Disusun oleh :
Ibnu Adnan Cahya
1800003152
1.5.2 Kedwibahasaan
Weinrich (dalam Padmadewi, Merlyna, dan Saputra, 2014: 52)
mengatakan kedwibahasaan adalah fenomena bahasa di mana seseorang atau
sekelompok orang memiliki kemampuan untuk menggunakan dua bahasa dalam
berkomunikasi.
Nababan (1991: 32) menjelaskan bahwa campur kode adalah suatu keadaan
ketika orang mencampurkan dua bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindakan
berbahasa. Di Indonesia, campur kode ini sering sekali terdapat dalam keadaan orang
berbincang-bincang; yang dicampur ialah bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Jika
yang berbincang-bincang itu orang yang “terpelajar”, kita dapat juga melihat campur
kode antara bahasa Indonesia (atau bahasa daerah) dengan bahasa asing.
Ciri yang menonjol dalam campur kode ini ialah kesantaian atau situasi
informal. Dalam situasi berbahasa yang formal, jarang terdapat campur kode
(Nababan 1991: 32). Suwito (1983: 76) membedakan campur kode menjadi dua
golongan, yaitu campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasi-
variasinya atau campur kode ke dalam (inner code mixing) dan campur kode yang
bersumber dari bahasa asing atau campur kode ke luar (outer code mixing).
Secara garis besar, persamaan antara alih kode dan campur kode adalah
fenomena yang menggunakan dua bahasa atau lebih. Yang membedakannya adalah
alih kode diartikan sebagai peristiwa peralihan penggunaan bahasa atau ragam bahasa
yang disebabkan karena kehadiran orang ketiga, sedangkan campur kode adalah
peristiwa percampuran dua kode bahasa atau ragam bahasa yang berbeda.
Interferensi dan Integrasi juga terjadi sebagai akibat adanya penggunaan dua
bahasa atau lebih dalam masyarakat tutur yang multilingual. Dalam peristiwa
interferensi digunakan unsur-unsur bahasa lain dalam menggunakan suatu bahasa,
yang dianggap sebagai suatu kesalahan karena menyimpang dari kaidah atau aturan
bahasa yang digunakan. Kalau dilacak dari penyebab terjadinya interferensi ini adalah
terpulang pada kemampuan si penutur dalam menggunakan bahasa tertentu sehingga
dia dipengaruhi oleh bahasa lain. Biasanya interferensi ini terjadi dalam
menggunakan bahasa kedua, dan yang berinterferensi ke dalam bahasa kedua itu
adalah bahasa pertama atau bahasa ibu (Chaer, 2014: 120).
d. Mitra Bicara
Mitra bicara dapat berupa individu atau kelompok. Dalam masyarakat bilingual,
seorang pembicara yang mula-mula menggunakan satu bahasa dapat melakukan
campur kode menggunakan bahasa lain dengan mitra bicaranya yang memiliki latar
belakang daerah yang sama.
f. Modus Pembicaraan
Modus pembicaraan merupakan sarana yang digunakan untuk berbicara. Modus
pembicaraan dibagi menjadi dua golongan, yaitu modus lisan dan modus tulis. Modus
lisan lebih banyak menggunakan ragam nonformal (tatap muka langsung, melalui
telepon, audio visual) dibandingkan dengan modus tulis yang biasanya menggunakan
ragam formal (surat dinas, surat kabar, buku ilmiah).
g. Topik
Topik digolongkan menjadi dua macam, yaitu topik ilmiah dan topik nonilmiah.
Topik ilmiah disampaikan dengan menggunakan ragam formal. Topik nonilmiah
disampaikan dengan “bebas” dan “santai” dengan menggunakan ragam nonformal.
k. Pokok Pembicaraan
Pokok pembicaraan dibagi menjadi dua golongan, yaitu pokok pembicaraan yang
bersifat formal biasanya diungkapkan dengan bahasa baku dan pokok pembicaraan
yang bersifat informal biasanya disampaikan dengan bahasa tak baku.
Suwito (1983: 77) membagi penyebab campur kode menjadi tiga faktor, di antaranya
adalah:
a.Identifikasi Peranan
Ukuran untuk identifikasi peranan adalah sosial, registral, dan edukasional.
b.Identifikasi Ragam
Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa di mana seorang penutur melakukan
campur kode yang akan menempatkan dia di dalam hierarki status sosialnya.
c.Keinginan untuk Menjelaskan dan Menafsirkan
Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan, nampak karena campur kode
juga menandai sikap dan hubungannya terhadap orang lain dan sikap dan
hubungan orang lain terhadapnya.
Ketiganya penyebab campur kode tersebut saling bergantung dan tidak jarang
bertumpang tindih.
Pada bab ini, peneliti menyajikan tentang metode penelitian ini. Metode
penelitian merupakan satu kesatuan penyajian dengan bab lain dalam penelitian untuk
mengetahui jalan penelitian yang akan berlangsung pada penelitian alih kode dan
campur kode pada video YouTube “Nihongo Mantappu”. Penyajian pada metode
penelitian ini memberikan penjelasan tentang jenis penelitian, lokasi penelitian,
subjek penelitian, pelaksanaan penelitian, data dan sumber data, metode dan teknik
pengumpulan data, metode dan teknik analisis data, serta teknik penyajian data.
Berikut adalah penyajian dari bagian metode penelitian ini:
3.5.1 Data
Data adalah hal penting dalam penelitian karena data merupakan objek
penelitian yang akan dianalisis lalu disajikan menjadi laporan penelitian itu
sendiri. Dalam penelitian bahasa, Sudaryanto (dalam Mahsun 2014:18)
memberikan batasan bahwa data merupakan bahan jadi untuk dianalisis,
bahan jadi tersebut diperoleh dari pemilihan macam tuturan yang kiranya
benar-benar dibutuhkan. Data penelitian tidak hanya berupa objek penelitian
saja melainkan konteks pula yang mendukung atau yang terdapat dalam objek
penelitian tersebut karena objek penelitian dan konteks memiliki hubungan
yang saling berkaitan.
Pada penelitian ini, data yang diperoleh adalah berupa tuturan yang
mengandung fenomena bahasa alih kode dan campur kode serta konteks yang
mengiringinya pada video YouTube Nihongo Mantappu. Tuturan lisan yang
dipilih sesuai dengan kebutuhan nantinya akan ditranskripsikan untuk
dianalisis data. Adapun batasan data-data yang akan dianalisis. Batasan data-
data yang akan dianalisis pada fenomena alih kode adalah ranah sintaksis
klausa dan kalimat sedangkan batasan data-data campur kode adalah ranah
sintaksis kata dan frasa.