0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
3 tayangan5 halaman
1. Pasien pria berusia 40 tahun positif HIV setelah pemeriksaan CD4 dan sering bekerja di luar kota
2. Resiko penularan melalui seks bebas dan suntik narkoba, keluarga menghadapi masalah dengan dukungan sosial dan penanganan langsung
3. Pendidikan kesehatan lebih baik diberikan bersama pasien dan keluarga agar mendukung sistem dukungan dan meningkatkan kepercayaan diri pasien
1. Pasien pria berusia 40 tahun positif HIV setelah pemeriksaan CD4 dan sering bekerja di luar kota
2. Resiko penularan melalui seks bebas dan suntik narkoba, keluarga menghadapi masalah dengan dukungan sosial dan penanganan langsung
3. Pendidikan kesehatan lebih baik diberikan bersama pasien dan keluarga agar mendukung sistem dukungan dan meningkatkan kepercayaan diri pasien
1. Pasien pria berusia 40 tahun positif HIV setelah pemeriksaan CD4 dan sering bekerja di luar kota
2. Resiko penularan melalui seks bebas dan suntik narkoba, keluarga menghadapi masalah dengan dukungan sosial dan penanganan langsung
3. Pendidikan kesehatan lebih baik diberikan bersama pasien dan keluarga agar mendukung sistem dukungan dan meningkatkan kepercayaan diri pasien
JURUSAN KEPERAWATAN SINGKAWANG PRODI DIPLOMA III TK.II B TAHUN 2020/2021 BAHAN KAJIAN PERTEMUAN KE 2 1. Buatlah pembahasan menurut analisis anda dengan menggunakan bahan pembelajaran melalui buku, internet ataupun jurnal penelitian yang berkaitan dalam pemecahan contoh kasus diatas 2. Waktu pengumpulan dibatasi sesuai jam kuliah, dalam bentuk word dan di upload ke goole classrome 3. Untuk no absen ganjil membahas kasus 1 dan no absen genap menggunakan kasus 2. KASUS 1
Seorang Pria Berusia 40 tahun , Tinggal bersama Istri dan 3
Putranya , Pasien Tersebut terdeteksi positif setelah dilakukan
pemeriksaan CD4 . Pekerjaan pasien lebih sering berada di luar
kota.
Kajian Kasus
1. Resiko Penularan
2. Mekanisme Koping yang dilakukan keluarga
3. Menurut Anda Bagaimana Pendidikan Kesehatan yang
diberikan kepada Pasien dan Keluarga Sebaiknya dilakukan
bersamaan atau terpisah .
1. Resiko Penularan Faktor-faktor risiko penularan HIV/AIDS sangat banyak, tetapi yang paling utama adalah faktor perilaku seksual . Faktor lain adalah penularan secara Mandala of Health. Volume 4, Nomor 2, Mei 2010 Laksana, Faktor Risiko Penularan AIDS parenteral dan riwayat penyakit infeksi menular seksual yang pernah diderita sebelumnya. Perilaku seksual yang berisiko merupakan faktor utama yang berkaitan dengan penularan HIV/AIDS . Partner seks yang banyak dan tidak memakai kondom dalam melakukan aktivitas seksual yang berisiko merupakan faktor risiko utama penularan HIV/AIDS. Padahal, pemakaian kondom merupakan cara pencegahan penularan HIV/AIDS yang efektif. Seks anal juga merupakan faktor perilaku seksual yang memudahkan penularan HIV/AIDS. Pemakaian narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) secara suntik/injeksi atau injecting drug users (IDU) merupakan faktor utama penularan HIV/AIDS, termasuk di Indonesia. Pada awal epidemi HIV/AIDS diketahui, penyakit ini lebih banyak diidentifikasi pada laki-laki homoseksual dan aktivitas seksual laki-laki homoseksual dituding sebagai penyebab timbulnya HIV/AIDS, akan tetapi data saat ini menunjukkan bahwa di negara berkembang penularan secara heteroseksual lebih banyak terjadi. Gayle and Hill (2001) juga menyatakan bahwa heteroseksual dan IDU merupakan penyebab utama penularan HIV/AIDS di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, meskipun menurut Liu et al. (2005) hal ini disebabkan karena keterbatasan data tentang HIV/AIDS pada kelompok homoseksual. Keterbatasan ini dipengaruhi antara lain oleh stigma buruk masyarakat terhadap kelompok homoseksual, sehingga kelompok ini seringkali tidak berani muncul secara terang-terangan di masyarakat dan faktor risiko pada kelompok homoseksual tetap tersembunyi. (Mandala of Health “Faktor-Faktor Risiko Penularan Hiv/Aids Pada Laki-Laki Dengan Orientasi Seks Heteroseksual Dan Homoseksual Di Purwokerto”. Volume 4, Nomor 2, Mei 2010) 2. Mekanisme Koping Yang Dilakukan Keluarga Mekanisme koping merupakan cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, serta respon terhadap situasi yang mengancam. Koping yang efektif menempati tempat yang penting terhadap daya tahan tubuh dan penolakan tubuh terhadap gangguan maupun serangan suatu penyakit baik bersifat fisik maupun psikis, sosial, spiritual (Keliat, 1998). Dimana Individu berfokus pada upaya untuk mengubah situasi yang ada, koping ini terdiri dari: (a) instrumental, dimana koping ini mempunyai ketergantungan pada tindakan langsung seseorang untuk mengubah situasi atau memecahkan masalah. (b) dukungan sosial praktis, dimana koping ini mempunyai ketergantungan pada orang lain untuk mengubah situasi atau memecahkan masalah. Sebagian besar memilih tindakan instrumental, yaitu suatu tindakan yang ditujukan untuk meneyelesaikan masalah secara langsung serta menyusun langkahlangkah yang diperlukan. Tindakan tersebut dilakukan terutama saat pertama kali mengetahui terdiagnosa HIV/AIDS, dengan alasan untuk mencegah status penyakitnya diketahui oleh orang lain. Keuntungan strategi koping dengan tindakan instrumental, salah satunya adalah terhindarnya diskriminasi dari masyarakat, sehingga ODHA dapat dengan leluasa melakukan aktifitas seperti biasa serta bisa berbaur dengan masyarakat. Hal ini menjadi sangat penting bagi ODHA, karena stigmatisasi masyarakat terhadap penyakit HIV/AIDS menimbulkan diskriminasi terhadap pasien dengan HIV/AIDS. Dukungan sosial praktis, koping ini mempunyai ketergantungan pada orang lain untuk mengubah situasi atau memecahkan masalah. Salah satunya melalui proses VCT. VCT (Voluntary Conseling Testing) merupakan satu pembinaan dua arah atau dialog yang berlangsung tak terputus antara konselor dan kliennya dengan tujuan untuk mencegah penularan HIV, memberikan dukungan moral, informasi serta dukungan lainnya kepada ODHA, keluarga dan lingkungannya. Termasuk layanan-layanan sosial dan kesehatan yang bisa diakses dalam program pengobatan selanjutnya. (Jurnal Keperawatan Jiwa “Gambaran Strategi Koping Pasien Hiv/Aids”. Volume 2, No. 2, November 2014).
3. Menurut Anda Bagaimana Pendidikan Kesehatan Yang Diberikan Kepada Pasien
Dan Keluarga Sebaiknya Dilakukan Bersamaan Atau Terpisah . Edukasi dan promosi kesehatan mengenai bahaya HIV (human immunodeficiency virus) sepatutnya diberikan sejak dini, seiring dengan pemberian pendidikan seksual. Hal ini perlu dimulai sejak masa sekolah sehingga dapat meningkatkan kewaspadaan dalam menghindari perilaku berisiko. Menurut Permenkes No. 21 Tahun 2013 yang mengatur mengenai penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, promosi kesehatan ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan yang benar dan komprehensif mengenai pencegahan penularan HIV dan menghilangkan stigma serta diskriminasi. (https://www.alomedika.com/penyakit/penyakit-infeksi/hiv/edukasi-dan- promosi-kesehatan). Bersamaan sebab dengan bersama memberikan ruang lingkup kenyamanan kepada pasien dengan leluasa mendapatkan pendidikan kesehatan secara bersamaan langsung dengan keluarga dibanding harus terpisah memungkin kan terjadinya perasaan rasa kurang percaya diri kepada pasien sebab masalah HIV yang dianggap sebagai aib maka dari itu support sistem dari pendidikan kesehatan bersama keluarga lebih penting dilakukan dibanding terpisah selain itu waktu yang diperlukan bisa bersamaan menjadikan pendidikan bersmaa keluarga lebih efisien dilakukan. (Jurnal Keperawatan Jiwa . Volume 2, No. 2, November 2014)