Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

RUANG HEMODIALISA

Disusun Oleh :

MILFA WARNI
P2003022

PROGRAM PROFESI NERS


INSTITUT TEKNOLOGI SAINS DAN KESEHATAN WIYATA HUSADA
SAMARINDA
2021
A. Anatomi Fisiologi Ginjal
Ginjal terletak di bagian belakang abdomen atas, di belakang peritonium,
didepan dua kosta terakhir dan tiga otot-otot besar (transversus
abdominis,kuadratus lumborum, dan iliopsoas mayor). Ginjal pada orang dewasa
penjangnya sampai 13 cm, lebarnya 6 cm dan berat kedua ginjal kurang dari1%
berat seluruh tubuh atau sekitar 120-150 gram. Bentuknya seperti bijikacang,
jumlahnya ada 2 buah di kiri dan kanan, ginjal kiri lebih besar dariginjal kanan
dan pada umumnya ginjal laki-laki lebih panjang dari pada ginjalwanita. Ginjal
dipertahankan dalam posisi tersebut oleh bantalan lemak yangtebal. Potongan
longitudinal ginjal memperlihatkan dua daerah yang berbedayaitu korteks dan
medulla. Medulla terbagi menjadi baji segitiga yang disebut piramid. Piramid-
piramid tersebut dikelilingi oleh bagian korteks dan tersusundari segmen-segmen
tubulus dan duktus pengumpul nefron. Papila atau apeksdari tiap piramid
membentuk duktus papilaris bellini yang terbentuk darikesatuan bagian terminal
dari banyak duktus pengumpul.
Tiap tubulus ginjal dan glomerulusnya membentuk satu kesatuan (nefron).
Nefron adalah unit fungsional ginjal. Dalam setiap ginjal terdapat sekitar satu juta
nefron. Setiap nefron terdiri dari kapsula bowman, tumbai kapiler glomerulus,
tubulus kontortus proksimal, lengkung henle dan tubuluskontortus distal, yang
mengosongkan diri ke duktus pengumpul.

Gambar 2.1 Anatomi Ginjal (Benjamin Cummings, 2001)


Fisiologi ginjal. Fungsi ginjal yaitu mengeluarkan zat-zat toksik atau
racun;mempertahankan keseimbangan cairan; mempertahankan keseimbangan
kadar asam dan basa dari cairan tubuh; mempertahankan keseimbangan garam-
garam dan zat-zat lain dalam tubuh; mengeluarkan sisa metabolisme hasilakhir sari
protein ureum, kreatinin dan amoniak. Tiga tahap pembentukan urine:
1. Filtrasi glomerular.
Pembentukan kemih dimulai dengan filtrasi plasma padaglomerulus, seperti
kapiler tubuh lainnya, kapiler glomerulus secararelatif bersifat impermiabel
terhadap protein plasma yang besar dancukup permeabel terhadap air dan
larutan yang lebih kecil sepertielektrolit, asam amino, glukosa, dan sisa
nitrogen. Aliran darah ginjal(RBF = Renal Blood Flow) adalah sekitar 25%
dari curah jantung atausekitar 1200 ml/menit. Sekitar seperlima dari plasma
atau sekitar 125ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsula bowman. Ini
dikenal dengan laju filtrasi glomerulus (GFR =Glomerular Filtration Rate).
Gerakan masuk ke kapsula bowmans disebut filtrat. Tekanan filtrasi berasal
dari perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler glomerulusdan kapsula
bowmans, tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus mempermudah
filtrasi dan kekuatan ini dilawan oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula
bowmans serta tekanan osmotik koloid darah. Filtrasi glomerulus tidak hanya
dipengaruhi olehtekanan- tekanan koloid diatas namun juga oleh permeabilitas
dinding kapiler.
2. Reabsorpsi.
Zat-zat yang difiltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu : nonelektrolit,
elektrolit, dan air. Setelah filtrasi langkah kedua adalah reabsorpsi selektif zat-
zat tersebut kembali lagi zat-zat yang sudah difiltrasi.
3. Sekresi.
Sekresi tubular melibatkan transpor aktif molekul-molekul darialiran darah
melalui tubulus ke dalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak terjadi
secara alamiah dalam tubuh (misalnya penisilin). Substansi yang secara
alamiah terjadi dalam tubuh termasuk asam uratdan kalium serta ion-ion
hidrogen. Pada tubulus distalis, transpor aktif natrium sistem carier yang juga
telibat dalam sekresi hidrogen dan ion-ion kalium tubular. Dalam hubungan
ini, tiap kali carier membawa natrium keluar dari cairan tubular, cariernya
bisa hidrogen atau ionkalium kedalam cairan tubular perjalanannya kembali
jadi, untuk setiap ion natrium yang diabsorpsi, hidrogen atau kalium harus
disekresi dan sebaliknya. Fungsi lain ginjal, selain menjadi filter penting adalah
sebagai berikut :

1. Menjaga keseimbangan cairan tubuh.


2. Produksi hormon yang mengontrol tekanan darah.
3. Produksi Hormon Erythropoietin yang membantu pembuatan sel darah
merah.
4. Mengaktifkan vitamin D untuk memelihara kesehatan tulang.

B. Hemodialisa
Hemodialisis adalah suatu proses memisahkan sisa metabolisme yang
tertimbun dalam darah dan mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit juga
asam basa melalui sirkulasi ekstrakorporeal dengan menggunakan ginjal
buatan. Beberapa aspek yang mempunyai hubungan erat dengan masalah
keperawatan antara lain : Ginjal buatan, Dialisat, Pengolahan Air, Akses
Darah, Antikoagulan, tekhnik Hemodialisa, Perawatan Pasien Hemodialisa,
Komplikasi akut hemodialisa dan pengelolaannya, peranan perawat yang
bekerja di luar HD (ruang perawatan biasa). Tindakan hemodialisa dilakukan
ketika ginjal sudah tidak dapat berfungsi dengan normal. Pada gagal ginjal
kronik maka hemodialisa bisa dilakukan seumur hidup bila tidak melakukan
operasi transplantasi ginjal.
Hemodialisa adalah suatu prosedur yang digunakan untuk mengeluarkan
cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu
melaksanakan proses tersebut (Choudhary et al., 2019). Proses dialisa
menyebabkan pengeluaran cairan dan sisa metabolisme dalam tubuh serta
menjaga keseimbangan elektrolit dan produk kimiawi dalam tubuh. Tujuan
hemodialisis adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam
darah yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh
pasien ke dialiser tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian
dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Aliran darah akan melewati tubulus
tersebut sementara cairan dialisat bersikulasi di sekitarnya. Pertukaran limbah
dari darah ke dalam cairan dialisat akan terjadi membran semipermeabel
tubulus (Davenport, 2016)
Proses hemodialis dilakukan 1-3 kali dalam seminggu di rumah sakit
dengan memerlukan waktu sekitar 2-45 jam setiap kali hemodialisis (Viecelli
& Lok, 2019), pada penderita PGK stadium V dan pada pasien dengan AKI
(Acute Kidney Injury) yang memerlukan terapi pengganti ginjal. Keputusan
untuk inisiasi terapi dialisis berdasarkan parameter laboratorium bila LFG
antara 5 dan 8 ml/menit/l.73 m2.

Gambar 2.2 Proses Hemodialisis(Choudhary et al., 2019)

Menurut prosedur yang dilakukan HD dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: HD


darurat/emergency, HD persiapan/preparative, dan HD kronik/regular (Zazzeroni et
al., 2017).
1. Proses Hemodialisa
Ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu difusi, osmosis,
dan ultrafiltrasi.
a. Difusi
Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses
difusi dengan cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi ke
cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah (Kraus et al., 2016).
Cairan dialisat tersusun dari elektrolit yang penting dengan konsentrasi
ekstrasel yang ideal. Kadar elektrolit darah dapat
dikendalikan dengan mengatur rendaman dialisat secara tepat.

Gambar 2.3 Proses Difusi(Kraus et al., 2016)

b. Osmosis
Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses
osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien
tekanan, yaitu air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi
(tubuh pasien) ke daerah dengan tekanan yang lebih rendah (cairan
dialisat).
c. Ultrafiltrasi
Gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif
yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis (Kraus et al., 2016).
Tekanan negatif diterapkan pada alat ini. Untuk meningkatkan kekuatan
penghisap pada membrane dan memfasilitasi pengeluaran air. Kekuatan ini
diperlukan hingga mencapai isovolemia (keseimbangan cairan).

Gambar 2.4 Proses Ultrafiltrasi (Rosdiana, 2011)


2. Indikasi dan Kontraindikasi Inisiasi Terapi dialisis
a. Indikasi absolut
1) Indikasi Biokimia
a) BUN > 100 mg/dl
b) Kreatinin > 10 mg/dl
c) Hiperkalemia
d) Asidosis metabolic tak dapat diatasi
2) Indikasi Klinis
a) Anoreksia, nausea, muntah
b) Ensefalopati uremikum
c) Edema paru, refraktur dieresis
d) Perikarditis uremikum
e) Perdarahan uremik
b. Indikasi elektif
Pasien dengan penurunan LFG (formula Cockcroft dan Gault) antara
5 dan 8 ml/m/1,73 m2, yang diikuti gejala uremik, asidosis, mual muntah,
anoreksia, dan astenia berat.
c. Kontraindikasi
Akses vaskuler sulit, hemodinamik tidak stabil dan gangguan
kekentalan darah. penyakit alzheimer, dan enselofati
3. Komplikasi Hemodialisis
Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani HD adalah
gangguan hemodinamik. Tekanan darah umumnya menurun dengan
dilakukannya UF atau penarikan cairan saat HD. Hipotensi intradialitik terjadi
pada 5-40% penderita yang menjalani HD reguler. Namun sekitar 5- 15% dari
pasien HD tekanan darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi
intradialitik atau intradialytic hypertension (HID).
Komplikasi HD dapat dibedakan menjadi komplikasi akut dan komplikasi
kronik.
a. Komplikasi Akut
Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama
hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi adalah:
hipotensi, kram otot, mual muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit
punggung, gatal, demam, dan menggigil (Daurgirdas et al., 2007; Bieber
dan Himmelfarb, 2013). Komplikasi yang cukup sering terjadi adalah
gangguan hemodinamik, baik hipotensi maupun hipertensi saat HD atau
HID. Komplikasi yang jarang terjadi adalah sindrom disekuilibrium, reaksi
dialiser, aritmia, tamponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang,
hemolisis, emboli udara, neutropenia, aktivasi komplemen, hipoksemia.

Komplikasi Penyebab
Hipotensi Penarikan cairan yang berlebihan, terapi
antihipertensi, infark jantung,tamponade,
reaksi anafilaksis
Hipertensi Kelebihan natrium dan air, ultrafiltrasi
yang tidak adekuat
Reaksi Alergi Reaksi alergi, dialiser, tabung, heparin,
besi, lateks
Aritmia Gangguan elektrolit, perpindahan cairan
yang terlalu
cepat, obat antiaritmia yang terdialisis
Kram Otot Ultrafiltrasi terlalu cepat, gangguan
elektrolit
Emboli Udara Udara memasuki sirkuit darah
Dialysis disequilibirium Perpindahan osmosis antara intrasel dan
ekstrasel
menyebabkan sel menjadi bengkak, edema
serebral.
Penurunan konsentrasi urea plasma yang
terlalu cepat
Masalah pada dialisat / kualitas air
Chlorine Hemolisis oleh karena menurunnya kolom
charcoal
Kontaminasi Fluoride Gatal, gangguan gastrointestinal, sinkop,
tetanus, gejala neurologi, aritmia
Kontaminasi bakteri / endotoksin Demam, mengigil, hipotensi oleh karena
kontaminasi dari dialisat maupun sirkuti
air
Tabel 2.1 Komplikasi Akut Hemodialisis (Bieber dan Himmelfarb, 2013)

b. Komplikasi Kronik
Adalah komplikasi yang terjadi pada pasien dengan hemodialisis
kronik. Komplikasi kronik yang sering terjadi dapat dilihat pada tabel di
bawah ini (Bieber dan Himmelfarb, 2013)

Penyakit jantung
Malnutrisi
Hipertensi / volume excess
Anemia
Renal osteodystrophy
Neurophaty
Disfungsi reproduksi
Komplikasi pada akses
Gangguan perdarahan
Infeksi
Amiloidosis
Acquired cystic kidney disease

Tabel 2.2 Penyakit akibat komplikasi CKD (Bieber dan Himmelfarb, 2013
4. WOC Hemodialisis
GAGAL GINJAL KRONIS

Mengalami penurunan fungsi secara lambat, progresif, irreversibel, dan samar (insidius) dimana kemampuan tubuh gagal dalam mengeluarkan zat sisa dan
mempertahankan metabolisme cairan, serta keseimbangan elektrolit

Penurunan fungsi Ketidakmampuan Tidak mampu Sekresi renin tidak stabil Ketidakmampuan Kadar kalium
filtrasi glomerulus mempertahankan mengeluarkan zat sisa mengkonsentrasi urine, pengaturan serum yang tinggi
keseimbangan metabolism cairan
elektrolit
Aktivasi aksis RAA
Kadar ureum serum Retensi natrium dan H2O
Suasana asam tinggi
Peningkatan TD
Penumpukan ureum Cairan intravaskuler masuk
kejaringan

Mengiritasi
pericardium Edema
(pericarditis)

Indikasi dilakukannya terapi pengganti ginjal (Hemodialisis)


Indikasi dilakukannya terapi pengganti ginjal (Hemodialisis)

Penurunan fungsi
Pre HD Intra HD
ginjal Post HD

Kurang pajanan Kadar ureum Ketidakmampuan Adanya akses


Tekanan Area pemasangan Difusi Prosedur
vaskular
informasi serum tinggi mengkonsentrasi hidrostik ↑ akses vaskuler osmosis penggunaan
mengenai HD, urine, dan pengaturan ultrafiltrasi heparin
proses penyakit Penumpukan metabolisme cairan Tekanan Mempertahankan
dan pengobatan ureum Water loss↑ Ggn.
Retensi natrium dan intrakranial↑ posisi tubuh statis saat
Koagulasi
H2O HD 4-5 jam
Respon tubuh mengeluarkan darah
Kurang melalui keringat merangsang Merangsang Uremic Adanya
informasi produksi histamin Cairan intravaskuler trigezon Kekurangan Resiko frost kanulas
Kram otot Luka
masuk kejaringan vol.cairan perdarahan punksi
cemas Pruritus Saraf prenikeus Ggn. Rasa
Edema terangsang nyaman Perfusi
Resiko
Ansietas lesi jaringan ↓
hipovolemia Pruritus
Ggn.
Asam lambung ↑
Ggn. Integritas kulit Kesimbangan Stress, haus
Defisiensi
Cairan berlebih
pengetahuan Ggn. Integritas kulit
Mengikis mukosa
Jaringan Pulmoner lambung Port de enter
Resti infeksi
masuknya kuman
↑afterload Ggn. Pertukaran Gas
Sekresi Beban Mual
Adanya
eripoetin ↓ ginjal ↑ Peningkatan aneurisma >2
Pola Napas tidak efektif
TD intake ↓ BB ↓

Prod.Hb ↓
Suplai O2 kejaringan ↓ Resiko cidera
Ggn. Perfusi jaringan Ggn. Nutrisi kurang dari Anoreksia
kebutuhan
oksihemoglobin ↓
Intoleransi aktivitas Kelelahan
5. Penatalaksanaan Hemodialisa
a. Persiapan untuk program dialisis regular
Setiap pasien yang akan menjalani program dialisis
regular harus mendapat informasi yang harus dipahami sendiri
dan keluarganya. Beberapa persiapan (preparasi) dialisis regular:
1) Sesi dialisis 3-4 kali per minggu (12-15 jam) per minggu
2) Psikoligis yang stabil
3) Finalsial cukup untuk program terapi dialisis regular
selama waktu tidak terbatas sebelum transplantasi
ginjal
4) Pemeriksaan laboratorium dan perasat lainnya sesuai
denganjadwal yang telah ditentukan. Pemeriksaan ini
sangat pentinguntuk menjamin kualitas hidup optimal
5) Disiplin pribadi untuk menjalankan program terapi ajuvan :
a) Diet, perbatasan asupan cairan dan buah-buahan
b) Obat-obatan yang diperlukan yang tidak terjangkau
dialisis
6) Operasi A-V fistula dianjurkan pada saat kreatinin serum
7 mg/% terutama pasien wanita, pasien usia lanjut dan
diabetes mellitus.
b. Terapi pengganti ginjal
Dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
pada Glomerular filtration Rate (GFR) kurang dari 15
ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, continious
ambulatory peritoneal dialysis (CAPD), dan transplantasi
ginjal.
1) Dialisis
Dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal
ginjal yang serius seperti hiperkalemia, perikarditis, dan
kejang. Dialysis memperbaiki abnormalitas biokimia,
menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat
dikonsumsi secara bebas, menghilangkan kecenderungan
perdarahan, dan membantu penyembuhan luka.
Terapi ini di tujukan untuk mengganti faal ginjal
sebagai ekskresi. Dialisis dianggap perlu dimulai bila
dijumpai salah satu hal dibawah ini :
a) Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
b) K serum > 6 mEq/L
c) Ureum darah > 200 mg/Dl
d) pH darah < 7,1
e) Anuria berkepanjangan ( > 5 hari)
f) Fluid overloaded
Dialisis adalah suatu proses difusi zat terlarut dan air
secara pasif melalui suatu membran berpori dari suatu
kompartemen cair menuju kompartemen cair lainnya.
Terdapat dua teknik yang digunakan dalam dialisis, yaitu :
a) Hemodialisis
Hemodialisis adalah proses pembersihan darah oleh
akumulasi sampah buangan. Hemodialisis digunakan bagi
pasien dengan tahap akhir gagal ginjal atau pasien
berpenyakit akut yang membutuhkan dialisis waktu singkat.
Penderita gagal ginjal kronis, hemodialisis akan mencegah
kematian. Hemodialisis tidak menyembuhkan atau
memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu
mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin
yang dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal serta
terapinya terhadap kualitas hidup pasien.
Terapi hemodialisis mempunyai beberapa tujuan.
Tujuan tersebut diantaranya adalah menggantikan fungsi
ginjal dalam fungsi ekskresi (membuang sisa-sisa
metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa
metabolisme yang lain), menggantikan fungsi ginjal dalam
mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya dikeluarkan
sebagai urin saat ginjal sehat, meningkatkan kualitas hidup
pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal serta
Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program
pengobatan yang lain. Tujuan utama Hemodialisis adalah
untuk mengembalikan suasana cairan ekstra dan intrasel
yang sebenarnya merupakan fungsi dari ginjal normal.
Tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu
difusi, osmosis, ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam
darah dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara
bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi, ke
cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah
(Lavey, 2011). Cairan dialisat tersusun dari semua elektrolit
yang penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal.
Kelebihan cairan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui
proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikandengan
menciptakan gradien tekanan, dimana air bergerak dari
daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke
tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradient ini
dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negative
yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis.
Tekanan negative diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan
penghisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air
(Elizabeth, et all, 2011)).
Akses pada sirkulasi darah pasien terdiri atas
subklavikula dan femoralis, fistula, dan tandur. Akses ke
dalam sirkulasi darah pasien pada hemodialisis darurat
dicapai melalui kateterisasi subklavikula untuk pemakaian
sementara. Kateter femoralis dapat dimasukkan ke dalam
pembuluh darah femoralis untuk pemakaian segera dan
sementara. Fistula yang lebih permanen dibuat melalui
pembedahan (biasanya dilakukan pada lengan bawah)
dengan cara menghubungkan atau 19 menyambung
(anastomosis) pembuluh arteri dengan vena secara side to
side (dihubungkan antara ujung dan sisi pembuluh darah).
Kondisi normal manusia tidak dapat bertahan lama
tanpa asupan cairan dibandingkan dengan makanan namun
pasien dengan hemodialisis mengontrol asupan cairan
merupakan salah satu masalah yang utama karena
ketidaktepatan dalam mengontrol asupan cairan akan
menimbulkan beberapa komplikasi, perburukan pada
kondisi pasien. Tujuan penatalaksanaan cairan pada pasien
yang menjalani hemodialisis adalah untuk dapat
mempertahankan status cairan yang optimal

Gambar 2.5 Alat Hemodialisa

Gambar 2.6 AV Shunt

Gambar 2.7 Double Lumen


b) Peritoneal Dialisis
Peritoneal dialisis merupakan suatu proses dialisis di
dalam rongga perut yang bekerja sebagai penampung
cairan dialisis dan peritoneum sebagai membran
semipermeabel yang berfungsi sebagai tempat yang
dilewati cairan tubuh yang berlebihan dan solute yang
berisi racun ureum yang akan dibuang.Peritoneal dialysis
ini secara prinsip mirip dengan hemodialisis.
Keduanya sama-sama tergantung pada pergerakan
pasif dari air dan solute melewati membrane
semipermeable, proses ini disebut sebagai difusi. Pada
zaman dulu peritoneal dialisis dilakukan secara intermiten,
dimana pasien harus melakukan pergantian cairan secara
rutin setiap 8 jam atau lebih (biasanya sepanjang malam), 3
atau 4 kali seminggu. Sejumlah mesin otomatis telah
dikembangkan untuk membantu agar proses dialisis
menjadi lebih sederhana dan lebih mudah. Kemudian pada
tahun 1976 diperkenalkan salah satu tehnik peritoneal
dialisis yaitu continuous ambulatory peritoneal dialysis
(CAPD), dan langsung dapat diterima sebagai terapi
alternative untuk pasien dengan gagal ginjal. Continuous
pada CAPD ini berarti bahwa cairan dialisat selalu
berhubungan dengan membrane peritoneum, kecuali pada
saat penggantian cairan dialisat.
Pada CAPD, rongga abdomen/peritoneum pasien
selalu terisi cairan dialisat yang merupakan cairan khusus
yang terdiri dari elektrolit dan dekstrosa. Cairan dialisat ini
perlu diganti secara periodik ketika konsentrasi dari produk
buangan (waste product) meningkat. Waste product ini
berdifusi dari darah pasien melewati membran peritoneum
dan masuk ke rongga abdomen. Dekstrosa atau gula pada
cairan dialisat akan menarik air melalui proses osmosis dari
tubuh menuju ke rongga peritoneum. Karena sejumlah
dekstrosa diserap melalui proses difusi masuk ke dalam
tubuh pasien dan karena konsentrasi dekstrosa di dalam
rongga peritoneum menurun karena penambahan air, maka
pergerakan cairan juga menurun dan pada saat inilah
diperlukan penggantian cairan dialisat.
Ada beberapa metode untuk memasukkan kateter
peritoneal dialisis, yaitu open dissection, blind
percutaneus placement dengan trokar Tenckhoff, blind
percutaneus placement dengan guidewire (tehnik
Seldinger), penempatan minitrokar dengan peritoneoskopi
(YTEC) atau laparoskopi, tehnik Moncrief- Popovich, dan
kateter presternal (merupakan modifikasi Swan neck
Missouri coil catheter yang terdiri dari 2 tube silikon).

Gambar 2.8 continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD)

Gambar 2.9 Perbedaan Hemodialysis dan CAPD


DAFTAR
PUSTAKA

Choudhary, G., Manapragada, P. P., Wallace, E., & Bhambhvani, P. (2019).


Utility of scintigraphy in assessment of noninfectious complications of
peritoneal dialysis. Journal of Nuclear Medicine Technology, 47(2),
163– 168. https://doi.org/10.2967/jnmt.118.223156
Davenport, A. (2016). New Dialysis Technology and Biocompatible
Materials. Contributions to Nephrology,
189, 130–136.
https://doi.org/10.1159/000450739
Fay, S., & Istichomah, I. (2017). Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan
Mekanisme Koping Pada Pasien Ckd (Chronic Kidney Disease) Yang
Menjalani Hemodialisa Di Rs Condong Catur Yogyakarta. Jurnal
Kesehatan Samodra Ilmu, 8(1), 137795.
Kraus, M. A., Fluck, R. J., Weinhandl, E. D., Kansal, S., Copland, M.,
Komenda, P., & Finkelstein, F. O. (2016). Intensive Hemodialysis and
Health-Related Quality of Life. American Journal of Kidney Diseases,
68(5), S33–S42.https://doi.org/10.1053/j.ajkd.2016.05.023
Nurmalasari, F., Annisa, N. N., Septiani, I., & Nugraheni, G. (2018). Jurnal
Farmasi dan Ilmu Kefarmasian Indonesia Vol. 5 No. 2 Desember
2018 85. 5(2), 85–92.
Viecelli, A. K., & Lok, C. E. (2019). Hemodialysis vascular access in the
elderly—getting it right. Kidney International, 95(1), 38–49.
https://doi.org/10.1016/j.kint.2018.09.016
Webster, A. C., Nagler, E. V., Morton, R. L., & Masson, P. (2017). Chronic
Kidney Disease. The Lancet, 389(10075), 1238–1252
Zazzeroni, L., Pasquinelli, G., Nanni, E., Cremonini, V., & Rubbi, I. (2017).
Comparison of Quality of Life in Patients Undergoing Hemodialysis
and Peritoneal Dialysis: A Systematic Review and Meta-Analysis.
Kidney and Blood Pressure Research, 42(4), 717–727.
https://doi.org/10.1159/000484115

Anda mungkin juga menyukai