Anda di halaman 1dari 7

BAB I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rinosinusitis kronik adalah suatu penyakit inflamasi dan infeksi dari sinus

paranasal dengan karakteristik 5 gejala mayor yang telah terjadi setidaknya

selama 12 minggu: kongesti nasal, terasa sakit atau tertekan pada wajah,

obstruksi nasal, adanya sekret di hidung bagian anterior dan posterior, serta

hilanganya daya penciuman. Secara objektif rinosinusitis kronik dapat disertai

dengan polip nasi, produksi mukus yang tidak berwarna, dan nanah atau

inflamasi di meatus media (Habib et al., 2015). Berdasarkan konsensus tahun

2004 rinosinusitis dibagi menjadi 3 kriteria, yaitu rinosinusitis akut yang

berlangsung dalam waktu 4 minggu, rinosinusitis subakut yang berlangsung

antara 4 sampai dengan 12 minggu serta rinosinusitis kronik yang

berlangsung dalam waktu lebih dari 12 minggu (Mangunkusumo et al., 2016).

Rinosinusitis kronik adalah penyakit yang melibatkan banyak faktor antara

lain: polusi udara, virus, bakteri, jamur, genetik, defisiensi imunologi, dan

kelainan anatomi. Oleh karena itu sering kali sulit untuk menentukan

penyebab yang tepat dari rinosinusitis (Lanza & Kennedy, 2010).


Rinosinusitis kronik memiliki angka kejadian yang cukup tinggi pada

masyarakat dengan prevalensi sekitar 10-15% (Deconde & Soler, 2016).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh The National Health

Interview Survey di Amerika Serikat pada tahun 2012 dari 243.921 responden

dewasa didapatkan sebanyak 12,1% didiagnosis sinusitis, 7% terjadi pada

orang Asia dan 13,8% terjadi pada orang kulit putih. Penelitian di Canada

dengan jumlah responden 73.364 dilaporkan sebanyak 4,5% didiagnosis

sinusitis (Deconde & Soler, 2016). Selain itu berdasarkan penelitian yang

dilakukan pada tahun 2017 rinosinusitis kronik adalah penyakit yang

menyerang 11% orang dewasa di Eropa dan sekitar 12% orang dewasa di

Amerika Serikat (Zhang, Gevaert, Lou, & Wang, 2017).

Insiden rinosinusitis kronik dengan polip nasi menunjukkan angka sebesar

2,1% (Prancis), 4,4% (Finlandia), 4,2% (Amerika Serikat), Korea 2,5% atau

2,6% (Korea) dan 1,1% (Cina) (Zhang et al., 2017). Berdasarkan hasil

penelitian dari National Health Interview Survey pada tahun 1996

rinosinusitis kronik adalah penyakit dengan prevalensi terbanyak kedua yakni

menyerang 12,5% atau sekitar 31 juta pasien setiap tahun. Bersadarkan

analisis tahun 2008 dilaporkan 1 dari 7 orang dewasa menderita rinosinusitis

(Hamilos, 2013). Pada tahun 1996 rinosinusitis kronik adalah keluhan

kesehatan yang paling sering terjadi di Amerika Serikat, rinosinusitis baik

akut maupun kronik terhitung sebanyak 15 juta kunjungan pasien rawat jalan

dan 1,5 juta lainnya adalah kunjungan pasien rawat inap dan emergensi

(Factors, 2004). Sedangkan berdasarkan jenis kelamin, keluhan rinosinusitis


lebih banyak menyerang wanita daripada laki-laki dengan rasio perbandingan

2:1 pada rentan usia 25-64 tahun (Brook, 2011).

Rinosinusitis kronik secara signifikan berpengaruh terhadap kesehatan yang

berhubungan dengan kualitas hidup (Zhang et al., 2017). Jika dibandingkan

dengan penyakit kronik lain, orang yang menderita rinosinusitis kronik secara

signifikan mempunyai batasan yang lebih besar dalam fungsi sosial daripada

individu dengan penyakit jantung kongestif, penyakit paru obstrutif kronik,

angina ataupun penyakit punggung kronik. Hal tersebut menjadikan

rinosinusitis banyak berhubungan dengan gejala depresi, meningkatnya

frekuensi kunjungan ke spesialis, penggunaan antidepresan dan obat pil tidur

(Habib et al., 2015).

Berdasarkan hasil studi yang telah dilakukan pada tahun 2016 didapatkan

sebanyak 9-25% penderita rinosinusitis kronik menderita depresi yang

berpengaruh terhadap kualitas hidupnya. Selain depresi penderita rinosinusitis

kronik juga mempunyai penyakit komorbid lain seperti gangguan kognitif,

ansietas, diabetes mellitus dan gangguan tidur (Schlosser et al., 2016). Pasien

dengan rinosinusitis kronik juga banyak kehilangan hari-hari kerja atau hari-

hari sekolahnya serta mengeluarkan uang lebih dari 500 dollar amerika setiap

tahunnya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan jika dibandingkan dengan

penyakit lain seperti bronkitis kronik, penyakit ulkus, asma atau hay fever

(Hamilos, 2013). Pasien rinosinusitis kronik di Korea, Taiwan dan Thailand

juga dilaporkan kehilangan sekitar 36% dari produktifitasnya jika

dibandingkan dengan penyakit pernapasan lain (Zhang et al., 2017).


Tujuan utama dari tatalaksana rinosinusitis kronik adalah untuk memperbaiki

gejala-gejala yang dilaporkan oleh pasien sehingga dapat meningkatkan

kualitas hidupnya setelah ditatalaksana baik secara farmakologi ataupun

melalui prosedur pembedahan. Saat ini kuisioner Sino Nasal Outcome Test-

22 (SNOT-22) sering digunakan untuk mengukur secara kuantitatif rasio dari

beratnya gejala penyakit sinonasal. Kuisioner ini telah divalidasi sehingga

dapat dipercaya dan menjadi instrumen kualitas hidup rinosinusitis kronik

yang paling banyak digunakan di seluruh dunia (Rudmik, Soler, & Smith,

2014).

Kuisioner yang digunakan untuk menilai kualitas hidup telah banyak

dikembangkan untuk penyakit rinosinusitis baik akut maupun kronik. Dari

banyaknya kuisioner, Sino Nasal Outcome Test-22 (SNOT-22) memiliki

keuntungan yang lebih jika dibandingkan dengan kuisioner yang lain karena

dikombinasikan dengan gejala-gejala spesifik terkait hidung dan sinus.

Kuisioner Sino Nasal Outcome Test-22 (SNOT-22) terdiri atas 22 pertanyaan

dengan rentang skor antara 0 sampai dengan 5 tergantung dari derajat

keparahan gejala. Sino Nasal Outcome Test-22 (SNOT-22) dibagi atas 2

kategori pertanyaan dimana 10 pertanyaan berkaitan dengan gejala-gejala

rinologi, telinga dan wajah serta 12 pertanyaan lainnya berkaitan dengan

kualitas hidup seperti gangguan tidur dan gangguan psikologis (Galitz &

Halperin, 2016).

Penelitian yang membahas tentang masalah terkait peningkatan kualitas hidup

penderita rinosinusitis kronik setelah dilakukan pembedahan telah banyak

dilakukan di luar negeri tetapi di RSUD H. Abdul Moeloek belum pernah


dilakukan, oleh karena itu peneliti tertarik untuk melihat adanya perbaikan

kualitas hidup pada penderita rinosinusitis kronik setelah dilakukan

pembedahan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka didapatkan rumusan

masalah yaitu : Apakah terdapat perbaikan kualitas hidup setelah dilakukan

tindakan pembedahan pada penderita rinosinusitis kronik di RSUD H. Abdul

Moeloek?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui pengaruh pembedahan terhadap peningkatan kualitas

hidup pada penderita rinosinusitis kronik di RSUD H. Abdul Moeloek

1.3.2 Tujuan khusus

Untuk membuktikan apakah terdapat perbedaan kualitas hidup setelah

dilakukannya pembedahan pada penderita rinosinusitis kronik di RSUD

H. Abdul Moeloek dengan menggunakan kuisioner Sino Nasal

Outcome Test-22 (SNOT-22).

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Masyarakat


Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi

masyarakat mengenai rinosinusitis kronik dan pengaruh pembedahan

terhadap peningkatan kualitas hidup.

1.4.2 Bagi Peneliti

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan

mengenai gambaran kualitas hidup penderita rinosinusitis setelah

pembedahan di RSUD H. Abdul Moeloek serta menyediakan data bagi

penelitian selanjutnya mengenai kualitas hidup penderita rinosinusitis

kronik.

1.4.3 Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu sumber

informasi untuk pengembangan penelitian selanjutnya terutama

mengenai kualitas hidup penderita rinosinusitis kronik.

1.4.4 Bagi Ilmu Pengetahuan Kesehatan

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperluas informasi

kesehatan mengenai rinosinusitis kronik terutama mengenai kualitas

hidup penderita rinosinusitis kronik.


DAFTAR PUSTAKA

Brook, I. (2011). Microbiology of Sinusitis,


(21)https://doi.org/10.1513/pats.201006-038RN
Deconde, A. S., & Soler, Z. M. (2016). Chronic rhinosinusitis : Epidemiology and
burden of disease, 30(2), 134–139. https://doi.org/10.2500/ajra.2016.30.4297
Factors, G. H. (2004). PATHOGENESIS OF CHRONIC RHINOSINUSITIS, 6–
9.
Galitz, Y. S., & Halperin, D. (2016). Sino-Nasal Outcome Test–22: Translation,
Cross-cultural Adaptation, and Validation in Hebrew-Speaking Patients.
https://doi.org/10.1177/0194599816629378
Habib, A. R., Buxton, J. A., Singer, J., Wilcox, P. G., Javer, A. R., & Quon, B. S.
(2015). Association between Chronic Rhinosinusitis and Health-Related
Quality of Life in Adults with Cystic Fibrosis, 12(8), 1163–1169.
https://doi.org/10.1513/AnnalsATS.201504-191OC
Hamilos, D. L. (2013). Chronic rhinosinusitis : Epidemiology and medical
management. Journal of Allergy and Clinical Immunology, 128(4), 693–707.
https://doi.org/10.1016/j.jaci.2011.08.004
Lanza, D. C., & Kennedy, D. W. (2010). Otolaryngology- Head and Neck Surgery
Adult rhinosinusitis defined, 117(September), 1–7.
Mangunkusumo, E., Soetjipto, D., Dalam, S. E., Iskandar, N., Basruddin, J., &
Restuti, R. (2016). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dab Leher (Ketujuh). Jakarta.
Rudmik, L., Soler, Z. M., & Smith, T. L. (2014). selection in chronic
rhinosinusitis, 0(0), 1–8. https://doi.org/10.1002/alr.21408
Schlosser, R. J., Storck, K., Cortese, B. M., Ph, D., Uhde, T. W., Rudmik, L., …
Sc, M. (2016). Depression in chronic rhinosinusitis : A controlled cohort
study, 30(2), 128–133. https://doi.org/10.2500/ajra.2016.30.4290
Zhang, Y., Gevaert, E., Lou, H., & Wang, X. (2017). Current perspectives
Chronic rhinosinusitis in Asia. Journal of Allergy and Clinical Immunology,
140(5), 1230–1239. https://doi.org/10.1016/j.jaci.2017.09.009

Anda mungkin juga menyukai