Anda di halaman 1dari 15

Tugas baca 5 : Tatalaksana Spasme Infantile

Kasus : Spasme Infantile

Spasme infantil (SI) merupakan salah satu bentuk sindrom epilepsi pada bayi
yang bersifat katastropik, terjadi antara usia 3 bulan sampai 1 tahun. Secara klinis SI
ditandai dengan kejang berupa spasme simetris pada leher, batang tubuh dan
ekstremitas secara mendadak dan berlangsung singkat. Beberapa istilah yang sering
digunakan yaitu Salaam spasmsatauJackknife seizures. Hal ini pertama kali
dikemukakan oleh West pada tahun 1841. SI merupakan bagian dari suatu bentuk
evolusi penyakit dan dapat merupakan kelanjutan dari Early Infantile Epileptic
Encephalopathy (EIEE) atau disebut sindrom Ohtahara yang terjadi pada umur 0-3
bulan, yang kemudian berkembang menjadi sindrom west pada umur 3 bulan sampai
1 tahun dan selanjutnya menjadi sindrom Lennox-Gastaut setelah berumur > 1 tahun.
Sesuai dengan klasifikasi ILAE 1989, berdasarkan etiologinya, SI dapat dibagi
menjadi 3 yaitu simptomatis, kriptogenik dan idiopatik. Saat ini kalsifikasi dibagi
menjadi 2 yakni idiopatik dan simptomatis, yang mana kriptogenik dikelompokkan
dalam simptomatik. Sebagian besar SI termasuk kategori simptomatik.

Manifestasi klinis yang timbul sangat bervariasi, tergantung penyakit yang


mendasarinya.  Kejang biasanya sulit dikontrol dan sebanyak 80% akan berkembang
menjadi retardasi mental yang berat. Tipe spasme dapat berupafleksor, ekstensor atau
kombinasi keduanya. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
fisik dan  penunjang. Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) yang klasik ditemukan
adanya gambaran patonogmonis berupa hipsaritmia.5 Pemberian obat-obatan
antiepilepsi (OAE) standar sebagian besar tidak efektif dan tidak responsif. Obat anti
epilepsi lini pertama yang dapat dicoba digunakan adalah nitrazepam dan asam
valproat tetapi hasilnya kurang memuaskan.9 Pemberian steroid oral (prednisone atau
deksametason) dilaporkan sedikit membantu memperbaiki segala klinis tetapi tidak
optimal. Sampai saat ini obat yang terpilih (drug of choise) adalah ACTH
(adrenocorticotropin hormone, sinactenR) yang dapat mengurangi kejang dan
memperbaiki gambaran EEG secara bermakna dengan angka keberhasilan rata-rata
70%, namun penggunaan ACTH di Indonesia sangat jarang.
Prognosis pada umumnya buruk dan berhubungan dengan penyebabnya. SI
memberikan implikasi segera dan jangka panjang. Setelah spasme menghilang, anak
akan mengalami retardasi mental sebesar 70-90%, dengan 20-50% diantaranya akan
menjadi sindrom Lennox-Gastaut.9 Akibat buruknya prognosis  SI ini, maka
diperlukan diagnosis yang cepat dan terapi yang tepat. Namun, seringkali terjadi
kesalahan dalam menegakkan diagnosis SI, sekitar 15% kasus didiagnosis sebagai
kolik infantile, sedangkan kesalahan diagnosis yang lainnya yaitu kaget, refluks
gastroesofagus atau keliru dengan refleks Moro.

Faktor etiologi

Berdasarkan kemungkinan penyebab, spasme infantil diklasifikasikan menjadi


3 yaitu:4

1. Spasme infantil simptomatis


2. Spasme infantil kriptogenik
3. Spasme infantil idiopatik

PENATALAKSANAAN

Tujuan utama pengobatan pada SI adalah meningkatkan kualitas hidup dengan


mengontrol serangan spasme atau kejang, meminimalkan efek samping akibat
pengobatan serta meminimalkan  jumlah pemberian obat-obatan. Sebagian besar SI
resisten terhadap obat antiepilepsi standar. Pengobatan ditujukan terhadap penyakit
dasar dan mengatasi spasmenya. Spasme  diatasi dengan pemberian medikamentosa
dan diet ketogenik. Medikamentosa terdiri dari pengobatan lini pertama yaitu ACTH,
prednison, vigabatrin, dan piridoksin (vitamin B6) sedangkan benzodiazepin, asam
valproat, lamotrigin, topiramat, zonisamide dan diet ketogenik digunakan sebagai obat
pilihan lini kedua. Walaupun demikian, sayangnya tidak ada satu obat pun yang dapat
memberikan hasil yang memuaskan dan kurangnya konsensus tentang pemilihan obat
untuk pengobatan SI.

1. 1.      Pengobatan terhadap penyakit dasar

Pada kasus simptomatis, selain mengatasi serangan spasme, pengobatan juga harus
ditujukan terhadap penyakit yang mendasarinya. Pengobatan penyakit dasar dapat
berupa medikamentosa ataupun tindakan pembedahan. Vigabatrin merupakan obat
pilihan utama yang telah terbukti efektif dan sudah ada konsensus tentang
tuberosklerosis yang diterbitkan pada tahun 2000. Pada penyakit Sturge Weber,
penanganan tergantung dari manifestasi klinis. Fisioterapi dilakukan apabila ada
kelumpuhan sedangkan wajah dapat diberikan krim.

Tindakan pembedahan pada pasien SI dilakukan apabila terdapat lesi fokal pada otak
yang diidentifikasi dengan pemeriksaan teknik imaging. Lokasi fokus
epileptiptogenik sebelum dilakukan tindakan pembedahan diidentifikasi dengan
menggunakan video-EEG dan PET. Studi melaporkan bahwa dengan tindakan
pembedahan pada lesi otak seperti tumor atau kista pada otak  terbukti dapat
mengatasi spasme. Reseksi lobus yang terlibat bahkan mungkin hemisferektomi.
Hemiferektomi dapat dipertimbangkan pada bayi usia < 1 tahun dengan serangan
spasme yang tak terkontrol.

1. Mengatasi spasme

Medikamentosa

1. a.      ACTH

Terapi hormonal dengan menggunakan ACTH telah dikenal sejak tahun 1958.
Efektivitas pemberian ACTH  yaitu dapat  menghentikan kejang, menghilangkan
hipsaritmia dan memperbaiki fungsi kognitif.ACTH terutama digunakan di Amerika
Serikat dan di Inggris. Survei di Amerika Serikat mendapatkan bahwa sebesar 88%
ahli saraf anak menggunakan ACTH sebagai pilihan utama SI.  Di Inggris,
penggunaan ACTH atau vigabatrin sebagai pilihan pertama yaitu sebanyak lebih dari
80%.  Di Eropa dan di Jepang, ACTH tidak digunakan sebagai obat pilihan utama SI,
sedangkan di Indonesia, obat ini jarang digunakan karena terbatasnya persediaan. 5,21
Mekanisme kerja ACTH yaitu mengikat reseptor pasangan protein G pada kortek
adrenal dan meningkatkan C-Adenosin Mono Phospat (C-AMP). Stimulasi pada
kortek adrenal menyebabkan diproduksinya glukokortikoid yaitu kortikosteroid dan
mengontrol sekresi kortisol. ACTH diduga mempunyai efek langsung terhadap
susunan saraf pusat, mungkin sebagai efek tambahan akibat pelepasan kortisol atau
merupakan efek yang terpisah. Analog ACTH yang tidak mempunyai efek
steroidogenik, tidak efektif untuk SI. Selain itu, ACTH diduga dapat mempercepat
pertumbuhan mielin, merangsang sintesis DNA dan RNA serta menginduksi enzim-
enzim otak sehingga dapat memperpendek spasme.  Permasalahan pemberian ACTH
yaitu mengenai dosis, lama pemberian dan timbul efek samping yang serius.

Dosis pemberian ACTH masih kontroversi, walaupun telah digunakan lebih dari 40
tahun.Rekomendasi yang dikeluarkan oleh American Academy of Neurology and the
Child Neurology Society (2004)  bahwa ACTH efektif digunakan untuk terapi jangka
pendek SI dan perbaikan hipsaritmia (level B) tetapi  tidak terdapat bukti cukup yang
dipakai untuk merekomendasikan dosis optimum dan lama terapi ACTH (level U).
Beberapa jadwal terapi ACTH telah dipublikasikan, namun tidak ada satupun
protokol yang dikeluarkan untuk penggunaan ACTH, sehingga terdapat berbagai
variasi penggunaan kortikotropin alami atau sintetis oleh banyak peneliti baik dalam
hal dosis, lama pemberian ACTH.Terapi ACTH pada umumnyadiberikan selama 2-6
minggu dengan dosis  20-50 unit, disuntikan intramuskuler 3 kali seminggu (2 hari
sekali). Setelah 1-2 minggu terapi, lakukan EEG dan bila EEG normal, ACTH
dihentikan. Terapi OAE selanjutnya tergantung tipe kejang yang masih ada.
Kortikotropin atau ACTH alamiah mempunyai masa kerja 12-18 jam, sedangkan
derivat sintetiknya yaitu Zn tetracosactrin mempunyai masa kerja 24-48 jam. 1 mg
tetracosactrin setara dengan 100 unit kortikotropin. Di Jepang menggunakan dosis 3-
14 IU/hari, Finlandia 18-36 IU/hari, dan Amerika 80 IU/hari. 5 Rentang dosis ACTH
yaitu antara 0,2 IU/kg sampai 150 IU/m2 luas permukaan tubuh diberikan secara
intramuskuler. ACTH dosis tinggi yaitu 120-160 IU/hari dengan lama pemberian 1
sampai 6 minggu dan total lama pemberian 4-12 minggu, sedangkan ACTH dosis
rendah apabila dosis ACTH yang digunakan 20-40 IU/hari. Tidak didapatkan
perbedaan yang jelas antara pemberian ACTH dosis tinggi dan rendah. 10,19,21
Sebaiknya dosis yangdigunakan adalah dosis yang rendah, dimulai dari dosis 40
IU/hari IM selama minimal 1 bulan (bentuk nonsintetik ACTH gel) dan kemudian
lakukan tapering 10 IU setiap minggu. Apabila serangan tidak berkurang dalam 2
minggu, maka dosis ACTH dapat dinaikkan 10 IU setiap minggu sampai maksimal
dosis 80 IU. Jika serangan masih ada, dapat diberikan asam valproat dengan dosis 40-
100 mg/kg/hari atau nitrazepam 0,6-1,0 mg/kg/hari atau klonazepam 0,1-0,3
mg/kg/hari. Dosis pemberian ACTH dapat dinaikkan kembali sampai dosis yang
dapat menghentikan serangan apabila terjadi serangan saat dilakukan penurunan
dosis. Setelah serangan teratasi, dosis ACTH tersebut dipertahankan selama minimal
1 bulan kemudian dosis diturunkan kembali.10 Neurologis anak di Jepang lebih
banyak dan lebih menyukai menggunakan dosis rendah dengan jadwal pemberian
yaitu disuntikkan setiap hari selama  2 minggu kemudian diturunkan selama 6 minggu
(cara penurunan dengan memberikan ACTH setiap 2 hari sekali selama 2 minggu,
diikuti dengan 2 kali seminggu selama 2 minggu, kemudian 1 minggu sekali selama 2
minggu).21 Secara umum, ACTH tidak boleh diberikan lebih dari 40-60 hari. Hasil
studi retrospektif tentang analisis respon peningkatan dosis ACTH, didapatkan 
kesimpulan bahwa dari 9 pasien, kejang berhenti dengan pemberian ACTH dosis 0,6
IU/kg/hari (6 unit untuk bayi <10 kg) dan dengan dosis 0,8 IU/kg/hari dapat
menghilangkan gambaran hipsaritmia.23 Dosis ACTH-Z sintetik yang sering dipakai di
Jepang adalah 0,0125 mg/kg/hari sedangkan institusi lainnya menggunakan dosis
0,015 mg/kg/hari.
Angka keberhasilan ACTH rata-rata sebesar 70%.22  Banyak studi melaporkan angka
keberhasilan antara 30-100%  dengan interval pemberian selama 8-12  hari.Ada pula
yang melaporkan bahwa angka keberhasilan bervariasi antara 50-90%. Vigevano dan
Cilio (1997) mendapatkan angka keberhasilan sebesar 81% dibandingkan dengan
vigabatrin sebesar 46%. Persentase keberhasilan bervariasi karena adanya perbedaan
etiologi (respon lebih baik pada kasus kriptogenik), dosis, lama pemberian dan efek
samping ACTH. ACTH lebih efektif diberikan pada kasus dengan perinatal hipoksia
atau iskemik.25 American Academy of Neurology and the Child Neurology Society
(2004) melaporkan respon ACTH  berdasarkan klas. Pada studi klas I, didapatkan
angka keberhasilan ACTH dosis tinggi mencapai 87% sedangkan studi klas II, angka
keberhasilan dosis rendah dan dalam waktu yang singkat  mencapai 42%. Tidak
didapatkan adanya hubungan antara dosis dan respon terapi ACTH pada studi klas III.
Angka kekambuhan sebesar 15% pada studi klas I, 33% pada studi klas II dan sebesar
19-24% pada studi klas III.
Kejadian efek samping pemberian ACTH cukup tinggi  seperti imunosupresi,
hipertensi, iritabilitas, meningkatnya nafsu makan, redistribusi lemak tubuh sehingga
wajah dan leher tampak berlemak sedangkan kaki dan tangan mengecil, obesitas,
gangguan elektrolit, kadar gula darah meningkat.  Kejadian hipertensi dilaporkan
sebesar 0-37%, iritabilitas sebesar 37-100%, infeksi sebesar 14% dan atrofi serebri
sebesar 62%. Komplikasi yang timbul tergantung dari dosis, lama pemberian dan
sensitivitas individu terhadap ACTH. Imunosupresi dapat menyebabkan infeksi berat
dan serius dan merupakan penyebab kematian tersering selama terapi ACTH.
Obesitas dan iritabilitas merupakan efek samping yang sering terjadi. Hipokalemia
merupakan gangguan elektrolit yang sering dijumpai. Vigevano dan Cilio (1997)
mendapatkan kejadian efek samping pemberian ACTH mencapai 37% berupa
hipertensi, iritabilitas dan  mengantuk.25 Kortikotropin sintetik yang diberikan pada
214 pasien Finnish antara tahun 1960-1978 dilaporkan 7 orang pasien meninggal
akibat pneumonia atau sepsis dan perdarahan intraventrikular masif. Studi di Jepang
pada 138 pasien yang diberikan kortikotropin sintetik didapatkan sebanyak 7%
mengalami infeksi, hipertensi atau perdarahan intrakranial. PadaSI simptomatik
sebaiknya tidak diberikan terapi ACTH, terlebih lagi penderita dengan retardasi berat,
penyakit kongenital, atau penyakit infeksi berat lainnya karena sebagian besar akan
kambuh selama pemberian ACTH. Pemberian ACTH atau kortikosteroid pada
kelompok simptomatik dengan cacat otak berat tidak banyak manfaatnya. Efek
samping dapat diminimalkan apabila dosis diturunkan dengan cepat dan secara
bertahap. Akibat adanya potensial terjadinya efek samping yang serius dengan
pemberian ACTH, sehingga pengunaan ACTH menyebabkan mortalitas dan morbitas
yang tinggi.

1. Steroid

Kortikosteroid oral lebih disukai oleh beberapa penulis yaitu dengan memberikan
prednison 2 mg/kg/hari atau deksametason 0,3 mg/kgbb/hari. Pemberian ACTH atau
prednison merupakan all or non phenomena dan biasanya memberikan hasil yang
lebih baik pada tipe kriptogenik.10 Mekanisme prednison dalam mengontrol spasme
belum dimengerti. Dosis permulaan yaitu 2 mg/kg/hari selama 4 minggu. Apabila
tidak ada respon, dosis yang sama dilanjutkan selama 2 minggu lagi, selama 12
minggu berikutnya dosis prednison dikurangi menjadi setengahnya (1mg/kg/hari)
kemudian dihentikan secara bertahap selama 4 minggu.

Penelitian di Los Angeles tahun 1996 mendapatkan sebanyak 13 dari 15 pasien


spasme infantil (86,6%) berespon baik secara klinis dan gambaran EEG setelah
diberikan terapi ACTH dosis tinggi (150 UI/m2/hari) selama 2 minggu sedangkan
hanya 4 dari 14 pasien (28,6%) yang berespon pada kelompok yang diberikan
prednison (2 mg/kg/hari) selama 2 minggu. Disimpulkan bahwa efektivitas ACTH
dosis tinggi  lebih superior. Secara teori, ACTH terutama dosis tinggi lebih efektif
dalam menekan ekspresi gen CRH dibandingkan dengan prednison. Sebelumnya,
penelitian uji klinis buta ganda didapatkan efikasi yang sama antara pemberian
prednison dan ACTH dengan dosis 20-30 UI yang diberikan dalam waktu yang
singkat.23  American Academy of Neurology and the Child Neurology Society (2004)
melaporkan bahwa pada studi klas II, tidak terdapat perbedaan efikasi secara
bermakna antara ACTH dosis rendah dengan prednison. Pada studi klas IV, ACTH
dosis tinggi lebih superior dengan respon 100% menghilangkan spasme dibandingkan
dengan prednison yang hanya berespon sebesar 59%. Sebesar 97% gambaran EEG
menjadi normal pada pemberian ACTH sedangkan pada pemberian prednison hanya
50%.

Efek samping pemberian steroid yang dilaporkan hampir sama dengan pemberian
ACTH. Obesitas, retardasi pertumbuhan, timbulnya jerawat dan iritabilitas merupakan
efek samping yang ringan sedangkan gagal jantung kongestif, imunosupresi,
hipertensi, perdarahan intraserebral, atropi otak transien, gangguan elektrolit dan
alkalosis hipokalemik merupakan efek samping yang berat.

1. Vigabatrin

Vigabatrin (g-vinyl GABA) merupakan penghambat  ireversibel aminotransferase


(GABA-T), enzim yang dapat mendegradasi GABA sehingga kadar GABA dalam
otak meningkat.  Obat ini digunakan secara luas di Eropa sebagai obat lini pertama
untuk SI tapi tidak disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) di Amerika
Serikat. Vigabatrin terutama efektif bila digunakan pada pasien tuberosklerosis
kompleks  dengan angka keberhasilan mencapai 70%.26 Waktu paruh kira-kira 6-8
jam. Pada studi Dosis yang adekuat belum didefinisikan, rentang dosis yang dipakai
yaitu 18-200 mg/kg/hari. Dosis 100-150 mg/kg/hari lebih sering efektif dan dapat
ditoleransi dengan multisenter sebanyak 135 anak dengan epilepsi refrakter, 13
diantaranya adalah sindrom West, didapatkan tidak adanya efek samping  dengan
pemberian vigabatrin dosis lebih dari 100 mg/kg/hari.

Respon pemberian vigabatrin pada 192 pasien SI didapatkan sebesar 69,4% spasme
dapat ditekan pada kasus kriptogenik dan sebesar 59,7% kasus simptomatik. Pada
tuberosklerosis komplek dapat mengontrol kejang sebesar 96% (27 dari 28 pasien).
Sebanyak 82% kejang terkontrol setelah 7 hari pengobatan (median 4 hari, rata-rata
5,7 hari, dan rentang 0,5-7 hari). Penelitian tentang efikasi vigabatrin dengan
hidrokortison pada tuberosklerosis tahun 1995 didapatkan bahwa vigabatrin lebih
efektif mengatasi kejang yaitu sebesar 100% (11 dari 11 pasien)  dibandingkan
dengan pemberian hidrokortison yang hanya sebesar 36% (4 dari 11 pasien).
Fejerman, dkk (2000) melaporkan bahwa vigabatrin dapat mengatasi kejang sebesar
61,8% pada kasus kriptogenik dan sebesar 29,2% pada kasus simptomatik. Jumlah
kejang rata-rata berkurang setelah 6,7 hari dengan rentang 1-12 hari dan rata-rata
dosis 150 mg/kg/hari. Vigevano dan Cilio (1997) melakukan penelitian prospektif
yang membandingkan vigabatrin dengan ACTH sebagai obat lini pertama SI.  Angka
keberhasilan pemberian vigabatrin sebesar 48%, lebih rendah dibandingkan dengan
pemberian ACTH (81%). Tidak terdapat perbedaan pada kasus kriptogenik. Angka
kekambuhan didapatkan lebih tinggi pada pemberian ACTH. Respon pengobatan
vigabatrin sangat cepat yaitu dalam waktu 3 hari pada 7 kasus dan 8 hari pada 10
kasus, namun efek pada EEG sangat lambat dibandingkan ACTH. Karena secara
umum ACTH tidak boleh diberikan lebih dari 40-60 hari maka vigabatrin diberikan
pada kasus  relaps setelah pemberian ACTH.     American Academy of Neurology and
the Child Neurology Society (2004) mengeluarkan rekomendasi bahwa vigabatrin
mungkin efektif untuk pengobatan jangka pendek SI (level C, klas III dan IV). 19 Efek
samping yang dilaporkan yaitu efek sedasi 9-24% kasus, iritabilitas 4-9%, insomnia
dan hipotonia pada 9% kasus. Penyempitan lapangan pandang merupakan efek
samping yang paling banyak dilaporkan secara bermakna yaitu sebesar 10-40% pasien
dewasa. Efek ini juga dilaporkan terjadi pada pasien anak-anak. Hammoudi, dkk
(2005) melaporkan bahwa anak dengan SI yang mendapatkan pengobatan vigabatrin
mungkin akan mengalami penurunan fungsi visual walaupun tidak terjadi gangguan
visual pada kortek. Hasil pemeriksaan dengan kontras didapatkan bahwa adanya
penurunan fungsi penglihatan mungkin lebih berhubungan dengan SI daripada akibat
vigabatrin.28 Mengingat efek samping yang mungkin terjadi, maka pemeriksaan mata
sebaiknya dilakukan sebelum penggunaan vigabatrin dan setiap 3 bulan selama
pengobatan vigabatrin.

1. Vit B6

Piridoksin (vitamin B6) merupakan terapi pilihan pertama untuk SI di Jepang, yang
digunakan oleh lebih dari 70% institut.Dosis pemeliharaan vitamin  B6 yaitu 50
mg/hari  dengan rentang 20-100 mg/hari sedangkan Tsuji, dkk (2007) dimulai dengan
dosis awal yaitu 10 mg/hari (rentang dosis 5-30 mg/hari)  yang selanjutnya diikuti
dengan dosis pemeliharaan sebesar 30 mg (rentang dosis 10-50 mg/hari). 21 Tidak ada
penelitian uji klinis tentang obat ini. Angka keberhasilan dilaporkan sebesar 13-
29%.19  Caraballo, dkk (2004) menganjurkan penggunaan vitamin B6 dengan dosis
200-400 mg/hari per oral (25-50 mg/kg/hari)  sebagai pilihan terapi alternatif SI
dengan sindrom Down karena respon yang cepat dalam waktu 2 minggu tanpa adanya
efek samping.

1. e.       Benzodiazepin

Golongan benzodiazepin diberikan apabila kejang tidak dapat diatasi dengan


pemberian ACTH atau steroid.

1. Nitrazepam

Obat nitrazepam terbukti paling efektif dalam menghilangkan SI dibandingkan


dengan jenis benzodiazepin yang lainnya. Dosis yang diberikan 0,6-1,0 mg/kg/hari
dibagi 3 dosis.10 Efek samping yang dilaporkan adalah mengantuk, ataksia, hipotonia,
eksaserbasi kejang umum dan hepatotoksik. Obat ini tidak diperdagangkan di
Amerika Serikat, namun banyak telah banyak digunakan di negara lainnya. Data
tentang penggunaan nitrazepam untuk SI sangat terbatas. American Academy of
Neurology and the Child Neurology Society (2004)  mendapatkan 2 studi retrospektif
yang termasuk klas IV. Rentang dosis yang digunakan antara 0,5-3,5 mg/kg/hari.
Nitrazepam dapat mengatasi kejang sebesar 30% sampai 54%. Menghilangnya
gambaran hipsaritmia sebesar 46% (11 dari 24 pasien) dan angka kekambuhan
sebesar 15% ( 2  dari 13 pasien).

1. Klonazepam

Klonazepam telah disetujui  oleh FDA di Amerika Serikat sebagai pengobatan SI


sejak tahun 1980. Mekanisme klonazepam yaitu mengikat reseptor channel ion
klorida -A-GABA  dan menghambat kerja GABA sehingga dapat meningkatkan
penyaluran ion klorida. Dosis efektif klonazepam antara 0,1-0,3 mg/kg/hari dibagi
dalam 3 dosis dan respon pengobatan terjadi dalam 1-3 minggu pengobatan. Sebesar
lebih dari 50% kasus (13 dari 24 kasus) dapat dikontrol dengan penggunaan
klonazepam dan sebanyak 8 kasus terjadi perbaikan gambaran EEG.  Relaps terjadi
pada 7 kasus dan tidak dapat diatasi walaupun dosis klonazepam ditingkatkan.  Efek
samping yang sering terjadi adalah mengantuk, ataksia, perubahan tingkah laku,
hipersalivasi dan hipersekresi bronkus.

1. Diazepam

Diazepam merupakan obat yang paling jarang digunakan untuk pengobatan SI.
Sebanyak 4 dari 5 pasien SI memberikan respon terhadap diazepam. Namun ada yang
melaporkan bahwa diazepam kurang efektif dibandingkan dengan nitrazepam.

1. Asam valproat

Asam valproat  digunakan oleh lebih dari 70% sebagai pilihan pertama terapi SI  di
Jepang. Mekanisme kerja asam valproat dalam mengatasi kejang yaitu menghambat
GABA transminase yang akan menghambat terjadinya degradasi GABA dan glutamat
dekarboksilase yang memudahkan sintesis GABA sehingga kadar GABA dalam otak
akan meningkat. Meningkatkan efek inhibisi postsinaptik GABA, menghambat
pembentukan gelombang paku dan jaras neuronal eksitatorik. Rentang dosis asam
valproat  yaitu 40-100 mg/kg/hari dengan dosis awal 15-20 mg/kgbb/hari dalam 2-4
dosis dalam 1-4 hari kemudian disusul dengan dosis rumatan 30-60 mg/kg/hari.
Efikasi asam valproat mencapai 25-40%. Satu studi melaporkan bahwa dengan
pemberian asam valproat dapat mengatasi serangan spasme sebesar 73%  dan
memperbaiki hipsaritmia pada 91% dari 22 anak setelah dilakukan follow up selama 6
bulan. Sebagian besar akan berespon dalam 2 minggu dan akan mengalami relaps
sebanyak 23%.19 Efek samping yang dapat timbul yaitu mual, muntah, nyeri perut,
pankreatitis akut, ruam kulit, mengantuk, perubahan perilaku, tremor, rambut rontok,
serta dapat bersifat hepatotoksik yang fatal terutama bila diberikan pada bayi.

1. Topiramat

Topiramat telah diakui sebagai terapi tambahan epilepsi oleh Jerman pada tahun 1998
dan pada tahun 2001 bisa diberikan pada usia < 2 tahun. Mekanisme kerja obat ini
yaitu memblok saluran natrium, potensiasi neurotransmisi GABA dan antagonis
glutamat serta efek khusus pada reseptor kainate GluR5 dan menghambat anhidrase
karbonik. Dosis dan lama pemberian yang digunakan bervariasi. Glauser, dkk (1998)
menggunakan dosis permulaan sebesar 25 mg/hari kemudian dinaikkan setiap 2-3 hari
sebanyak 25 mg. Apabila dengan dosis tersebut tidak dapat ditoleransi, maka
kecepatan titrasi diturunkan. Titrasi dilanjutkan selama £ 4 minggu atau sampai
mencapai dosis maksimal yaitu 24 mg/kg/hari atau 7 hari bebas kejang (spasme).
Dengan dosis tersebut, didapatkan  sebanyak 45% pasien bebas dari spasme, dan 82%
terjadi penurunan jumlah kejang > 50%. Respon pengobatan topiramat relatif lebih
cepat pada kasus kriptogenik dibandingkan simtomatik. Penelitian uji klinis tidak
tersamar oleh Watemberg, dkk (2003) menggunakan dosis 6-12 mg/kg/hari.
Topiramat digunakan sebagai monoterapi pada 1 pasien dengan SI dan 1 pasien
dengan tuberosklerosis. Pada pasien spasme infantil terjadi pengurangan jumlah
spasme > 75% sedangkan pada tuberosklerosis lebih rendah (50-75%). Grosso, dkk
(2005) memberikan dosis harian sebesar 0,5-1 mg/kg kemudian diikuti dengan
peningkatan dosis titrasi sebesar 1-3 mg/kg/hari sampai dosis maksimal 16
mg/kg/hari. Delapan dari 24 pasien SI, didapatkan jumlah kejang berkurang >
50%.3Valensia, dkk (2005) melaporkan penurunan jumlah kejang > 50%  sebanyak 7
dari 8 pasien SI. Rentang dosis yang digunakan yaitu 2,5-18 mg/kg/hari dengan rata-
rata 8,8 mg/kg/hari.33 Hosain, dkk (2006) menggunakan dosis permulaan 3 mg/kg/hari
terbagi dalam 2 dosis, kemudian dinaikkan 3 mg/kg setiap 3 hari sampai terlihat
respon. Dosis rata-rata yang diberikan yaitu 14 mg/kg/hari (rentang dosis 9-27
mg/hari). Sebanyak 20% (3 dari 15 pasien) bebas spasme dan jumlah kejang
berkurang > 50% pada 5 pasien.26 Korinthenberg dan Schreiner (2007) melaporkan
efikasi topiramate sebesar 30% dengan median dosis 10 mg/kg.

Pemberian topiramat dapat menyebabkan sedasi, penurunan nafsu makan, penurunan


berat badan, iritabilitas, nefrolitiasis, asidosis metabolik, disfungsi bahasa dan
hipertermia.33,34 Efek samping yang tersering dilaporkan yaitu penurunan nafsu makan
dan berat badan, hipertermia, mengantuk, perubahan perilaku dan kesulitan
konsentrasi. Kejadian penurunan berat badan berkisar antara 6-40% sedangkan
anoreksia sebesar 30%.33

1. Zonisamide
Penggunaan zonisamidesebagai terapi  SI juga semakin meningkat. Watanabe (1995)
melaporkan penggunaan Zonisamide sebagai pilihan kelima sebesar 9,9% sedangkan
Tsuji, dkk (2007) melaporkan sebesar 72,7 – 83,6%. Zonisamide merupakan derivat
sulfonamide yang bekerja pada saluran natrium dan kalsium. Dosis yang digunakan
berbeda-beda, ada yang menggunakan dosis pemeliharaan sebesar 10 mg/hari (8-20
mg/hari) sedangkan Tsuji, dkk (2007) didahului oleh dosis awal sebesar 2 mg/hari
(rentang dosis 0,15-7,5 mg/hari) selanjutnya dosis pemeliharaan 8 mg/hari (0,5-20
mg/hari). Efikasi obat ini dilaporkan sebesar 25%, tidak akan melebihi efikasi ACTH
walaupun belum ada penelitian yang membandingkan keduanya. Lotze, dkk (2004)
mendapatkan bahwa spasme dapat dikontrol dan menghilangnya gambaran EEG
sebanyak 6 dari 23 (26%) pasien SI simptomatis dengan rata-rata lama
menghilangnya spasme dan evolusi EEG selama 5,5 bulan. Efek samping yang
mungkin timbul yaitu mengantuk, gangguan kognitif dan rash pada kulit.

Berikut alur tatalaksana spasme infantil


Diet ketogenik

Diet ketogenik sudah lama digunakan untuk pengobatan epilepsi anak terutama
epilepsi refrakter yaitu lebih dari 80 tahun. Diet ini terdiri dimulai dari periode puasa
dan restriksi cairan sampai keton bodis tampak pada urin kemudian diikuti dengan
pemberian makanan tinggi lemak, protein yang adekuat dan rendah karbohidrat. Puasa
dilakukan pada malam hari sebelum diet dimulai dan rasio antara lemak dan
karbohidrat yaitu 3:1. Ini disebut sebagai initial-fasting ketogenic diet yang bertujuan
untuk memacu terjadinya ketosis lebih cepat dan untuk adaptasi metabolik pada
keadaan ketosis sehingga kejang dapat dikontrol. Non-fasting ketogenic diet yaitu
dimulai dengan pengenalan secara bertahap makanan yang tinggi lemak dengan diet
yang biasa dan tidak memerlukan puasa dan restriksi cairan. Kim, dkk (2004)
mendapatkan bahwa tidak ada perbedaan efikasi initial-fasting ketogenic diet dan
non-fasting ketogenic diet dalam  memacu ketosis dan mengurangi kejang.

Pemberian diet ketogenik menunjukkan adanya penurunan kadar insulin dalam darah
(pada keadaan puasa) dan peningkatan kadar kortisol yang potensial mempengaruhi
eksitabilitas neuronal dan neurotransmiter. Secara logika, diet ketogenik mempunyai
efek tidak langsung terhadap CRH namun perlu penelitian lebih lanjut. Penelitian
tahun 1991 mendapatkan bahwa 12 dari 17 anak (70%) dengan SI mengalami
perbaikan > 50% setelah diberikan diet ketogenik. Sebanyak 67% mengalami
perbaikan setelah 3 bulan diberikan diet ketogenik. Hal yang sama dilaporkan oleh
Kossoff, dkk (2002) bahwa spasme berkurang secara bermakna sebanyak 6 dari 7
anak usia < 1 tahun setelah diberikan diet ketogenik dalam beberapa bulan.Penelitian
uji klinis oleh Neal, dkk (2008) melaporkan pemberian diet ketogenik selama 3 bulan
dapat menurunkan jumlah kejang >50% pada 38% pasien dibandingkan dengan
kontrol sebesar 6%.

Efek samping pemberian diet ketogenik yaitu dapat menyebabkan konstipasi,


hipoglikemia, muntah, hiperlipidemia, hiperkolesterolemia, dehidrasi,
hipoproteinemia berat, anemia hemolitik, batu kandung empedu dan peningkatan
enzim hati. Sebelum pemberian diet ketogenik harus dilakukan skrining untuk
mengetahui adanya kelainan metabolik yang dapat memperburuk ketogenik diet
seperti defisiensi piruvat karboksilase, porfiria, defisiensi karnitin, kelainan
mitokondria, defek oksidasi asam lemak. Neal, dkk (2008) mendapatkan kejadian
efek samping sebesar 25% kasus dengan konstipasi merupakan efek samping yang
tersering dan terberat.
REFERENSI
1. Fisher RS, Cross JH, French JA, et al. Operational classification of seizure types by
the International League Against Epilepsy: Position Paper of the ILAE Commission
for Classification and Terminology. Epilepsia 2017;58:522–530.
2. Hrachovy RA, Frost JD, Kellaway P. Hypsarrhythmia: variations on the theme.
Epilepsia 1984;25:317–325.
3. Caraballo RH, Fortini S, Reyes G, et al. Epileptic spasms in clusters and associated
syndromes other than West syndrome: a study of 48 patients. Epilepsy Res
2016;123:29–35.
4. Gaily E, Lommi M, Lapatto R, et al. Incidence and outcome of epilepsy syndromes
with onset in the first year of life: a retrospective population-based study. Epilepsia
2016;57:1594–1601.
5. Hussain SA, Lay J, Cheng E, et al. Recognition of infantile spasms is often
delayed: the ASSIST study. J Pediatr 2017;190:215–221.
6. Riikonen R. Long-term outcome of West syndrome: a study of adults with a history
of infantile spasms. Epilepsia 1996;37:367–372.
7. Shields WD. Infantile spasms: little seizures, BIG consequences. Epilepsy Curr Am
Epilepsy Soc 2006;6:63–69.
8. Vigevano F, Cilio MR. Vigabatrin versus ACTH as first-line treatment for infantile
spasms: a randomized, prospective study. Epilepsia 1997;38:1270–1274.
9. Riikonen R, Donner M. ACTH therapy in infantile spasms: side effects. Arch Dis
Child 1980;55:664–672.
10. Jones K, Go C, Boyd J, et al. Vigabatrin as first-line treatment for infantile spasms
not related to tuberous sclerosis complex. Pediatr Neurol 2015;53:141–145.

Anda mungkin juga menyukai