Anda di halaman 1dari 5

PENDAHULUAN

Perkembangan ekonomi di Indonesia bahkan di dunia, mengalami banyak perubahan


yang sangat besar. Sehingga berdampak besar pada tatanan kehidupan manusia, dari segi
kebutuhan akan pangan, papan, hingga sandang yang menggambarkan gaya hidupnya. Tuntutan
untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup itulah yang biasanya menjadi cambuk terbesar bagi
setiap individu. Pencapaian yang besar dalam hal ekonomi inilah yang secara besar
mempengaruhi timbulnya kebutuhan yang besar, dan selalu diiringi oleh kejahatan dengan
bentuk-bentuk yang beragam, baik pada bidang sosial maupun ekonomi itu sendiri.
Kejahatan yang terjadi memiliki karakteristik yang berbeda-beda, namun dalam hal
pemenuhan kebutuhan dan gaya hidup, biasanya berupa penipuan yang diikuti dengan kekerasan
fisik, kejahatan terselubung, hingga kejahatan dalam lingkup besar. Contoh-contoh penipuan,
seperti penyuapan, penyelewengan asset, hingga korupsi yang dilakukan berjamaah. Penipuan-
penipuan tersebut terjadi karena adanya beberapa kemungkinan, yang berupa tekanan atau
motivasi dalam diri, etika individual, pengetahuan yang didasarkan atas pengalaman sebelumnya
atau melihat dari pengalaman orang lain. Serta faktor dominan yaitu adanya peluang dan
kesempatan.
Kesempatan dan peluang muncul cenderung dikarenakan adanya kelemahan dalam
system pengendalian perusahaan, baik dalam prosedur, peraturan berupa perangkat hukum, tata
kerja, etika perusahaan dan para pegawai, hingga lemahnya pengawasan perusahaan. Berbagai
cara dilakukan untuk mendeteksi dan mencegah adannya penipuan. Namun, pengenaan sanksi
yang sepadan dengan kejahatan tersebut, cenderung belum dapat dilakukan. Sehingga risiko-
risiko munculnya kecurangan masih besar untuk terjadi.
Gejala kecurangan atau sidik jari kecurangan yang biasa disebut red flag dapat
diidentifikasi oleh pihak manajemen agar menjadi sebuah cara yang dapat digunakan untuk
mendeteksi kemugkinan kecurangan yang akan terjadi. Dilihat dari berbagai kecurangan yang
pernah terjadi, seharusnya pihak manajemen dan internal auditor dapat menangani secara dini.
Pada artikel ini, akan dibahas red flag yang dimaksud sebagai jejak-jejak sidik jari yang
ditinggalkan oleh pelaku kejahatan, dapat berupa dokumen-dokumen maupun berkas-berkas
tertulis yang berada di sekitar tempat kejadian perkara (tkp) tersebut. Red flag mencakup
beberapa skema penipuan, baik skema individu maupun skema kelompok. Adanya pembahasan
terkait red flag ini, diharapkan dapat membantu untuk memahami bentuk-bentuk skema
penipuan dan sidik jari penipuan yang mungkin ditinggalkan oleh pelaku kejahatan.
TELAAH PUSTAKA

Audit

Pengertian audit menurut Al Haryono Jusup (2014:11) adalah suatu proses sistematis untuk
mendapatkan dan mengevaluasi bukti yang berhubungan dengan asersi tentang tindakan-
tindakan dan kejadian-kejadian ekonomi secara objektif untuk menentukan tingkat kesesuaian
antara asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan dan mengkomunikasikan hasilnya
kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

Sedangkan menurut Miller and Bailley dalam Abdul Halim (2015:3) audit adalah tinjauan
metode dan pemeriksaan objektif atas suatu item, termasuk verifikasi informasi spesifik
sebagaimana ditentukan oleh auditor atau ditentukan oleh praktik umum, tujuannya untuk
menyatakan pendapat atau mencapai kesimpulan tentang apa yang diaudit.

Red Flag

Menurut Tuanakotta (2013) red flag atau yang biasa disebut dengan bendera merah adalah
tanda bahaya, tanda bahwa ada hal yang tidak sesuai pada tempatnya dan perlu mendapat
perhatian. Auditor dan investigator menggunakan tanda bahaya (red flag) sebagai petunjuk
indikasi terjadinya fraud atau kecurangan pada sebuah laporan keuangan. Red flag juga
dikatakan sebagai suatu kondisi yang janggal atau berbeda dengan keadaan normal.

Sedangkan menurut Karyono (2013:94) red flag merupakan tanda-tanda kecurangan (fraud)
yang tercermin melalui karakteristik tertentu yang bersifat kondisi atau situasi tertentu yang
merupakan peringatan dini terjadinya fraud.

Dengan kata lain, red flag adalah petunjuk atau indikasi adanya sesuatu yang tidak biasa dan
memerlukan penyidikan lebih lanjut. Red flag tidak mutlah menunjuk apakah seseorang bersalah
atau tidak tetapi merupakan tanda-tanda peringatan bahwa kecurangan sedang atau telah terjadi.
Kategori Red Flag

red flag dikategorikan menjadi tiga menurut Moyes (2007:10) yaitu :

1. Kesempatan (opportunities)

Tuanakotta (2013:46) sebagai peluang untuk melakukan kecurangan seperti


yang dipersepsikan pelaku kecurangan. ACFE mendefinisikan kesempatan pada model segitiga
kecurangan inisebagai metode yang bisa digunakan untuk melaksanakan kecurangan. Pelaku
kecurangan harus bisa melihat celah untuk bisa melakukan kecurangan dengan menghindari
resikosekecil mungkin tindakan kecurangannya tersebut diketahui orang lain.

Lister (2007:63) mendefinisikan kesempatan sebagai “bahan bakar yang harus


membuat api” atau dengan kata lain, walaupun individu memiliki tekanan dalam dirinya untuk
melakukan fraud, itu tidak akan bisa dilakukan jika tidak ada kesempatan.

Contoh opportunities yang membuat fraud bisa terjadi misalnya tingginya tingkat turnover di
divisi manajemen yang memegang peranan penting di perusahaan, atau pemisahan tugas yang
tidak memadai, atau transaksi yang sifatnya kompleks atau bahkan struktur manajemen.

2. Tekanan

Pressure atau tekanan yang dirasakan pelaku kecurangan yang dipandangnya


sebagai kebutuhan keuangan yang tidak dapat diceritakannya kepada orang lain
(perceived non-shareable financial needs), maka dari itu si pelaku kecurangan mulai
mempertimbangkan tindakan illegal seperti menyalahgunakan asset perusahaan atau
melakukan salah saji yang disengaja pada laporan keuangan untuk menyelesaikan
masalah keuangannya.

Lister (2007: 63) mendefinisikan pressure sebagai “sumber panas untuk api”
namun tidak berarti karena ada tekanan dalam diri seseorang, lantas orang tersebut akan
melakukan fraud. Menurut Lister (2007: 63), terdapat tiga jenis tekanan yang memotivasi
individu untuk melakukan fraud di perusahaan tempatnya bekerja, yaitu:

1. Personal pressure, yaitu kondisi dimana individu melakukan kecurangan karena gaya
hidup.
2. Employment pressure, dimana individu tertekan untuk melakukan kecurangan karena
tuntutan pekerjaan atau target kerja, atau karena kepentingan keuangan yang dimiliki
manajemen perusahaan.

3. External pressure, misalnya ancaman terhadap stabilitas keuangan perusahaan,


ekspektasi pasar, dan sebagainya.

3. Rasionalisasi (rationalization)

Rasionalisasi adalah pembenaran yang “dibisikkan” untuk melawan hati nurani si


pelaku kecurangan. ACFE mengklaim bahwa kebanyakan pelaku kecurangan adalah
firsttime offender atau orang-orang yang baru pertama kali melakukan praktik
kecurangan, dan tidak melihat diri mereka sebagai pelaku kriminal. Mereka melihat diri
mereka sebagai individu yang jujur yang terjebak dalam situasi yang buruk, dan mereka
menjustifikasi praktik kecurangan mereka sebagai tindakan yang legal atau bisa diterima
secara umum. Vona (2008) menjabarkan contoh rasionalisasi yang biasanya dilakukan
manajer akan beralasan bahwa mereka melakukan kecurangan karena dituntut untuk
memenuhi target margin perusahaan tahun ini, dan ketika mereka gagal, usaha
terakhirnya adalah melakukan kecurangan untuk memberikan comfortness kepada para
stockholders.

Anda mungkin juga menyukai