Anda di halaman 1dari 16

HADIS, SUNNAH, INGKAR

HADIS/SUNNAH, DAN
PENANGGULANGANNYA

Disusun Guna Memenuhi Tugas


Mata Kuliah : STUDI HADIS
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H.M. Erfan Soebahar, M.Ag.

Disusun Oleh:

Muhammad Iqbal (NIM 2103018001)

PROGRAM STUDI S2 (MAGISTER) PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadits adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi SAW baik berupa
perkataan atau perbuatan dan atau ikrar. Hadits berkedudukan sebagai sumber
hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Adanya hadits berfungsi sebagai
penjelas ayat-ayat Al-Qur’an.

Akan tetapi dari disampaikannya hadits-hadits yang disandarkan pada


Rasulullah SAW tidak semua disetujui oleh semua ummat Islam. Terdapat
golongan yang mengakui akan ketidakbenaran kehadiran hadits-hadits
tersebut. Dengan pemikiran-pemikiran yang membuat kokohnya pendapat
yang tidak mempercayai Sunnah tersebut, golongan-golongan yang terlibat
pun ikut andil untuk mengingkari segala yang sampai pada mereka sehingga
muncullah istilah kelompok seperti mereka dengan nama Al Ingkar Al-
Sunnah. Maka perlunya untuk membahas peristiwa Al-Ingkar Al- Sunnah
tersebut.

Dalam sejarah perkembangan Hadits, mulai pengumpulan hadits pada


masa Nabi Muhammad hingga pembukuannya mengalami banyak kendala,
diantaranya banyaknya hadits palsu yang diedarkan dengan alasan
kepentingan baik pribadi maupun politik/kelompok. Sehingga filterasi perlu
dilakukan oleh para Ulama' Hadits yang dapat dipertanggungjawabkan ke
dhabitannya dan keadilannya. Dalam sejarah perkembangan Hadits juga
terdapat beberapa kelompok yang menolak Hadits dengan Alasan mereka
masing-masing.

Oleh beberapa komunitas dalam peradaban, terutama umat Islam,Hadits


adalah segala perkataan Nabi, segala perbuatan beliau, segala taqrir
(pengakuan) beliau dan segala keadaan beliau. Sebagai sebuah
teks, Hadits merupakan penuntun Umat Islam. Segala perkataan Nabi, segala
perbuatan Beliau, pengakuan dan segala keadaan Beliau dicatatkan di
dalamnya. Walaupun begitu, disamping berbahasa arab tidak dipungkiri
kualitas Hadits ada tiga, yakni Hadits shahih, Hadits Hasan, dan Hadits
Dha’if. Sehingga kita tidak bisa sembarangan dalam mengeluarkan Hadits,
untuk itu bagi orang awam untuk memahaminya perlu memperhatikan terlebih
dahulu apa Hadits tersebut Hadits Shahih atau malah Hadits Dha’if.

B. Rumusan Masalah

Berdasakan latar belakang di atas, dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan ingkar as-sunnah?

2. Sejarah kemunculan dan latar belakangnya.

3. Sikap beberapa kelompok tentang paham ingkar sunnah.

4. Bantahan ulama terhadap paham ingkar sunnah.

C. Tujuan

1. Memahami maksud dari ingkar as-sunnah.

2. Mengetahui sejarah kemunculan dan latar belakangnya.

3. Mengetahui sikap beberapa kelompok terhadap paham ingkar as-


sunnah.

4. Mengetahui sikap dan bantahan ulama terhadap paham ingkar as-


sunnah.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ingkar As-Sunnah

1. Arti Bahasa

Kata ingkar “as-sunnah” terdiri dari dua kata, yaitu “ingkar”


dan “sunnah.” Kata “ingkar” berasal dari bahasa Arab‫ نكر – ينكر‬yang
mempunyai beberapa arti, diantaranya: “tidak mengakui dan tidak
menerima baik di lisan dan di hati, bodoh 1 atau tidak mengetahui
sesuatu dan menolak apa yang tidak tergambarkan dalam hati.2

Sedangkan Sunnah secara bahasa artinya cara atau perjalanan


entah itu soal kebaikan atau keburukan, sedangkan secara asal sunah
itu artinya jalan yang digunakan oleh orang pendahulu dan
dilanjutkan oleh orang setelahnya3

Secara istilah arti sunnah bagi kalangan ushuliyyun adalah:


apa-apa yang diambil dari nabi Muhammad selain Al-Qur’an dari
perkataan atau perbuatan beliau.

Bagi ulama hadist sunnah adalah: segala yang disandarkan


kepada Nabi Muhammad dan maknanya lebih luas daripada Ulama
Ushuliyyun mencakup perkataan, perbuatan, sifat khalqiyyah, sifat
khulqiyyah.4

1
Majma’ lughatal arabiyyah , Mu’jamul wajiz , majma’ lughatal arabiyyah 1989 hal 632
2
H. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, Jakarta: Bumi Aksara, 2008, hal. 27.
3
Khaalid bin mansur al Mutlaq manhaj al imam jalaluddin asy syurumi, Saudi: 2015
4
Muhammad Al Asyqar Al Utaybi , af’alu rasul wa dalaalatuha ala alhakaami assyar’iyyah
Beirut, 2003
2. Pengertian Istilah

Menurut Daud Rasyid ingkar as-sunnah adalah sebuah sikap


penolakan terhadap sunnah Rasul, baik sebagian maupun
keseluruhannya. Mereka membuat metodologi tertentu dalam
menyikapi sunnah. Hal ini mengakibatkan tertolaknya sunnah, baik
sebahagian maupun keseluruhannya.5

Selain itu ada beberapa definisi ingkar as-sunnah yang masih


sangat sederhana pembatasannya di antaranya sebagai berikut:

a. Paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak Hadits


atau sunnah sebagai sumber ajaran agama Islam kedua setelah Al-
Qur’an.

b. Suatu paham yang timbul pada sebagian minoritas umat Islam


yang menolak dasar hukum Islam dari sunnah shahih baik sunnah
praktis atau yang secara formal dikodifikasikan para ulama, baik
secara totalitas mutawatir maupun ahad atau sebagian saja, tanpa
ada alasan yang dapat diterima.6

B. Sejarah Kemunculan dan Latar belakangnya

Sejarah perkembangan ingkar as-sunnah terjadi dua masa, yaitu


masa klasik dan masa modern. Menurut Prof. Dr. M. Mushhtafa Al-
Azami sejarah ingkar as-sunnah klasik terjadi pada masa Asy-Syafi’i
(w. 204 H) abad ke-2 H/7 M. Kemudian hilang dari peredaran selama
kurang lebih dari 11 abad. Kemudian pada abad modern ingkar as-
sunnah muncul kembali di India dan Mesir pada abad 13 H/19 M
sampai pada masa sekarang. Sedangkan pada masa pertengahan, ingkar
as-sunnah tidak muncul kembali, kecuali di Barat mulai meluaskan
kolonialismenya ke negara-negara Islam dengan menaburkan fitnah dan
mencorang-coreng citra agama Islam.7
5
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, Badung: Pustaka Setia,
2009, hal. 207.
6
H. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, hal. 28-29.
7
H. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, hal. 29-30.
1. Ingkar As-Sunnah Klasik

Pada masa sahabat, seperti dituturkan oleh Al-Hasan Al-


Basri (w. 110 H), ada sahabat yang kurang begitu memperhatikan
kedudukan sunnah Nabi SAW, yaitu ketika sahabat Nabi
SAW,  Imran bin Husain (w. 52 H) sedang mengajarkan hadis.
Tiba-tiba ada seorang yang meminta agar ia tidak usah
mengajarkan hadis, tetapi cukup mengajarkan Al-Quran saja.
Kemudian Imran, menjelaskan: “tahukah anda, seandainya anda
dan kawan-kawan anda hanya memakai Al-Quran, apakah anda
dapat menemukan dalam Al-Quran bahwa salat dhuhur itu empat
rakaat, salat ashar empat rakaat, dan salat magrib tiga rakaat?”.
Kemudian, apabila anda hanya memakai Al-Quran, dari mana anda
tahu tawaf (mengelilingi kabah) dan sa’i antara safa dan marwa itu
tujuh kali?. Orang tersebut berkata, anda telah menyadarkan saya.
Mudah-mudahan, Allah selalu menyadarkan anda. Akhirnya
sebelum wafat, orang itu menjadi ahli Fiqh.8

Gejala-gejala ingkar as-sunnah seperti di atas, masih


merupakan sikap-sikap individual, bukan merupakan sikap
kelompok atau mazhab, meskipun jumlah mereka dikemudian hari
semakin bertambah. Suatu hal yang patut dicatat, bahwa gejala-
gejala itu tidak terdapat di negeri  Islam secara keseluruhan,
melainkan secara umum terdapat di Irak. Karena Imran bin
Hushain dan Ayyub As-Sakhtiyani, tinggal di Basrah, Irak.
Demikian pula, orang-orang yang disebutkan oleh Imam Syafi’i
sebagai pengingkar as-sunnah juga tinggal di Basrah. Karena itu,
pada masa itu di Irak terdapat faktor-faktor yang menunjang
timbulnya faham ingkar as-sunnah.9

8
Al-Hakim. Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain, (Beirut: Dar Al-Ma’rifat. T.t.), Juz
I, hal. 109-110.
9
Muhammad Musthafa Azami, Methodologi Kritik Hadits. Terj. A. Yamin.
(Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992), hal. 42.
Dan itulah gejala-gejala ingkar as-sunnah yang timbul
dikalangan para sahabat. Sementara menjelang akhir abad kedua
hijriah muncul pula kelompok yang menolak sunnah sebagai salah
satu sumber syariat Islam, disamping ada pula yang menolak
sunnah yang bukan mutawatir saja.10

Ingkar as-sunnah klasik terjadi pada masa Imam Asy-Syafi’i


(w. 204 H) yang menolak kehujjahan sunnah dan menolak sunnah
sebagai sumber hukum Islam baik mutawatir ataupun ahad. Imam
Asy-Syafi’i yang di kenal sebagai Nashir As Sunnah (pembela
sunnah) pernah di datangi oleh seseorang yang di sebut sebagai ahli
tentang mazhab yang menolak seluruh sunnah,
baik mutawatir atau ahad. Ia datang untuk berdiskusi dan berdebat
dengan Asy-Syafi’i secara panjang lebar dengan berbagai
argumentasi yang di ajukan. Namun semua argumentasi yang
dikemukan orang tersebut dapat di tangkis oleh Asy-Syafi’i dengan
jawaban yang argumentatif, ilmiah, dan rasional sehingga akhirnya
ia mengakui dan menerima sunnah Nabi.11

Menurut penelitian Muhammad Al-Khudhari baik bahwa


seseorang yang mengajak berdebat dengan Asy-Syafi’i tersebut
dari kelompok Mu’tazilah. Karena dinyatakan oleh Asy-Syafi’i
bahwa ia datang dari Basrah. Sedangakan menurut keterangan
Muhammmad Abu Zahrah dan Abdurrahman bin Mahdi (salah
seorang pembela Asy-Syafi’i dan hidup semasanya) orang tersebut
dari kalangan ekstrimis kaum Khawarij dan Zindiq dengan alasan
sebagian golangan Khawarij tidak mengakui hukum rajam bagi
pezina Muhshan (telah nikah) karena tidak disebutkan dalam Al-
Qur’an.12

10
Muhammad Musthafa Azami, Methodologi Kritik Hadits. Terj. A. Yamin, hal,
42.
11
H. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, hal. 30.
12
H. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, hal. 30.
As-Siba’i berpendapat, bahwa pendapat Al-Khudhari Beik
lah yang lebih kuat, kerena dilihat dari segi argumentasinya sama
dengan yang diajukan oleh An-Nazhzham yang mengingkari
kepastian sunnah mutawatir. Pendapat ini menurutnya juga
didukung oleh Ibn Qutaibah dalam bukunya Ta’wil Mukhtalif Al-
Hadits yang menyebutkan kedudukan tokoh-tokoh Mu’tazilah
terhadap sunnah. Muhammad Abu Zahrah juga membenarkan
bahwa pengingkar as-sunnah tersebut dari kelompok Mu’tazilah.
Namun, bisa jadi esensi mereka adalah dari kelompok zindik dan
ekstrimis Khawarij (sebagaimana kata Abdurrahman bin Mahdi)
yang berkedok Mu’tazilah untuk mencapai tujuan tertentu.13

Secara garis besar, Muhammad Abu Zahrah berkesimpulan


bahwa ada tiga kelompok pengingkar as-sunnah yang berhadapan
dengan Asy-Syafi’i ketika itu, yaitu sebagai berikut:

a. Menolak sunnah secara keseluruhan, golongan ini hanya


mengakui Al-Qur’an saja yang dapat dijadikan hujjah.

b. Tidak menerima sunnah kecuali yang semakna dengan Al-


Qur’an.

c. Hanya menerima sunnah Mutawatir saja dan menolak selain


sunnah Mutawatir yakni sunnah ahad.14

Begitulah paham ingkar as-sunnah pada masa klasik. Ia


muncul pada masa sahabat, kemudian berkembang pada abad ke-II
H dan Akhirnya lenyap dari peredaran pada akhir abad ke-III H.
Dan baru pada abad ke-XIV H, paham itu muncul kembali
kepermukaan sebagai akibat adanya kolonialisme yang melanda
umat Islam.15

13
H. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, hal. 31.
14
H. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, hal. 31-32.
15
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, hal. 214.
Ada beberapa hal yang perlu dicatat tentang ingkar as-sunnah
pada masa klasik, yaitu bahwa ingkar as-sunnah klasik kebanyakan
masih merupakan pendapat perseorangan dan hal itu muncul akibat
ketidaktahuan mereka tentang fungsi dan kedudukan sunnah dalam
Islam. Kerena itu, setelah diberi tahu tentang urgensi sunnah,
mereka akhirnya menerimanya. Sementara lokasi ingkar as-sunnah
klasik umumnya berada di Irak, khususnya Bashrah.16

Ada beberapa golongan yang menyikapi sunnah Nabi secara


universal, dan ada pula yang menolak hadits karena diriwayatkan
oleh shahabat tertentu. Golongan yang pro dan kontra terhadap
sunnah ialah golongan Khawarij, golongan Mu’tazilah, dan
golongan Syi’ah. Mengenai sikap-sikap golongan tersebut yaitu
sebagai berikut:

C. Sikap beberapa kelompok terhadap paham Ingkar Sunnah

1. Sikap Kaum Khawarij terhadap Sunnah

Dari sudut kebahasaan, kata khawarij merupakan bentuk


jamak dari kata kharij, yang berarti “sesuatu yang keluar”.
Sementara menurut pengertian terminologis, khawarij adalah
kelompok atau golongan yang tidak loyal kepada pimpinan yang
sah. Dan yang dimaksud dengan khawarij disini adalah golongan
tertentu yang memisahkan diri dari kepemimpinan Ali bin Abu
Thalib r.a.

Apakah Khawarij menolak sunnah? ada sebuah sumber yang


menuturkan bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para
sahabat sebelum kejadian fitnah (perang sudara antara Ali bin Abu
Thalib r.a. dan Mu’awiyah r.a.) diterima oleh kelompok Khawarij.
Degan alasan bahwa sebelum kejadian itu para sahabat dinilai
sebagian orang-orang yang adil (muslim yang sudah akil-balig,
tidak suka berbuat maksiat, dan selalu menjaga martabatnya).

16
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, hal. 215.
Namun, sesudah kejadian fitnah tersebut, kelompok Khawaarij
menilai mayoritas sahabat Nabi SAW sudah keluar dari Islam.
Akibatnya, hadis-hadis yang diriwayatkan para sahabat sesudah
kejadian itu ditolak kelompok Khawarij.17

2. Sikap Kaum Syiah terhadap Sunnah

Kata syi’ah berarti “para pengikut” atau “para pendukung”.


Sementara menurut pengertian terminologis, syi’ah adalah
golongan yang menganggap bahwa Ali bin Abu thalib r.a. lebih
utama daripada khalifah sebelumnya (Abu Bakar, Umar, dan
Utsman), dan berpendapat bahwa Ahl-Bait (keluarga Nabi SAW)
lebih berhak menjadi khalifah daripada yang lain.

Golongan Syi’ah ini terdiri dari berbagai kelompok dan tiap-


tiap kelompok menilai kelompok lain sudah keluar dari Islam.
Sementara kelompok yang masih eksis hingga sekarang adalah
kelompok Itsna ‘Asyariyah. Kelompok ini menerima hadis
nabawi sebagai salah satu sumber syariat Islam. Hanya saja, ada
perbedaan mendasar antara kelompok syi’ah ini dengan
golongan Ahlu-Sunnah (golongan mayoritas umat Islam), yaitu
dalam hal penetapan hadis.

Golongan syi’ah menganggap bahwa sepeninggal Nabi


SAW., mayoritas para sahabat sudah murtad (keluar dari Islam),
kecuali beberapa orang saja yang menurut mereka masih tetap
muslim. Karena itu golongan syi’ah menolak hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh mayoritas para sahabat tersebut. Syi’ah hanya
menerima hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ahlu Al-Bait saja.18

3. Sikap Kaum Mu’tazilah terhadap Sunnah

17
Musthafa As-Siba’i, As-Sunnah wa Makanatuha fi At-Tasyri’ Al-Islami, (Beirut:
Al-Maktab Al-Islami, 1980), Jilid I, hal. 22.
18
Muhammad Musthafa Azami, Methodologi Kritik Hadits. Terj. A. Yamin, hal.
43-44.
Arti kebahasaan dari mu’tazilah adalah “sesuatu yang
mengasingkan diri”. Sementara yang dimaksudkan di sini adalah
golongan yang mengasingkan diri dari mayoritas umat Islam
karena mereka berpendapat bahwa seorang muslim yang fasiq
(berbuat maksiat) tidak dapat disebut mukmin atau kafir. Adapun
golongan Ahlu As-Sunnah berpendapat bahwa orang muslim yang
berbuat maksiat tetap sebagai mukmin, meskipun ia berdosa.
Pendapat Mu’tazilah ini muncul pada masa Al-Hasan Al-Basri, dan
dipelopori oleh Washil bin ‘Ata (w. 131 H).

Apakah Mu’tazilah menolak sunnah? Syekh Muhammad Al-


Khudari Beik berpendapat bahwa Mu’tazilah menolak sunnah.
pendapat ini berdasarkan adanya diskusi antara Imam Asy-Syafi’i
(w. 204 H) dan kelompok yang mengingkari sunnah. Sementara
kelompok atau aliran pada waktu itu di Bashrah, Irak adalah
Mu’tazilah. Prof. Dr. Al- Siba’i tampaknya sependapat dengan
pendapat Al-Khudari ini.19

Imam As-Syafi’i memang menuturkan perdebatannya dengan


orang yang menolak sunnah, namun beliau tidak menjelaskan siapa
orang yang menolak sunnah itu. Sementara sumber-sumber yang
menerangkan sikap Mu’tazilah terhadap Sunnah masih terdapat
kerancuan, apakah Mu’tazilah menerima Sunnah secara
keseluruhan, menolak seluruhnya, atau hanya menerima sebagian
Sunnah saja.

Ada sebagian Ulama Mu’tazilah yang tampaknya menolak


Sunnah, yaitu Abu Ishak Ibrahim bin Sajyar, yang populer dengan
sebutan Al-Nadhdham (w. 221-223 H). Ia mengingkari
kemukjizatan Al-Quran dari segi susunan bahasanya,
mengingkari mu’jizat Nabi Muhammad SAW., dan mengingkari

19
Musthafa As-Siba’i, As-Sunnah wa Makanatuha fi At-Tasyri’ Al-Islami, hal.
148.
hadis-hadis yang tidak dapat memberikan pengertian yang pasti
untuk dijadikan sebagai sumber syari’at Islam.

4. Ingkar as-sunnah Modern

Sebagaimana pembahasan di atas, bahwa ingkar as-sunnah


klasik lahir di Irak (kurang lebih abad 2 H/7 M). Kemudian muncul
kembali pada abad modern di India (kurang lebih adab 19 M/13 H),
setelah hilang dari peredaran kurang lebih 11 abad. Baru muncul
ingkar as-sunnah di Mesir (pada abad 20 M).20

Ingkar as-sunnah modern terjadi pada adab keempat belas


Hijriah, pemikiran seperti itu muncul kembali ke permukaan, dan
kali ini dengan bentuk penampilan yang berbeda dari ingkar as-
sunnah klasik. Apabila ingkar as-sunnah klasik muncul di Bashrah,
Irak akibat ketidaktahuan orang terhadap fungsi dan kedudukan
Sunnah, ingkar as-sunnah modern muncul di Kairo, Mesir akibat
pengaruh pemikiran kolonialisme yang ingin melumpuhkan dunia
Islam.21

Apabila ingkar as-sunnah klasik masih banyak bersifat


perorangan dan tidak menamakan dirinya sebagai mujtahid atau
pembaharu, ingkar as-sunnah modern banyak bersifat kelompok
yang terorganisasi, dan tokoh-tokohnya banyak mengklaim dirinya
sebagai mujtahid dan pembaharu. Apabila para pengingkar as-
sunnah pada masa klasik mencabut pendapatnya setelah mereka
menyadari kekeliruannya, para pengingkar as-sunnah pada masa
modren banyak bertahan pada pendiriannya, meskipun kepada
mereka telah terangkan urgensi sunnah dalam Islam. Bahkan
diantara mereka ada yang tetap menyebarkan pemikiranya secara
diam-diam, meskipun penguasa setempat mengeluarkan larangan
resmi terhadap aliran tersebut.22

20
H. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, hal. 33.
21
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, hal. 215.
22
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, hal. 215-216.
Al-Mawdudi yang dikutip oleh Hadim Husein Ilahi Najasy
seorang guru besar Fakultas Tarbiyah Jamiah Umul Qura Tha’if,
demikian juga dikutip beberapa ahli hadis juga mengatakan, bahwa
ingkar as-sunnah lahir kembali di India, setelah kelahiran pertama
di Irak semasa klasik. Tokoh-tokohnya ialah Sayyid Ahmad Khan,
Ciraq Ali, Maulevi Aslam, Cirachburri, Ghulam Ahmad Parwes
dan Abdul Khalik Mawadah. Sayyid Ahmad Khan sebagai
penggagas sedangkan Cirag Ali dan lainnya sebagai pelanjut ide-
ide Abu Al-Hutzail pemikir ingkar as-sunnah tersebut.23

Sebab utama awal timbulnya ingkar as-sunnah modren ini


adalah akibat pengaruh kolonolialisme yang semakin dahsyat sejak
abat 19 M di dunia Islam, terutama di India setelah terjadinya
pemberontakan melawan kolonial Ingris 1857 M. Berbagai usaha
yang dilakukan oleh kolonial untuk mendangkalkan ilmu Agama,
penyimpangan aqidah melalui pimpinan umat Islam dan tergiurnya
mereka terhadap teori-teori barat untuk memberikan interpretasi
hakikat Islam.24

Di Mesir diawali dari tulisan Dr.Taufik Shidqi dengan


beberapa artikelnya di majalah Al-Mannar diantaranya berjudul Al-
Islam Huw Al-Quran Wahdah (Islam hanyalah Al-Quran saja)
kemudian di ikuti oleh sarjana lain diantaranya Ahmad Amin,
Mahmud Abu Rayyah. Mesir namapak lebih subur dinamika
kontroversi sunnah, di samping kebebasan berfikir sejak masa
pembaharuan Muhammad Abduh, buku-buku orientalis sangat
berpengaruh dalam perkembangan bacaan para pelajar dan
sarjana.25

D. Bantahan Ulama terhadap Ingkar Sunnah

23
H. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, hal. 33.
24
H. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, hal. 33.
25
H. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, hal. 34.
Alasan pengingkar As-Sunnah mendapat bantahan karena meskipun
kebenaran Al-Qur’an sudah diyakini sebagai kalamullah, namun masih ada
ayat Al-Qur’an yang membutuhkan penjelasan karena belum pastinya
hukum yang terkandung. Untuk membantah argumen dari kelompok Inkar
As-Sunnah maka Abu Al Husain mengatakan,  “Dalam menerima Hadits-
Hadits ahad, sebenarnya kita memakai dalil-dalil pasti yang mengharukan
untuk menerima Hadits-Hadits itu”, jadi sebenarnya kita tidak memakai
dhann (dugaan kuat), dan bagi siapa saja yang masuk dalam lingkaran inkar
sunnah maka dia telah terjerumus dalam dosa kafir akbar 26

Dalam ayat Al-Qur’an surah An-Nahl (16): ayat 44. Dari ayat tersebut
jelas bahwa Allah membebankan kepada Nabinya untuk menerangkan isi
dari Al-Qur’an. Maka suatu kekeliruan besar bagi golongan Inkar As-
Sunnah saat mereka menolak penjelasan Nabi (sunnah Nabi). Mereka juga
keliru dalam melakukan penafsiran atas ayat 38 Surat Al-An’am, sebab
Allah menyuruh kita untuk menggunakan apa-apa yang dijelaskan Nabi
SAW.

BAB III
PENUTUP

26
Nashiruddin al Bani Maushuu’ah Albanii Fil Aqidah (San’a, Markaz Nu’man
Lilbukhus Waddiraasat al Islaamiyyah 2010) juz 4 hal 210
A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan


bawah:
1. Adapun definisi ingkar as-sunnah adalah:
a. Paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak
Hadits atau sunnah sebagai sumber ajaran agama Islam kedua
setelah Al-Qur’an.
b. Suatu paham yang timbul pada sebagian minoritas umat Islam
yang menolak dasar hukum Islam dari sunnah shahih baik
sunnah praktis atau yang secara formal dikodifikasikan para
ulama, baik secara totalitas mutawatir maupun ahad atau
sebagian saja, tanpa ada alasan yang dapat diterima.
2. Sejarah perkembangan ingkar as-sunnah di bagi menjadi dua
periode :
a. Periode klasik dimulai pada abad ke-2 H/7 M, pada masa
Imam Asy-Safi’i, yang berpusat di Bashrah, Irak. Kemudian
hilang dari peredaran selama kurang lebih dari 11 abad.
b. Periode modern yang muncul kembali di India dan di Mesir 13
H/19 M sampai pada masa sekarang.
3. Sikap ulama terhadap paham kelompok ingkar sunnah adalah tegas,
mereka sepakat untuk menganggap paham ini sesat dan tidak bisa
dibenarkan dengan alas an apapun, bahkan bisa masuk kedalam
dosa kafir akbar, dimana pelakunya telah dianggap keluar dari
islam atau murtad karena telah mengingkari kelayakan hadist untuk
digunakan setelah sepeninggal nabi muhammad.

DAFTAR PUSTAKA
Majma’ Lughatal Arabiyyah , Mu’jamul Wajiz , Majma’
Lughatal arabiyyah, 1989.

H. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits,  Jakarta: Bumi


Aksara, 2008.

Muhammad al Asyqar al Utaybi, Af’alu Rasul wa


Dalaalatuhu alal Ahkam Assyar’iyyah, Beirut, 2003
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits,
Badung: Pustaka Setia, 2009.

H. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits. Jakarta: Bumi Aksara,


2008.
Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain. Beirut: Dar
Al-Ma’rifat. T.t., Juz I.
M.M Azzami, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya.
Pejaten Barat: Pustaka Firdaus, 2006.

M. Agus Solahudin dan Agus  Suyadi, Ulumul Hadits.


Badung: Pustaka Setia, 2009.
Musthafa As Shiba’i As-Sunnah wa Makanatuha fi At-
Tasyri’ Al-Islami. Beirut: Al-Maktab Al-Islami, 1980, Jilid I.

Nashiruddin al Bani, Maushuu’ah Albanii Fil Aqidah, San’a,


Markaz Nu’man Lilbukhus Waddiraasat al Islaamiyyah, 2010, Juzz
4.

Anda mungkin juga menyukai