Anda di halaman 1dari 3

BAB 1

PENDAHULUAN

Stunting atau sering disebut pendek adalah kondisi gagal tumbuh akibat
kekurangan gizi kronis dan stimulasi psikososial serta paparan infeksi berulang
terutama dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu dari janin hingga anak
berusia dua tahun. Pengertian pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang
didasarkan pada Indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan
menurut Umur (TB/U) yang merupakan istilah stunted (pendek) dan severely stunted
(sangat pendek). Balita pendek adalah balita dengan status gizi berdasarkan panjang
atau tinggi badan menurut umur bila dibandingkan dengan standar baku WHO, nilai
Z-scorenya kurang dari -2SD dan dikategorikan sangat pendek jika nilai Z-scorenya
kurang dari -3SD.
Masalah anak pendek (stunting) merupakan salah satu permasalahan gizi yang
dihadapi di dunia, khususnya di negara-negara miskin dan berkembang. Stunting
menjadi permasalahan karena berhubungan dengan meningkatnya risiko terjadinya
kesakitan dan kematian, perkembangan otak suboptimal sehingga perkembangan
motorik terlambat dan terhambatnya pertumbuhan mental. Stunting merupakan
bentuk kegagalan pertumbuhan (growth faltering) akibat akumulasi ketidakcukupan
nutrisi yang berlangsung lama mulai dari kehamilan sampai usia 24 bulan. Keadaan
ini diperparah dengan tidak terimbanginya kejar tumbuh (catch up growth) yang
memadai. Selama 20 tahun terakhir, penanganan masalah stunting sangat lambat.
Secara global, persentase anak-anak yang terhambat pertumbuhannya menurun hanya
0,6 persen per tahun sejak tahun 1990. WHO mengusulkan target global penurunan
kejadian stunting pada anak dibawah usia lima tahun sebesar 40 % pada tahun 2025.
Data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health Organization
(WHO), Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di
regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR). Kejadian stunting
merupakan salah satu masalah gizi yang dialami oleh balita di dunia saat ini. Pada

1
2

tahun 2017 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami stunting. Namun
angka ini sudah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan angka stunting pada
tahun 2000 yaitu 32,6%. Pada tahun 2017, lebih dari setengah balita stunting di
dunia berasal dari Asia (55%) sedangkan lebih dari sepertiganya (39%) tinggal di
Afrika. Dari 83,6 juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia
Selatan (58,7%) dan proporsi paling sedikit di Asia Tengah (0,9%).
Prevalensi stunting dalam 10 tahun terakhir menunjukkan bahwa stunting
merupakan salah satu masalah gizi terbesar pada balita di Indonesia. Hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan 30,8% balita menderita stunting dan
29.9% baduta pendek dan sangat pendek – yang apabila dilakukan intervensi yang
tepat maka dapat mengoptimalkan potensi yang dimiliki. Masalah gizi lain terkait
dengan stunting yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat adalah ibu hamil
Kurang Energi Kronis atau KEK (17,3%), anemia pada ibu hamil (48,9%), bayi lahir
prematur (29,5%), Berat Bayi Lahir Rendah atau BBLR (6,2%), balita dengan status
gizi buruk (17,7%) dan anemia pada balita.
Terjadi penurunan prevalensi balita stunting di Indonesia pada tahun 2018
yakni 30,8% dari 37,2 % pada tahun 2013. Menurut Riskesdas 2018, prevalensi
balita stunting di Aceh sebesar 32 %, sedangkan prevalensi pada baduta sebesar 37,9
%. Data prevalensi balita stunting di Aceh Utara pada tahun 2017 adalah 35,9 %.
Masalah stunting merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
berhubungan dengan meningkatnya risiko kesakitan, kematian dan hambatan pada
pertumbuhan baik motorik maupun mental. Kondisi kesehatan dan gizi ibu sebelum
dan saat kehamilan serta setelah persalinan mempengaruhi pertumbuhan janin dan
risiko terjadinya stunting. Faktor lainnya pada ibu yang mempengaruhi adalah postur
tubuh ibu (pendek), jarak kehamilan yang terlalu dekat, ibu yang masih remaja, serta
asupan nutrisi yang kurang pada saat kehamilan. Nutrisi yang diperoleh sejak bayi
lahir tentunya sangat berpengaruh terhadap pertumbuhannya termasuk risiko
terjadinya stunting. Tidak terlaksananya inisiasi menyusu dini (IMD), gagalnya
pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif, dan proses penyapihan dini dapat menjadi
3

salah satu faktor terjadinya stunting. Sedangkan dari sisi pemberian makanan
pendamping ASI (MP ASI) hal yang perlu diperhatikan adalah kuantitas, kualitas,
dan keamanan pangan yang diberikan. Asupan zat gizi pada balita sangat penting
dalam mendukung pertumbuhan sesuai dengan grafik pertumbuhannya agar tidak
terjadi gagal tumbuh (growth faltering) yang dapat menyebabkan stunting. Kondisi
sosial ekonomi dan sanitasi tempat tinggal juga berkaitan dengan terjadinya stunting.
Kondisi ekonomi erat kaitannya dengan kemampuan dalam memenuhi asupan yang
bergizi dan pelayanan kesehatan untuk ibu hamil dan balita. Sedangkan sanitasi dan
keamanan pangan dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit infeksi.
Stunting merupakan salah satu target Sustainable Development Goals (SDGs)
yang termasuk pada tujuan pembangunan berkelanjutan ke-2 yaitu menghilangkan
kelaparan dan segala bentuk malnutrisi pada tahun 2030 serta mencapai ketahanan
pangan. Target yang ditetapkan adalah menurunkan angka stunting hingga 40% pada
tahun 2025. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah menetapkan stunting
sebagai salah satu program prioritas. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 39 Tahun 2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat
dengan Pendekatan Keluarga, upaya yang dilakukan untuk menurunkan prevalensi
stunting di antaranya pada ibu hamil dan bersalin, balita, anak usia sekolah, remaja,
dewasa muda.
Pencegahan stunting memerlukan intervensi gizi yang terpadu, mencakup
intervensi gizi spesifik dan gizi sensitif. Pengalaman global menunjukkan bahwa
penyelenggaraan intervensi yang terpadu untuk menyasar kelompok prioritas di
lokasi prioritas merupakan kunci keberhasilan perbaikan gizi dan tumbuh kembang
anak, serta pencegahan stunting.

Anda mungkin juga menyukai