Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Rinosinusitis kronik adalah suatu penyakit inflamasi dan infeksi dari sinus

paranasal dengan karakteristik 5 gejala mayor yang telah terjadi setidaknya

selama 12 minggu: kongesti nasal, terasa sakit atau tertekan pada wajah,

obstruksi nasal, adanya sekret di hidung bagian anterior dan posterior, serta

hilanganya daya penciuman. Secara objektif rinosinusitis kronik dapat disertai

dengan polip nasi, produksi mukus yang tidak berwarna, dan nanah atau

inflamasi di meatus media (Habib et al., 2015). Berdasarkan konsensus tahun

2004 rinosinusitis dibagi menjadi 3 kriteria, yaitu rinosinusitis akut yang

berlangsung dalam waktu 4 minggu, rinosinusitis subakut yang berlangsung

antara 4 sampai dengan 12 minggu serta rinosinusitis kronik yang

berlangsung dalam waktu lebih dari 12 minggu (Mangunkusumo et al., 2016).

Rinosinusitis kronik adalah penyakit yang melibatkan banyak faktor antara

lain: polusi udara, virus, bakteri, jamur, genetik, defisiensi imunologi, dan

kelainan anatomi. Oleh karena itu sering kali sulit untuk menentukan

penyebab yang tepat dari rinosinusitis (Lanza & Kennedy, 2010).


Rinosinusitis kronik memiliki angka kejadian yang cukup tinggi pada

masyarakat dengan prevalensi sekitar 10-15% (Deconde & Soler, 2016).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh The National Health

Interview Survey di Amerika Serikat pada tahun 2012 dari 243.921 responden

dewasa didapatkan sebanyak 12,1% didiagnosis sinusitis, 7% terjadi pada

orang Asia dan 13,8% terjadi pada orang kulit putih. Penelitian di Canada

dengan jumlah responden 73.364 dilaporkan sebanyak 4,5% didiagnosis

sinusitis (Deconde & Soler, 2016). Selain itu berdasarkan penelitian yang

dilakukan pada tahun 2017 rinosinusitis kronik adalah penyakit yang

menyerang 11% orang dewasa di Eropa dan sekitar 12% orang dewasa di

Amerika Serikat (Zhang, Gevaert, Lou, & Wang, 2017).

Insiden rinosinusitis kronik dengan polip nasi menunjukkan angka sebesar

2,1% (Prancis), 4,4% (Finlandia), 4,2% (Amerika Serikat), Korea 2,5% atau

2,6% (Korea) dan 1,1% (Cina) (Zhang et al., 2017). Berdasarkan hasil

penelitian dari National Health Interview Survey pada tahun 1996

rinosinusitis kronik adalah penyakit dengan prevalensi terbanyak kedua yakni

menyerang 12,5% atau sekitar 31 juta pasien setiap tahun. Bersadarkan

analisis tahun 2008 dilaporkan 1 dari 7 orang dewasa menderita rinosinusitis

(D. L. Hamilos, 2013). Pada tahun 1996 rinosinusitis kronik adalah keluhan

kesehatan yang paling sering terjadi di Amerika Serikat, rinosinusitis baik

akut maupun kronik terhitung sebanyak 15 juta kunjungan pasien rawat jalan

dan 1,5 juta lainnya adalah kunjungan pasien rawat inap dan emergensi

(Factors, 2004). Sedangkan berdasarkan jenis kelamin, keluhan rinosinusitis


lebih banyak menyerang wanita daripada laki-laki dengan rasio perbandingan

2:1 pada rentan usia 25-64 tahun (Brook, 2011).

Rinosinusitis kronik secara signifikan berpengaruh terhadap kesehatan yang

berhubungan dengan kualitas hidup (Zhang et al., 2017). Jika dibandingkan

dengan penyakit kronik lain, orang yang menderita rinosinusitis kronik secara

signifikan mempunyai batasan yang lebih besar dalam fungsi sosial daripada

individu dengan penyakit jantung kongestif, penyakit paru obstrutif kronik,

angina ataupun penyakit punggung kronik. Hal tersebut menjadikan

rinosinusitis banyak berhubungan dengan gejala depresi, meningkatnya

frekuensi kunjungan ke psikiater, penggunaan antidepresan dan obat pil tidur

(Habib et al., 2015).

Berdasarkan hasil studi yang telah dilakukan pada tahun 2016 didapatkan

sebanyak 9-25% penderita rinosinusitis kronik menderita depresi yang

berpengaruh terhadap kualitas hidupnya. Selain depresi penderita rinosinusitis

kronik juga mempunyai penyakit komorbid lain seperti gangguan kognitif,

ansietas, diabetes mellitus dan gangguan tidur (Schlosser et al., 2016). Pasien

dengan rinosinusitis kronik juga banyak kehilangan hari-hari kerja atau hari-

hari sekolahnya serta mengeluarkan uang lebih dari 500 dollar amerika setiap

tahunnya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan jika dibandingkan dengan

penyakit lain seperti bronkitis kronik, penyakit ulkus, asma atau hay fever (D.

L. Hamilos, 2013). Pasien rinosinusitis kronik di Korea, Taiwan dan Thailand


juga dilaporkan kehilangan sekitar 36% dari produktifitasnya jika

dibandingkan dengan penyakit pernapasan lain (Zhang et al., 2017).

Tujuan utama dari tatalaksana rinosinusitis kronik adalah untuk memperbaiki

gejala-gejala yang dilaporkan oleh pasien sehingga dapat meningkatkan

kualitas hidupnya setelah ditatalaksana baik secara farmakologi ataupun

melalui prosedur pembedahan. Saat ini kuisioner Sino Nasal Outcome Test-

22 (SNOT-22) sering digunakan untuk mengukur secara kuantitatif rasio dari

beratnya gejala penyakit sinonasal. Kuisioner ini telah divalidasi sehingga

dapat dipercaya dan menjadi instrumen kualitas hidup rinosinusitis kronik

yang paling banyak digunakan di seluruh dunia (Rudmik, Soler, & Smith,

2014).

Kuisioner yang digunakan untuk menilai kualitas hidup telah banyak

dikembangkan untuk penyakit rinosinusitis baik akut maupun kronik. Dari

banyaknya kuisioner, Sino Nasal Outcome Test-22 (SNOT-22) memiliki

keuntungan yang lebih jika dibandingkan dengan kuisioner yang lain karena

dikombinasikan dengan gejala-gejala spesifik terkait hidung dan sinus.

Kuisioner Sino Nasal Outcome Test-22 (SNOT-22) terdiri atas 22 pertanyaan

dengan rentang skor antara 0 sampai dengan 5 tergantung dari derajat

keparahan gejala. Sino Nasal Outcome Test-22 (SNOT-22) dibagi atas 2

kategori pertanyaan dimana 10 pertanyaan berkaitan dengan gejala-gejala

rinologi, telinga dan wajah serta 12 pertanyaan lainnya berkaitan dengan


kualitas hidup seperti gangguan tidur dan gangguan psikologis (Galitz &

Halperin, 2016).

Penelitian yang membahas tentang masalah terkait peningkatan kualitas hidup

penderita rinosinusitis kronik setelah dilakukan pembedahan telah banyak

dilakukan di luar negeri tetapi di RSUD H. Abdul Moeloek belum pernah

dilakukan, oleh karena itu peneliti tertarik untuk melihat adanya perbaikan

kualitas hidup pada penderita rinosinusitis kronik setelah dilakukan

pembedahan.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka didapatkan rumusan

masalah yaitu : Apakah terdapat perbaikan kualitas hidup setelah dilakukan

tindakan pembedahan pada penderita rinosinusitis kronik di Dr. RSUD H.

Abdul Moeloek?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan umum

Untuk mengetahui pengaruh pembedahan terhadap peningkatan kualitas

hidup pada penderita rinosinusitis kronik di RSUD Dr. H. Abdul

Moeloek
1.3.2. Tujuan khusus

Untuk membuktikan apakah terdapat perbedaan kualitas hidup setelah

dilakukannya pembedahan pada penderita rinosinusitis kronik di RSUD

Dr. H. Abdul Moeloek dengan menggunakan kuisioner Sino-Nasal

Outcome Test 22 (SNOT-22).

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Bagi Masyarakat

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi

masyarakat mengenai rinosinusitis kronik dan pengaruh pembedahan

terhadap peningkatan kualitas hidup.

1.4.2. Bagi Peneliti

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan

mengenai gambaran kualitas hidup penderita rinosinusitis setelah

pembedahan di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek serta menyediakan data

bagi penelitian selanjutnya mengenai kualitas hidup penderita

rinosinusitis kronik.

1.4.3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu sumber

informasi untuk pengembangan penelitian selanjutnya terutama

mengenai kualitas hidup penderita rinosinusitis kronik.


1.4.4. Bagi Ilmu Pengetahuan Kesehatan

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperluas informasi

kesehatan mengenai rinosinusitis kronik terutama mengenai kualitas

hidup penderita rinosinusitis kronik.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Rinosunusitis Kronik

2.1.1. Definisi

Rinosinusitis adalah suatu keadaan inflamasi yang terjadi pada hidung

dan sinus paranasal (Dykewicz & Hamilos, 2009), sedangkan

rinosinusitis kronik adalah rinosinusitis yang telah berlangsung selama

lebih dari 12 minggu dengan sudah atau tanpa ditatalaksana. (Lanza &

Kennedy, 2010). Tidak seperti rinosinusitis akut, rinosinusitis kronik

didefenisikan sebagai suatu kondisi heterogen dengan banyak

karakteristik akibat inflamasi yang menetap pada mukosa sinonasal

(Lee & Lane, 2011).

2.1.2. Etiologi

Rinosinusitis kronik adalah penyakit yang melibatkan banyak faktor

sehingga sering kali sulit untuk menentukan etiologi yang tepat dari
rinosinusitis (Lanza & Kennedy, 2010). Secara umum etiologi dari

rinosinusitis kronis terbagi atas 2 yaitu: etiologi yang berasal dari host

dan etiologi yang berasal dari lingkungan. Etiologi yang berasal tubuh

host sendiri misalnya: deviasi septum, atresia koana, nasal cleft,

immunodefisiensi, hipersensitivitas terhadap aspirin, refluks

gastroesofageal, ataupun keadaan hormonal seperti rinitis yang terjadi

pada saat hamil, sedangkan etiologi yang berasal dari lingkungan

misalnya: infeksi virus, bakteri, fungi, dan parasit; keadaan inflamasi

seperti alergi dan iritasi akibat rinitis medikamentosa penggunaan

dekongestan; ataupun keadaan-keadaan yang mengganggu aliran

mukosiliari dan ventilasi normal dari hidung seperti operasi dan

trauma (Marple & Ferguson, 2009). Secara lengkap etiologi dari

rinosinusitis kronis dapat dilihat pada tabel.1

Tabel 1. Etilogi rinosinusitis kronik ((Joe & Thakkar, 2008)


Infectious etiologies
Infectious organisms (eg, bacteria, fungi)
Bacterial superantigens
Biofilms
Osteitis
Noninfectious etiologies
Neurologic dysfunction (eg, trigeminal)
Immunologic disorders
Aspirin sensitivity
Allergies
Extrinsic factors
Infectious inflammation
Noninfectious inflammation
Intrinsic factors
Autonomic dysfunction
Genetic abnormalities
Autoimmune disorder
Inflammatory status
Eosinophilic inflammation
Neutrophilic inflammation
2.1.3. Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi dari ostium-ostium sinus,

sekresi mukus yang normal baik dari segi viskositas, volume dan

komposisi, serta lancarnya klirens mukosiliar (mucocilliary clearance)

di dalam kompleks osteomeatal (KOM). Di dalam mukus juga

terkandung substansi dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme

pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama dengan udara

pernapasan. Organ-organ yang membentuk kompleks osteomeatal

(KOM) letaknya berdekatan dan apabila terjadi edema maka mukosa

yang saling berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak lagi

dapat bergerak dan ostium sinus akan tersumbat. Akibatnya terjadi

tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya

transudasi yang mula-mula berbentuk serous yang sering dianggap

sebagai rinosinusitis non-bacterial dan biasanya akan sembuh dalam

beberapa hari (Mangunkusumo et al., 2016).


Bila kondisi tersebut menetap, sekret yang terkumpul di dalam sinus

akan menjadi media yang baik bagi bakteri untuk tumbuh dan

bermultipikasi sehingga akhirnya sekretnya akan berubah bentuk

menjadi purulen. Keadaan ini sering disebut sebagai rinosinusitis akut

bakterial yang memerlukan terapi antibiotik. Apabila terapi tersebut

tidak berhasil misalnya karena disebabkan oleh faktor predisposisi

maka inflamasi akan tetap berlanjut, yang menyebabkan terjadinya

hipoksia dan bakteri anaerob yang ada di dalamnya akan semakin

berkembang dengan baik. Mukosa akan semakin membengkak dan hal

ini akan tetap berlanjut sampai akhirnya masuk ke dalam fase

rinosinusitis yang kronik ditandai oleh adanya hipertrofi, polipoid atau

pembentukan polip dan kista. Keadaan ini akan membutukan tindakan

pembedahan (Mangunkusumo et al., 2016).

Kompleks osteomeatal (KOM) yang merupakan termpat drainase bagi

kelompok-kelompok sinus yang terdapat dibagian anteror seperti

(frontalis, ethmoid, anterior dan maksilaris) berperan penting bagi

transport mukus dan debris serta mempertahankan tekanan oksigen

yang cukup untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Obstruksi ostium

sinus yang terjadi pada kompleks osteomeatal (KOM) merupakan

faktor predisposisi yang sangat berperan bagi terjadinya rinosinusitis

kronik. Namun kedua faktor yang lainnya juga sangat berperan bagi

terjadinya rinosinusitis kronik. Interupsi yang terjadi pada satu atau

lebih faktor tersebut akan mempengaruhi faktor lainnya dan kemudian

akan memicu terjadinya rinosinusitis kronik yang ditandai oleh adanya


perubahan-perubahan patologis pada mukosa sinus dan nasal (D.

Hamilos, 2000).

Gambar 1. Siklus saat obstruksi kompleks Osteometal (KOM) (Factors, 2004)

2.1.4. Patogenesis

2.1.4.1. Alergi

Adanya riwayat atopi dapat menjadi faktor predisposisi dari

perkembangan rinosinusitis kronik (Daines & Orlandi, 2012).

Rinitis alergi juga dapat menjadi faktor predisposisi dari

rinosinusitis kronik karena berhubungan dengan terjadinya

obstruksi ostium-ostium sinus akibat edema mukosa (Wood


& Douglas, 2010). Prevalensi dari alergi yang dimediasi oleh

IgE akibat alergen yang berasal dari lingkungan adalah

sekitar 60% dari polulasi. Pasien rinosinusitis kronis lebih

peka terhadap jenis alergi perienal daripada seaonal. Alergen

yang menginduksi terjadinya alergi perienal antara lain: debu

tungau rumah, spora dari jamur yang berasal dari dalam

ataupun luar rumah, bulu binatang, dan kecoak. Jenis-jenis

alergen tersebut lebih sering berhubungan dengan terjadinya

rinosinusitis kronik daripada alergen yang berasal dari serbuk

polen. Spora dari jamur seringkali berkembang biak di dalam

mukus dari sinus yang akan meningkatkan stimulasi dari

proses alergi ((D. L. Hamilos, 2013).

Histaminn adalah salah satu mediator yang paling penting

dalam terjadinya alergi di hidung. Histamin akan bekerja

secara langsung pada reseptor histamin selular, dan secara

tidak langsung melalui refleks yang berperan pada bersin dan

hipersekresi. Melalui sistem saraf otonom, histamin akan

menimbulkan gejala bersin dan gatal, serta vasodilatasi dan

peingkatan permabilitas kapiler yang menimbulkan gejala

beringus encer (watery rhinorrhoe) dan edema lokal. Alergi

yang terjadi di jalan nafas dan sinus akan menghasilkan

edema dan inflmasi di membran mukosa yang akan

menyebabkan blokade di muara sinus dan membuat daerah


yang ideal untuk tempat perkembangan mikroorgansme

seperti jamur, bakteri, dan virus (Zuliani et al., 2006).

2.1.4.2. Mikroorganisme

Sinusitis akibat fungi yang dapat menyebabkan infeksi pada

sinus paranasal sebenarnya jarang terjadi dan paling banyak

terjadi pada pasien-pasien dengan penurunan daya tahan

tubuh. Umumnya fungsi jenis mycetoma sering berkembang

biak pada satu sinus, biasanya sinus maksilaris atau spenoid

(Wood & Douglas, 2010). Infeksi sinus yang terjadi karena

bakteri sering disebabkan oleh Streptococcus Pneumoniae,

Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis, dan

Staphylococcus aureus (Hours & Hours, 2011). Penelitian

tentang bakteri yang menyebabkan terjadinya inflamasi pada

rinosinusitis kronis belum sepenuhnya jelas. Tidak ada

satupun jenis bakteri yang menjadi penyebab primer pada

rinosinusitis kronik, akan tetapi banyak penelitian yang lebih

fokus pada dampak potensial dari Staphylococcus aureus

karena produksi enterotoksinnya (Staphylococcus aureus

enterotoxin [SEE]) yang dapat menyebabkan inflamasi pada

pasien rinosinusitis kronik.(Lee & Lane, 2011). 55% pasien

dengan rinosinusitis kronik dengan polip nasi memiliki

entrotoksin yang diproduksi oleh Staphylococcus aureus di

dalam mukusnya (Daines & Orlandi, 2012).


2.1.4.3. Sensitivitas Aspirin

Beberapa pasien yang terkena asma dan polip nasi terjadi

karena disebabkan oleh adanya mekanisme hipersensitivitas

terhadap aspirin dan obat anti inflamasi non steroid lainnya.

Substansi pengambat cyclo-oxygenase yang disintesis oleh

aspirin menghambat sintesis dari sitokin antiinflamasi

Prostaglandin E2 (PGE2) dan meningkatkan sintesis dari

leukotrien sistenil yang akan menyebabkan rhinoroea dan

bronkospasme yang dapat menginduksi terjadinya

rinosinusitis kronik (Wood & Douglas, 2010).

2.1.4.4. Abnormalitas Struktural

Beberapa variasi anatomi yang mempengaruhi aliran sinus

dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis

kronik, misalnya adalah deviasi septum, konka bulosa

ataupun adanya produksi sel-sel atipikal dari sinus ethmoid

yang dapat mempersempit aliran sinus (contohnya: sel

Hager). Namun secara umum hanya terdapat sedikit bukti

yang menyatakan bahwa variasi anatomi dapat menjadi

faktor predisposisi dalam perkembangan rinosinitis kronik.

Biasanya pemeriksaan lebih efisien dilakukan pada saat akan


dilakukannya tatalaksana bedah kepada pasien ((Wood &

Douglas, 2010).

2.1.4.5. Genetik

Predisposisi genetik menjadi salah satu hal yang

berkontribusi untuk terjadinya rinosinusitis kronik ( (Lee &

Lane, 2011). Namun belum ada penjelasan secara pasti dari

faktor genetik ini. Kelainan genetik yang sering berhubungan

dengan terjadinya rinosinusitis kronik adalah fibrosa kistik

dan sindrom Kartagener. Beberapa data epidemiologi

mengenai polip nasi melaporkan bahwa variasi genetik dari

halotipe HLA berkontribusi 5 kali lebih besar dalam

peningkatan resiko terjadinya polip nasi ((Wood & Douglas,

2010). Gen-gen polimorfisme nukleotida seperti yang

terdapat pada TNF-α dan MMP-9 juga berperan dalam

terjadinya rinosinusitis kronik.

2.1.5. Klasifikasi

2.1.5.1. Rinosinusitis kronik tanpa polip nasi

Rinosinusitis kronik tanpa polip nasi mempunyai prevalensi

sekitar 60% dari seluruh kasus rinosinusitis. Kondisi ini

bersifat heterogen dimana faktor-faktor seperti alergi,

abnormalitas struktural, infeksi virus maupun bakteri sangat

berkontribusi terhadap timbulnya penyakit. Keluhan sakit


pada wajah, merasa seperti tertekan, dengan atau tanpa

merasa penuh pada wajah menjadi gejala yang paling sering

diraksakan oleh pasien rinosinusitis kronik tanpa polip nasi

daripada dengan polip nasi. Banyak kasus rinosinusitis kronik

tanpa polip nasi disebabkan oleh bakteri seperti:

Streptococcus Pneumoniae, Haemophilus influenzae,

Moraxella catarrhalis, dan Staphylococcus aureus,

coagulase-negative Staphylococcus yang sangat berperan

penting pada mekanisme terjadinya sumbatan pada ostium

nasal dan akan menyebabkan obstruksi dari aliran sinus serta

infeksi bakteri yang semakin meluas. Pada saat telah terjadi

infeksi kronik ditemukan banyak sel-sel neutrofil, sel-sel

mononuklear dan beberapa eosinofil. Pada rinosinusitis

kronik tanpa polip nasi juga ditemukan adanya hiperplasia

kelenjar dan fibrosis submukosa pada saat dilakukan

pemeriksaan histologi dan hal tersebut tidak ditemukan pada

rinosinusitis kronik dengan polip nasi (Dykewicz & Hamilos,

2009).

2.1.5.2. Rinosinusitis kronik dengan polip nasi

Rinosinusitis kronik dengan polip nasi memiliki prevalensi

sekitar 20-3-% dari seluruh kasus rinosinusitis kronik. Secara

umum gejala yang terdapat pada pasien Rinosinusitis kronik

dengan polip nasi sama dengan pasien tanpa polip nasi,


namun untuk keluhan hiposmia/anosmia lebih sering

ditemukan terjadi pada pasien Rinosinusitis kronik dengan

polip nasi. Polip nasi biasanya bilateral dan terletak pada

meatus media kecuali jika polip tersebut telah diambil

sebelumnya. Polip unilateral jarang terjadi dan dapat

dipertimbangakan sebagai diagnosis lain seperti papilloma

dan tumor nasal. Rinosinusitis kronik dengan polip nasi lebih

berhubungan dengan penyakit respiratori eksaserbasi akibat

aspirin (Aspirin-exacerbated respiratory disease[AERD]).

Sebenarnya pencetus dari terjadinya polip nasi pada pasien

rinosinusitis kronik belum sepenuhnya jelas. Saat dilakukan

pemeriksaan histologi padarinosinusitis dengan polip nasi

ditemukan banyak eosinofil, histamin, kadar dari IL-5 dan IL-

13 (Dykewicz & Hamilos, 2009)(Dykewicz & Hamilos,

2009).

2.1.5.3. Rinosinusitis akibat alergi fungi

Rinosinusitis akibat alergi fungi didefenisikan sebagai suatu

keadaan dimana (1) terdapat alergi mucin (terjadi perubahan

warna mukus dari terang menjadi cokklat adn hijau tua

karena mengandung banyak esosinofil tergranulasi) (2)

adanya hifa dari musin (3) terdapat bukti adanya alergi yang

dimediasi oleh IgE. Pasien rinosinusitis akibat alergi fungi

biasanya mempunyai polip nasi dan daya tahan tubuh yang


baik. Bedah sinus biasanya dibutuhkan untuk membuang

alergi mucin dan menegakkan diagnosis dari rinosinusitis

akibat alergi fungi. Gejala yang dirasakan secara umum sama

dengan gejala yang terdapat pada rinosinusitis kronik. Gejala

umum yang terjadi pada penyakit ini adalah obstruksi nasal

yang komplit, terasa sakit atau tertekan pada wajah dan

adanya perubahan daya penglihatan. Secara histologi alergi

mucin pada penyakit ini mengandung banyak esosinofil

tergranulasi (Dykewicz & Hamilos, 2009).

2.1.6. Diagnosis

Berdasarkan defenisi rinosinusitis kronik tanpa polip nasi

menurut Task Force on Rhinosinusitis pada tahun 1996, terdapat

faktor-faktor mayor dan minor yang diperlukan untuk mendiagnosis

rinosinusitis kronik. Diagnosis klinik ditegakkan melalui anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. (Fokkens, Lund, &

Mullol, 2007). Rinosinusitis kronik dapat ditegakkan bila ditemukan 2

atau lebih gejala mayor, atau 1 gejala mayor ditambah 2 atau lebih

gejala minor. (Lanza & Kennedy, 2010). Untuk gejala mayor dan

minor dari rinosinusitis kronik dapat dilihat pada tabel.2.

Tabel 2. Gejala mayor dan minor runosinusitis kronik (Marple & Ferguson, 2009)
Major factors
Facial pain/pressure
Facial congestion/fullness
Nasal obstruction/blockage
Nasal discharge/purulence/discolored postnasal discharge
Hyposmia/anosmia
Purulence in nasal cavity on examination
Minor factors
Headache
Fever
Halitosis
Fatigue
Dental pain
Cough
Ear pain/pressure/fullness

Kriteria diagnosis rinosinusitis kronik terdiri dari durasi dan

pemeriksaan fisik dimana bila hanya ditemukan gambaran radiologis

namun tanpa klinis lainnya maka diagnosis tidak dapat ditegakkan.

Diagnosis rinosinusitis kronik tanpa polip nasi (pada dewasa)

berdasarkan EP3OS tahun 2007 ditegakkan melalui penilain subjektif,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya.. Menurut

EP3OS tahun 2007, keluhan subjektif yang dapat menjadi dasar

rinosinusitis kronik adalah:

1. Osbtruksi Nasal

Keluhan buntu hidung pasien biasanya bervariasi dari

obstruksi aliran udara mekanis sampai dengan terasa penuh

pada daerah hidung dan sekitarnya.

2. Sekret/ discharge nasal

Dapat berupa anterior dan posterior nasal drip

3. Abnormalitas penciuman

Fluktuasi penciuman berhubungan dengan rinosinusitis kronik

yang mungkin disebabkan karena osbtruksi mukosa fisura


olfaktorius dengan/tanpa alterasi degeneratid pada mukosa

olfaktorius.

4. Nyeri/tekanan pada wajah

Lebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan rinosinusitis

akut, pada rinosinusitis kronik keluhan lebih difus dan

fluktuatif.

Pemeriksaan fisik yang dilakukan mencakup rinoskopi anterior dan

posterior. Yang menjadi pembeda antara kelompok rinosinusitis

kronik dengan atau tanpa polip nasi adalah ditemukannya jaringan

polip/jaringan polipoid pada pemeriksaan rinoskopi anterior.

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain adalah endoskopi

nasal, sitologi dan bakteriologi nasal, pencitraan (foto polos sinus,

trasnsluminasi, CT-Scan dan MRI), pemeriksaan fungsi mukosiliar,

penilaian nasal airway, fungsi penciuman dan pemeriksaan

laboratorium (Fokkens et al., 2007). Kriteria diagnostik rinosinusitis

kronik dewasa secara lengkap dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Kriteria diagnosnis rinosinusitis kronik (Marple & Ferguson, 2009)


1. Continuous, relevant symptoms (see Table 1) for 12 consecutive weeks or 12
weeks of physical fi ndings*
2. One of the following signs of infl ammation must be present and identifi ed in
association with ongoing symptoms consistent with CRS:
a. Discolored nasal drainage arising from nasal passages, nasal polyps, or
polypoid swelling as identifi ed on physical examination with anterior
rhinoscopy or nasal endoscopy. Anterior rhinoscopy should be performed in
the decongested state.
b. Edema or erythema of the middle meatus or ethmoid bulla as identifi ed by
nasal endoscopy.
c. Generalized or localized erythema, edema, or granulation tissue. If it does not
involve the middle meatus or ethmoid bulla, or this area cannot be viewed on
exam, radiologic imaging is required to confi rm a diagnosis.
d. Imaging modalities for confi rming the diagnosis:
 CT scan—demonstrating isolated or diffuse mucosal thickening, bone
changes, air-fl uid level, opacifi cation.
 Plain sinus radiograph—Water’s view revealing mucous membran
thickening of _ 5 mm or complete opacifi cation of ≥ 1 sinus. An air-
fl uid level is more predictive of acute rhinosinusitis but may also be
seen in CRS
 MRI is not recommended as an alternative to CT for routine diagnosis
of CRS because of its excessively high sensitivity and lack of specifi
city.

2.1.7. Tatalaksana

Rinosinusitis kronik adalah penyakit dengan angka prevalensi yang

tinggi dan memiliki dampak yang cukup besar terhadap kualitas

hidup. Kemajuan yang signifikan dari tatalaksana rinosinsitis kronik

baik terapi medikamentosa maupun bedah ternyata bukan hanya

bertujuan untuk mengurangi angka kematian tetapi juga menyediakan

keuntungan jangka panjang bagi pasien (Suh & Kennedy, 2011).

Apabila pada saat pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi

seperti deviasi septum, kelainan anatomi pada kompleks osteomeatal

(KOM), polip,kista, jamur, karies atau ganggren gigi penyebab

sinusitis dianjurkan untuk memberikan tatalaksana sesuai dengan

keailann yang ditemukan (Fokkens et al., 2007).

Tatalaksana dari rinosinusitis kronik sangat bervariasi pada setiap

tergantung pada penyebabnya. Tujuan utama dari tatalaksana


rinosinusitis kronik adalah untuk identifikasi lalu mengatasi

penyebabnya. Terapi antibiotik dapat digunakan sebagai terapi infeksi

pada rinosinusitis kronik seperti amiksisilin, kombinasi amoksisilin

dengan asam klavulanat, flourokuinolon, dan sefalosporin generasi

terbaru sebagai lini pertama yang dapat digunakan selama 3-4

minggu untuk mendaparkan hasil yang adekuat (Hours & Hours,

2011). Sedangkan untuk terapi antibiotik jangka panjangnya dapat

digunakan golongan clarithromycin dan roxithromycin (Fokkens et

al., 2007). Golongan kortikosteroid juga dapat digunakan untuk

mengatasi gejala bersin, keluar lendir, hidung tersumbar, dan

hiposmia/anosmia. Baik oral maupun topikal keduanya sama-sama

bermanfaat untuk mengurangi aktivasi dari eosinofil dan produksi

sitokin kemotaktik pada mukosa nasal dan epitel polip yang dapat

menyebabkan alergi. Pilihan terapi kortikosteroid yang dapat

digunakan antara lain adalah kombinasi deksametason dan tramazolin,

fluticasone propionate, dan intrasinus budesonide (Fokkens et al.,

2007).

Selain terapi antibiotik dan glukokortikoid, antielukotrein seperti

montelukast dapat juga digunakan untuk terapi alergi pada pasien

rinosinusitis kronik. Nasal saline juga dapat digunakan untuk

membuang alergen dan sekret pada hidung serta mengurangi keluhan

postnasal drainage (Hours & Hours, 2011) Dekongestan berperan

penting sebagai terapi awal mendampingi antibiotik. Dekongestan oral


menstimulasi reseptor α-adrenergik dimukosa hidung dengan efek

vasokontriksi yang dapat mengurang keluhan sumbatan hidung,

meningkatkan diameter ostium dan meningkatkan ventilasi, golongan

dekongestan yang sering digunakan adalah pseudoefedrine dan

phenyl-propanolamine (Fokkens et al., 2007).

Jika rinosinusitis kronik tidak memberikan respon yang baik dengan

pengobatan medik yang adekuat dan optimal atau gejala-gejala dari

nasal polip tidak dapat teratasi dengan baik terapi pembedahan dapat

menjadi pilihan (Suh & Kennedy, 2011). Ada beberapa jenis terapi

pembedahan yang dapat digunakan mulai dari atrostomi meatus

inferior, Caldwell-Luc, trepanasi sinus frontal, dan Bedah Sinus

Endoskopi Fungsional (BSEF). Bedah Sinus Endoskopi Fungsional

(BSEF) merupakan kemajuan pesat dalam bedah sinus. Jenis operasi

ini lebih dipilih karena merupakan tindakan konservatif yang lebih

efektif dan fungsional. Keuntungan BSEF adalah dengan penggunaan

endoskop yang memiliki pencahayaan yang terang, sehingga lapangan

operasi lebih jelas dan rinci. Bila terdapat kelainan patologi

dironggarongga sinus, jaringan patologik dapat diangkat tanpa

melukai jaringan normal dan ostium sinus yang tersumbat diperlebar.

Dengan ini ventilasi sinus lancar secara alami, jaringan normal tetap

berfungsi dan kelainan didalam sinus maksila dan frontal dapat

teratasi (Fokkens et al., 2007).


2.1.8. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada rinosinusitis kronik antara lain

selulitis atau abses orbital, neuritis optik, trombosis sinus kavernosus,

meningitis, abses subdural, abses otak, dan osteomielitis pada tulang

frontal. Apabila pasien telah merasakan keluhan seperti adanya

pembengkakan atau sakit pada mata dan kepala, sering merasa

mengantuk dan bingung, perubahan penglihatan, tanda-tanda

gangguan neurologi dan gangguan kesadaran lainnya, pasien harus

segera dievaluasi (Edwards & Moorhouse, 2017)

2.2. Kualitas Hidup Penderita Rinosinusitis Kronik

Rinosinusitis kronik adalah penyakit inflamasi sistemik pada mukosa

paransal yang secara signifikan dapat menurunkan kualitas hidup

penderitanya. Rinosinusitis kronik sering berhubungan dengan beberapa

kondisi-kondisi komorbid seperti depresi, penurunan daya kognitif,

ansietas dan gangguan tidur. Rinosinusitis kronik menjadi perhatian

khusus bagi masyarakat dan para tenaga kesehatan karena dapat secara

langsung maupun tidak langsung menurunkan produktifitas penderitanya

sehingga kelihangan banyak hari-hari kerja dan sekolah (Campbell et al.,

2017).
Jika dibandingkan dengan penyakit kronik lain, orang yang menderita

rinosinusitis kronik secara signifikan mempunyai batasan yang lebih besar

dalam fungsi sosial daripada individu dengan penyakit jantung kongestif,

penyakit paru obstrutif kronik, angina ataupun penyakit punggung kronik.

Hal tersebut menjadikan rinosinusitis banyak berhubungan dengan gejala

depresi, meningkatnya frekuensi kunjungan ke psikiater, penggunaan

antidepresan dan obat pil tidur (Habib et al., 2015).

Saat ini penilaian penatalaksanaan rinosinusitis menyangkut kualitas hidup

terkait kesehatan menjadi sangat penting. Pengukuran kualitas hidup

terkait

kesehatan terhadap rinosinusitis terus dikembangkan yang ditandai dengan

banyaknya alat ukur yang telah di validasi antara lain nasal symptom

questionnare, Rhinosinusitis Outcome Measure (RSOM-31), Sinonasal

Outcome Test-16 (SNOT-16), SNOT-20, SNOT-22, Chronic Sinusitis

Survey (CSS), Rhinosinusitis Disability Index (RSDI), Rhinosinusitis

Symptom Inventory (RSI), Rhinosinusitis Quality of Life survey

(RhinoQoL) (Schalek, 2011).

2.3. Sino-Nasal Outcome Test 22 (SNOT-22)

SNOT-22 adalah salah satu instrument yang digunakan untuk menilai

kualitas hidup penderita rinosinusitis. SNOT-22 merupakan kuisioner yang

telah dimodifikasi dari kuisioner sebelumnya yaitu SNOT-20 dengan

menambahkan 2 item penilaian terkait dengan sumbatan hidung dan


penurunan daya kecap dan penciuman (Hospital, National, Nose, &

Hospital, 2009).

Kuisioner yang digunakan untuk menilai kualitas hidup telah banyak

dikembangkan untuk penyakit rinosinusitis baik akut maupun kronik. Dari

banyaknya kuisioner, Sino Nasal Outcome Test-22 (SNOT-22) memiliki

keuntungan yang lebih jika dibandingkan dengan kuisioner yang lain

karena dikombinasikan dengan gejala-gejala spesifik terkait hidung dan

sinus. Kuisioner Sino Nasal Outcome Test-22 (SNOT-22) terdiri atas 22

pertanyaan dengan rentang skor antara 0 sampai dengan 5 tergantung dari

derajat keparahan gejala. Sino Nasal Outcome Test-22 (SNOT-22) dibagi

atas 2 kategori pertanyaan dimana 10 pertanyaan berkaitan dengan gejala-

gejala rinologi, telinga dan wajah serta 12 pertanyaan lainnya berkaitan

dengan kualitas hidup seperti gangguan tidur dan gangguan psikologis

(Galitz & Halperin, 2016).

Kuisioner SNOT-22 sudah resmi divalidasi dan mudah untuk digunakan.

Kuisioner ini dapat digunakan sebagai fasilitas dalam praktek klinik

sehari-hari untuk menilai kualitas hidup pasien rinosinusitis kronik dan

SNOT-22 juga dapat membantu menilai derajat dan efek dari rinosinusitis

terhadap status kesehatan, kualitas hidup dan mengukur respon terapi yang

diberikan (Hospital et al., 2009).


2.4. Kerangka Penelitian

2.4.1. Kerangka Teori

Trauma Atresia koana Deviasi septum

Post operasi
Kelainan
anatomi
Jamur
Lingkungan Host

Fungi Kelainan
Infeksi hormonal
Parasit Infalamasi
Hipersensitivitas
Bakteri Alergi Irtitasi
Immunodefisiensi

Inflamasi Sinus
Paranasal
Obstruksi KOM

Rinosinusitis
Kronik

Kualitas
Hidup

Penurunan Disfungsi indra


Depresi Gangguan tidur
produktivitas penghidu

Gambar 2. Kerangka Teori


2.4.2. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen


Rinosinusitis kronik Kualitas Hidup

Gambar 3. Kerangka Konsep

2.5. Hipotesis

H0 :Tidak terdapat perbedaan skor kualitas hidup SNOT-22 antara

penderita rinosinusitis kronik sebelum dan sesudah pembedahan.

H1 :Terdapat perbedaan skor kualitas hidup SNOT-22 antara

penderita rinosinusitis kronik sebelum dan sesudah

pembedahan.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian dilakukan secara observasional dengan rancangan cross sectional

dimana pengumpulan data dilakukan dengan cara membagikan kuisoner Sino

Nasal Outcome Test-22 (SNOT-22) pada sampel penelitian yang diperoleh

dari data sekunder berupa rekam medis untuk mengetahui perbedaan kualitas

hidup antara sebelum dan sesudah pembedahan.

3.2. Waku dan Lokasi Penelitian

Waktu : April 2017-Juli 2017


Lokasi : RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Kota Bandar Lampung

3.3. Subjek Penelitian

3.3.1. Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah penderita rinosinusitis kronik di

RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Kota Bandar Lampung.

3.3.2. Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah penderita rinosinusitis kronik di RSUD Dr.

H.Abdul Moeloek Kota Bandar Lampung yang memenuhi kriteria

inklusi.Kriteria Inklusi inklusi pada penelitian ini adalah penderita

yang memenuhi kriteria mayor dan minor berdasarkan anamnesis dan

pemeriksaan fisik. Kriteria Ekslusi pada penelitian ini adalah penderita

dengan keganasan pada kepala leher dan penderita yang tidak bersedia

menjadi sampel penelitian.

3.3.3. Besar Sampel

3.3.4. Teknik Sampling

Teknik pengambialan sampel yang digunakan adalah dalam penelitian

ini adalah consecutive sampling. Pada consecutive, semua subjek yang

datang dan memenuhi kriteria penelitian dimasukkan dalam penelitian

sampai jumlah subjek yang diperlukan tepenuhi.


3.4. Identifikasi Variabel Penelitian

3.4.1. Variabel Terikat

Variabel terikat pada penelitian ini adalah rinosinusitis


3.4.2. Variabel Bebas

Variabel bebas pada penelitian ini adalah kualitas hidup

3.5. Defenisi Operasional Variabel Penelitian

1. Rinosinusitis adalah proses inflamasi yang mengenai mukosa hidung

dan sinus paranasal. Diagnosis rinosinusitis ditegakkan apabila

dijumpai adanya 2 gejala mayor atau satu gejala mayor disertai dengan

2 gejala minor. Kriteria mayor antara lain nyeri pada wajah, hidung

tersumbat, hidung berair atau sekret purulen, hiposmia atau anosmia,

dan demam pada kondisi akut. Kriteria minor antara lain nyeri kepala,

demam, halitosis, kelelahan, nyeri gigi, batuk dan nyeri atau rasa penuh

pada telinga. Rinosinusitis dikatakan akut bila gejala tersebut terjadi 4

minggu atau kurang, subakut bila gejala terjadi 4-12 minggu dan kronik

bila gejala terjadi lebih dari 12 minggu.

2. Kualitas hidup adalah komponen penilaian terhadap kesehatan, dan

kualitas hidup yang dipengaruhi oleh kesehatan yang terdiri dari aspek

problem fisik, keterbatasan fungsional dan emosional. Variabel ini

diukur menggunakan kuisioner Sino Nasal Outcome Test-22 (SNOT-

22). Skala variabel yang didapatkan berupa skala numerik


3.6. Alat Penelitian

1. Data sekunder berupa rekam medik penderita rinosinusitis kronik yang

telah menjalani terapi pembedahan di pembedahan di RSUD Dr. H.

Abdul Moeloek Kota Bandar Lampung.

2. Formulir persetujuan menjadi sampel penelitian (inform consent)

3. Lembar kuisoner Sino Nasal Outcome Test-22 (SNOT-22) yang

diterjamahkan ke bahasa Indonesia.

3.7. Cara Kerja

Pada penelitian ini, sumber data diambil menggunakan data primer dan

sekunder yang didapatkan dari rekam medis yang meliputi:

a. Pengajuan dan penilaian Ethical Clearancea oleh komisi etik penelitian

FK Unila

b. Pengurusan izin penelitian di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar

Lampung

c. Mendapatkan izin penelitian di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar

Lampung

d. Menjelaskan tujuan penelitian kepada calon responden

e. Meminta kesediaan calon responden untuk menjadi sampel penelitian

melalui pengisian kertas informed consent

f. Melakukan observasi dengan memberikan 2 kuisioner kepada pasien

dimana kuisioner pertama diisi berdasarkan keadaan dimana subjek belum

menjalani terapi pembedahan dan kuisioner kedua disii berdasarkan

keadaan dimana subjek telah menjalani terapi pembedahan rinosinusitis

kronik tanpa memandang jenis terapi pembedahan yang diberikan


g. Setelah mendapatkan jawaban dari responden kemudian dilakukan

pengolahan dan analisis data.

h. Membuat kesimpulan

3.8. Alur Penelitian

Kriteria Inklusi
dan Eksklusi

Sampel

Kuisioner
SNOT-22
Sebelum terapi Setelah terapi
pembedahan pembedahan
Analisais data
Hasil
3.9. Teknik Analisis Data

Pada penelitian ini, dilakukan analisis univariat dan bivariat. Analisis

univariat dilakukan untuk mengetahui karakteristik variabel bebas. Analisis

bivariat dilakukan untuk menilai tingkat perbedaan antara variabel bebas dan

terikat. Distribusi data normal dan homogen, maka digunakan uji analisis

parametrik t test independent.

3.10. Etika Penelitian

Anda mungkin juga menyukai