Anda di halaman 1dari 6

Nama: Yohanes Defritz Minta

NPM: 18.75.6474
Judul Buku: Kingdom Morality
Penulis: Mary Foskett
Tebal: x +142 hlm.
Penerbit: Penerbit ANDI
Tahun Terbit: 2017
Isi Ringkas:

Bab I

Kotbah di Bukit dan Pengajaran Moral Yesus

Moralitas sebagai Praktik dan Hikmat

Sebelum menunjuk ajaran tertentu dalam Khotbah di Bukit, marilah kita memikirkan
bagaimana khotbah itu mendekati moralitas. Untuk mengawalinya, kita harus mencatat
bahwa Matius 5:3-7:27 tidak begitu menekankan untuk mendaftar hukum dan peraturan
tertentu, tetapi lebih menekankan untuk menyediakan prinsip serta sikap yang
menggambarkannya dan perspektif untuk dihidupi. Hal ini memberikan tugas kepada para
pembaca Kitab Matius untuk membedakan bagaimana menafsirkan dan hidup oleh pelajaran
dari khotbah itu.

Sebagai keseluruhan, Matius 5-7 menampilkan kepada kita dua cara berpikir tentang
moralitas. Cara pertama menampilkan moralitas sebagai sesuatu yang aktif, dilakukan, dan
dihidupi. Itu adalah sesuatu yang kita lakukan. Dalam istilah pemuridan Kristen, moralitas
berakar dalam meneladani tindakan dan ajaran Yesus. Seperti yang akan kita lihat dalam
studi kita bersama, praktik moral yang dituntut Khotbah di Bukit bukanlah peniruan atau
perfeksionisme yang terpaksa. Namun, khotbah itu mendorong kita untuk melakukan visi
tertentu dari pemuridan dan komunitas. Di sini, visi Matius tentang Kerajaan Surga
merupakan dasar bagaimana kita memahami pemuridan dan kehidupan komunitas iman kita.

Cara pikir kedua tentang moralitas berakar pada Khotbah di Bukit, seperti cara pikir
pertama di sini kita dapat berpikir moralitas bukanlah sebagai moralisme, melainkan sebagai
hikmat. Dalam pengertian ini, Yesus bukan hanya teladan praktik moral yang benar,
melainkan Dia juga menyatakan kepada kita tindakan dan sikap yang berbeda bagi Kerajaan
Surga. Jika seseorang mempraktikkan moralitas, pertama-tama ia perlu membuka matanya
untuk melihat dan telinganya untuk mendengar dengan tepat hal yang merupakan tindakan,
nilai, dan kepercayaan moral menurut pemerintahan Allah. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan jika khotbah itu berfokus pada tidak menempatkan perintah khusus di depan
kita, tetapi paradigma yang menolong kita untuk membayangkan Kerajaan Surga terlebih
dulu. Dengan demikian, Khotbah di Bukit membawa dua dimensi sekaligus tentang
moralitas: praktik dan hikmat.

Bab II

Injil Matius dan Khotbah di Bukit

Seperti semua ingatan orang Kristen mula-mula tentang kehidupan dan pelayanan
Yesus, Injil Matius ditulis dengan tujuan berbicara kepada orang-orang nyata yang
menghadapi tantangan nyata dalam konteks kehidupan nyata. Oleh karena itu, ketika kita
berhadapan dengan pengajaran moral Yesus dalam Khotbah di Bukit dan visi-Nya atas
kehidupan yang dihidupi menurut pemerintahan Allah, akan sangat baik bila kita mengingat
bahwa tujuan Matius bukan untuk membanjiri kita dengan idealisme yang tinggi.
Menganggap serius perintah moral Yesus berarti mengaplikasikan pengajaran-Nya dari hari
ke hari dengan serius.

Sama seperti kita menghadapi tantangan dan kesempatan yang diberikan oleh
perubahan sosial dan pluralisme yang berkembang, begitu pula Matius dan komunitasnya.
Lantas, seperti sekarang, orang Kristen melihat ajaran Yesus untuk mendapat arahan dan
bimbingan dalam dunia yang terus berubah. Ketika terus mempertimbangkan pengajaran
moral Yesus, kita harus terus membuka mata, telinga, dan hati kita tidak hanya bagi cara-cara
yang dipakai Matius untuk berbicara kepada orang percaya abad pertama, tetapi juga
bagaimana hal itu berbicara kepada orang Kristen abad ke-21.

BAB III

Mengasihi Musuh

Perintah Yesus untuk mengungkapkan kebenaran dari Kerajaan Surga menguat ketika
Dia selanjutnya berkata, “Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan
bencilah musuhmu” (Mat. 5:43). Setengah bagian pertama kutipan-Nya jelas berasal dari
Imamat 19:18 (… kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN.),
ayat yang tidak hanya dikutip oleh Injil Perjanjian Baru, tetapi juga sejumlah tulisan Yahudi.
Namun, setengah bagian selanjutnya dari kutipan itu (“dan bencilah musuhmu”) tidak ada di
bagian mana pun dalam Alkitab. Di sini, acuan Yesus kepada “firman" tampaknya menunjuk
kepada sentimen yang umum terdengar.

Dengan demikian, hal yang selanjutnya dikatakan Yesus sama relevannya dengan kita
saat ini: “Tetapi Aku berkata kepadamu Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang
menganiaya kamu” (Mat. 5:44). Dengan pernyataan Yesus, “sesama" kita menjadi cukup
luas, mencakup musuh kita sehingga musuh kita juga menjadi sesama kita. Panggilan untuk
mengasihi musuh kita dan berdoa untuk orang yang menganiaya kita tidaklah mudah
diterima, khususnya ketika pengalaman penganiayaan, penindasan, atau kekerasan masih
segar dalam ingatan. Pikirkanlah bagaimana perasaan sebagian besar orang yang tinggal di
Amerika terhadap musuh mereka setelah peristiwa 11 September 2001. Mengapa kita harus
mengasihi musuh kita?

Ingatlah, panggilan Yesus bukan untuk kehancuran diri. Pikirkanlah bersama saya
tentang jauhnya begitu banyak situasi yang tidak terlalu kita ketahui di mana tidak hanya
sesama kita, tetapi bahkan juga keluarga bertindak sebagai musuh. Yesus tidak meminta
wanita yang dianiaya oleh suaminya untuk tinggal dalam situasi yang membahayakannya Dia
tidak meminta anak yang menjadi korban orangtua atau orang dewasa lainnya untuk diam
saja seperti bagian sebelumnya, fokus Yesus di sini adalah sifat hidup yang berkelimpahan,
cara hidup yang ditunjukkan melalui sikap, doa, dan tindakan kita. Panggilan untuk
mengasihi musuh kita dan berdoa bagi penganiaya kita menentukan kecenderungan kita
terhadap dunia dan orang lain. Tindakan mengasihi dan berdoa bagi musuh tidak berarti
seseorang harus menjadi korban? atau tergantung bagaimana penganiayaan itu. Namun, hal
itu berakar pada hikmat yang ditunjukkan Yesus dalam pernyataan-Nya selanjutnya, hikmat
yang memulihkan wajah manusia, baik kepada musuh maupun diiri kita.

BAB IV

Kemarahan dan Perdamaian

Memimpikan Kembali Dunia Kita

Seperti yang ditekankan Matius, kita dapat ambil bagian dalam pemerintahan Allah,
bahkan sejak sekarang. Ilustrasi Yesus tidak menghadirkan perintah atau usul yang tepat,
tetapi memberi kita kisah yang bersifat usulan dan ilustratif tentang cara alternatif dan tatanan
keberadaan yang baru dan Yesus menggunakan hiperbola di sepanjang Khotbah di Bukit,
tetapi penggunaan itu tidak merusak atau membiarkan kita menghilangkan keseriusan
pengajaran yang kita hadapi di sini.

Alih-alih mendorong kita untuk mengingat dan merenungkan ilustrasi dari situasi
dalam hidup kita, ilustrasi Yesus mengarahkan perhatian kita untuk mempertimbangkan
kembali jalan-jalan dunia kita serta cara berlipat ganda dan bersaing serta etika yang kita
hadapi di sana. Pengajaran Yesus meminta kita untuk merenungkan bagaimana kita dapat
memilih nilai, perspektif, posisi, tujuan, dan sasaran yang berbeda, mungkin berlawanan;
dengan hal yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Singkatnya, tesis/antitesis dalam
khotbah Yesus membuat kita berpikir panjang dan keras tentang hal yang kita impikan bagi
dunia kita dan alasannya. Hal itu awalnya bisa saja menimbulkan sedikit ketidaknyamanan,
tetapi juga dapat mendorong kita ke dalam visi yang seluruhnya baru tentang Kerajaan dan
seperti apa kehidupan kelak.

Perluasan yang dibawa Khotbah di Bukit kepada visi lintas budaya akan memperluas
pemahaman kita, tidak hanya tentang implikasi religius dan filosofis dari pengajaran moral
Yesus, tetapi juga sosial dan politik. Seseorang tidak dapat memikirkan pengajaran moral
Yesus dengan serius tanpa berhadapan muka dengan kepedulian sosial politik pada zaman
kita. Ketika beralih ke sesi selanjutnya, kita akan melihat bagaimana pengajaran Yesus
memiliki pengaruh berbeda tidak hanya pada visi kehidupan pribadi kita, tetapi juga visi kita
bagi masyarakat yang lebih luas.

BAB V

Pernikahan

Prinsip-prinsip bagi Etika Pernikahan

Daripada berusaha memaksakan keseragaman dan kesejajaran yang salah pada norma
sosial kuno dan modern, kita dapat mempertimbangkan tiga prinsip utama dalam pengajaran
Yesus tentang pernikahan dan perceraian yang berbicara baik untuk konteks Matius maupun
konteks kita. (1) Visi Yesus bagi pernikahan berakar pada visi-Nya tentang kemanusiaan
yang mana kita diciptakan untuk mewujudkannya sejak awal penciptaan. (2) Perceraian
adalah kelonggaran Ilahi, bukan sesuatu yang baik. (3) Pernikahan tidak dapat dipisahkan
dengan mudah. Ketiga prinsip yang ditekankan Yesus di sini selaras dengan pengajaran yang
kita temukan di mana pun dalam Perjanjian Baru. Prinsip itu memberi kita batasan mendasar
di mana kita dapat membangun, dalam iman, etika bagi pernikahan dalam waktu kita sendiri
dan untuk masa kini.

Pernikahan Itu Pilihan

Respons para murid mengilustrasikan bahwa pengajaran Yesus sulit untuk mereka
terima jika demikian halnya hubungan antara suami dan istri, lebih baik jangan kawin" (Mat.
19:10). Hal ini memberi Yesus kesempatan untuk mengualifikasikan pernikahan. Meskipun
acuan Yesus untuk “pengajaran" ini dalam Matius 19:11 rancu, menjadi lebih jelas bagi kita
jika kita menggunakannya untuk mengartikan kesimpulan para murid bahwa “lebih baik tidak
kawin". Yesus menegaskan, “Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka
yang dikaruniai saja,” yang disebut selibat. Khususnya, yang sangat dihargai adalah mereka
yang “membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri "oleh karena Kerajaan Sorga”
(Mat. 19:12) tepatnya karena mereka melakukannya untuk Kerajaan Surga. Dengan
demikian, sekalipun Yesus memberikan pandangan tentang pernikahan yang sesuai dengan
visi-Nya atas pemerintahan Allah, Dia juga mengajar bahwa pernikahan adalah nilai yang
relatif, bukan mutlak. Orang-orang yang dipanggil untuk selibat, khususnya sebagai sarana
untuk berkomitmen bagi Kerajaan Surga, mendapatkan perhatian khusus.

Dari pengajaran Yesus, kita dapat menyimpulkan bahwa di dalam dan dari dirinya,
bukanlah menikah atau tetap tidak menikah yang sangat berarti ketika ikut serta dalam cara
Kerajaan. Keikutsertaan dalam jalan-jalan Allah-lah yang menjadi ukuran sesungguhnya dari
keduanya.

BAB VI

Integritas Rohani

Penentangan Yesus terhadap kerohanian yang suka dipamerkan bukan hanya pelajaran dalam
kerendahhatian. Kita bukan hanya harus menghindari kemunafikan dan penampilan religius
(6:2, 5, 16) yang upahnya hanya dilihat orang dan mendapat g pujian masyarakat (“Aku
berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya” [6:2, 15, 16]). Hal yang
juga di» tunjuk Yesus dalam ilustrasi yang cukup jenaka (“janganlah engkau mencanangkan
hal itu dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik” [6:2,
16]) adalah pentingnya membangun kehidupan rohani yang berakar pada hubungan seseorang
dengan Allah. Tindakan kesalehan yang terjadi di luar pandangan mata umum
mengimplikasikan lebih dari sekadar integritas pribadi. Gambaran di balik pintu tertutup,
hanya di antara kita yang dilibatkan Yesus, mengasumsikan hubungan intim dengan Allah
yang “melihat dari tempat tersembunyi” hal yang kita lakukan “di tempat tersembunyi" (6:4,
6, 18). Dalam hubungan kita dengan Allah, kita harus mengusahakan keintiman dan integritas
yang dengan sendirinya merupakan upah.

“Bapamu yang melihat yang tersembunyi” (6:4, 6, 18) akan mengenali kesalehan
sesungguhnya dari orang yang kedermawanannya tidak diperhatikan orang lain. Begitu pula
puasa yang tidak dilihat orang lain akan dilihat dan diakui Allah. Kedermawanan, doa, dan
puasa bukanlah olahraga tontonan. Selanjutnya, fokus pengajaran Yesus bukan hanya
integritas rohani dan pemusatan hati, melainkan juga keintiman dengan Allah.

Anda mungkin juga menyukai