Anda di halaman 1dari 5

TUGAS KASUS

“PENANGANAN HIV/AIDS”

DOSEN PENGAMPU
DWI SULISTYAWATI, S.SiT, M.Kes

DISUSUN OLEH :
RESTU
191101058

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PONTIANAK


JURUSAN KEPERAWATAN SINGKAWANG
PRODI DIPLOMA III TK.II B
TAHUN 2020/2021
BAHAN KAJIAN PERTEMUAN KE 2
1. Buatlah pembahasan menurut analisis anda dengan menggunakan bahan
pembelajaran melalui buku, internet ataupun jurnal penelitian yang berkaitan
dalam pemecahan contoh kasus diatas
2. Waktu pengumpulan dibatasi sesuai jam kuliah, dalam bentuk word dan di upload
ke goole classrome
3. Untuk no absen ganjil membahas kasus 1 dan no absen genap menggunakan kasus
2.
KASUS 1

Seorang Pria Berusia 40 tahun , Tinggal bersama Istri dan 3

Putranya , Pasien Tersebut terdeteksi positif setelah dilakukan

pemeriksaan CD4 . Pekerjaan pasien lebih sering berada di luar

kota.

Kajian Kasus

1. Resiko Penularan

2. Mekanisme Koping yang dilakukan keluarga

3. Menurut Anda Bagaimana Pendidikan Kesehatan yang

diberikan kepada Pasien dan Keluarga Sebaiknya dilakukan

bersamaan atau terpisah .


1. Resiko Penularan
Faktor-faktor risiko penularan HIV/AIDS sangat banyak, tetapi yang paling
utama adalah faktor perilaku seksual . Faktor lain adalah penularan secara
Mandala of Health. Volume 4, Nomor 2, Mei 2010 Laksana, Faktor Risiko
Penularan AIDS parenteral dan riwayat penyakit infeksi menular seksual yang
pernah diderita sebelumnya. Perilaku seksual yang berisiko merupakan faktor
utama yang berkaitan dengan penularan HIV/AIDS . Partner seks yang banyak
dan tidak memakai kondom dalam melakukan aktivitas seksual yang berisiko
merupakan faktor risiko utama penularan HIV/AIDS. Padahal, pemakaian
kondom merupakan cara pencegahan penularan HIV/AIDS yang efektif. Seks
anal juga merupakan faktor perilaku seksual yang memudahkan penularan
HIV/AIDS. Pemakaian narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) secara
suntik/injeksi atau injecting drug users (IDU) merupakan faktor utama penularan
HIV/AIDS, termasuk di Indonesia. Pada awal epidemi HIV/AIDS diketahui,
penyakit ini lebih banyak diidentifikasi pada laki-laki homoseksual dan aktivitas
seksual laki-laki homoseksual dituding sebagai penyebab timbulnya HIV/AIDS,
akan tetapi data saat ini menunjukkan bahwa di negara berkembang penularan
secara heteroseksual lebih banyak terjadi. Gayle and Hill (2001) juga
menyatakan bahwa heteroseksual dan IDU merupakan penyebab utama
penularan HIV/AIDS di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, meskipun menurut
Liu et al. (2005) hal ini disebabkan karena keterbatasan data tentang HIV/AIDS
pada kelompok homoseksual. Keterbatasan ini dipengaruhi antara lain oleh
stigma buruk masyarakat terhadap kelompok homoseksual, sehingga kelompok
ini seringkali tidak berani muncul secara terang-terangan di masyarakat dan
faktor risiko pada kelompok homoseksual tetap tersembunyi. (Mandala of Health
“Faktor-Faktor Risiko Penularan Hiv/Aids Pada Laki-Laki Dengan Orientasi
Seks Heteroseksual Dan Homoseksual Di Purwokerto”. Volume 4, Nomor 2, Mei
2010)
2. Mekanisme Koping Yang Dilakukan Keluarga
Mekanisme koping merupakan cara yang dilakukan individu dalam
menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, serta respon
terhadap situasi yang mengancam. Koping yang efektif menempati tempat yang
penting terhadap daya tahan tubuh dan penolakan tubuh terhadap gangguan
maupun serangan suatu penyakit baik bersifat fisik maupun psikis, sosial,
spiritual (Keliat, 1998).
Dimana Individu berfokus pada upaya untuk mengubah situasi yang ada,
koping ini terdiri dari: (a) instrumental, dimana koping ini mempunyai
ketergantungan pada tindakan langsung seseorang untuk mengubah situasi atau
memecahkan masalah. (b) dukungan sosial praktis, dimana koping ini
mempunyai ketergantungan pada orang lain untuk mengubah situasi atau
memecahkan masalah. Sebagian besar memilih tindakan instrumental, yaitu
suatu tindakan yang ditujukan untuk meneyelesaikan masalah secara langsung
serta menyusun langkahlangkah yang diperlukan. Tindakan tersebut dilakukan
terutama saat pertama kali mengetahui terdiagnosa HIV/AIDS, dengan alasan
untuk mencegah status penyakitnya diketahui oleh orang lain. Keuntungan
strategi koping dengan tindakan instrumental, salah satunya adalah terhindarnya
diskriminasi dari masyarakat, sehingga ODHA dapat dengan leluasa melakukan
aktifitas seperti biasa serta bisa berbaur dengan masyarakat. Hal ini menjadi
sangat penting bagi ODHA, karena stigmatisasi masyarakat terhadap penyakit
HIV/AIDS menimbulkan diskriminasi terhadap pasien dengan HIV/AIDS.
Dukungan sosial praktis, koping ini mempunyai ketergantungan pada orang lain
untuk mengubah situasi atau memecahkan masalah. Salah satunya melalui proses
VCT. VCT (Voluntary Conseling Testing) merupakan satu pembinaan dua arah
atau dialog yang berlangsung tak terputus antara konselor dan kliennya dengan
tujuan untuk mencegah penularan HIV, memberikan dukungan moral, informasi
serta dukungan lainnya kepada ODHA, keluarga dan lingkungannya. Termasuk
layanan-layanan sosial dan kesehatan yang bisa diakses dalam program
pengobatan selanjutnya. (Jurnal Keperawatan Jiwa “Gambaran Strategi Koping
Pasien Hiv/Aids”. Volume 2, No. 2, November 2014).

3. Menurut Anda Bagaimana Pendidikan Kesehatan Yang Diberikan Kepada Pasien


Dan Keluarga Sebaiknya Dilakukan Bersamaan Atau Terpisah .
Edukasi dan promosi kesehatan mengenai bahaya HIV (human
immunodeficiency virus) sepatutnya diberikan sejak dini, seiring dengan
pemberian pendidikan seksual. Hal ini perlu dimulai sejak masa sekolah sehingga
dapat meningkatkan kewaspadaan dalam menghindari perilaku berisiko. Menurut
Permenkes No. 21 Tahun 2013 yang mengatur mengenai penanggulangan
HIV/AIDS di Indonesia, promosi kesehatan ditujukan untuk meningkatkan
pengetahuan yang benar dan komprehensif mengenai pencegahan penularan HIV
dan menghilangkan stigma serta diskriminasi.
(https://www.alomedika.com/penyakit/penyakit-infeksi/hiv/edukasi-dan-
promosi-kesehatan).
Bersamaan sebab dengan bersama memberikan ruang lingkup kenyamanan
kepada pasien dengan leluasa mendapatkan pendidikan kesehatan secara
bersamaan langsung dengan keluarga dibanding harus terpisah memungkin kan
terjadinya perasaan rasa kurang percaya diri kepada pasien sebab masalah HIV
yang dianggap sebagai aib maka dari itu support sistem dari pendidikan
kesehatan bersama keluarga lebih penting dilakukan dibanding terpisah selain itu
waktu yang diperlukan bisa bersamaan menjadikan pendidikan bersmaa keluarga
lebih efisien dilakukan. (Jurnal Keperawatan Jiwa . Volume 2, No. 2, November
2014)

Anda mungkin juga menyukai