Sama halnya dengan Nabi Musa, Firaun juga menjadi nama yang cukup populer
dalam Al-Quran. Bahkan mengalahkan nama Nabi Muhammad SAW. Terhitung
nama Firaun disebut sebanyak 74 kali dalam al-Quran. Sedangkan nama Nabi
Muhammad SAW hanya disebut empat kali saja. Maknanya, ada pelajaran besar
yang hendak disampaikan Allah ta’ala kepada umat ini. Terutama kisah
kesombongan fir’aun yang berujung pada penyesalannya saat ditenggalamkan
dalam laut merah.
Dalam sekian banyak episode kisah hidup fir’aun yang disebutkan dalam al-
Quran selalu saja berhubungan dengan kekuasaan. Kehidupan fir’aun yang
diceritakan dalam al-Quran seakan-akan tidak pernah lepas dari suasana politik
kekuasaan negera Mesir. Artinya kebijakan politik firaun menjadi pelajaran yang
mesti dipahami dan dihindari oleh setiap umat Islam.
Bila dilacak kembali karakter politik fira’un dalam mengusai negeri Mesir, selain
menaklukkan hati rakyat dengan keberhasilannya melakukan pembangunan
infrastruktur, Firaun yang hidup zaman Nabi Musa as ini juga bisa dibilang
sebagai sosok politisi ulung yang ahli mengubah narasi untuk menjatuhkan
lawan-lawannya.
Setidaknya kelihaian dan kelicikan Firaun dalam berpolitik bisa dilihat dari dua
sisi berikut ini: Pertama, merangkai narasi untuk menuduh, mendiskreditkan
dan mengkriminalisasi lawan-lawannya. Kedua, menggunakan teror fisik untuk
membungkam musuh-musuhnya. Kedua senjata ini dipraktekkannya dengan
sempurna dalam menghadapi Nabi Musa as dan para pengikutnya
Jamaah Jumat Rahimakumullah
kisah para ahli sihir Firaun yang beriman kepada Musa adalah contohnya.
Sesaat setelah ular khayalan ahli sihir itu ditelan oleh ular Nabi Musa, spontan
mereka sujud beriman terhadap yang disampaikan oleh Musa as. Nurani
mereka menangkap tanda kebenaran Musa as, bahwa apa yang ditunjukkan
Musa as tidak mungkin berasal dari jin sebagaimana teori sihir yang mereka
pelajari.
Bagi Firaun, sujudnya para ahli sihir tidak bisa dipandang remeh. Sebab, ia
cukup berbahaya dan membawa pengaruh kepada masyarakat luas. Akhirnya
Firaun pun mengatur narasi untuk menuduh bahwa apa yang mereka lakukan
adalah tindakan konspiratif, makar dan inkonstitusional dalam rangka
menggulingkan kekuasaan.
Firaun berupaya mencitrakan dirinya sebagai penguasa yang bijak. Firaun tidak
menyoalkan pilihan iman para ahli sihir, tapi Firaun menggugat caranya yang
melanggar hukum atau kesepakatan. Jadilah ini pasal pertama kesalahan para
ahli sihir. Sejatinya, ia marah terhadap imannya ahli sihir, tapi bahasa politik
harus tetap logis. Maka tuduhan yang paling mungkin adalah sisi izinnya, bukan
sisi pilihan keyakinan.
Lalu Firaun menyusun narasi bahwa kekalahan para ahli sihir hanyalah
sandiwara. Sebab, sebelumnya Firaun telah menuduh Musa as sebagai guru
besar para ahli sihir, “Sesungguhnya ia (Musa) adalah pemimpin kalian yang
mengajarkan sihir Kepada kamu sekalian.” (QS. Thaha: 71)
Dari seluruh episode kisah Fir’aun tersebut, secara ringkas Allah ta’ala hendak
mengabadikan karakter fir’aun dalam berpolitik dalam salah satu ayat-Nya,
yaitu:
Jauh sebelum empat belas abad yang lalu, Rasulullah SAW telah mengingatkan
umatnya, bahwa kelak di akhir zaman akan ada para pemimpin yang berbuat
zalim dan berbohong di hadapan rakyatnya. Sebagai umatnya, kita tidak hanya
diperintahkan untuk bersabar menghadapi keadaan tersebut. Namun lebih
daripada itu, Rasulullah SAW mengingatkan kita untuk senantiasa berpegang
teguh pada nilai-nilai kebenaran dan selalu menegakkan amar ma’ruf nahi
mungkar.
“Agama itu adalah nasihat.” Kami berkata, “Untuk siapa?” Beliau bersabda,
“Untuk Allah, kitabNya, RasulNya, Imam kaum muslimin, dan orang-orang
kebanyakan.” (HR. Muslim)
“Jika engkau melihat umatku takut, sehingga tidak berani mengatakan kepada
orang zalim, ‘wahai orang zalim,’ maka mereka tidak berarti lagi
(keberadaannya).” (HR. Ahmad)
Karena itu, setidaknya ada tiga hal yang menjadi kewajiban umat ketika
menghadapi penguasa zalim. Pertama: Tidak boleh menaati penguasa dalam
bermaksiat kepada Allah Ta’ala. Berdasarkan hadits yang masyhur dari
Rasulullah SAW:
Apapun bentuk perintahnya, ketika hal itu menyimpang dari batas-batas syariat
maka kita wajib mengingkarinya. Ketika itu, taat kepada pemimpin menjadi
haram hukumnya. Lalu kewajiban Kedua: menasihati pemimpin dengan
segenap upaya yang kita miliki. Memberikan kritik dan nasihat kepada
pemimpin itu wajib dilakukan. Sebab, jika seorang pemimpin sudah keluar dari
jalur semestinya dan tidak amanah, lalu orang-orang saleh membiarkannya,
rusaklah semua sendi kehidupan masyarakat. Sebagaimana yang disabdakan
Nabi SAW di atas, “Agama itu adalah nasihat.” Kami berkata, “Untuk siapa?”
Beliau bersabda, “Untuk Allah, kitabNya, RasulNya, Imam kaum muslimin, dan
orang-orang kebanyakan.” (HR. Muslim)
Kewajiban ketiga: menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Sebagai bentuk
kasih sayang kita terhadap sesama muslim adalah senantiasa mengajaknya
kepada kebaikan serta menegur bila ia melampaui batas-batas syariat Allah.
Disebutkan dari Abu Sa’id Al-Khudriy, ia berkata, Rasulullah Saw berdiri di
tengah kami dalam salah satu khutbah yang di antaranya beliau bersabda:
ش َّد َعلَى َ َ فَ َمنْ ن.َثُ َّم يَلِي ُك ْم ُع َّما ٌل ِمنْ بَ ْع ِدي يَقُولُونَ َما الَ يَ ْعلَ ُمونَ َويَ ْع َملُونَ بِ َما الَ يَ ْع ِرفُون
َ اص َح ُه ْم َو َوازَ َر ُه ْم َو
ُس ِن بِأَنَّهِ ش َهدُوا َعلَى ْال ُم ْح َ َخالِطُو ُه ْم بِأ َ ْج.ضا ِد ِه ْم فَأُولَئِ َك قَ ْد َهلَ ُكوا َو أَ ْهلَ ُكوا
ْ َوا.سا ِم ُك ْم َوزَايِلُو ُه ْم بِأ َ ْع َمالِ ُك ْم َ أَ ْع
ِ س ِئ بِأَنَّهُ ُم
س ٌئ ِ َو َعلَى ْال ُم,ٌسن
ِ ُم ْح.
“Setelah itu kalian akan dipimpin oleh para penguasa yang berkata bukan
berdasar landasan ilmu dan berbuat bukan berdasar landasan ilmu. Barang
siapa menjadi penasihat mereka, pembantu mereka, dan pendukung mereka,
berarti ia telah binasa dan membinasakan orang lain. Hendaklah kalian bergaul
dengan mereka secara fisik, namun janganlah perbuatan kalian mengikuti
kelakuan mereka. Persaksikan siapa yang berbuat baik di antara mereka
sebagai orang yang berbuat baik, dan orang yang berbuat buruk di antara
mereka sebagai orang yang berbuat buruk.” (HR. Ath-Thabrani, Silsilah al-
Ahadits al-Shahihah no. 457)
Demikianlah sikap yang harus kita tunjukkan bila berhadapan dengan penguasa
yang menyimpang dari syariat. Prinsipnya, seorang muslim tidak boleh
mendiamkan kemungkaran yang terjadi di depan matanya. Sebab, ia bagian dari
konsekuensi iman yang harus diperjuangkan. Entah sekecil apapun itu bentuk
usahanya, dia harus menunjukkan bahwa dirinya tidak rela terhadap
kemungkaran yang ada. Wallahu a’lam bis shawab!