Anda di halaman 1dari 3

Manajemen

Dari Faust ke Mephisto

Oleh : M.IDRUS TABA

"da steh' ich nun, ich armer tor! Und binso klug alswie zuvor" (nah, di sinilah aku, si goblok yang
malang! Tak lebih bijak dari sebelumnya.Dr. Faust).

Peradangan Dr Faust, seorang ilmuwan yang menggadaikan jiwanya pada Mephisto, si Iblis,demi
memperoleh kemasyhuran ilmu pengetahuan dan kesenangan duniawi, menyentak kesadaran kita,
bahwa drama karya Johann Wolfgang Von Goethe (1749-1832),dua abad lalu itu, masih "mengutuk" kita
hingga hari ini di 2020.

Para "peragawan/peragawati" berbusana oranye KPK, atau para perampok BUMN,

Contoh manusia yang lebih memilih berdamai dengan Mephisto, karenaincentiveyangdita-

warkansangIblis, begitumenggiurkannyake-

timbang risiko fisik dan nistanya.

Incentive, kata ekonom, adalah daya do-

rongseseorangmengambilkeputusan, hing-

gasenekatapapun. Seorangkoruptor, nekat

merampok uang negara, karena dia meni-

lai insentif merampok lebih besar dari pada

disinsentif hukuman penjaranya.

Di sisi lain, seorang bisa malas beker-

ja, jika tingkat pajak tinggi, karena sema-

kintinggipotongan atas honormereka. Itu

berarti insentif yang diperoleh dari tam-

bahan jam kerja lebih sedikit.

Dalam hukum dasar ilmu ekonomi di-

katakan, manusia akan merespons setiap

potensi ganjaran. Kata Nikita Khrushchev,

mantan Perdana Menteri Uni Sovyet: "apa-

pun sebutannya, insentif adalah apa yang


membuat orang bekerja lebih keras".

Maka, ketika sejumlah orang mati-mati-

anmenjualasetnyauntukmasukcaleg, atau

jadi bupati, gubernur hingga presiden, me-

nurut teori ini, bukan karena rasa nasional-

isme, kenegarawanan, atau kepedualian

atas nasib bangsanya yang terpuruk, tetapi

karena sejumlah "menu insentif"

saji apik di meja kekuasaan ketika perhela-

tan dimenangkan. Seorangmontir, bekerja,

bukan karena khawatir keselamatan orang

yang ter-

dijalan, atau warung makan dijajakan kare-

nakasihan orang kelaparan. Lalupramuga-

ri senyum manis, karena sayang hingga ja-

tuh hati pada Anda.

Semuanya karena ada janji insentif di

balik itu. Inilah dasar dari teori klasiknya

Adam Smith. Tetapi tidak semua insentif

bentuknya materil. Mungkin Andameno-

lak kerja hingga larut malam walau gaji-

nya besar, karena lebih memilih "insen-

tif" kumpul dengan keluarga.

Kalau ekonomi lagi macet, pemerintah

akan memotong pajak untuk memberi in-

sentif pada warga agar terus berbelanja, se-

hingga distorsiekonomibisakembaliterbu-

ka. Pada sisi lain, perlakuan disinsentif, juga

diterapkanterhadapmerekayang"melang-
gar" hukum, misalnya: denda terhadap pe-

langgaran lalu lintas, keterlambatan bayar

listrik, pajak dan sebagainya.

Namun di sini soalnya, ketika insentif

dan disinsentif tidak seimbang. Curi sera-

tus miliar, dihukum tiga tahun.

"Petik" semangka tetangga seharga lima

ribu perak, ketok palu enam bulan. Lain hal-

nyadiJepang. Ketikapejabatnyaketahuanko-

rup, dia mundur atau ritual hara-kiri, karena

betapaberatnyasocialdisinsentifyangditang-

gungnya. Malu,gagal, danrasanistatakterperi.

Jadi, kalau mau mengurangi "keberani-

an" koruptor, tingkatkan daya beban disin-

sentifnya. Misalnya, pemiskinan hingga re-

kening bersaldo nol. Tanpa itu, maka kita

hanya akan terus menyaksikan lahirnya Dr

Faust, yang bersekutu dengan Mephistop-

heles, si Iblis, demi insentif: uang, jabatan,

kekuasaan, kemasyhuran.Dankita tahu, ba-

gaimanasebuahkaumdipimpinDrFaust.(*)

Anda mungkin juga menyukai