Anda di halaman 1dari 8

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY.P.

DENGAN DIAGNOSA POST SECTIO CAESAREA

DI RUANG IRINA D BAWAH RSUP PROF. DR.R.D. KANDOU


MANADO

Clinical Instructur :

Helena Sumolang, Amd.Keb

Clinical Teacher :

Ns.Moudy Lombogia, S.Kep,M.Kep

Di Susun Oleh ;

Ni Luh Puspina Sari

7114 4011 9076

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MANADO

DIII KEPERAWATAN

2020/2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Badan kesehatan dunia memperkirakan bahwa angka persalinan dengan Sectio
Caesaria (SC) adalah sekitar 10 % sampai 15 %, dari semua proses persalinan negara–negara
berkembang. Pada tahun 2003, di Kanada memiliki angka 21 %, Britania Raya 20 % dan
Amerika Serikat 23 %, dengan berbagai pertimbangan seringkali SC dilakukan bukan karena
komplikasi medis saja, melainkan permintaan dari beberapa pasien dikarenakan tidak ingin
mengalami nyeri persalinan normal (Wikipedia, 2009). Dari hasil penelitian Bensons dan
Pernolls yang dikutip oleh Fuadi (2008), menjelaskan bahwa angka kesakitan ibu pada
tindakan SC lebih tinggi dari pada persalinan normal, dimana angka kematian pada tindakan
SC adalah 40-80 setiap 100.000 kelahiran hidup, angka ini menunjukkan resiko 25 kali lebih
besar daripada persalinan normal. Angka kesakitan pada post SC lebih tinggi dibandingkan
dengan persalinan normal atau per vagina, sedangkan angka kesakitan pralahir, pada sectio
caesaria jauh lebih rendah dibandingkan dengan persalinan normal atau per vagina (Fuadi,
2008). Kejadian melahirkan SC berisiko mengalami postpartum blues daripada postpartum
normal, maka ibu SC perlu dilakukan dukungan fisik dan psikologis dalam pencegahan
postpartum blues, dengan alasan lama perawatan SC.
Tindakan SC saat ini semakin baik dengan adanya antibiotik, transfusi darah yang
memadai, teknik operasi yang lebih sempurna dan anestesi yang lebih baik. Morbiditas
maternal setelah menjalani tindakan SC masih 4-6 kali lebih tinggi daripada persalinan
normal, karena ada peningkatan risiko yang berhubungan dengan proses persalinan sampai
proses perawatan setelah pembedahan. Komplikasi utama bagi wanita yang menjalani SC
berasal dari tindakan anestesi, risiko perdarahan, keadaan sepsis, dan serangan tromboemboli
serta transfusi. Hal ini menyebabkan morbiditas dan mortalitas maternal lebih sering terjadi
setelah tindakan SC daripada setelah tindakan persalinan pervaginam. Komplikasi yang
ditimbulkan pada pembedahan SC darurat atau yang tidak direncanakan lebih tinggi
dibandingkan dengan SC yang telah direncanakan sebelumnya. Anestesi berperan 4-12% dari
seluruh kematian maternal. Dan dari seluruh angka kematian maternal 0,33-1,5 %
diantaranya terjadi setelah SC sebagai akibat dari prosedur pembedahan maupun keadaan
yang mengindikasikan suatu SC (Chesnut, dalam Mulyono 2008). SC perawatannya lebih
lama dibandingkan dengan persalinan normal. Seorang pasien yang baru menjalani SC lebih
aman bila diperbolehkan pulang pada hari keempat atau kelima post partum dengan syarat
tidak terdapat komplikasi selama masa puerperium. Komplikasi setelah tindakan 3
pembedahan dapat memperpanjang lama perawatan di rumah sakit dan memperlama masa
pemulihan bahkan dapat menyebabkan kematian (Cunningham dkk, 2005). Beberapa hal
yang perlu diperhatikan dalam perawatan post SC adalah perawatan luka insisi, tempat
perawatan post SC, pemberian cairan, diit, nyeri, kateterisasi, pemberian obat-obatan dan
perawatan rutin (Yuni, 2008). Luka insisi post SC biasanya dapat menimbulkan nyeri. Setiap
individu pasti pernah mengalami nyeri dalam tingkatan tertentu. Nyeri adalah suatu sensori
yang tidak menyenangkan dari suatu emosional disertai kerusakan jaringan secara aktual
maupun potensial atau kerusakan jaringan secara menyeluruh nyeri merupakan alasan yang
paling umum orang mencari perawatan kesehatan. Walaupun merupakan salah satu dari
gejala yang paling sering terjadi di bidang medis, nyeri merupakan salah satu yang paling
sedikit dipahami. Individu yang merasakan nyeri merasa menderita dan mencari upaya untuk
menghilangkannya. Perawat menggunakan berbagai intervensi untuk dapat menghilangkan
nyeri tersebut dan mengembalikan kenyamanan klien. Perawat tidak dapat melihat dan
merasakan nyeri yang dialami oleh klien karena nyeri bersifat subjektif. Tidak ada dua
individu yang mengalami nyeri yang sama dan tidak ada kejadian nyeri yang sama
menghasilkan respon yang identik pada seseorang. Nyeri terkait erat dengan kenyamanan
karena nyeri merupakan faktor utama yang menyebabkan ketidaknyamanan pada seorang
individu. 4 Pada sebagian besar klien, sensasi nyeri ditimbulkan oleh suatu cidera atau
rangsangan yang cukup kuat untuk berpotensi mencederai. Nyeri post SC adalah nyeri yang
di timbulkan oleh luka insisi SC. Pada luka insisi post SC tingkat seorang klien memfokuskan
perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (2005). Perhatian
yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi
dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun.
Upaya perawat dalam mengatasi nyeri Post SC selama ini yaitu dengan memberikan
analgetik untuk megurangi rasa nyeri. Teknik relaksasi, guided imagery merupakan teknik
untuk mengatasi nyeri. Guide imagery (Imajinasi terbimbing) yang diberikan kepada pasien
SC yang sedang mengalami kesakitan dapat memutuskan rasa nyeri sebelum sampai ke
cortex cerebri

(pusat nyeri) sehingga nyeri yang dirasakan oleh pasien menjadi berkurang.
BAB II

TINJAUAN TEORI

I. KONSEP TEORI
A. Definisi

Sectio cessarea berasal dari bahasa latin “caedere” yang berarti memotong atau
menyayat. Istilah itu disebut dalam ilmu obstetrik mengacu pada tindakan pembedahan yang
bertujuan melahirkan bayi dengan membuka dinding perut ibu (Anggorowati & Sudiharjani,
2017).

Sectio Caesarea atau SC adalah suatu metode bedah persalinan untuk melahirkan janin
dengan membuka dinding perut dan dinding uterus. Resiko yang mengancam keselamatan
jiwa ibu maupun bayi serta intervensi medis merupakan potensi stressor yang dapat
menyebabkan pasien pre operasi sectio caesarea (SC) mengalami kecemasan.

Mennurut (Forte & Oxorn, 2010), sectio cessarea merupakan suatu pembedahan untuk
melahirkan anak lewat insisi pada dinding abdomen dan uterus yang disebabkan oleh dua
faktor indikasi yaitu faktor ibu dan faktor janin. Faktor ibu seperti panggul sempit dan disosia
mekanis.

Pembedahan sebelumnya pada uterus, riwayat SC, pendarahan dan toxemia


gravidarum. Juga karena gawat janin, cacat atau kematian janin sebelumnya, plasenta,
malpresentasi, janin besar, infeksi virus dll. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa secreto cesasarea merupakan jalan alternatif untuk ibu melahirkan dengan menyayat
atau insisi dinding abdomen dan uterus dengan sebab beberapa faktor seperti faktor non
medis dan faktor medis

B. Klasifikasi

Di kenal beberapa jenis sectio caesarea yakni


a) Sectio caesarea klasik atau korporal. (Solehati, 2017)

Ciri sectio cessarea klasik ini adalah dengan panjang sayatan kira-kira 10 cm yang
memanjang pada korpus uteri. Untuk mencegah masuknya air ketuban dan darah ke
rongga perut maka setelah dinding perut dan peritoneum parietal tersayat dan terbuka
pada garis tengahnya harus dibalut beberapa kain kasa panjang yang mencakup antara
dinding perut serta dinding uterus. Pada bagian ujung bawah di atas batas plika vesiko
uterina diberikan sayatan insisi pada bagian tengah korpus uteri dengan panjang 10-
12cm. untuk mengisap air ketuban sebanyak mungkin maka dibuatlah lubang kcil pada
kantong ketuban; kemudian lubang ini dilebarkan, dan untuk memudahkan tindakan-
tindakan selanjutnya maka janin dilahirkan dari rongga perut. Plasenta dan selaput
ketuban dikeluarkan secara manual serta berikan suntikan 10 oksitosin dalam dinding
uterus atau intravena. selanjutnya dinding uterus tersebut ditutup dengan jahitan catgut
yang kuat dalam dua lapisan; lapisan awal atau pertama terdiri atas jahitan simpul dan
lapisan kedua atas jahitan menerus. Selanjutnya diadakan jahitan menerus dengan
catgut yang lebih tipis, yang mengikutsertakan peritoneum serta bagian luar
miomertrium dan yang menutup jahitan yang terlebih dahulu dengan rapi. Akhirnya
dinding perut ditutup secara biasa.

b) Sectio caesarea transperitonealis profunda. (Solehati, 2017)

Cirinya adalah sayatan yang melintang konkaf di segmen bawah rahim yang
panjangnya kira –kira 10. ibu disuruh berbaring dalam keadaan trendelenburg ringan
dan dipasang dauercatheter. Di dinding perut pada bagian garis tengah dari simfisis
sampai beberapa sentimeter di bawah pusat diberikan insisi. Dengan satu kain kasa
panjang atau lebihmaka dipasang spekulum perut serta lapangan operasi dipisahkan
dari rongga perut, itu dilakukan setelah peritoneum dibuka. Peritoneum pada dinding
uterus depan dan bawah dipegang dengan pinset, plika vesiko-uterina dibuka dan
ibnsisi ini diteruskan melintang jauh ke lateral; kemudian kandung kencing dengan
peritoneum di depan uterus didorong ke bawah dengan jari.

C. Indikasi

a) Indikasi yang berasal dari ibu

Yaitu pada primigravida dengan kelainan letak, primi para tua disertai kelainan letak
ada, disproporsi sefalo pelvic (disproporsi janin/panggul) ada, sejarah kehamilan dan
persalinan yang buruk, terdapat kesempitan panggul, plasenta previa terutama pada
primigravida, solusio plasenta tingkat I-II, komplikasi kehamilan yaitu preeclampsia-
eklampsia, atas permintaan, kehamilan yang diserti penyakit (jantung, DM), gangguan
perjalanan persalinan (kista ovarium, mioma uteri dan sebagainya)

b) Indikasi yang berasal dari janin

Indikasi yang berasal dari janin itu sendiri ada kegagalan vakum atau forceps ,ada
distress/gawat janin,mal presentasi dan mal posisi kedudukan janin,polapsus tali pusat dengan
pembukaan kecil (Solehati, 2017)

D. Patofisiologi

Akibat dari kelainan pada ibu dan janin menyebabkan dilakukannya SC dan tidak
dilakukan dengan persalinan (Solehati, 2017). Tindakan alternatif untuk dilakukannya
persalinan adalah menggunakan sectio caesarea dengan berat diatas 500gram dan adanya
bekas sayatan yang masih utuh. Penyebab atau indikasi dilakukannya Sc ini adalah karena
distorsi kepala panggul,disfungsi uterus,distorsia jaringan lunak. Plasenta previa dan lain-
lain.Untuk ibu sedangkan untuk gawat janin, janin besar dan letak lintang setelah dilakukan
sectio caesarea ibu akan mengalami adaptasi post partum. perlu anestesi yang bersifat
regional dan umum sebelum dilakukannya operasi pasien. Namun anastesi mengakibatkan
banyaknya pengaruh terhadap janin dan ibu, sehingga bayi kadang-kadang lahir dalam
keadaan tidak dapat diatasi dengan mudah. dan bisa berakibat pada kematian janin sedangkan
pengaruh anestesi bagi ibu sendiri yaitu terhadap tonus uteri yang menyebabkan darah
banyak yang keluar. Untuk pengaruh terhadap nafas yaitu jalan nafas yang tidak efektif
akibat secret yang berlebihan karena kerja otot nafas silia yang menutup anastesi ini juga
mempengaruhi saluran pencernaan dengan menurunkan mobilitas usus (Anjarsari, 2018).

E. Manifestasi Klinis

Perlu adanya perawatan yang lebih komprehensif pada ibu yang melahirkan melelui
persalinan section caesaria yaitu dengan perawatan post partum serta perawaan post operatif.
Doenges (2010) mengemukakan, manifestasi klinis section caesarea meliputi:

a) Nyeri yang disebabkan lukahasil bedah


b) Adanya luka insisi dibagian abdomen
c) Di umbilicus, fundus uterus kontraksi kuat
d) Aliran lokea sedang dan bebas bekuan yang berlebihan (lokhea tidak banyak)
e) Ada kurang lebih 600-800ml darah yang hilang selama porses pembedahan
f) Emosi yang labil atau ketidakmampuan menghadapisituasi baru pda perubahan
emosional
g) Rata-rata terpasang kateter urinarius
h) Tidak terdengarnya auskultasi bising usus
i) Pengaruh anestesi dapat memicu mual dan muntah
j) Status pulmonary bunyi paru jelas serta vesikuler
k) Biasanya ada kekurang pahaman prosedur pada kelahiran SC yang tidak direncanaka
l) Pada anak yang baru dilahirkan akan dibonding dan attachment

F. Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi pada pasien post sectio caesarea adalah

a) Infeksi puerperal

infeksi ini merukanan infeksi bakteri yang menyerang bagian tubuh reproduksi setelah
post partum,keguguran atau pun post SC, biasanya ditandai dengan kenaikan suhu bersifat
bersifat berat seperti peritonitis, sepsis dan sebagainya.

b) Perdarahan

Pendarahan biasanya terjadi saat proses pembedahan karena cabang-cabang arteri terbuka
atau karena ataomia uteri
c) Komplikasi-komplikasi lain seperti luka kandung kencing, embolisme paru-paru dan
sebagainya sangat jarang terjadi.

d) Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak, ialah kurang kuatnya parut pada dinding
uterus, sehingga pada kehamilan selanjutnya bisa terjadi rupture uteri. Kemungkinan
peristiwa ini lebih banyak ditemukan sesudah sesarea klasik. (Solehati, 2017)

Komplikasi lain seperti resiko terjadinya depresi pernapasan pada bayi biasanya
diakibatkan oleh obat bius yang mana obat bius tersebut mengandung narkose

G. Pemeriksaan Penunjang

a. Elektroensefalogram (EEG)
Untuk membantu menetapkan jenis dan fokus dari kejang.

b. Pemindaian CT
Untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.

c. Magneti Resonance Imaging (MRI)


Menghasilkan bayangan dengan menggunakan lapangan magnetik dan
gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah-daerah otak
yang tidak jelas terlihat bila menggunakan pemindaian CT.

d. Uji laboratorium

1) Fungsi lumbal : menganalisis cairan serebrovaskuler


2) Hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit dan hematokrit
3) Panel elektrolit
4) Skrining toksik dari serum dan urin
5) AGD
6) Kadar kalsium darah
7) Kadar natrium darah
8) Kadar magnesium darah

H. Penatalaksanaan

Tindakan yang biasa dilakukan oleh tenaga kesehatan baik perawat maupun bidan
untuk menangani pasien post sc dimulai dari keluar ruang operasi yaitu sebagai berikut

a) Analgesia
Wanita dengan ukuran tubuh rata-rata dapat disuntik 75 mg meperidin ( intra muskuler)
setiap 3 jam sekali, bila diperlukan untuk mengatasi rasa sakit atau dapat disuntikan dengan
cara serupa 10 mg morfin.
- wanita dengan postur tubuh kecil, diberikan dosis 50 mg meperidin

- wanita dengan postur tubuh besar, dosisnya lebih tinggi yaitu 100 mg meperidin
- obat- obatan antiemetic, misalnya protasin 25 mg biasanya diberikan bersama dengan
pemberian preparat narkotik.

b) tanda – tanda vital


Tanda- tanda vital harus diperiksa 4 jam sekali. Perhatikan tekanan darah, nadi, jumlah urine
serta jumlah darah yang hilang dan keadaan fundus harus diperiksa.

c) Terapi cairan dan diet


Pemberian 3 liter larutan RL, dalam pedoman umum, terbutki cukup selama pembedahan dan
dalam 24 jam pertama berikutnya, meskipun demikian jika output urine jauh dibawah 30
ml/jam, pasien harus segera dievaluasi kembali paling lambar pada hari kedua.

d) Vesika urinarius dan usus


Setelah 12 jam post operasi kateter dapat dilepaskan atau keesokan paginya setelah operasi.
Pada hari pertama setelah pembedahan biasanya bising usus belum terdengar, pada hari
kedua juga bising usus masih lemah. Kemudian usus baru aktif di hari ketiga.

e) Ambulasi
Pada hari pertama setelah pembedahan,pasien bangun dengan bantuan perawatan dari tempat
tidur sebentar, sekurang –kurangnya 2 kali pada hari kedua baru pasien dapat berjalan dengan
pertolongan.

f) Perawatan luka
Luka sayatan diinspeksi setiap hari, sehingga pembalut luka yang alternative ringan tanpa
banyak plester sangat menguntungkan, secara normal jahitan kulit dapat diangkat setelah 11
hari keempat setelah pembedahan. Paling lambat hari ketiga post partum, pasien dapat mandi
tanpa membahayakan luka insisi atau sayatan
g) Laboratorium
Secara rutin hematokrit diukur pada pagi setelah operasi tersebut dan harus segera dicek
kembali apabila ada kehilangan darah yang tidak biasa atau keadan lain yang menunjukkan
hipovolemia.

h) Perawatan payudara
Jika ibu memutuskan tidak menyusui maka pemberian ASI dapat dimulai pada hari post
operasi, pemasangan pembalut payudara untuk mengencangkan payudara tanpa banyak
menimbulkan kompesi, biasa untuk mengurangi rasa sakit.

i) Pemulangan pasien dari rumah sakit


Akan lebih aman jika seorang pasien yang baru melahirkan bila diperbolehkan pulanh pada
hari ke empat atau kelima post operasi, dan aktivitas ibu untuk seminggu harus dibatasi hanya
untuk perawatan bayinya dengan bantuan orang lain. (Roberia, 2018)

Anda mungkin juga menyukai