulenta berwarna cokelat, kelenjar
mesenterium membesar dan keras, sedangkan mesenterium sendiri
tampak kemerahan dan ada bintik-bintik perdarahan (Nalin et al
1977). Antraks intestinal sebaiknya dipertimbangkan sebagai
diagnosis banding pada penderita dengan akut abdomen di daerah
dimana prevalensi antraks cukup tinggi atau daerah tertular antraks
serta adanya riwayat makan daging yang dimasak tidak sempurna.

c. Antraks paru-paru (Pulmonary anthrax).


Antraks paru adalah jenis yang sangat jarang ditemukan. Gejala klinis
yang timbul sulit sekali didiagnosis secara dini. Pada tipe ini tidak
dijumpai lesi lokal pada membrana mukosa respirasi. Masa inkubasi
bervariasi antara 1-5 hari (biasanya 3-4 hari). Antraks paru dapat terjadi
sebagai akibat perluasan antraks kulit atau menghirup udara yang
mengandung spora antraks. Spora antraks terbawa partikel udara yang
ukurannya kurang dari 5 μm, kedalam paru-paru dan kemudian berada
disepanjang saluran limfatik menuju kelenjar limfe mediastinal. Gejala
klinis dimulai dengan lesu, lemah, suhu subfebril dan batuk yang non
produktif sesuai dengan tanda-tanda bronkitis. Dalam waktu 2-4 hari
gejala diatas mungkin berkembang dengan gangguan respirasi berat,
mendadak ditandai dengan suhu meningkat, sianosis, dispneu, stridor,
keringat berlebihan, detak jantung menjadi lebih cepat, nadi lemah dan
cepat (Christie 1983, Brachman 1990). Terjadi edema subkutan di daerah

11
dada dan leher. Palpasi didaerah abdomen didapatkan pembesaran limfa
(splenomegali) teraba lunak, kelenjar limfe aksila membesar tetapi tidak
spesifik. Pemeriksaan paru didapatkan ronki basah dan kadang-kadang
efusi pleura. Gejala pada paru serupa dengan peradangan paru berat.
Hasil pemeriksaan radiologik menunjukkan tanda yang tidak spesifik,
kadang- kadang disertai dengan efusi pleura, pembesaran kelenjar limfe
didaerah hilus, atau pelebaran daerah mediastinum. Kematian penderita
biasanya pada hari ke 2-3 setelah gejala klinis timbul. Pada nekropsi
didapatkan hematotoraks dan paru sedikit kolaps yang disertai
perdarahan-perdarahan serta ditemukan massa pada ruang mediastinum.
Secara sistematik gejala antraks paru terdapat 2 tahap yaitu:
- Tahap pertama (3 hari pertama)
Flu, nyeri tenggorok, demam ringan, sakit kepala, malaise,
berkeringat, nyeri otot, mual, muntah, sakit perut, diare, batuk
nonproduktif, takikardia, tidak terdapat Coryza.
- Tahap kedua
Shock, gagal napas, sianosis, stridor, perubahan status mental, nyeri
dada, takikardia, ronki basah, tanda-tanda efusi pleura. Selanjutnya
terjadi septikemi, toxic shock dan kematian

d. Antraks meningitis (Meningitis anthrax)


Antraks meningitis dapat terjadi akibat dari komplikasi bentuk antraks
yang lain. Biasanya antraks bentuk ini dimulai dengan adanya lesi primer
yang seterusnya berkembang menjadi meningitis hemoragik dan
kematian dapat terjadi antara 1-6 hari. Menurut Manson 1987 kecuali
infeksi antraks pada selaput otak dapat juga terjadi peradangan dan
perdarahan pada daerah korteks. Bentuk antraks yang terakhir ini adalah
bentuk antraks yang mempunyai prognosis jelek, meskipun telah
diberikan pengobatan sedini mungkin. Gejala klinik yang tampak tidak
banyak berbeda dengan radang otak maupun selaput otak yang
disebabkan oleh bakteri lain. Gambaran klinik meningitis purulenta akut
adalah demam, nyeri kepala hebat, kejang-kejang umum, penurunan
kesadaran, kaku kuduk pada waktu leher didorong kedepan. Fleksi pada
panggul dan lutut sebagai tanggapan terhadap dorongan leher ke depan

12
(tanda Brudzinski) dan tidak mampu untuk meluruskan tungkai dengan
sempurna (tanda Kernig) merupakan ciri yang sama seperti halnya kaku
kuduk, namun kurang dapat diandalkan. Diagnosis akan sulit bila gejala
awal berupa nyeri leher atau nyeri perut, atau pasien delir. Tanda-tanda
rangsangan meningeal, kaku kuduk, tanda Kernig dan tanda Brudzinski,
mungkin tidak ada pada pasien anak atau pada pasien dalam keadaan
koma dalam.

2.6 Diagnosis Antraks

Secara umum, diagnosis antraks dilakukan berdasarkan:

- Riwayat kontak/pajanan dengan binatang atau produknya yang terkontaminasi


bakteri antraks, tinggal di daerah endemis.
- Gejala klinis masing-masing bentuk antraks
- Pemeriksaan penunjang: laboratorium dan radiologi.

Selain itu, diagonisis antraks juga dilakukan dengan pemeriksaan penunjang seperti
pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi dan diagnosis banding.

• Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium bertujuan untuk menunjang diagnosis penyakit antraks,
yaitu mengenali dan mengetahui karakteristik bacillus anthracis sebagai agen
penyebab penyakit:
- Secara morfologis (melalui pemeriksaan mikroskopis preparat ulas).
- Secara kultur, isolasi dan identifikasi agen penyebab (melalui pemeriksaan
kultur bakterologik).
- Secara serodiagnostik (melalui uji Ascoli)
- Tingkat keganasan isolate (melalui uji patogenitas/biologik)
- Dengan cara mengukur kadar antibody yang ada dalam serum penderita,
yaitu dengan teknik ELISA antibody

Pemeriksaan atau pengujian spesimen di laboratorium adalah untuk meneguhkan


diagnosa yang dibuat berdasarkan gejala klinis. Pengujian yang dilakukan pada
dasarnya merupakan deteksi agen penyakit dan deteksi antibodi. Pengiriman
spesimen dari suatu tempat ke laboratorium pemeriksaan juga perlu diperhatikan
karena dapat mempunyai resiko penyebaran agen penyakit. Untuk itu, WHO
13
(1998) juga telah merekomendasikan tentang cara pengmman, pengemasan,
pelabelan dan dokumentasi sehubungan dengan pengiriman barang-barang
infeksius.

Metode isolasi dan identifikasi dilakukan untuk menentukan agen penyebab


telah direkomendasikan WHO (1998) dan Central for Disease Control and
Prevention (CDC, 2002) . Metode ini dilakukan dengan berbagai teknik
tergantung jenis spesimen, yaitu :

1. Spesimen yang masih baru dan hewan atau manusia tanpa pengawet,
2. Spesimen yang masih baru dan hewan atau manusia dengan pengawet, dan
3. Spesimen yang sudah lama, karkas yang sudah membusuk, material yang
sudah diproses atau dan lingkungan (tennasuk tanah) .

Untuk sampel yang masih bare, hal yang biasa dilakukan adalah dengan
melihat adanya kapsul maupun bentuk kuman dengan pewamaan polychrome
methylene blue (M fahdeyan 's reaction). Bakteri berbentuk batang berantai
dengan ujung siku berwarna biro dengan kapsul berwama merah muda. B.
Anthracis yang virulen dapat diinduksi untuk memproduksi kapsul dengan
menumbuhkan kuman tersebut pada media agar bikarbonat 0,7%. diinkubasi 37°C
dengan kandungan COZ 5 - 20%. B. anthracis dapat tumbuh pada media agar
darah setelah diinkubasikan 37°C selama 16 - 24 jam. Koloni B. anthracis
berwarna putih keabu-abuan, tepi tidak rata dan beraturan (medusa head), kasar,
suram, non hemolitik, non motil dan konsistensi hat. Pads media broth, koloni B.
anthracis seperti kapas, dengan media tampak bening. Uji lisis gamma phage
maupun kepekaan terhadap penicillin tapat dijadikan sebagai uji konfirmasi talam
identifikasi (ODE, 2000). Untuk sampel yang sudah lama, sudah busuk, yang
sudah diproses atau sampel tanah, sampel terlebih dahulu hams dipanaskan pads
65°C selama 15 menit untuk kemudian ditanam pads media agar darah atau agar
yang mengandung polymyxin, lysoryme, EDTA, thallous acetat (PLET), dan
diinkubasikan 37°C selama 16 - 48 jam (01E, 2000; WHO, 1998) .

Uji Ascoli digunakan untuk mendeteksi adanya antigen yang terdapat dalam
sampel . Prinsip teknik ini reaksi antara antibodi (serum Ascoli) dengan antigen,
di mana hasil positif akan terbentuk cincin warna putih di antara serum dan
ekstrak sampel . Uji ini hanya baik digunakan untuk sampel dari hewan yang

14
tersangka antraks dan tidak balk digunakan untuk sampel lingkungan, sebab
terjadi reaksi silang dengan Bacillus lain. Anthraxin merupakan antigen antraks
yang diinaktivasi dan dimurnikan dan banyak digunakan dalam mengevaluasi
vaksinasi dan studi retrospektif pada hewan dan manusia. Teknik ini diaplikasikan
dengan cara menyuntikkan 0,1 ml Anthraxin secara intradermal dan diamati
dalam waktu 48 jam . Adanya pembengkakan dan kemerahan kulit menunjukkan
reaksi positif (OIE, 2000).

Teknik PCR mulai digunakan secara luas untuk mendeteksi adanya gen
faktor virulensi (kapsul dan toksin PA). Jadi dalam hal ini dapat dipastikan suatu
isolat adalah virulen atau tidak . Metode ini relatif cepat dengan sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi (OlE,2000; WHO, 1998) .

Teknik DFA juga dilaporkan mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang


tinggi. Uji ini dapat mendeteksi B. anthracis dalam waktu beberapa jam saja dan
dapat membedakan B. anthracis dari Bacillus spp. lainnya . Uji ini mendeteksi 2
komponen dari B. anthracis, yaitu kapsul dan dindingnya . Uji ini menggunakan
antibodi yang dilabel dengan Fluorescence lsothiocyanate (FITC) . Teknik DFA
yang mampu mendeteksi 2 komponen B. anthracis ini dilaporkan sensitif, spesifik
dan merupakan uji konfirmatif yang cepat dan sangat berguna untuk mendeteksi
B. anthracis secara langsung dari spesimen lapangan (DE et al., 2002; OlE, 2000 ;
WHO, 1998) .

Deteksi antigen yang lebih sensitif dan spesifik adalah dengan teknik
immunochromatographic assay. Teknik ini menggunakan antibodi monoklonal
anti-PA yang dilekatkan pada membran nitroselulosa dan dapat mendeteksi
adanya PA dalam sampel dengan jumlah yang sangat kecil yaitu 25 ng/ml (OlE,
2000 ; MULLER et al., 2004) .

Enzyme linked immuno-sorbent assay (ELISA) digunakan untuk mendeteksi


adanya antibodi yang ada dalam sampel serum dan banyak digunakan untuk
evaluasi vaksinasi, studi epidemiologi pada manusia, hewan ternak maupun
hewan liar . Jika uji ini digunakan untuk diagnosa harus juga dilakukan
pemeriksaan laboratorium yang lain (OIE, 2000 ;WHO, 1998).
Metode diagnosis di atas berdasarkan target yang dideteksi . Diagnosis
antraks dengan cepat dan akurat dapat mengurangi resiko kematian dan

15
melakukan langkah dalam pengendalian antraks, baik dekontaminasi daerah
terkena, vaksinasi dan penutupan wilayah serta pengawasan lalu lintas ternak .
Diagnosis yang lambat memberikan resiko penyebaran dan kontaminasi daerah
lebih luas serta penanganan hewan dan manusia yang terkena juga akan
mengalamiketerlambatan sehingga dapat menyebabkan kematian .

• Pemeriksaan Radiologi
Pada pemeriksaan foto toraks dapat dijumpai adenopati hilus atau mediastinum
atau pelebaran mediastinum dan efusi pleura dengan atau tanpa infiltrate pada
paru dan meskipun tidak terdapat bukti pneumoni pada pemeriksaan postmortem
namun gambaran klinis dan radiologis tidak dapat dibedakan dengan pneumonia.
Sehingga adanya infiltrate pada paru tidak dapat dipakai untuk menyingkirkan
antraks. Pelebaran mediastinum tidak mudah untuk dikenal, dan tidak spesifik.
Mungkin CT scan tanpa kontras dapat lebih mebantu, yang menunjukkan adanya
limfadenopati hiperdense di hilus dan/atau mediastinum dengan edema
mendiastinum. Cairan pleura yang terjadi biasanya hemoragis.

• Diagnosis Banding
Diagnosis dapat ditegakkan dari riwayat kontak/pajanan dengan binatang atau
produknya yang terkontaminasi bakteri antraks, tinggal di daeerah endemis,
gejala klinis masing-masing bentuk antraks (walaupun pada tahap awal sulit
untuk mendiagnosis), serta pemeriksaan laboratorium dan radiologi. Diagnosis
pasti adalah dengan tumbuhnya koloni bakteri antraks pada media rutin, akan
tetapi hasil pemeriksaan tersebut baru dapat diperoleh setelah 18-24 jam. Pada
pemeriksaan mikroskopis dengan pewarnaan gram atau methilen blue polikrom
diperoleh gambaran batang gram positif yang berderet seperti ruas bambu dan
sudah dapat dikatakan adanya kecurigaan terhadap penyakit antraks. Pemeriksaan
Enzyme-linked Immuno-Sorbent Assay (ELISA) dan immunohistologi dapat
membantu untuk memastikan diagnosis.

2.6 Pencegahan Antraks

Usaha pencegahan terhadap penyakit antraks dapat dilakukan dengan berbagai cara
terutama dalam menjaga kebersihan individu dan lingkungan yaitu :

16
1. Melaporkan ke Puskesmas setempat bila didapatkan penderita tersangka antraks,
atau melaporkan ke Pusat kesehatan Hewan (Puskeswan) jika ada hewan yang
sakit dengan gejala antraks.
2. Tidak diperbolehkan menyembelih hewan sakit antraks.
3. Hewan hanya boleh disembelih di Rumah Potong Hewan (RPH) atau kalau
hewan dipotong diluar RPH maka harus mendapat ijin dahulu dari Dinas
Peternakan setempat.
4. Tidak diperbolehkan mengkonsumsi daging yang berasal dari hewan yang sakit
antraks.
5. Dilarang membuat atau memproduksi barang-barang yang ber asal dari hewan
seperti kerajinan dari tanduk, kulit, bulu, tulang yang berasal dari hewan
sakit/mati karena penyakit antraks.
6. Hewan yang rentan terhadap antraks seperti sapi, kerbau, kambing, domba, kuda,
secara rutin harus divaksinasi terhadap penyakit antraks.
7. Langkah finalisasi dengan memberikan disinfektan Formaldehid 10% (formalin
10%), glutaraldehid 4% (pH 8-8,5), Hidrogenperoksida 3%, Peracetic acid 1%
sebanyak 0,4 liter per meter persegi selama paling sedikit 2 jam. Jika ada darah,
jangan pergunakan Hidrogen Peroksida dan Peracetic acid dan pemberiannya
harus dilakukan 2 kali dengan interval paling sedikit 1 jam. Formaldehid dan
glutaraldehid jangan dipergunakan pada temperature dibawah 100c.
Selain itu, dapat dilakukan Sistem Kewaspadaan Dini dan respon (SKDR)
merupakan salah satu system surveilans yang dibuat untuk tujuan:
1. Menyelenggarakan deteksi dini sebelum terjadi KLB penyakit
2. Memberikan peringata dini untuk melalukan verifikasi dan respon cepat
terhadap sinyal yang muncul
3. Meninimalkan jumlah kesakitan/kematian yang berhubungan dengan KLB
4. Memonitor tren atau kecenderungan penyakit setiap minggu
5. Menilai dampak program pengendalian penyakit SKDR merupakan
optimalisasi laporan mingguan penyakit potensial KLB/wabah termasuk juga
antraks, yang selama ini telah berjalan di Puskesmas yang dikenal dengan
laporan W2 atau PWS KLB.

2.7 Pengendalian/Pengobatan Antraks

• Pengendalian

17
Membersihkan daerah yang terkontaminasi anthraks terutama pada daerah
lingkungan perumahan pemukiman, perkebunan, peladangan maupun hutan
buatan. Bila menemukan hewan yang dicurigai antraks dapat dibunuh dan
bangkainya dibakar, atau siram dengan kapur sebelum dikubur agar spora
antraks mati. Meskpun sering memakan waktu sampai tiga hari untuk membakar
bangkai hewan besar seperti sapi, kuda, kerbau. Sedangkan hewan kecil seperti
kambing, domba, babi juga mungkin bisa dikubur, meskipun mengubur hewan
besar sangat cukup untuk mencegah resur facing spora tetapi membutuhkan
banyak tenaga kerja dan alat-alat mahal. Merendam bangkai/karkas dengan
formalin dapat untuk membunuh spora, meskipun hal ini menyebabkan masalah
pencemaran lingkungan. Melakukan tindakan karantina, seperti melarang hewan
yang dicurigai antraks untuk memasuki daerah bebas antraks. Bila terjadi kasus
antraks harus dipertimbangkan urgensi penanganannya, hingga pengendalian
wabahnya yang mencakup Koordinasi dengan pelayanan darurat termasuk
kepolisian, Rumah sakit, informasike publik melalui media yang sesuai,dan
langkah-langkah pengendalian lingkungan

• Pengobatan
Hewan/ternak yang terjangkit antraks diobati antibotik spektrum luas (procain
penisilin G, streptomycin, kombinasi procain penisilin G dan streptomycin dan
oksitetrasiklin) atau diberi antiserum, dengan dosis sesuai yang dianjurkan.
Penggunaan bahan alami sebagai antibakteri dapat digunakan sebagai alternatif
pengobatan (Widianingrum et al., 2019). Penggunaan bahan alami sebagai agen
antibakteri atau imunomodulator dapat diberikan dalam satu formulasi bersama
pakan basal ternak (Widianingrum et al., 2019).

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Penyakit antraks termasuk salah satu penyakit zoonotik yang disebabkan oleh
Bacillus anthracis. Bakteri Bacillus anthracis termasuk kedalam kingdom Bacteria,
dengan kelas Bacilli, gen Bacillus, family Bacillaceae dan spesies Bacillus anthracis.
Bakteri ini berkembangbiak dengan membentuk rantai panjang dalam jaringan tubuh
18
(In vivo) dan biasanya tersusun dengan cara rantai tunggal (Murwani, 2017).
Indonesia merupakan daerah endemis antraks. Cara penularan antraks dapat terjadi
baik dari hewan ke manusia maupun dari produk-produk yang terkontaminasi
antraks.

Gejala antraks dapat dialami baik pada hewan berupa; demarn tinggi (42 ° C),
gemetar, susah bernafas, kongesti mukosa, konvulsi, kolaps dan mati. Maupun pada
manusia yang tergantung pada patogenesisnya, yaitu antraks kulit, antraks paru,
antraks saluran pencernaan dan antraks meningitis. Diagonisis antraks juga
dilakukan dengan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium,
pemeriksaan radiologi dan diagnosis banding. Untuk mencegah dan mengendalikan
adanya penyakit antraks maka diperlukan kesadaran diri masyarakat dalam
membersihkan daerah lingkungan yang terkontaminasi anthraks, dan apabila
memiliki hewa peliharaan diperlukan untuk diberikan vaksinasi antraks pada hewan
tersebut.

3.2 Saran

Diharapkan pengetahuan yang baik dari masyarakat mengenai penyakit antraks, agar
masyarakat dapat menerapkan dan melakukan pencegahan ataupun pengendalian
penyakit antraks di lingkungan daerah tempat tinggal.

DAFTAR PUSTAKA

Masdiana C, Aulanni’am, Herawati, dkk. 2018. Penyakit Zoonosa Strategis di


Indonesia. Malang: UB Press

Bambang S & Setyawan B. 2021. Epidemiologi Veteriner Analitik. Gadjah Mada


University Press.

Kementerian Pertanian RI. 2016. Pedoman Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit


Hewan Menular (PHM).

19
http://luk.tsipil.ugm.ac.id/artikel/kesehatan/KementanAnthrax.pdf.
Diakses pada 24 Februaru 2022

Ira A, Arulita IF. 2019. Analisis Spasial Faktor Lingkungan Fisik Daerah Endemik
Antraks.
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/higeia/article/download/25478/1
3475. Diakses pada 24 Februaru 2022

Kemenkes Ri. 2017. Petunjuk Teknis Pencegahan dan Pengendalian Antraks.


https://ptvz.kemkes.go.id/storage/mediadownload/file/file_1619049570.p
df. Diakses pada 24 Februaru 2022

Eny Martindah. 2017. Faktor Risiko, Sikap dan Pengetahuan Masyarakat Peternak
dalam Pengendalian Penyakit Antraks.
https://medpub.litbang.pertanian.go.id/index.php/wartazoa/article/downl
oad/1689/1441. Diakses pada 24 Februaru 2022

Robithul I, Fatimatus, Pramiasih, dkk. 2021. Pengetahuan, Kebijakan, dan


Pengendalian Penyakit Antraks pada Ternak di Indonesia.
https://ejournal.unsri.ac.id/index.php/peternakan/article/download/12191/
6627. Diakses pada 24 Februaru 2022

Ihda Zuyina RS, Silvia Apriliana. 2020. Gambaran Umum, Prevalensi, dan
Pencegahan Antraks pada Manusia di Indonesia.
https://ejournal2.litbang.kemkes.go.id/index.php/blb/article/download/34
01/1971/. Diakses pada 24 Februaru 2022

20

Anda mungkin juga menyukai