Disusun Oleh :
2021
A. Konsep Medis
1. Defenisi
Diabetes melitus adalah penyakit kronis yang terjadi ketika pankreas
tidak memproduksi cukup insulin atau ketika tubuh tidak dapat secara
efektif menggunakan insulin yang dihasilkannya. Insulin adalah hormon
yang diproduksi oleh pancreas yang berfungsi untuk mengatur penggunaan
glukosa sehingga glukosa dapat diubah menjadi energi dan membantu
mengontrol kadar gula darah (glukosa) dalam darah (WHO, 2020).
Diabetes mellitus (DM) adalah gangguan metabolisme karbohidrat,
lemak, dan protein yang disebabkan oleh karena kehilangan sel-sel yang
memproduksi insulin di pankreas atau penurunan sensitivitas jaringan
terhadap insulin yang menyebabkan peningkatan kadar gula dalam darah
(Kassahun & Mekonen, 2017).
Diabetes adalah didefinisikan sebagai kondisi ketidakstabilan
glikemik, yang memiliki efek mengubah metabolisme lipid, protein dan
karbohidrat yang menyebabkan disfungsi sekresi insulin (Vicente et al.,
2020).
Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit kronis dengan gangguan
fungsi kelenjar pankreas yang melepaskan hormon insulin. Pankreas
berperan dalam mengangkut gula dalam darah ke otot jaringan untuk suplai
energi (Martina & Adisasmita, 2019).
2. Klasifikasi
Terdapat beberapa jenis dari DM dan berikut adalah penjelasan
klasifikasi DM sebagai berikut :
a. DM tipe 1 adalah gangguan kronis metabolisme, ditandai dengan
defisiensi produksi yang lengkap dari hormon insulin, yang dihasilkan
dari kerusakan sel-sel beta pankreas, biasanya disebabkan oleh reaksi
autoimun di mana sistem kekebalan tubuh menyerang sel beta penghasil
insulin pancreas (Ying et al., 2020).
b. DM tipe 2 adalah suatu kondisi kronis di mana tubuh tidak dapat
membuat atau menggunakan insulin dengan benar, dapat menyebabkan
komplikasi yang melemahkan jika tidak ditangani dengan tepat atau jika
tidak ditangani. Penyebab DM tipe 2 ada kaitan kuat dengan kelebihan
berat badan dan obesitas, bertambahnya usia serta riwayat keluarga
(Valencia & Dols, 2021).
c. Gestational diabetes melitus (GDM) didefinisikan sebagai intoleransi
karbohidrat yang berkembang selama kehamilan, biasanya selama
trimester kedua atau ketiga kehamilan. Wanita dengan GDM memiliki
peningkatan risiko terkena diabetes (terutama diabetes tipe 2) di
kemudian hari. Insiden GDM meningkat dengan faktor risiko yang sama
terlihat untuk diabetes tipe 2 seperti obesitas, gaya hidup menetap, dan
peningkatan usia reproduksi wanita (Hromadnikova et al., 2020).
3. Etiologi
a. Diabetes milletus tipe 1
1) Faktor genetic
DM cenderung diturunkan atau diwariskan, bukan ditularkan.
2) Faktor imunologi
Dalam diabetes tipe ini ditemukan adanya suatu respon autoimun.
Respon ini merupakan respon abnormal karena antibodi terarah pada
jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut
yang dianggapnya seolah olah sebagai jaringan asing.
(Awadalla et al., 2017)
b. Diabetes Mellitus Tipe 2
1) Usia resistensi cenderung meningkat diusia 65 tahun
2) Obesitas/Overweight dikaitkan dengan gangguan metabolisme
intraseluler pada transpor sinyal pemanfaatan glukosa dan
peningkatan lipolisis yang kemudian menimbulkan resistensi insulin
dan hiperglikemia (Harbuwono et al., 2020).
3) Kurang olahrag dan pola makan tidak sehat
4) Riwayat keluarga dengan diabetes.
(Arambewela et al., 2018)
4. Patofisiologi
Menurut Wijaya & Putri (2013), patofisiologi diabetes melitus yaitu
sebagian besar gambaran patologik dari DM dapat dihubungkan dengan
salah satu efek utama akibat kurangnya insulin berikut: berkurangnya
pemakaian glukosa oleh sel-sel tubuh yang mengakibatkan naiknya
konsentrasi glukosa darah setinggi 200-1200 mg/dl. Peningkatan mobilisasi
lemak dari daerah penyimpanan lemak yang menyebabkan terjadinya
metabolisme lemak yang abnormal disertai dengan endapan kolesterol pada
dinding pembuluh darah dan akibat dari berkurangnya protein dalam
jaringan tubuh. Pasien-pasien yang mengalami defisiensi insulin tidak dapat
mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal atau toleransi
sesudah makan. Pada hiperglikemia yang parah yang melebihi ambang
ginjal normal (konsentrasi glukosa darah sebesar 160-180 mg/100 ml), akan
timbul glikosuria karena tubulus-tubulus renalis tidak dapat menyerap
kembali semua glukosa. Glukosuria ini akan mengakibatkan diuresis
osmotik yang menyebabkan poliuri disertai kehilangan sodium, klorida,
potasium, dan pospat. Adanya poliuri 10 menyebabkan dehidrasi dan timbul
polidipsi. Akibat glukosa yang keluar bersama urine maka pasien akan
mengalami keseimbangan protein negatif dan berat badan menurun serta
cenderung terjadi polifagi. Akibat yang lain adalah asstenia aatau
kekurangan energi sehingga protein menjadi cepat lelah dan mengantuk
yang disebabkan oleh berkurangnya atau hilangnya protein tubuh dan juga
berkurangnya penggunaan karbohidrat untuk energi. Hipergikemia yang
lama akan menyebabkan arterosklerosis, penebalan membran basalis dan
perubahan pada saraf perifer. Ini akan memudahkan terjadinya gangren.
Pasien-pasien yang mengalami defisiensi insulin tidak dapat
mempertahankan kadar glukosa yang normal, atau toleransi glukosa sesudah
makan karbohidrat, jika hiperglikemia parah dan melebihi ambang ginjal,
maka timbul glukosoria. Glukosoria ini akan mengakibatkan diuresis
osmotik yang meningkatkan mengeluarkan kemih (poliuria) harus
testimulasi, akibatnya pasien akan minum dalam jumlah banyak karena
glukosa hilang bersama kemih, maka pasien mengalami keseimbangan
kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar
(polifagia) timbul sebagai akibat kehilangan kalori.
5. Manifestasi klinik
a. Poliuria
b. Polidipsia
c. Polifagia
d. Penurunan/penambahan BB
e. Penglihatan buram
f. Luka yang sukar sembuh
(Hafeez et al., 2018)
6. Komplikasi
a. Komplikasi metabolik akut
1) Ketoasidosis Diabetik (KAD)
KAD merupakan komplikasi diabetes akut yang ditandai dengan
hiperglikemia (≥250 mg / dL), peningkatan kadar keton darah, dan
asidosis metabolik, biasanya dengan anion gap (AG) yang tinggi (Lee
et al., 2019).
2) Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SSH)
Hiperosmolar hyperglycaemic state (HHS) merupakan komplikasi
akut utama pada pasien dengan DM. Pemicu umum untuk HHS
termasuk kepatuhan pengobatan yang buruk, fluktuasi glukosa darah
atau respons stress. SSH adalah peningkatan glukosa darah yang
sangat tinggi (600-1200 mg/dl) tanpa adanya tanda dan gejala asidosis
(Hu & Lin, 2018).
3) Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah suatu komplikasi umum berikut
penggunaan glukosa. Hipoglikemia terutama berasal dari
suplai glukosa yang tidak adekuat untuk mengkompensasi
penurunan glukosa darah yang diinduksi oleh insulin eksogen
Hipoglikemia adalah turunnya kadar glukosa darah < 70 atau ≤40 mg /
dl (Coca et al., 2017).
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Kadar gula glukosa
1) Gula darah sewaktu/random <110mg/dl
2) Gula darah puasa/nuchter <110 mg/dl
3) Gula darah 2 jam PP (post prandial) <140mg/dl
(Harbuwono et al., 2020)
b. Pemeriksaan HbA1c banyak digunakan untuk pemantauan
terapeutik pada pasien diabetes karena mencerminkan kadar
glukosa dalam dua sampai tiga bulan sebelumnya. Sedangkan
pemeriksaan gula darah hanya mencerminkan saat diperiksa, dan tidak
menggambarkan pengendalian jangka Panjang (Krabbe et al., 2017).
Dikatakan diabetes jika hasil HbA1c adalah ≥ 6,1% (43 mmol / mol)
(Burgess et al., 2016).
8. Penatalaksanaan
a. Olah raga/latihan fisik yang rutin menyebabkan sel akan terlatih dan
lebih sensitif terhadap insulin sehingga asupan glukosa yang dibawa
glukosa transporter ke dalam sel meningkat. Aktivitas fisik yang
dilakukan bila ingin mendapatkan hasil yang baik harus memenuhi syarat
yaitu minimal 3 sampai 4 kali dalam seminggu serta dalam kurun waktu
minimal 30 menit dalam sekali beraktivitas. Tidak harus aktivitas yang
berat cukup dengan berjalan kaki di pagi hari sambil menikmati
pemandangan selama 30 menit atau lebih sudah termasuk dalam kriteria
aktivitas fisik yang baik. Aktivitas fisik ini harus dilakukan secara rutin
agar kadar gula darah juga tetap dalam batas normal (Azitha et al., 2018).
b. Edukasi merupakan dasar utama untuk pengobatan dan pencegahan
DM yang sempurna. Pengetahuan yang minim tentang DM akan lebih
cepat menjurus ke arah timbulnya komplikasi dan hal ini merupakan
beban bagi keluarga dan masyarakat. Tingkat pengetahuan yang rendah
akan dapat mempengaruhi pola makan yang salah sehingga
menyebabkan kegemukan, yang akhirnya mengakibatkan kenaikan
kadar glukosa darah (Novyanda & Hadiyani, 2017).
c. Diet diabetes mellitus merupakan cara yang dilakukan oleh penderita
diabetes untuk merasa nyaman, mencegah komplikasi yang lebih berat,
serta memperbaiki kebiasaan makan untuk mendapatkan kontrol
metabolisme yang lebih baik dengan cara menurunkan kadar gula
darah mendekati normal dengan menyeimbangkan asupan makanan,
insulin/obat penurun glukosa oral dan aktivitas fisik, menurunkan
glukosa dalam urine menjadi negatif dan mengurangi polidipsi (sering
kencing), memberikan cukup energi untuk mempertahankan atau
mencapai berat badan normal serta menegakkan pilar utama dalam
terapi diabetes mellitus sehingga diabetisi dapat melakukan aktivitas
secara normal (Novyanda & Hadiyani, 2017).
d. Farmakologi
1) Pemberian terapi oral yang berdasarkan kerjanya dibagi lima golongan
yaitu
a) Pemacu sekresi insulin (insulin secretagogue) : sulfonilurea dan
glinid
Sulfonilurea mempunyai efek utama memacu sekresi insulin oleh
sel beta pancreas. Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama
dengan sulfonylurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi
insulin fase pertama. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post
prandial.
b) Peningkatkan sensitivitas terhadap insulin : Metformin dan
Tiazolidindion (TZD)
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa
hati (gluconeogenesis) dan memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus
DMT2.
Tiazolidindion (TZD) merupakan agonis dari peroxisome
proliferator activated receptor gamma (PPAR -), suatu reseptor inti
termasuk disel otot, lemak dan hati. Golongan ini mempunyai efek
menurunkan resistensi insulin dengan jumlah protein pengangkut
glukosa sehingga meningkatkan ambilan glukosa diperifer. Obat ini
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung karena dapat
memperberat edema/retensi cairan. Obat yang masuk dalam
golongan ini adalah pioglitazone.
(Black & Hawks, 2016)
c) Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)
Obat ini bekerja dengan menurunkan kadar glukosa darah dengan
mengurangi reabsorpsi glukosa di tubulus proksimal di ginjal dan
dengan demikian mengeluarkan glukosa dalam urin. Obat yang
termasuk golongan ini antara lain : canagliflozin, empagliflozin,
dapagliflozin, ipragliflozin. (Rehman & Rahman, 2020).
2) Pemberian obat suntik
a) Insulin adalah obat anti diabetes mellitus yang bekerja dengan
onset yang cepat. Apabila terjadi kesalahan pada dosis maka akan
terjadi dua kemungkinan. Apabila terjadi kelebihan dosis maka
pasien akan langsung mengalami kondisi hipoglikemik yang
membahayakan dan apabila terjadi kekurangan dosis maka kadar
gula dalam darah tetap akan bertahan pada level yang tinggi.
Pengetahuan mengenai waktu penggunaan insulin juga wajib
dimiliki oleh pasien. Insulin digunakan lima belas menit sebelum
makan dengan tujuan untuk menurunkan kadar glikemik darah
yang akan mencapai puncak segera setelah selesai makan (Alfian,
2016)
9. Pathway
DMT1 DMT2
Defisiensi insulin
Hipoksia
Nekrosis luka
Perfusi perifer
tidak efektif Gg integritas kulit Ganggren
B. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas klien, meliputi : Nama pasien, tanggal lahir,umur, agama, jenis
kelamin, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, No rekam medis.
b. Keluhan utama
c. Riwayat kesehatan sekarang
d. Riwayat kesehatan dahulu
e. Riwayat kesehatan keluarga
f. Pemeriksaan Fisik
g. Klien dengan DM harus dipantau secara ketat untuk tingkat pengetahuan
dan melakukan peraatan mandiri. Tipe DM, kondisi klinis klien dan
rencana pengobatan juga merupakan pengkajian penting. Menanyakan
klien apakah minum vitamin, mineral atau suplemen herbal untuk
menurunkan kadar glukosa darah atau untuk tujuan lainnya.
(Black & Hawks, 2016)
2. Diagnosis Keperawatan
a. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan hiperglikemia ditandai
dengan CRT >3dtk, nadi perifer menurun atau tidak teraba, akral teraba
dingin, turgotr kulit menurun dan edema
b. Ketidakstabilan kadar glukosa berhubugan dengan
hipoglikemia/hiperglikemia ditandai dengan mengantuk, pusing, kadar
glukosa darah rendah/tinggi, Lelah atau lesu
c. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan neuropati perifer ditandai
dengan kerusakan jaringan/lapisan kulit, nyeri, kemerahan
(PPNI, 2017)
3. Intervensi Keperawatan
a. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan hiperglikemia ditandai
dengan CRT >3dtk, nadi perifer menurun atau tidak teraba, akral teraba
dingin, turgotr kulit menurun dan edema
Tujuan :
1) Tidak terjadi perfusi perifer tidak efektif
Kriteria hasil :
Edukasi
Manajemen Hiperglikemia
Observasi
1) Identifikasi penyebab hiperglikemia
R/hiperglikemia terjadi ketika jumlah insulin ke glukosa tidak
mencukupi
2) Monitor kadar gula darah
R/ untuk memantau kadar gula dalam darah apakah mengalami
peningkatan atau penurunan
3) Monitor tanda dan gejala hiperglikemia (poliura, polidipsi dan
polifagia)
R/ poliura, polidipsi dan polifagia dapat menyebabkan tingkat
kelesuan berlebih pada tubuh klien karena pengontrolan fungsi yang
tidak sesuai
Teraupeutik
4) Berikan asupan cairan oral
R/ untuk mempertahankan asupan cairan dikarenakan poliuria
5) Konsultasi dengan medis jika tanda dan gejala hiperglikemia tetap ada
atau memburuk
R/ agar dapat mengantisipasi dan menghambat keparahan yang
diakibatkan oleh hiperglikemia
Edukasi
6) Anjurkan monitor kadar glukosa darah secara mandiri
R/agar pasien bisa melakukan pengecekan kadar glukosa darah secara
mandiri
7) Anjurkan kepatuhan terhadap diet
R/ kepatuhan diet dapat mencegah komplikasi tterjadinya
hipoglikemia atau hiperglikemia
Kolaborasi
8) Kolaborasi pemberian insulin, cairan IV dan kalium jika perlu
R/ untuk menurunkan kadar glukosa sehingga tetap dalam rentang
normal
c. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan neuropati perifer ditandai
dengan kerusakan jaringan/lapisan kulit, nyeri, kemerahan
Tujuan : kerusakan integritas kulit dapat berkurang
Kriteria hasil : integritas kulit yang baik bisa dipertahankan, tidak ada
luka/lesi pada kulit
Perawatan luka
Observasi
1) Monitor karakteristik luka
R/ pengkajian yang tepat terhadap luka dan proses penyembuhan akan
membantu dalam menentukan tindakan selanjutnya serta mengetahui
perkembangan luka
2) Monitor tanda-tanda infeksi
R/ mengetahui tindakan yang akan dilakukan selanjutnya dan sebagai
deteksi dini dari infeksi local dapat dicegah.
Teraupeutik
3) Lepaskan balutan dan plester secara bertahap
R/ mengurangi tegangan pada jahitan atau luka
4) Bersihkan jaringan nekrotik
R/ untuk menjaga agar kulit tetap bersih dan kering dan untuk
mengangkat jaringan mati
5) Pasang balutan sesuai jenis luka
R/ meningkatan ketepatan penyerapan drainase
6) Pertahankan Teknik steril saat melakukan perawatan luka
R/ dapat menjaga kontaminasi luka dan mencegah infeksi
Edukasi
7) Ajarkan prosedur perawatan luka secara mandiri
R/ meningkatkan pengetahuan tentang perawatan luka
Kolaborasi
8) Kolaborasi pemberian antibiotic, jika perlu.
R/ antibiotic dapat menghambat proses infeksi
(PPNI, 2018)
4. Implementasi
Implementasi adalah pelaksanaan dari intervensi keperawatan untuk
mencapai tujuan yang diharapkan. Tujuan dari implementasi adalah
membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan yang
mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan
kesehatan dan memfasilitasi koping. Fokus tahap implementasi asuhan
keperawatan adalah kegiatan implementasi dari perencanaan intervensi
untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional. Pemenuhan kebutuhan
fisik dan emosional bervariasi, tergantung dari individu dan masalah yang
spesifik, tetapi ada beberapa komponen yang terlibat dalam implementasi
asuhan keperawatan yaitu pengkajian yang terus menerus, perencanaan, dan
pengajaran (Wiklinson, 2016).
5. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses
keperawatan yang menandakan keberhasilan dari diagnosis keperawatan,
rencana intervensi, dan implementasinya. Tahap evaluasi pada proses
keperawatan meliputi kegiatan mengukur pencapaian tujuan klien dan
menentukan keputusan dengan cara membandingkan data yang terkumpul
dengan tujuan dan pencapaian tujuan. Dengan mengukur perkembangan
klien dalam mencapai suatu tujuan maka perawat dapat menentukan
efektivitas asuhan keperawatan. Evaluasi dilakukan berdasarkan kriteria
yang telah ditetapkan sebelumnya dalam perencanaan, membaningkan hasil
tindakan keperaatan yang telah ditetapkan sebelumnya dan menilai
efektivitas proses keperaatan mulai dari pengkajian, intervensi dan
implementasi. Evaluasi disusun menggunapak SOAP (S:ungkapan perasaan
atau keluhan yang dikeluhkan klien secara subjektif setelah diberikan
implementasi keperawatan, O:keadaan objektif yang dapat di identifikasi
oleh peraat menggunakan pengamatan yang objektif, A:analisis peraat
setelah mengetahui respon subjektif dan objektif, P:perencanaan selanjutnya
setelah perawat melakukan analisis). (Wiklinson, 2016).
DAFTAR PUSTAKA
Azitha, M., Aprilia, D., & Ilhami, Y. R. (2018). Hubungan Aktivitas Fisik dengan
Kadar Glukosa Darah Puasa pada Pasien Diabetes Melitus yang Datang
ke Poli Klinik Penyakit Dalam Rumah Sakit M. Djamil Padang. Jurnal
Kesehatan Andalas, 7(3), 400. https://doi.org/10.25077/jka.v7.i3.p400-
404.2018
Black, J. M., & Hawks, J. H. (2016). Keperwatan Medikal Bedah (8 Buku 2). PT
Salemban Emban Patria.
Brinati, L. M., Diogo, N. A. S., Moreira, T. R., Mendonça, É. T., & Amaro, M. O.
F. (2017). Prevalência e Fatores Associados à Neuropatia Periférica em
Indivíduos Com Diabetes Mellitus Prevalence and Factors Associated
with Peripheral Neuropathy in Individuals with Diabetes Mellitus.
Revista de Pesquisa: Cuidado é Fundamental Online, 9(2), 347.
https://doi.org/10.9789/2175-5361.2017.v9i2.347-355
Burgess, J. C., Bridges, N., Banya, W., Gyi, K. M., Hodson, M. E., Bilton, D., &
Simmonds, N. J. (2016). HbA1c as A Screening Tool for Cystic
Fibrosis Related Diabetes. Journal of Cystic Fibrosis, 15(2), 251–257.
https://doi.org/10.1016/j.jcf.2015.03.013
Coca, A., Valencia, A. L., Bustamante, J., Mendiluce, A., & Floege, J. (2017).
Hypoglycemia Following Intravenous Insulin Plus Glucose for
Hyperkalemia in Patients with Impaired Renal Function. PLoS ONE,
12(2), 1–13. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0172961
Didangelos, T., Moralidis, E., Karlafti, E., Tziomalos, K., Margaritidis, C.,
Kontoninas, Z., Stergiou, I., Boulbou, M., Papagianni, M.,
Papanastasiou, E., & Hatzitolios, A. I. (2018). A Comparative
Assessment of Cardiovascular Autonomic Reflex Testing and Cardiac
123I-Metaiodobenzylguanidine Imaging in Patients with Type 1
Diabetes Mellitus without Complications or Cardiovascular Risk
Factors. International Journal of Endocrinology, 2018.
https://doi.org/10.1155/2018/5607208
Egunsola, O., Dowsett, L. E., Diaz, R., Brent, M., Rac, V., & Clement, F. M.
(2021). Diabetic Retinopathy Screening: A Systematic Review of
Qualitative Literature. Canadian Journal of Diabetes.
https://doi.org/10.1016/j.jcjd.2021.01.014
Hafeez, M., Siddiqi, A. H., & Ahmed, I. (2018). Diabetes Mellitus in Soldiers,
What’S New. Pakistan Armed Forces Medical Journal, 68(4), 779–
783.
Harbuwono, D. S., Tahapary, D. L., Edi Tarigan, T. J., & Yunir, E. (2020). New
Proposed Cut-off of aist Circumference for Central Obesity as Risk
Factor for Diabetes Mellitus: Evidence from the Indonesian Basic
National Health Survey. PLoS ONE, 15(11 November), 1–13.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0242417
Hromadnikova, I., Kotlabova, K., Dvorakova, L., & Krofta, L. (2020). Diabetes
Mellitus and Cardiovascular Risk Assessment in Mothers with a
History of Gestational Diabetes Mellitus Based on Postpartal
Expression Profile of Micrornas Associated with Diabetes Mellitus and
Cardiovascular and Cerebrovascular Diseases. International Journal of
Molecular Sciences, 21(7), 1–47. https://doi.org/10.3390/ijms21072437
Hu, W. S., & Lin, C. L. (2018). Role of CHA 2 DS 2-VASc Score in Predicting
New-Onset Atrial Fibrillation in Patients with Type 2 Diabetes Mellitus
with and without Hyperosmolar Hyperglycaemic State: Real-world
Data from A Nationwide Cohort. BMJ Open, 8(3).
https://doi.org/10.1136/bmjopen-2017-020065
Krabbe, C. E. M., Schipf, S., Ittermann, T., Dörr, M., Nauck, M., Chenot, J. F.,
Markus, M. R. P., & Völzke, H. (2017). Comparison of Traditional
Diabetes Risk Scores and HbA1c to Predict Type 2 Diabetes Mellitus in
A Population Based Cohort Study. Journal of Diabetes and Its
Complications, 31(11), 1602–1607.
https://doi.org/10.1016/j.jdiacomp.2017.07.016
Lee, K., Park, I. B., Yu, S. H., Kim, S. K., Kim, S. H., Seo, D. H., Hong, S., Jeon,
J. Y., Kim, D. J., Kim, S. W., Choi, C. S., & Lee, D. H. (2019).
Characterization of Variable Presentations of Diabetic Ketoacidosis
Based on Blood Ketone Levels and Major Society Diagnostic Criteria:
A New View Point on the Assessment of Diabetic Ketoacidosis.
Diabetes, Metabolic Syndrome and Obesity: Targets and Therapy, 12,
1161–1171. https://doi.org/10.2147/DMSO.S209938
Sudarman, Asfar, A., & Amir, H. (2020). Modern Dressing Wound Care Effective
Healing Diabetic. Jurnal Ipteks Terapan, 14(2), 138–145.
https://doi.org/http://doi.org/10.22216/jit.2020.v14i2.5384
Wijaya, A. S., & Putri, Y. M. (2013). KMB 2 : Keperawatan Medikal Bedah
Keperawatan Dewasa. Nuha Medika.
Ying, L., Ma, X., Shen, Y., Lu, J., Lu, W., Zhu, W., Wang, Y., Bao, Y., & Zhou,
J. (2020). Serum 1,5-Anhydroglucitol to Glycated Albumin Ratio Can
Help Early Distinguish Fulminant Type 1 Diabetes Mellitus from
Newly Onset Type 1A Diabetes Mellitus. Journal of Diabetes
Research, 2020. https://doi.org/10.1155/2020/1243630