Anda di halaman 1dari 3

Alienasi dan Kemanusiaan

Sadar atau tidak semenjak pandemi covid-19 melanda dunia, terjadi berbagai masalah
kompleks yang dihadapi manusia. Masalah-masalah tersebut seperti krisis ekonomi, sosial,
budaya, dan politik. Krisis-krisis ini dibingkai dalam satu wadah yang menerobos batas
rasionalitas serentak meruntuhkan peradaban yang telah dibangun manusia. Lebih sadisnya
lagi krisis ini melibas kemanusiaan, sehingga manusia terpental-pental, tercabut, terasing dan
terpisah dari dirinya sendiri. Inilah yang disebut alienasi. Alienasi merupakan terminologi
yang sekiranya cocok untuk membahasakan fakta tragis yang terjadi pada diri manusia.

Secara gradual kompleksitas masalah ini mereduksi manusia pada titik terendah
dalam sejarahnya. Titik terendah itu terjadi ketika manusia tidak bisa menjaga marwah
kemanusian yang melekat pada dirinya. Posisi kemanusiaan yang notabene dijunjung tinggi
tanpa disadari hilang begitu saja. Walaupun demikian, secara historis kita tidak bisa
menafikan bahwa manusia dibangun dalam sejarah kemanusiaan yang begitu kelam. Namun
apakah kita ingin mengulang sejarah kelam itu? Padahal zaman telah berubah. Konsep-
konsep yang mengatasnamakan kemanusiaan telah menjadi tameng yang melindungi
manusia. Namun sayang manusia harus menelan pil pahit. Manusia yang teralienasi dari
dirinya sendiri memang merupakan suatu sebab utama mengapa pil pahit kehidupan selalu
menjadi bom waktu yang membunuh manusia. Itulah alienasi.

Mengenai alienasi, dalam buku Alienation karangan Richard Schact (1970),


dijelaskan bahwa ada banyak filsuf yang sudah lama menggunakan terminologi ini, di
antaranya ialah Hegel dan Marx. Hegel seorang filsuf kontemporer mengartikan alienasi
dalam dua terminologi yang berlawanan yakni keterpisahan dan penyerahan. Dalam konteks
keterpisahan Hegel mengetengahkan posisi manusia yang sering merasa asing dengan
substansi sosial di sekitarnya. Sedangkan dalam konteks penyerahan diri, Hegel menekankan
bahwa alienasi koheren dengan konsep kontrak sosial. Lebih lanjut Hegel melirik sebuah
konsep penyerahan diri yang berimbas pada manusia yang secara utuh ingin mengikatkan diri
dengan sesamanya. Ada ikatan yang dibangun oleh individu-individu, sehingga ikatan
tersebut nyata dalam konsep kontrak sosial.

Schacht sebagaimana yang ditegaskannya dalam bukunya menjelaskan memang sukar


memahami alienasi dalam pandangan Hegel. Ia menggunakan dua terminologi yang kurang
lebih bertentangan sehingga menimbulkan ambiguitas. Inilah yang dikritik Karl Marx.
Dalam pandangan Marx sendiri alienasi ialah suatu kondisi di mana manusia terlepas dari
pekerjaan, terasing dari hasil karyanya sendiri dan sesamanya. Selain itu, secara ekstrem
Marx mengartikan alienasi sebagai suatu kondisi di mana terjadi dehumanisasi.

Menggunakan pendekatan Marx dalam mendefinisikan alienasi sekiranya cocok


dengan kondisi manusia abad ini. Walaupun demikian, alienasi dalam konteks kekinian
menyiratkan dua hal penting yaitu soal kerapuhan dan kekalahan manusia. Manusia yang
rapuh lebih dipahami bukan karena keterbatasannya sebagai makhluk rohani melainkan
karena dalam situasi yang lebih konkret manusia tidak bisa menjaga marwah
kemanusiaannya. Ia mudah diintervensi oleh kekuatan-kekuatan besar yang datang dari luar.
Manusia telah gagal menemukan independensi dirinya.

Di sisi lain manusia yang kalah menyiratkan bahwa manusia tidak mau berjuang lebih
radikal dalam mempertahankan posisi kemanusiaannya yang telah dikebiri. Perjuangan
manusia hanya dalam skala normatif dan bersifat moralis. Belum ada gebrakan baru untuk
melihat posisi kemanusiaan yang mesti dijunjung tinggi. Emansipasi terhadap kelompok-
kelompok rentan seperti kelompok-kelompok minoritas, masyarakat adat, LGBT, dan
perempuan hanyalah gerakan moralis yang menekankan seruan-seruan moral semata tanpa
framing yang jelas. Dalam konteks demikian ketertindasan manusia yang berujung pada
teralienasinya manusia dari dirinya sendiri ialah implikasi dari matinya rasionalitas.
Rasionalitas yang mati menandakan bahwa peradaban kita telah tersungkur ke jurang yang
dalam. Akhir-akhir ini, dengan mata kepala sendiri kita bisa menengok realitas matinya
rasionalitas dalam diri para pemimpin dari pusat hingga daerah. Mulai dari pejabat
pemerintahan seperti gubernur, bupati, menteri, sampai pada lembaga penegak hukum seperti
TNI dan polisi. Kriminalisasi terhadap aktivis dan pejuang kemanusiaan adalah contoh-
contoh dari matinya rasionalitas manusia. Proliferasi kriminalisasi yang janggal di tengah
pandemi memang disebabkan oleh matinya rasionalitas para penguasa. Pada aras ini
bukankah matinya rasionalitas telah dengan gamblang menunjukkan manusia yang teralienasi
dari dirinya sendiri?

Seperti yang ditegaskan Marx bahwa alienasi bertitik tolak pada fenomena
dehumanisasi. Manusia yang kehilangan kebebasan, kemelaratan, keterasingan dari sesama
manusia, dan keterlibatan manusia dalam pekerjaan yang hampa dari orisinalitas, spontanitas
atau kreativitas merupakan sejumlah aspek dehumanisasi manusia. Selain itu, melihat alienasi
dalam konteks yang berbeda juga mesti menjadi tema sentral dalam sebuah diskursus
filosofis. Misalnya dalam konteks budaya dan sosial. Manusia yang teralienasi dalam konteks
ini adalah manusia yang tak bisa lagi menginternalisasi nilai-nilai budaya dalam aktus hidup
hariannya. Hal ini berimplikasi pada matinya nilai-nilai budaya yang punya cita rasa spiritual
yang otentik. Ketika manusia teralienasi dari budaya maka secara antropologis manusia tidak
bisa mengaktualkan dirinya sebagai makhluk berbudaya.

Virus alienasi yang diikuti dengan pengungkungan terhadap kemanusiaan adalah


virus yang lebih mematikan dari covid-19. Atas dasar itu, bukan covid-19 yang mesti kita
takutkan melainkan alienasi manusia dari dirinya sendiri. Sebab alienasi akan mengantar
manusia pada sebuah keadaan di mana rasionalitas kita mati dan pada waktu yang bersamaan
kemanusiaan digiring ke jurang kematian. Covid-19 mungkin saja diyakini sebagai sebuah
fenomena berpengaruh dalam sejarah umat manusia. Namun sebenarnya manusia yang
teralienasi dalam pengertian Marx adalah krisis yang selalu terjadi dalam ruang dan waktu
manusia. Tak ada yang bisa memperkirakan kapan manusia bisa lepas dari alienasi ini. Oleh
karena itu, manusia sebagai sebuah entitas yang punya moral-etis mesti menjaga marwah
kemanusiaannya dari bahaya alienasi. (Itz Minta)

Anda mungkin juga menyukai