Anda di halaman 1dari 2

Nama: Magfirah Aliyya Nur Imanna Tangahu

NIM: B04190094

Intrinsic and Innate System


Sistem pertahanan pada tubuh inang dilakukan secara berurutan, dimulai dari pertahanan
secara anatomis dan kimiawi (mukosa, saliva, air mata) yang bersifat kontinu, pertahanan
intrinsik (interferon, autofagi, apoptosis) yang bersifat langsung, pertahanan innate (natural
killer cells, sitokin, neutrophil) yang bereaksi dalam hitungan menit dan yang terakhir pertahanan
adaptif yang bereaksi cukup lama dalam hitungan jam-hari, contohnya sel B dan sel T.
Pertahanan intrinsik selalu ada pada sel yang belum terinfeksi. Sementara pertahanan
innate harus diinduksi oleh infeksi dan pertahanan adaptive tergantung pada kehadiran
patogen. Interferensi RNA dan reaksi antara APOBEC3 dan HIV-1 merupakan beberapa contoh
pertahanan intrinsik. Interferensi RNA bekerja dengan cara memotong RNA virus. Pada reaksi
antara APOBEC3 dan HIV-1 apabila tidak ada molekul ViF pada virus HIV-1, APOBEC3 dapat
masuk ke dalam virus HIV-1 yang akan menyebabkan mutasi di dalam virus. Sehingga pada saat
replikasi ke sel inang baru, HIV-1 tidak akan bersifat infektif. Selain dua hal di atas, epigenetic
silencing juga merupakan pertahanan intrinsic. Cara kerja epigenetic silencing yaitu dengan
mengompaksi DNA virus. Lalu yang terakhir adalah apoptosis yang dimonitori oleh sentinel
cells. Apoptosis terjadi karena adanya interaksi ligan dengan reseptor yang merangsang caspase
untuk memerintahkan sel bunuh diri. CRISPR (Cluster regularly interspaced short palindromic
repeats) merupakan sistem pertahanan intrinsik pada mikrobial, seperti bakteria dan archae.
Sistem imun bawaan bekerja dengan beberapa cara, antara lain seperti sitokin, sentinel
sel (natural killer cell, makrofag, dendrit sel) dan juga dapat menginformasikan sistem kekebalan
adaptif agar teraktivasi bila infeksi bersifat berbahaya. Reseptor Toll-like merupakan bagian dari
sistem imun bawaan. Ia berada pada plasma dari membran sel. Reseptor Toll-like dapat mengenali
protein dari virus dan mengaktifkan interferon. Selain reseptor Toll-like dapat kita temukan juga
sensing DNA yang memiliki sistem kerja yaitu, apabila DNA virion/DNA apapun masuk ke
sitosol, akan menstimulasi protein cGAS, enzim yang mengenali DNA dan mengambil ATP dan
GTP kemudian membentuk molekul siklik (cGAMP). Molekul siklik nantinya akan mengaktifkan
transkripsi sitokins.
Interferon juga merupakan sistem pertahanan yang bekerja dengan
menginterferensi replikasi dengan infeksi oleh virus. Interferon dapat dihasilkan oleh sel yang
terinfeksi virus atau sel sentinel yang tidak terinfeksi. Terdapat 3 tipe dari interferon, di antaranya
IFN-αs, IFN-γ, dan IFN-λs. Produksi dari IFNα/β cepat dalam hitungan jam dari waktu infeksi,
tetapi menurun saat memasuki 10 jam. Interferon akan berikatan dengan reseptor, akan
mensintesis lebih dari 1000 protein sel ISG (Interferon stimulated genes) dan ISG akan
menghancurkan virus yang masuk ke sel. IFIT (Interferon-Induction Protein) memiliki tipe salah
satunya adalah IFIT3 yang mencegah terjadinya fusi antara virus dan sel inang dengan mengikat
membrane inang. Interferon selain menguntungkan karena mencegah infeksi virus, juga
memiliki efek negative seperti demam, mual, mengigil, dan merasa tidak nyaman.
Sel sentinel juga merupakan sistem imun bawaan yang terdapat dalam aliran darah dan
selalu mengawasi jaringan tubuh untuk mendeteksi tanda jika terjadi keanehan atau perubahan.
Contoh sel sentinel seperti makrofag, dendritic sel dan natural killer cell. Imun bawaan dan imun
adaptif berkomunikasi melalui sel dendritic. Bila terjadi infeksi atau keanehan maka akan
diproduksi sitokins yang tidak biasa yang kemudian dideteksi dendritic sel. Selanjutnya dendritic
sel akan mengomunikasikan melalui limfonodus ke sel T serta sel B, lalu melalui pembuluh darah,
antibody akan dihasilkan. Sel dendritic memiliki reseptor untuk mendeteksi sitokins. NK cell
bekerja dengan dua reseptor, reseptor pertama mendeteksi sel target, dan reseptor kedua untuk
mengskrutinasi sel target untuk membunuhnya.
Infeksi menyebabkan inflamasi seperti kemerahan karena jaringan rusak akan
bengkak, hingga menyebabkan demam. Hal ini disebabkan produksi sitokins dan chemokines
yang tersebar keseluruh tubuh sehingga menyebabkan peningkatan aliran darah dan
permeabilitas kapiler untuk memudahkan masuknya sel fagositis ke jaringan yang rusak. Oleh
karena itu, inflamasi penting dalam hal aktivasi sistem imun. Terdapat tiga jenis sitokins, pro-
inflammatory yang bekerja merangsang aktivasi leukosit, anti-inflammatory yang menekan
produksi pro-inflammatory dan chemokines yang memanggil sel imun.
Virus yang tidak menyebabkan inflamasi akan menghambat sistem imun bawaan
maupun adaptif dan menyebabkan infeksi sulit dideteksi sehingga menyebabkan infeksi
persisten.

Adaptive Immune System


Imun adaptif bekerja pada patogen secara spesifik dan juga menggunakan sel memori.
Imun adaptif diaktivasi melalui komunikasi dengan imun bawaan melalui sel dendrit melalui
Nama: Magfirah Aliyya Nur Imanna Tangahu
NIM: B04190094

limfonodus yang akan memanggil sel T serta sel B yang kemudian akan menuju ke sistem
sirkulasi. Dalam adaptive immune, leukosit dan limfosit (subset leukosit, T, B, NK sel)
memegang peran yang sangat penting. Leukosit merupakan istilah umum untuk sel darah putih
(limfosit, neutrophil, eosinophil, dan makrofag) sementara limfosit merupakan bagian dari
leukosit yang berupa sel T, B, Natural Killer yang memiliki variabel sel pendeteksi-antigen
reseptor.
Mekanisme terjadi saat sel dendritic mengenali cytokines, viral proteins, atau sel
mati. Mereka bermigrasi ke limfonodus dan berinteraksi dengan sel T naif (sel Th0). Aktivasi
ini distimulasi kehadiran viral PAMPS yang distimulasi cytokines. MHC class II mengikat protein
virus yang kemudian akan diinterogasi sel T naif yang kemudian akan berubah menjadi sel T yang
aktif. Limfonodus dapat memproliferasi sel dengan sangat banyak, 1000 – 50000 kali lipat
amplifikasi dalam waktu 1-2 minggu, hal ini dapat menyebabkan pembengkakan yang dinamakan
lymphadenopathy.
Contoh sistem imun yang sangat spesifik adalah GALT (Gut-associated lymphoid
tissue) dan MALT (Mucosa-associated lymphoid tissue). Terdapat pembuluh limfatik dan
pembuluh darah pada GALT yang akan menghubungkan ke limfonodus. Selain itu pada epitel
usus terdapat sel M yang mentransfer antigen dari lumen usus menuju bagian dari lamina
propria yang disebut Peyer’s patch yang kemudian akan memasuki pembuluh darah maupun
pembuluh limfatik. MALT memiliki keratinosit yang memiliki MHC class I dan MHC class II
dan sel Langerhans yang dapat mensekresi interferon tipe I. Langerhans dapat bermigrasi
ke lymphonode.
Sel T naif akan berubah menjadi T helper dan CTL prekusor pada timus.
Pada limfonodus, CTL akan membunuh sel terinfeksi dan T helper memproduksi sitokin yang
akan membantu produksi antibody oleh sel B. Saat sel B mengenal antigen maka akan
terdiferensiasi menjadi sel plasma kemudian sel plasma menjadi antibody. Antibodi terbentuk
dari 4 rantai, bagian atas disebut FAB yang mengikat antigen dan bagian bawah disebut FC
mengikat reseptor. Setelah terjadi infeksi, akan terjadi respon primer. Respon kedua akan terjadi,
yaitu respon sekunder yang lebih kuat dibanding respon primer. Hal ini disebabkan keberadaan
sel B memori setelah respon pertama.
Terdapat beberapa antibody yang terletak dan bekerja berbeda-beda, yaitu igA, igG, igE,
igD, dan igM. igA terletak pada mukosa, igD terletak pada permukaan sel B, igE berfungsi dalam
respon alergi, igG sebagai antibody sistemik major dan igM adalah antibody pertama yang
bereaksi saat infeksi. Antibodi bekerja meneutralisasi infeksi, memblokir infeksi seperti igA
memblokir infeksi pada mukosa, mencegah infeksi dan penyebaran virus. Antibodi dapat
memblokir attachment, memblokir endositosis, memblokir uncoating, menyebabkan agregasi
pada virus atau neutralisasi setelah virus bereplikasi. Antibody-dependent cellular cytotoxicity
bekerja dengan antibody yang berikatan dengan sel terinfeksi, mengikat sel NK dan sel NK terjadi
degranulasi dan sel NK akan membunuh sel terinfeksi.
Sel MHC class I dapat ditemukan pada setiap sel. Viral protein akan terpotong
oleh protosom dan dipotong menjadi peptide dan diikat oleh MHC Class I di
reticulum endoplasma, ditransfer oleh TAP 1 dan TAP 2. Gen MHC I akan ditranskripsi di
nucleus dan ditransfer ke RE dan peptide MHC I akan ditransfer ke membrane plasma dan akan
dikenali sitotoksik limfosit T dan mereka akan berjalan disirkulasi untuk menemukan sel
terinfeksi dan membunuhnya.
CTL membunuh sel dengan mengenali viral protein yang diikat MHC I
dan menghasilkan perforin dan granzyme B yang akan menyebabkan apopstosis pada sel target.
Pada beberapa infeksi, respons CTL lebih dibutuhkan dibanding antibody. T helper
akan menentukan CTL atau antibody yang nantinya akan dihasilkan. Infeksi akan menciptakan
memori pada system kekebalan. Memori ini terjadi pada adaptive immune system, innate
immune system tidak mampu menciptakan memori. Contoh sel memori adalah sel B memori
pada limfa, sel plasma yang hidup lama, dan sel memori T. Sel memori T tercipta dari sel naïve
T. Sel T memori memiliki berbagai jenis, ada yang bersirkulasi (effector memory dan central
memory) dan tidak bersirkulasi (Tetap dalam satu tempat).

Anda mungkin juga menyukai