Anda di halaman 1dari 30

PAPER

DEMENSIA

Makalah ini dibuat sebagai salah satu persyaratan kelulusan kepaniteraan


Klinik SMF Psikiatri di Rumah Sakit Haji Medan

Pembimbing:

Dr. dr. Elmeida Effendy, M.Ked(KJ).,Sp.KJ (K)

Oleh:
Regi Mohammad Rochmat
20360213

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF


PSIKIATRI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
RUMAH SAKIT UMUM HAJI
MEDAN 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kehendak dan Karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan paper yang berjudul ”DEMENSIA”. Penyusunan tugas
paper ini di maksudkan untuk mengembangkan wawasan serta melengkapi tugas Kepaniteraan
Klinik Senior Bagian Ilmu Psikiatri yang diberikan pembimbing.
Dalam penulisan paper, penulis telah banyak mendapatkan bantuan, baik berupa petunjuk,
bimbingan, saran, motivasi, dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin
menyampaikan rasa terima kasih kepada Dr.dr. Elmeida Effendy, M. Ked. KJ., Sp.KJ (K) selaku
pembimbing dalam kepaniteraan klinik ilmu kedokteran psikiatri serta dalam penyusunan paper
ini.
Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa paper terdapat banyak
kekurangan dan jauh dari sempurna, mengingat segala keterbatasan pengetahuan dan
pengalaman yang dimiliki oleh penulis. Maka dari ini, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun untuk perbaikan di masa yang akan datang.
Akhir kata semoga paper ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan semua pihak
yang membaca.

Medan, 2 8 Juni 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR................................................................................................................i

DAFTAR ISI...............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.........................................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................3

2.1 Demensia..................................................................................................................3

2.1.1. Definisi..........................................................................................................3

2.1.2. Epidemiologi.................................................................................................3

2.1.3. Klasifikasi.....................................................................................................4

2.1.4. Etiologi..........................................................................................................5

2.1.5. Patofisiologi..................................................................................................6

2.1.6. Gejala Klinis.................................................................................................6

2.1.7. Diagnostik.....................................................................................................7

2.1.8. Penatalaksanaan............................................................................................8

2.1.9. Prognosis......................................................................................................15

BAB III KESIMPULAN...........................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Peningkatan dalam tingkatan harapan hidup

manusia memang patut untuk disyukuri, namun disisi lain

kondisi ini menimbulkan polemik baru dalam kehidupan

bermasyarakat maupun berkeluarga. Ketika seseorang

sudah mencapai usia tua dimana fungsi-fungsi tubuhnya

tidak dapat lagi berfungsi dengan baik, maka lansia

membutuhkan banyak bantuan dalam menjalankan

aktivitas-aktivitas kehidupannya. Aktivitas kehidupan

sehari-hari (Activity Of Daily Living) adalah suatu

pengukuran kemampuan seseorang untuk melakukan

ADL secara mandiri, yang meliputi mandi, makan,

toileting, kontinen, berpakaian, dan berpindah (M.

Maftuchul Huda, dkk, 2011).

Penurunan fungsi kognitif akan membawa dampak

pada melambatnya proses sentral dan waktu reaksi

sehingga fungsi sosial dan okupasional akan mengalami

penurunan yang signifikan pada kemampuan sebelumnya.

Hal inilah yang membuat lansia menjadi kehilangan minat

pada aktivitas hidup sehari-hari mereka. (Marlita, Saputra,

and Yamin 2018)

Demensia adalah kondisi klinis dimana terjadi

penurunan fungsi mental intelektual (kognitif) yang

1
progresif. Demensia

dapat disebabkan oleh

penyakit organik

difusi pada hemisfer

serebri (demensia

subkortikal – misal

penyakit Alzheimer)

atau kelainan struktur

subkortikal (demensia

subkortikal, misalnya

penyakit Parkinson

dan Huntington)

(Elvira, Sylvia D, et

al. 2010).

Gangguan ini

dapat bersifat

progresif atau statis

permanen atau

reversibel. Adanya

kausa yang mendasari

harus seklalu

dipikirkan meski pada

kasus yang jarang

tampaknya mustahil

untuk menemukan

kausa yang spesifik.


1
2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1 Demensia

2.1.1 Definisi

Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi ke III (PPDGJ –III)

menyatakan bahwa demensia merupakan suatu sindrom yang diakibatkan oleh penyakit atau

gangguan otak yang biasanya bersifat kronik progresif dimana terdapat gangguan fungsi

luhur kortikal yang multipel (multiple higher cortical function) termasuk di dalamnya daya

ingat, daya pikir, orientasi, daya tangkap (comprehension), berhitung, kemampuan belajar,

berbahasa, dan daya nilai (judgement). Demensia umumnya disertai dan ada kalanya diawali

dengan kemerosotan (deterioration) dalam pengendalian emosi, perilaku sosial, atau

motivasi hidup.

Demensia adalah kondisi klinis dimana terjadi penurunan fungsi mental intelektual

(kognitif) yang progresif. Demensia dapat disebabkan oleh penyakit organik difusi pada

hemisfer serebri (demensia subkortikal – misal penyakit Alzheimer) atau kelainan struktur

subkortikal (demensia subkortikal, misalnya penyakit Parkinson dan Huntington) (Elvira,

Sylvia D, et al. 2010). Memori adalah bagian kognitif yang paling banyak hilang pada

demensia. Kemampuan mental juga terpengaruh pada kasus demensia, seperti bahasa,

kemampuan visuospatial, perhitungan, pengambilan keputusan, dan 11 pemecahan

pemecahan masalah. Neuropsikiatri dan defisit sosial juga berkembang di banyak gejala

demensia yang mengakibatkan depresi, penarikan, halusinasi, delusi, agitasi dan

insomnia(Guyton & Hall, 2012).


2.1.2 Epidemiologi

Practice Guideline for the Treatment Of Patients with Alzeimer’s disease and other

Dementians of Late Life dari the American Psyciathric Association (APA), awitan penyakit

ini umumnya paling kerap terjadi pada usia 60-an, 70-an dan 80-an keatas (Kaplan 2015).

Estimasi jumlah penderita demensia untuk usia lebih dari 60 tahun di Indonesia,

Thailand, dan Sri Lanka pada 2001 adalah 0,6 persen dari jumlah penduduk, jumlah tersebut

diperkirakan meningkat pada tahun 2020 menjadi 1,3% dan menjadi 2,7% pada tahun 2040

(Ferri et al, 2005, dalam Rizzi, Rosset, & Roriz-Cruz, 2014).

Insidensi penyakit alzheimer meningkat diperkirakan 0,5 %a per tahun dari usia 65-

69, 1 % per tahun dari usia 70 – 74, 2 % per tahun dari usia 75 – 79, 3 % per tahun dari usia

80-84 dan 8 % per tahun dari usia 85 keatas (Kaplan 2015).

Demensia vaskular mencakup 15 – 30 % seluruh kasus demensia terjadi pada orang

berusia 60 – 70 . Penyebab demensia lain masing masing meliputi 1-5 % seluruh kasis

adalah trauma kepala,demensia terkait alcohol dan berbagai demensia terkait gangguan

pergerakan (Kaplan 2015).

2.1.3 Klasifikasi

Handajani (2006), mengklasifikasikan demensia menjadi tiga kelompok besar,

yaitu:

1) Penyakit Alzheimer, terdiri dari 2 tipe yaitu demensia presinilis (Alzheimer tipe 2)

yang menyerang orang dewasa sebelum berumur 65 tahun dan demensia sisnilis

(Alzheimer tipe 1) yang menyerang setelah usia 65 tahun.Demensia Alzheimer

adalah jenis yang paling umum dari demensia, dan disebabkan oleh berkurangnya

sel otak. Demensia Alzheimer merupakan penyakit keturunan, oleh sebab itu

cenderung muncul pada keluarga. Walaupun bersifat genetik, tidak berarti semua

keluarga akan mendapatkan penyakit ini.


Penyakit ini pada sel di dalam area otak yang mengendalikan fungsi mental dan

memori dihancurkan oleh protein abnormal yang tersimpan di dalam otak. Orang

dengan penyakit Alzheimer juga mempunyai tingkat bahan kimia otak yang kurang

dari normal disebut neurotransmitter sebagai pengendali fungsi penting otak.

2) Demensia Vaskular, terdiri dari 4 macam yaitu demensia vascular serangan akut,

demensia multi-infark, demensia subkortikal dan demensia gabungan kortikal dan

subkortikal. Demensia vaskular merupakan jenis demensia yang paling umum dan

disebabkan oleh peredaran darah yang lemah ke otak. Pada multi infark demensia,

beberapa stroke ringan atau infark muncul di tempat aliran darah beredar ke bagian

otak. Dengan demensia jenis ini, pengendalian tekanan darah yang baik, dan tidak

mengkonsumsi rokok.

3) Demensia yang disebabkan penyakit lainnya, seperti penyakit Pick, Creutzfeld-

Jakob, Hutington dan Parkinson. Penyakit ini secara khas akan mengalami

kekakuan otot, bermasalah pada saat berbicara dan tremor.

2.1.4 Etiologi

Gangguan yang dapat menyebabkan demensia diantara lain penyakit Alzheimer,

dimensia vaskuler, adanya tumor, trauma pada kepala, cidera pada kepala, gangguan

neurodegeneratif, gangguan nutrisional, lupus dll (M. Rosser 1992 dalam Kaplan 2010).

Karena demensia adalah suatu sindrom yang umum, dan mempunyai banyak penyebab,

dokter harus melakukan pemeriksaan klinis dengan cermat pada seseorang pasien dengan

demensia untuk menegakkan penyebab demensia pada pasien yang mempunyai riwayat

penyakit tertentu (Riri & Ari, 2008).

Penyebab demensia sangat beragam, setiap penyebab yang melibatkan otak dapat

menyebabkan demensia, misalnya gangguan peredaran darah di otak, radang, neoplasma,

gangguan metabolik, dan penyakit degeneratif. Gejala atau kelainan yang menyertai

demensia sangat diteliti. Diagnosa dan etiologi dapat di tegakkan melalui atau dengan

bantuan penyakit yang menyertai, seperti stroke, hipertensi, penyakit jantung, diabetes

mellitus, hemiprarese, gangguan sensibilitas, aphasia, apraksia, rigiditas, dan tremor


(Aisyah, 2009).

Beberapa penyebab terjadinya demensia yang di jelaskan oleh Kaplan (2010),

yaitu :

1) Demensia tipe Alzheimer

Alois Alzheimer pertama kali menggambarkan suatu kondisi yang selanjutnya

diberi nama dengan namanya dalam tahun 1970, saat ini menggambarkan wanita

berusia 51 tahun dengan perjalanan demensia progresif 4,5 tahun. Diagnosis akhir

penyakit Alzheimer didasarkan pada pemeriksaan neuropatologi otak. Faktor genetik

dianggap berperan sebagian dalam perkembangan penyakit demensia ini.

Observasi makroskopis neuroanatomik klasik pada otak dari seorang pasien

degan penyakit Alzheimer adalah antrofi difus dan pembesaran ventrikel serebal serta

timbulnya bercak-bercak senilis, kekusutan neurofibriler, hilangnya neuronal, dan

degenarsi granulovaskular pada neuron.

2) Demensia Vaskuler

Penyebab utama dari demensia vascular dianggap adalah penyakit vascular serebral

yang multiple, yang menyebabkan suatu pola gejala demensia. Demensia vascular

paling sering terjadi pada laki-laki, khususnya pada mereka yang mengalami hipertensi

yang telah ada sebelumnya atau faktor resiko kardiovaskuler lainnya.

Penyakit Pick ditandai oleh atrofi yang lebih banyak dalam daerah frontotemporal.

Daerah tersebut juga mengalami kehilangan neuronal, yang merupakan massa elemen

sitoskeletal. Penyakit pick berjumlah kira-kira 5 persen dari semua demensia yang

ireversibel. Penyakit pick sangat sulit untuk dibedakan dengan demensia tipe

Alzheimer, walaupun stadium awal penyakit pick lebih sering ditandai oleh perubahan

kepribadian dan perilaku, dengan fungsi kognitif lain yang relative bertahan.
3) Demensia yang berhubungan dengan HIV

Infeksi dengan human immunodeficiency virus (HIV) sering kali menyebabkan

demensia dan gejala psikiatrik lainnya.

Pasien yang terinfeksi dengan HIV mengalami demensia dengan angka tahunan

14 persen. Perkembangan demensia pada pasien yang terinfeksi HIV sering kali

disertai oleh tampakya kelainan parenkimal.

4) Demensia yang berhubungan dengan trauma kepala

Demensia dapat dari trauma kepala, demikian juga berbagai sindrom neuropsikiatrik.

Saat ini didapatkan kemajuan pesat dalam bidang pemeriksaan penunjang, pemeriksaan

laboratorium, seperti CT-scan, MRI, pemeriksaan darah (Riri & Ari, 2008).

2.1.5 Patofisiologi

Perjalanan penyakit yang klasik pada demensia adalah awitan (onset) yang

dimulai pada usia 50 dan atau 60-an dengan perburukan yang bertahap dalam 5 atau 10

tahun, yang akhirnya menyebabkan kematian. Usia awitan dan kecepatan perburukan

bervariasi diantara jenis-jenis demensia dan kategori diagnostik masing-masing individu.

Usia harapan hidup pada pasien dengan demensia tipe Alzheimer adalah sekitar 8 tahun,

dengan rentang 1 hingga 20 tahun. Data penelitian menunjukkan bahwa penderita

demensia dengan awitan yang dini atau dengan riwayat keluarga menderita demensia

memiliki kemungkinan perjalanan penyakit yang lebih cepat. Dari suatu penelitian

terbaru terhadap 821 penderita penyakit Alzheimer, rata-rata angka harapan hidup adalah

3,5 tahun. Sekali demensia didiagnosis, pasien harus menjalani pemeriksaan medis dan

neurologis lengkap, karena 10 hingga 15 persen pasien dengan demensia potensial

mengalami perbaikan (reversible) jika terapi yang diberikan telah dimulai sebelum

kerusakan otak yang permanen terjadi (Kaplan, 2010).

Perjalanan demensia yang paling sering dimulai dengan sejumlah tanda yang

samar-samar. Gejala fase awal hanya samar-samar, gejala semakin jelas saat demensia

berkembang (Kaplan, 2010).


13

Terapi psikososial dan farmakologis dan mungkin juga oleh karena perbaikan

bagian-bagian otak (self-healing), gejala-gejala pada demensia dapat berlangsung lambat

untuk 25 beberapa waktu atau dapat juga berkurang sedikit. Regresi gejala dapat terjadi

pada demensia yang reversibel (misalnya demensia akibat hipotiroidisme, hidrosefalus

tekanan normal, dan tumor otak) setelah dilakukan terapi. Perjalanan penyakit pada

demensia bervariasi dari progresi yang stabil (biasanya terlihat pada demensia tipe

Alzheimer) hingga demensia dengan perburukan (biasanya terlihat pada demensia

vaskuler) menjadi demensia yang stabil (seperti terlihat pada demensia yang terkait dengan

trauma kepala) (Riri & Ari, 2008).

Komponen utama dari bercak saraf adalah A-beta, peptide, yang mengandung 39-

42 asam amino. A beta dihasilkan dari pembelahan precursor protein amiloid (APP) oleh

protease. APP diproses oleh tiga macam protease; alfa-, beta-, dan gamma-sekretase.

Peningkatan proses pembelahan APP melalui beta-sekretase menunjukkan peningkatan

produksi A-beta sehingga terbentuk plak pada saraf. Normalnya, A-beta bersifat soluble

(larut), namun pada penderita Alzheimer A-beta bersifat insoluble karena mengalami

fibrilisasi. Perubahan ini bersifat spontan dan belum diketahui pemicunya. Semakin

banyak fibrilisasi yang terjadi maka A-beta yang bersifat soluble semakin berkurang,

2+
akibatnya terbentuk plak. Plak yang terjadi ini mengganggu homeostatis Ca di sel saraf

sehingga membuat sel saraf rentan terhadap radikal bebas.

Teori tau and tangle hypothesis adalah adanya korelasi yang kuat antara keparahan

demensia dan frekuensi banyaknya kekusutan di saraf. Kekusutan ini terjadi dari banyak

protein, tetapi protein utamanya adalah protein tau. Protein tau sangat penting untuk

elongasi akson dan perbaikan akson. Tau adalah fosfoprotein sehingga kemampuannya

berkurang oleh proses fosforilasi. Proses fosforilasi ini dikaitkan dengan enzim glikogen

kinase-3 (GSK-3). Pada penderita demensia, protein yang diisolasi bersifat hiperfosforilasi
sehingga kemampuannya untuk memperbaiki akson sangat berkurang, oleh karena itu

terbentuknya kekusutan pada saraf.

Terdapat peran ApoE (Apolipoprotein E) dalam patogenesis penyakit demensia.

ApoE adalah protein yang memainkan peran penting dalam metabolisme dan distribusi

lemak. ApoE berperan dalam siklus kolesterol, ApoE terikat ke lipoprotein dan reseptor

LDL. Afinitas terikatnya ApoE terhadap lipoprotein dan reseptor LDL bervariasi,

tergantung dari isoform ApoE (el-e4). ApoE juga merupakan bagian dari A-beta dan

protein tau, ApoE dan A-beta akan membentuk fibril juga, namun fibril yang terbentuk

tidak sama dengan fibril A-beta sendiri yang mengalami fibrilasi (Rochmah et al, 2014).
2.1.6 Gejala Klinis

Demensia memiliki beberapa gambaran klinis antara lain sebagai berikut :

1. Gangguan Memori

Gangguan memori merupakan ciri yang awal dan menonjol pada kasus

Demensia dimana penderita mengalami penurunan daya ingat segera dan daya ingat peristiwa

jangka pendek (recent memory – hipokampus) kemudian secara bertahap daya ingat recall

juga mengalami penurunan (temporal medial dan regio diensephalik). Pasien demensia tidak

mampu untuk belajar tentang hal-hal baru atau lupa mengenai hal-hal yang baru saja

dikenal, dilakukan atau dipelajari seperti lupa akan janjinya, orang yang baru saja dijumpai atau

tempat yang baru saja dikunjunginya.

2 Orientasi Daya ingat penting untuk orientasi terhadap waktu, orang dan tempat. Orientasi dapat

terganggu secara progresif selama terjadi perjalanan penyakit demensia. Pasien dengan

demensia mungkin lupa bagaimana kembali ke ruangannya setelah pergi dari kamar mandi.

3. Afasia

Afasia yaitu kesulitan dalam menyebutkan nama benda atau orang. Penderita afasia

berbicara samar-samar dengan ungkapan kata-kata yang panjang atau dengan menggunakan

istilah-istilah yang tak menentu, seperti 12 “itu”, “apa itu“. Pada tahap lanjut, penderita dapat

menjadi bisu atau mengalami gangguan pola bicara yang dicirikan oleh ekolalia yang berarti

menirukan apa yang dia dengar atau palilia yang berarti mengulang suara atau kata terus

menerus.

4. Apraksia

Apraksia ialah ketidak-mampuan dalam melakukan suatu gerakan meskipun kemampuan

motorik yang diperlukan tetap baik. Penderita mengalami kesulitan dalam menggunakan benda

tertentu atau melakukan gerakan-gerakan yang telah dikenali misalnya melambaikan tangan.

5 Agnosia

Agnosia yaitu ketidak-mampuan penderita dalam mengenali atau mengindentifikasi

suatu benda meskipun fungsi sensoriknya utuh, seperti penderita tidak dapat mengenali meja
13
ataupun kursi meskipun visusnya atau penglihatannya baik. Penderita semakin lama semakin

tidak mengenal lagi anggota-anggota keluarganya.

6 Gejala psikotik

Sekitar 20%-30% pasien demensia memiliki halusinasi dan 30%-40% pasien demensia

mempunyai waham, terutama dengan sifat paranoid atau persekutorik dan tidak sistematik

walaupun waham yang kompleks, menetap dan tersistematik dengan baik juga dilaporkan pada

pasien demensia. Agresi fisik dan bentuk kekerasan lainnya sering terjadi pada pasien demensia

yang juga mempunyai gejala psikotik.

7 .Perubahan kepribadian

Sifat kepribadian pada pasien demensia sebelumnya mungkin diperkuat selama

perkembangan demensia. Pasien dengan demensia mungkin menjadi introvert dan tampaknya

juga kurang memperhatikan efek perilaku mereka terhadap orang lain. Pasien demensia yang

mempunyai waham paranoid biasanya bersikap bermusuhan terhadap anggota keluarganya

ataupun pengasuhnya. Pasien dengan gangguan frontal dan temporal kemungkinan mengalami

perubahan kepribadian yang jelas dan mungkin mudah untuk marah.

8 Gangguan lain

Reaksi katastropik adalah reaksi yang menunjukkan penurunan kemampuan untuk

menerapkan perilaku abstrak sesuai dengan apa yang disebut oleh Kurt Goldstein. Pasien

mempunyai kesulitan dalam generalisasi dari satu contoh tunggal, membentuk konsep dan

mengambil perbedaan serta persamaan diantara konsep-konsep. Pada tahap selanjutnya, pasien

mengalami kesulitan dalam hal kemampuan untuk memecahkan masalah, memberikan alasan

secara logis dan memberikan pertimbangan yang baik. Reaksi katastropik menurut Goldstein

ditandai oleh agitasi sekunder karena kesadaran subjektif tentang defisit fungsi intelektualnya.

Pasien berusaha untuk mengompensasi defeknya tersebut dengan menggunakan strategi untuk

menghindari terlihatnya kegagalan dalam fungsi intelektualnya seperti mengubah subjek,

membuat lelucon atau mengalihkan pewawancara dengan cara lain. Penderita demensia yang 14

terutama mempengaruhi lobus frontalis sering ditemukan tidak adanya pertimbangan atau

kontrol impuls yang buruk, sebagai contoh dari gangguan tersebut adalah bahasa yang kasar,

14
humor yang tidak sesuai, pengabaian penampilan higiene pribadi dan mengabaikan aturan

konvensional mengenai tingkah laku sosial (Kaplan & Sadock, 2007).

15
2.1.7 Diagnosis Demensia

Pedoman Diagnostik Demensia (PPDGJ III)

1. Adanya penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir yang sampai mengganggu

kegiatan harian seseorang(personal activities of daily living) seperti : mandi, berpakaian,

makan, kebersihan diri, buang air besar dan kecil

2. Tidak ada gangguan kesadaran (clear consciousness)

3. Gejala dan disabilitas sudah nyata untuk paling sedikit 6 bulan

Dalam menegakkan diagnosis klinis dari demensia dilakukan hal-hal sebagai

berikut:

1 Anamnesis (wawancara) dilakukan pada penderita, keluarga atau pengasuh yang

mengetahui perjalanan penyakit pada pasien. Hal yang penting untuk diperhatikan pada saat

melakukan anamnesis adalah riwayat penurunan fungsi terutama fungsi kognitif pada pasien

dibandingkan sebelumnya, mendadak atau progresif lama dan adanya perubahan perilaku

kepribadian.

a. Riwayat medis umum Ditanyakan faktor resiko demensia, riwayat infeksi kronis

(misalnya HIV dan sifilis), gangguan endokrin (hiper/hipotiroid), diabetes

melitus, neoplasma/tumor, penyakit jantung, penyakit kolagen,

hipertensi, hiperlipidemia dan aterosklerosis perifer mengarah

ke demensia vaskular.

b. Riwayat neurologis Bertujuan untuk mengetahui etiologi demensia seperti riwayat

gangguan serebrovaskular, trauma kapitis, infeksi sistem saraf pusat , epilepsi,

stroke, tumor serebri dan hidrosefalus.

c. kognitif Riwayat gangguan memori sesaat, jangka pendek dan jangka panjang

yang meliputi:

 Gangguan orientasi orang, waktu dan tempat


 Gangguan berbahasa/komunikasi (kelancaran, menyebut maupun gangguan

komprehensif)

 Gangguan fungsi eksekutif (pengorganisasian, perencanaan dan pelaksanaan

suatu aktifitas)

 Gangguan praksis dan visuospasial. Hal lain yang perlu untuk diketahui

mengenai aktifitas harian yang dilakukan pasien diantaranya melakukan pekerjaan,

mengatur keuangan, mempersiapkan keperluan harian, melaksanakan hobi serta

mengikuti aktifitas sosial.

d. Riwayat gangguan perilaku dan kepribadian Pada penderita demensia dapat ditemukan

gejala-gejala neuropsikologis berupa waham, halusinasi, miss identifikasi, depresi, delusi,

pikiran paranoid, apatis dan cemas. Gejala perilaku salah satu contohnya dapat berupa

bepergian tanpa tujuan, agitasi, agresivitas fisik maupun verbal, kegelisahan dan

disinhibisi (rasa malu).

e. Riwayat keracunan, nutrisi dan obat-obatan Adanya riwayat intoksikasi aluminium, air

raksa, pestisida, insektisida, lem, alkoholisme dan merokok. Riwayat pengobatan

terutama pemakaian kronis obat anti depresan dan narkotika perlu diketahui.

f. Riwayat keluarga Mencari riwayat terhadap keluarga, apakah keluarga mengalami

demensia atau riwayat penyakit serebrovaskular, depresi, penyakit parkinson, retardasi

mental, dan gangguan psikiatri

g. Pemeriksaan objektif Pemeriksaan untuk deteksi demensia harus meliputi pemeriksaan

fisik umum, pemeriksaan neurologis, pemeriksaan neuropsikologis, pemeriksaan status

fungsional dan pemeriksaan psikiatrik (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003)

2 Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik terdiri dari pemeriksaan umum, pemeriksaan neurologis dan

pemeriksaan neuropsikologis.
a. Pemeriksaan umum Pemeriksaan ini terdiri dari pemeriksaan medis umum atau status

interna seperti yang dilakukan dalam praktek klinis.

b. Pemeriksaan neurologis Pemeriksaan ini penting dilakukan untuk membedakan proses

degeneratif primer atau sekunder dan kondisi komorbid lainnya. Pasien Demensia

Alzheimer onset awal pada umunya memiliki pemeriksaan neurologis yang normal.

Kelainan hanya didapatkan pada status mental pasien. Gejala tambahan spesifik selain

status mental dapat mengarah ke suatu diagnosis tertentu. Peningkatan tonus otot dan

bradikinesia dengan tidak adanya gejala tremor mengarah pada dementia Lewy’s 22 Body.

Refleks asimetris, defisit lapang pandang dan lateralisasi mengindikasikan dementia

vaskuler. Myoklonus sugesti pada Creutzfeldt-Jakob. Neuropati perifer dapat mengarah

pada toksin dan enselopati metabolik. Pemeriksaan pendengaran dan visus penting untuk

dilakukan karena dapat mempengaruhi pemeriksaan MMSE (Sorbi et al, 2012).

Pemeriksaan neurologis dapat juga digunakan untuk mengetahui adanya tekanan

tinggi intrakranial, gangguan neurologis fokal misalnya: gangguan berjalan, gangguan

motorik, sensorik, otonom, koordinasi, gangguan penglihatan, pendengaran,

keseimbangan, tonus otot, gerakan abnormal/apraksia dan adanya refleks patologis dan

primitif (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003).

c. Pemeriksaan neuropsikologis

Pemeriksaan neuropsikologis meliputi evaluasi memori, orientasi, bahasa,

kalkulasi, praksis, visuospasial dan visuoperceptual. Mini Mental State Examination

(MMSE) dan Clock Drawing Test (CDT) adalah pemeriksaan awal yang berguna untuk

mengetahui adanya disfungsi kognisi, menilai efektivitas pengobatan dan untuk

menentukan progresivitas penyakit. Nilai normal MMSE adalah 24-30. Gejala awal

demensia perlu dipertimbangkan pada penderita dengan nilai MMSE kurang atau dibawah

dari 27 terutama pada golongan berpendidikan tinggi. Pemeriksaan aktifitas harian dengan
pemeriksaan Activity of Daily Living (ADL) dan instrumental Activity of Daily Living

(IADL) dapat pula dilakukan. Hasil pemeriksaan tersebut dipengaruhi 23 olehtingkat

pendidikan, sosial dan budaya (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003). 3 Pemeriksaan

penunjang

3 Pemeriksaan penunjang untuk penegakkan demensia meliputi pemeriksaan

laboratorium, pencitraan otak, elektro ensefalografi dan pemeriksaan genetika.

a. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan darah lengkap termasuk elektrolit, fungsi ginjal,

fungsi hati, hormon tiroid dan kadar vitamin B12. Pemeriksaan HIV dan neurosifilis pada

penderita dengan resiko tinggi. Pemeriksaan cairanotak bila terdapat indikasi.

b. Pemeriksaan pencitraan otak Pemeriksaan ini berperan untuk menunjang diagnosis,

menentukan beratnya penyakit serta prognosis. Computed Tomography (CT) – Scan atau

Metabolic Resonance Imaging (MRI) dapat mendeteksi adanya kelainan struktural

sedangkan Positron Emission Tomography (PET) dan Single Photon Emission

Tomography (SPECT) digunakan untuk mendeteksi pemeriksaan fungsional. MRI

menunjukkan kelainan struktur hipokampus secara jelas dan berguna untuk membedakan

demensia alzheimer dengan demensia vaskular pada stadium awal.

c. Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG) Pemeriksaan EEG tidak menunjukkan adanya

kelainan yang spesifik. Pada stadium lanjut ditemukan adanya perlambatan umum dan

kompleks secara periodik.

d. Pemeriksaan Genetika Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu protein pengangkut lipid

polimorfik yang memiliki 3 allel yaitu epsilon 2, epsilon 3, dan epsilon 4. Setiap allel

mengkode bentuk APOE yang berbeda. Meningkatnya frekuensi epsilon 4 diantara

penyandang demensia Alzheimer tipe awitan lambat atau tipe sporadik menjadikan genotif

APOE epsilon 4 sebagai penanda untuk demensia. (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003).

4 Mini Mental State Examination (MMSE)


Pemeriksaan demensia dapat menggunakan Mini Mental State Examination

(MMSE) yang merupakan gold standar untuk diagnosis demensia. Pemeriksaan

neuropsikologi ini pertama kali diperkenalkan oleh Folstein pada tahun 1975.

Pemeriksaan ini mudah dikerjakan dan membutuhkan waktu yang relatif singkat yaitu

antara lima sampai sepuluh menit yang mencakup penilaian orientasi, registrasi, perhatian

dan kalkulasi, mengingat kembali serta bahasa. Pasien dinilai secara kuantitatif pada

fungsi tersebut dengan nilai sempurna adalah 30. Pemeriksaan MMSE dapat digunakan

secara luas sebagai pemeriksaan yang sederhana dan cepat untuk 25 mencari

kemungkinan munculnya defisit kognitif sebagai tanda demensia (Kaplan & Sadock,

2007).

Pemeriksaan ini juga digunakan secara luas pada praktik klinis sebagai instrumen

skrining kognitif yang telah dibuktikan dalam studi National Institute of Mental Health

yang menyebutkan bahwa MMSE sebagai penilai fungsi kognitif yang direkomendasikan

untuk kriteria diagnosis penyakit Alzheimer dan dikembangkan oleh National Institute of

Neurological and Communication Disorders & Stroke and the Alzheimer’s Disease &

Related Disordes Association (Zulsita, Arni, 2011 cit McKhann et al, 1984).

Menurut Folstein (1990), interpretasi MMSE didasarkan pada skor yang diperoleh

pada saat pemeriksaan: 1. Skor 27-30 diinterpretasikan sebagai fungsi kognitif normal, 2.

Skor 21-26 diinterpretasikan sebagai gangguan fungsi kognitif ringan 3. Skor 10-20

diinterpretasikan sebagai gangguan fungsi kognitif sedang 4. Skor < 10 diinterpretasikan

sebagai gangguan fungsi kognitif berat.

2.1.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan terdiri dari non-medikamentosa dan medikamentosa:

1. Non-Medikamentosa

a. Memperbaiki memori
The Heart and Stroke Foundation of Canada mengusulkan

beberapa cara untuk mengatasi defisit memori dengan lebih baik

 Membawa nota untuk mencatat nama, tanggal, dan tugas yang

perlu dilakukan. Dengan ini stres dapat dikurangkan.

Melatih otak dengan mengingat kembali acara sepanjang hari

sebelum tidur. Ini dapat membina kapasiti memori.


 Menjauhi distraksi seperti televisyen atau radio ketika coba memahami

mesej atau instruksi panjang.

 Tidak tergesa-gesa mengerjakan sesuatu hal baru. Coba merencana

sebelum melakukannya.

 Banyak besabar. Marah hanya akan menyebabkan pasien lebih sukar

untuk mengingat sesuatu. Belajar teknik relaksasi juga berkesan.

a. Diet

Penelitian di Rotterdam mendapati terdapat peningkatan resiko

demensia vaskular berhubungan dengan konsumsi lemak total. Tingkat

folat, vitamin B6 dan vitamin B12 yang rendah juga berhubungan

dengan peningkatan homosisteine yang merupakan faktor resiko stroke.

2. Medikamentosa

a. Mencegah demensia vaskular memburuk

Progresifitas demensia vaskular dapat diperlambat jika faktor

resiko vaskular seperti hipertensi, hiperkolesterolemia dan diabetes

diobati. Agen anti platlet berguna untuk mencegah stroke berulang.

Pada demensia vaskular, aspirin mempunyai efek positif pada defisit

kognitif. Agen antiplatelet yang lain adalah tioclodipine dan

clopidogrel.

 Aspirin: mencegah platelet-aggregating thromboxane A2 dengan

memblokir aksi prostaglandin sintetase seterusnya mencegah

sintesis prostaglandin

 Tioclodipine: digunakan untuk pasien yang tidak toleransi

terhadap terapi aspirin atau gagal dengan terapi aspirin.


 Clopidogrel bisulfate: obat antiplatlet yang menginhibisi ikatan

ADP ke reseptor platlet secara direk.Agen hemorheologik

meningkatkan kualiti darah dengan menurunkan viskositi,

meningkatkan fleksibiliti eritrosit, menginhibisi agregasi platlet

dan formasi trombus serta supresi adhesi leukosit.

 Pentoxifylline dan ergoid mesylate (Hydergine) dapat

meningkatkan aliran darah otak. Dalam satu penelitian yang

melibatkan 29 pusat di Eropa, perbaikan intelektual dan fungsi

kognitif dalam waktu 9 bulan didapatkan. Di European

Pentoxifylline Multi-Infarct Dementia Study, pengobatan dengan

pentoxifylline didapati berguna untuk pasien demensia multi-

infark.

a. Memperbaiki fungsi kognitif dan simptom perilaku

Obat untuk penyakit Alzheimer yang

memperbaiki fungsi kognitif dan gejala perilaku dapat

juga digunakan untuk pasien demensia vaskular.


Nama obat Golongan Indikasi Dosis Efek
samping
Donepezil Penghambat Demensia Dosis awal 5 mg/hr, Mual,
kolinesterase ringan- setelah 4-6 minggu muntah,
sedang menjadi 10 mg/hr diare,
insomnia
Galantamine Penghambat Demensia Dosis awal 8 mg/hr, Mual,
kolinesterase ringan- setiap bulan dinaikkan 8 muntah,
sedang mg/hr sehingga dosis diare,
maksimal 24 mg/hr anoreksia
Rivastigmine Penghambat Demensia Dosis awal 2 x 1.5 mg/hr. Mual,
kolinesterase ringan- Setiap bulan dinaikkan 2 muntah,
sedang x 1.5 mg/hr hingga pusing,

22
:
Obat-obat demensia adalah seperti berikut
maksimal 2 x6mg/hr diare,
anoreksia
Memantine Penghambat Demensia Dosis awal 5 mg/hr, Pusing,
reseptor sedang- stelah 1 minggu dosis nyeri kepala,
NMDA berat dinaikkan menjadi 2x5 konstipasi
mg/hr hingga maksimal 2
x 10 mg/hr

Obat-obat untuk gangguan psikiatrik dan perilaku pada demensia adalah:


Gangguan Nama obat Dosis Efek samping
Perilaku
Depresi Sitalopram
Trazodon 10-40 mg/hr
25-100 mg Mual, mengantuk,
Pusing, nyeri
nyeri kepala,
malam hari kepala,kering,
mulut tremorkonstipasi
Esitalopram 5-20 mg/hr Insomnia, diare, mual,
mulut kering, mengantuk
Sertralin 25-100 mg/hr Mual, diare, mengantuk,
mulut kering, disfungsi
seksual
Agitasi, Quetiapin 25-300 mg/hr Mengantuk, pusing,
ansietas, mulut kering, dispepsia
Perilaku Olanzapin 2,5-10 mg/hr Meningkat berat badan,
Obsesif mulut kering, pusing,
tremor
Risperidon 0,5-1 mg, Mengantuk, tremor,
3x/hr insomnia, pandangan
kabur, nyeri kepala
Insomnia Zolpidem 5-10 mg Diare, mengantuk
malam hari
3. FOLLOW UP

1. RAWAT INAP

Jika pasien yang depresi tidak menunjukkan respon terhadap pengobatan atau

depresi berat (seperti mencoba untuk membunuh diri), terapi elektrokonvulsif

diindikasikan.

Pada demensia yang terus berlanjut, perubahan perilaku yang lebih berat seperti

agitasi, agresi, berjalan tanpa arah jelas, gangguan tidur dan perilaku seksual yang

abnormal diobservasi. Sebaiknya pasien ditempatkan di institusi khusus apabila masalah

perilaku tidak terkawal, aktivitas harian sangat memerlukan bantuan atau penjaga tidak

lagi mampu menjaga pasien.

2. RAWAT JALAN

Follow up yang reguler setiap 4-6 bulan direkomendasikan untuk menilai

kondisi umum pasien dan gejala kognitif. Pengobatan faktor resiko seperti hipertensi,

hiperkolesterolemia dan diabetes melitus juga memerlukan perhatian khusus.


2.1.9 Prognosis

 Prognosis demensia vaskular lebih bervariasi dari penyakit Alzheimer

 Beberapa pasien dapat mengalami beberapa siri stroke dan kemudian bebas

stroke selama beberapa tahun jika diterapi untuk modifikasi faktor resiko

dari stroke.

 Berdasarkan beberapa penelitian, demensia vaskular dapat memperpendek

jangka hayat sebanyak 50% pada lelaki, individu dengan tingkat edukasi

yang rendah dan pada individu dengan hasil uji neurologi yang memburuk

 Penyebab kematian adalah komplikasi dari demensia, penyakit

kardiovaskular dan berbagai lagi faktor seperti keganasan.


BAB III

KESIMPULAN

Demensia adalah kondisi klinis dimana terjadi penurunan fungsi mental intelektual

(kognitif) yang progresif. Demensia dapat disebabkan oleh penyakit organik difusi pada

hemisfer serebri (demensia subkortikal – misal penyakit Alzheimer) atau kelainan struktur

subkortikal (demensia subkortikal, misalnya penyakit Parkinson dan Huntington) (Elvira,

Sylvia D, et al. 2010).

Demensia terdiri dari Penyakit Alzheimer, demensia vaskular, Demensia yang

disebabkan penyakit lainnya, seperti penyakit Pick, Creutzfeld-Jakob, Hutington dan

Parkinson. Untuk menentukan diganosa dari demensia menggunakan Pedoman Diagnostik

Demensia (PPDGJ III), anamnesis, pemeriksaan fisik , pemeriksaan penunjang dan MMSE..

Untuk penatalaksaan insomnia terdiri dari Medikamentosa dan non- medikamentosa.

Penyebab kematian adalah komplikasi dari demensia, penyakit kardiovaskular dan berbagai

lagi faktor seperti keganasan.


DAFTAR PUSTAKA
Baskys A, Anthony C. Vascular dementia: Pharmacological Treatment
Approaches and Perspectives. Clinical Intervention in Aging.USA.
2007:2(3).ppt:327-35.
Boban M, Kristina G, Mihovil M, Patrick R, Christine S, Nibal A, Gabrijela S,
Benedikt B, Adrian D, Goran S. Cerebrospinal Fluid Markers in Differential
Diagnosis of Alzheimer‟s Disease and Vascular Dementia.Coll Antropoll.
Dewanto, G. dkk (2009). Panduan Praktis Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit
Saraf. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Hal 170-184
Iemolo F, Givanni D, Caludia R, Laura C, Vladimir H, Calogero C. Review
Pathophysiology of Vascular Dementia. Biomed Central. Canada.
2009.Vol.6. No.13.ppt:1-9.
Indiyart R. Diagnosis dan Pengobatan Terkini Demensia Vaskular. J.Kedokter
Trisakti.Jakarta. 2004.Vol.23.No.1.ppt:28-33
Mardjono, M., Sidharta, P. (2006). Neurologi Klinis Dasar. PT Dian Rakyat.
Jakarta. Hal 211-14.
Moo, LR,. Differential Diagnosis of Dementia. Neurology Service, Cognitive
Behavioral and Epilepsy Units. Massachusetts General Hospital and Harvard
Medical School.2011.
Roh, JH., Jae HL. Recent Updates on Subcortical Ischemic Vascular Dementia.
Journal of Stroke.2014:16(1):ppt.18-26.

Anda mungkin juga menyukai