Anda di halaman 1dari 5

KONSEP TEORI

A. DEFENISI
1. Lansia
Menurut World Health Organization (WHO) lanjut usia (lansia) adalah
kelompok penduduk yang berumur 60 tahun atau lebih. Undang – undang No 13
tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia adalah penduduk yang telah mencapai
usia 60 tahun keatas. Secara umum seseorang dikatakan lanjut usia jika sudah
berusia diatas 60 tahun, tetapi defenisi ini sangat bervariasi tergantung dari aspek
sosial budaya, fisiologis dan kronologis.
Menurut Depkes RI dapat dikelompokkan menjadi : pralansia (prasenilis)
yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun, lansia ialah seseorang yang
berusia 60 tahun atau lebih, lansia resiko tinggi ialah seseorang yang berusia 70
tahun atau lebih/seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah
kesehatan, lansia potensial ialah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan
dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa, lansia tidak potensial
ialah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung
pada bantuan orang lain (Isyamadi, 20014).

2. Fraktur
Fraktur merupakan istilah dari hilangnya kontinuitas jaringan tulang, baik
yang bersifat total maupun sebagian, biasanya disebabkan oleh trauma.
Terjadinya suatu fraktur lengkap atau tidak lengkap ditentukan oleh kekuatan,
sudut dan tenaga, keadaan tulang, serta jaringan lunak di sekitar tulang (Helmi,
2011). Tulang kita merupakan organ terkeras di tubuh dan diperlukan suatu
tekanan yang sangat besar secara tiba-tiba atau atau tekanan yang bersifat kontinu
untuk mampu menimbulkan fraktur.Namun, berbeda halnya pada lansia.Fraktur
dapat terjadi hanya dengan trauma ringan bahkan tanpa adanya kekerasan yang
nyata (Darmojo, 20016).
Fraktur atau dikenal juga dengan patah tulang merupakan keadaan dimana
terputusnya kontinuitas tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan
oleh karena tekanan yang berlebihan. Trauma yang menyebabkan tulang patah
dapat berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung. Trauma langsung
menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah
tekanan sedangkan trauma tidak langsung yaitu apabila trauma dihantarkan ke
daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur. Bila keadaan fraktur disertai kulit dan
jaringan pelindungnya masih intact disebut dengan fraktur tertutup sedangkan
bila kulit dan jaringan sekitarnya tidak intact maka disebut dengan fraktur terbuka
dan memiliki faktor kontaminasi dan infeksi.
Semua orang memiliki faktor risiko terjadi fraktur karena trauma dapat
terjadi pada siapapun. Salah satu kelompok usia yang memiliki risiko lebih tinggi
terjadinya fraktur ialah kelompok lanjut usia/lansia/ geriatric dan fraktur yang
dialami disebut fraktur geriatrik (geriatric fracture). Keadaan tersebut terjadi oleh
karena beberapa keadaan pada lanjut usia dan perubahan fisiologik yang terjadi
yang menyebabkan risiko terjadinya fraktur lebih tinggi.

B. ETIOLOGI
Kelompok lansia berisiko lebih tinggi untuk terjadinya fraktur oleh karena
proses penuaan yang dialami yang menyebabkan penurunan fungsi fisiologik tubuh,
salah satunya ialah penurunan kepadatan dan kualitas tulang.Selain itu, kelompok
lansia memiliki risiko jatuh yang lebih tinggi dibandingkan kelompok usia lainnya,
yang meningkatkan risiko terjadinya fraktur. Fraktur geriatrik dapat disebabkan oleh
mekanisme high impact maupun low impact. Fraktur high-impact biasanya
disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor dan cedera saat berolahraga, namun
fraktur low impact yang paling sering terjadi pada kelompok lansia dan memiliki
angka mortalitas paling tinggi. Fraktur low impact paling sering terjadi disebabkan
oleh karena keadaan osteoporosis dengan mekanisme jatuh. Risiko terjadinya fraktur
oleh karena osteoporosis yaitu antara 40- 50% pada perempuan dan 13-22% pada
laki-laki. Fraktur oleh karena osteoporosis paling sering terjadi pada tulang belakang/
vertebra dan panggul. Empat dari lima kasus fraktur ini terjadi melalui mekanisme
terjatuh. Dalam suatu penelitian didapatkan bahwa terjatuh merupakan mekanisme
yang sering menyebabkan fraktur pada kelompok lansia, paling sering terjadi di dapur
dan kamar mandi. Kejadian jatuh pada kelompok lansia tergantung pada berbagai
faktor antara lain adanya gangguan keseimbangan atau gait yang tidak stabil. Insiden
fraktur yang disebabkan oleh kejadian jatuh sebesar 40% pada lansia.
Penyakit komorbid dan medikasinya dapat berkontribusi dalam terjadinya
fraktur geriatrik. Diabetes melitus dan hipertensi dapat berperan dalam terjadinya
fraktur tulang belakang atau panggul. Terdapat berbagai penelitian yang menunjukkan
bahwa diabetes melitus dapat meningkatkan risiko terjadinya fraktur jenis apapun.
Hipertensi pun berperan dalam penurunan densitas mineral tulang (Bone Mineral
Density; BMD) melalui mekanisme penurunan pasokan darah ke tulang atau dapat
pula disebabkan oleh efek obat antihipertensi yang dikonsumsi pasien. Setiap kondisi
yang membutuhkan penggunaan glukokortikoid kronis, seperti inflamematory bowel
disease, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), dan artritis rheumatoid dapat
menurunkan BMD, demikian pula dengan penggunaan antikoagulan oral. Pasien yang
menjalani dialisis juga mengalami peningkatan risiko terjadinya fraktur. Gangguan
gait, keseimbangan, dan postural, serta gangguan penglihatan juga meningkatkan
risiko jatuh dan risiko mengalami fraktur. Anemia merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya osteoporosis yang meningkatkan risiko fraktur. Beberapa mekanisme
dampak anemia yaitu dengan menurunkan sintesis kolagen, munculnya faktor
acidosisinduced transcription yang menyebabkan maturasi dari osteoklas dan
meningkatkan penghancuran tulang, serta meningkatkan kadar eritropoietin. Selain
itu, kalium pun berperan penting dalam metabolisme tulang yaitu dalam
keseimbangan asam-basa. Bila terjadi asidosis sistemik, hal ini dapat meninduksi
aktivasi osteoklas.

C. PATOFISIOLOGI
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas
untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang
diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau
terputusnya kontinuitas tulang. Fraktur terjadi bila terdapat interupsi dari kontinuitas
tulang, yang diamana akan menyebabkan cedera jaringan di sekitar ligamen, otot,
tendon, pembuluh darah, dan saraf. Tulang yang rusak ini akan mengakibatkan
periosteum pembuluh darah pada korteks dan sumsum tulang serta jaringan lemak
rusak yang akan berakibat pada perdarahan, hematom, dan jaringan nekrotik. Daerah
femur merupakan tempat pembuluh darah besar, sehingga apabila mengalami cedera
berupa fraktur akan mengakibatkan perdarahan yang hebat. Terjadinya jaringan
nekrotik mengakibatkan adanya respon inflamasi berupa vasodilatasi dan saat itu
tubuh mulai melakukan proses penyembuhan untuk memperbaiki cedera (Wu dkk,
2013)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. X-ray : untuk menentukan luas/lokasi fraktur.
2. Scan tulang untuk memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan
jaringan lunak.
3. Arteriogram, dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler.
4. Hitung darah lengkap, homokonsentrasi mungkin meningkat, menurun pada
perdarahan : peningkatan leukosit sebagai respon terhadap peradangan.
5. Kretinin : trauma otot meningkatkan beban kretinin untuk klirens ginjal.
6. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi atau
cedera hati.

E. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala terjadinya fraktur antara lain:
1. Deformitas
Pembengkaan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan deformitas pada lokasi
fraktur. Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan tungkai, deformitas rotasional,
atau angulasi. Dibandingkan sisi yang sehat, lokasi fraktur dapat memiliki deformitas
yang nyata.
2. Pembengkakan
Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi cairan serosa pada lokasi
fraktur serta ekstravasasi darah ke jaringan sekitar.
3. Memar
Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur.
4. Spasme otot
Spasme otot involuntar berfungsi sebagai bidai alami untuk mengurangi gerakan
lebih lanjut dari fragmen fraktur.
5. Nyeri
Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu mengiringi fraktur,
intensitas dan keparahan dari nyeri akan berbeda pada masing-masing klien. Nyeri
biasanya terus-menerus , meningkat jika fraktur dimobilisasi. Hal ini terjadi karena
spasme otot, fragmen fraktur yang bertindihan atau cedera pada struktur sekitarnya.
6. Ketegangan
Ketegangan diatas lokasi fraktur disebabkan oleh cedera yang terjadi.
KONSEP KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
12. Remily EA, Mohamed NS, Wilkie WA, Mahajan AK, Patel NG, Andrews TJ, et al. Hip
fractures trends in America between 2009 and 2016. Geriatric Orthopaedic Surgery &
Rehabilitation. 2020;11:2151459320929581 DOI: 10.1177/2151459320929581

5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indo- 210 e-CliniC, Volume 8, Nomor 2, Juli-
Desember 2020, hlm. 203-210 nesia Nomor 79 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Geriatri di Rumah Sakit.

Anda mungkin juga menyukai