Anda di halaman 1dari 64

REFERAT

Disentri Basiler, Dyspepsia, Hipertensi

Referat ini di buat untuk melengkapi persyaratan mengikuti


Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSU. Haji Medan

Pembimbing :

Dr. Lita Septina Chaniago, Sp.PD-KEMD

Disusun Oleh :

Muhamad Rifqi Malsa (21360011)

Muhamad Ariq Fauzan (21360012)

Muhamad Fadhil Ridho (21360013)

KEPANITRAAN KLINIK SENIOR ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proses penyusunan referat ini
dengan judul “Disentri basiler, Dispepsia, dan Hipertensi”.Penyelesaian referat ini
banyak bantuan dari berbagai pihak,oleh karena itu adanya kesempatan ini penulis
menyampaikan rasa terimakasih yang sangat tulus kepada dr.Lita Septina Chaniago
Sp.PD-KEMD selaku pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu, petunjuk,
nasehat dan memberi kesempatan kepada kami untuk menyelesaikan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini tentu tentu tidak lepas dari kekurangan
karena kebatasan waktu, tenaga, dan pengetahuan penulis. Maka sangat diperlukan
masukan dan saran yang membangun. Semoga referat ini dapat memberikan manfaat.

Medan, April 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Disentri merupakan tipe diare yang berbahaya dan seringkali


menyebabkan kematian dibandingkan dengan tipe diare akut yang lain. Penyakit ini
dapat disebabkan oleh bakteri (disentri basiler) dan amoeba (disentri amoeba). Di
Amerika Serikat, insiden disentri amoeba mencapai 1-5% sedangkan disentri basiler
dilaporkan kurang dari 500.000 kasus tiap tahunnya. Sedangkan angka kejadian
disentri amoeba di Indonesia sampai saat ini masih belum ada, akan tetapi untuk
disentri basiler dilaporkan 5% dari 3848 orang penderita diare berat menderita
disentri basiler.
Kebanyakan kuman penyebab disentri basiler ditemukan di negara
berkembang dengan kesehatan lingkungan yang masih kurang. Disentri amoeba
tersebar hampir ke seluruh dunia terutama di negara yang sedang berkembang yang
berada di daerah tropis. Hal ini dikarenakan faktor kepadatan penduduk, higiene
individu, sanitasi lingkungan dan kondisi sosial ekonomi serta kultural yang
menunjang.
Spesies Entamoeba menyerang 10% populasi didunia. Prevalensi yang tinggi
mencapai 50 persen di Asia, Afrika dan Amerika selatan. Sedangkan pada shigella di
Ameriksa Serikat menyerang 15.000 kasus. Dan di Negara-negara 1 berkembang
Shigella flexeneri dan S. dysentriae menyebabkan 600.000 kematian per tahun.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan referat ini adalah untuk mengetahui hal-
hal yang berkaitan tentang Disentri Basiler, Dyspepsia dan Hipertensi dan
sebagai salah satu pemenuhan tugas kepanitraan anak Fakltas Kedokteran
Universitas Malahayati.

C. Manfaat
1. Menambah pengetahuan tentang menentukan Disentri basiler, Dyspepsia,
Hipertensi.
2. Sebagai lini pertama dalam kesehatan untuk dapat menentukan diagnosis
pada Disentri Basiler, Dyspepsia, Hipertensi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Disentri basiler


2.1.1. Definisi
Disentri basiler merupakan penyakit infeksi saluran pencernaan yang

ditandai dengan diare cair akut atau dan disentri (tinja bercampur darah, lender,

dan nanah), pada umumnya disertai demam dan nyeri perut (Krugman, et al., 2009;

Levine, 2010). Penyakit ini ditularkan melalui jalan fekal-oral dengan masa

inkubasi 1-7 hari, untuk terjadinya penularan tersebut diperlukan dosis minimal

penularan 100 bakteri Shigella sp. ( Lima, et al., 2011; Zinner, et al., 2010; Sack, et

al., 2014).

Berdasarkan aspek biokimia dan serologi, Shigella sp. dibagi menjadi 4

spesies, yaitu S.dysentriae (serogroup A), S.flexneri (serogroup B), S.boydii

(serogroup C) dan S.sonei (serogroup D) (Krugman, et al., 2012; Guerrant, et al.,

2010, Jawetz, et al., 2015).

Golongan Shigella yang sering menyerang manusia ialah S.dysenteriae,

S.flexneri, S.boydii dan S.sonnei. Di daerah tropis yang sering ditemukan ialah

S.dysenteriae dan S.flexneri, sedangkan S.sonnei lebih sering dijumpai di daerah

sub tropis atau daerah industri (Abuhammour, 2012).

Di Indonesia, Shigella sp merupakan penyebab tersering ke-2 dari diare

yang dirawat di rumah sakit, yakni sebesar 27,3%. Dari keseluruhan Shigella sp

tersebut, 82,8% merupakan S. flexneri; 15,0% adalah S. sonnei; dan 2,2%

merupakan S. Dysenteriae (Tjaniadi, et al.,. 2013).


2.1.2. Epidemiologi

Laporan epidemiologi menunjukkan bahwa 600.000 dari 140 juta pasien

shigellosis meninggal setiap tahun di seluruh dunia (Iwalokun, et al., 2001).

Setiap tahun, ada sekitar 500.000 kasus shigellosis di Amerika Serikat (Scallan, et

al., 2011). Pada tahun 2013 rata-rata kejadian tahunan shigellosis di Amerika

Serikat adalah 4,82 kasus per 100.000 orang (Crim, et al., 2014). Data di

Indonesia memperlihatkan 29% kematian diare terjadi pada umur 1 sampai 4

tahun disebabkan oleh disentri basiler (Edmundson, 2014). Tingginya insiden dan

mortalitas dihubungkan dengan status sosial ekonomi yang rendah, kepadatan

penduduk dan kebersihan yang kurang (Subekti, et al., 2001).

2.1.3. Etiologi

Disentri basiler disebabkan oleh bakteri genus Shigella. Di Indonesia,

Shigella sp merupakan penyebab tersering ke-2 dari diare yang dirawat di rumah

sakit, yakni sebesar 27,3%. Dari keseluruhan Shigella sp tersebut, 82,8%

merupakan S. flexneri; 15,0% adalah S. sonnei; dan 2,2% merupakan S.

Dysenteriae (Tjaniadi, et al., 2013).

Bakteri ini termasuk dalam suku Enterobacteriaceae dan merupakan

bakteri gram negatif yang berbentuk batang/basil (Heymann, 2011). Selain itu

bakter ini bersifat anaerob fakultatif, yang berarti dapat hidup tanpa atau dengan

adanya oksigen (Hale & Keusch, 2013)


2.1.4. Patofisiologi

Semua strain kuman Shigella menyebabkan disentri, yaitu suatu keadaan


yang ditandai dengan diare, dengan konsistensi tinja biasanya lunak, disertai eksudat
inflamasi yang mengandung leukosit polymorfonuclear (PMN) dan darah. Kuman
Shigella secara genetik bertahan terhadap pH yang rendah, maka dapat melewati barier
asam lambung. Ditularkan secara oral melalui air, makanan, dan lalat yang tercemar
oleh ekskreta pasien. Setelah melewati lambung dan usus halus, kuman ini menginvasi
sel epitel mukosa kolon dan berkembang biak didalamnya.
Kolon merupakan tempat utama yang diserang Shigella namun ileum terminalis
dapat juga terserang. Kelainan yang terberat biasanya di daerah sigmoid, sedang pada
ilium hanya hiperemik saja. Pada keadaan akut dan fatal ditemukan mukosa usus
hiperemik, lebam dan tebal, nekrosis superfisial, tapi biasanya tanpa ulkus. Pada
keadaan subakut terbentuk ulkus pada daerah folikel limfoid, dan pada selaput lendir
lipatan transversum didapatkan ulkus yang
dangkal dan kecil, tepi ulkus menebal dan infiltrat tetapi tidak berbentuk ulkus bergaung.
S.dysentriae, S.flexeneri, dan S.sonei menghasilkan eksotoksin antara lain
ShET1, ShET2, dan toksin Shiga, yang mempunyai sifat enterotoksik, sitotoksik, dan
neurotoksik. Enterotoksin tersebut merupakan salah satu faktor virulen sehingga
kuman lebih mampu menginvasi sel epitel mukosa kolon dan menyebabkan kelainan
pada selaput lendir yang mempunyai warna hijau yang khas. Pada infeksi yang
menahun akan terbentuk selaput yang tebalnya sampai 1,5 cm sehingga dinding usus
menjadi kaku, tidak rata dan lumen usus mengecil, sehingga dapat terjadi perlekatan
dengan peritoneum.

2.1.5. Manifestasi Klinis

. Disentri Basiler memiliki masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7


hari. Lama gejala rerata 7 hari sampai 4 minggu. Pada fase awal pasien mengeluh nyeri
perut bawah, diare disertai demam yang mencapai 40C. Selanjutnya diare berkurang
tetapi tinja masih mengandung darah dan lendir, tenesmus, dan nafsu makan menurun.
Bentuk klinis dapat bermacam-macam dari yang ringan, sedang sampai yang
berat. Sakit perut terutama di bagian sebelah kiri, terasa melilit diikuti pengeluaran
tinja sehingga mengakibatkan perut menjadi cekung. Bentuk yang berat (fulminating
cases) biasanya disebabkan oleh S. Dysentriae. Gejalanya timbul mendadak dan berat,
berjangkitnya cepat, berak-berak seperti air dengan lendir dan darah, muntah-muntah,
suhu badan subnormal, cepat terjadi dehidrasi, renjatan septik dan dapat meninggal
bila tidak cepat ditolong. Akibatnya timbul rasa haus, kulit kering dan dingin, turgor
kulit berkurang karena dehidrasi. Muka menjadi berwarna kebiruan, ekstremitas dingin
dan viskositas darah meningkat (hemokonsentrasi). Kadang-kadang gejalanya tidak
khas, dapat berupa seperti gejala kolera atau keracunan
makanan.
Kematian biasanya terjadi karena gangguan sirkulasi perifer, anuria dan koma
uremik. Angka kematian bergantung pada keadaan dan tindakan pengobatan. Angka ini
bertambah pada keadaan malnutrisi dan keadaan darurat misalnya kelaparan.
Perkembangan penyakit ini selanjutnya dapat membaik secara perlahan-lahan tetapi
memerlukan waktu penyembuhan yang lama. Pada kasus yang sedang keluhan dan
gejalanya bervariasi, tinja biasanya lebih berbentuk, mungkin dapat mengandung sedikit
darah/lendir. Sedangkan pada kasus yang ringan, keluhan/gejala tersebut di atas lebih
ringan. Berbeda dengan kasus yang menahun, terdapat serangan seperti kasus akut
secara menahun. Kejadian ini jarang sekali bila mendapat pengobatan yang baik.

2.1.6. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan tinja.

Pemeriksaan tinja secara langsung terhadap kuman penyebab serta biakan hapusan
(rectal swab). Untuk menemukan carrier diperlukan pemeriksaan biakan tinja yang
seksama dan teliti karena basil shigela mudah mati . Untuk itu diperlukan tinja yang
baru.

b. Polymerase Chain Reaction (PCR).

Pemeriksaan ini spesifik dan sensitif, tetapi belum dipakai secara luas.

c. Enzim immunoassay.

Hal ini dapat mendeteksi toksin di tinja pada sebagian besar penderita yang terinfeksi
S.dysentriae tipe 1 atau toksin yang dihasilkan E.coli.
d. Sigmoidoskopi.

Sebelum pemeriksaan sitologi ini, dilakukan pengerokan daerah sigmoid.

Pemeriksaan ini biasanya dilakukan pada stadium lanjut.

e. Aglutinasi.

Hal ini terjadi karena aglutinin terbentuk pada hari kedua, maksimum pada hari keenam.
Pada S.dysentriae aglutinasi dinyatakan positif pada pengenceran 1/50 dan pada
S.flexneri aglutinasi antibody sangat kompleks, dan oleh karena adanya banyak strain
maka jarang dipakai.

f. Endoskopi

Gambaran endoskopi memperlihatkan mukosa hemoragik yang terlepas dan ulserasi.


Kadang-kadang tertutup dengan eksudat. Sebagian besar lesi berada di bagian distal
kolon dan secara progresif berkurang di segmen proksimal usus besar.

2.1.7. Diagnosis Banding

Diagnosis banding untuk diare berdarah adalah :

a. Disentri basiler

Penyakit ini biasanya timbul secara akut, sering disertai adanya toksemia, tenesmus
akan tetapi sakit biasanya sifatnya umum. Tinja biasanya kecil-kecil, banyak, tak
berbau, alkalis, berlendir, nanah dan berdarah, bila tinja berbentuk dilapisi lendir.
Daerah yang terserang biasanya sigmoid dan dapat juga menyerang ileum. Biasanya
daerah yang terserang akan mengalami hiperemia superfisial ulseratif dan selaput lendir
akan menebal.

b. Disentri amuba

Timbulnya penyakit biasanya perlahan-lahan, diare awal tidak ada/jarang. Toksemia


ringan dapat terjadi, tenesmus jarang dan sakit berbatas. Tinja biasanya besar, terus
menerus, asam, berdarah, bila berbentuk biasanya tercampur lendir. Lokasi tersering
daerah sekum dan kolon asendens, jarang mengenai ileum. Ulkus yang ditimbulkan
dengan gaung yang khas seperti botol.
c. Escherichia coli Enteroinvasive (EIEC)

Patogenesisnya seperti Shigelosis yaitu melekat dan menginvasi epitel usus sehingga
menyebabkan kematian sel dan respon radang cepat (secara klinis dikenal sebagai
kolitis). Serogroup ini menyebabkan lesi seperti disentri basiller, ulserasi atau
perdarahan dan infiltrasi leukosit polimorfonuklear dengan khas edem mukosa dan
submukosa. Manifestasi klinis berupa demam, toksisitas sistemik, nyeri kejang
abdomen, tenesmus, dan diare cair atau darah.

d. Escherichia coli Enterohemoragik (EHEC)

Manifestasi klinis dari EHEC dapat menyebabkan penyakit diare sendiri atau dengan
nyeri abdomen. Diare pada mulanya cair tapi beberapa hari menjadi berdarah
(kolitishemoragik). Meskipun gambarannya sama dengan Shigelosis yang membedakan
adalah terjadinya demam yang merupakan manifestasi yang tidak lazim. Beberapa
infeksi disertai dengan sindrom hemolitik uremik.

2.1.8. Diagnosis

Disentri basiler dicurigai adanya Shigellosis pada pasien yang datang


dengan keluhan nyeri abdomen bawah, dan diare. Pemeriksaan mikroskopik tinja
menunjukkan adanya eritrosit dan leukosit PMN. Untuk memastikan diagnosis
dilakukan kultur dari bahan tinja segar atau hapus rektal. Pada fase akut infeksi
Shigella, tes serologi tidak bermanfaat.
Pada disentri subakut gejala klinisnya serupa dengan colitis ulserosa. Perbedaan
utama adalah kultur Shigella yang positif dan perbaikan klinis yang bermakna setelah
pengobatan dengan antibiotic yang adekuat.

2.1.9. Komplikasi
Beberapa komplikasi ekstra intestinal disentri basiler terjadi pada pasien
yang berada di negara yang masih berkembang dan seringnya kejadian ini dihubungkan
dengan infeksi S.dysentriae tipe 1 dan S.flexneri pada pasien dengan status gizi buruk.
Komplikasi lain akibat infeksi S.dysentriae tipe 1 adalah haemolytic
uremic syndrome (HUS). HUS diduga akibat adanya penyerapan enterotoksin yang
diproduksi oleh Shigella. Biasanya HUS ini timbul pada akhir minggu pertama disentri
basiler, yaitu pada saat disentri basiler mulai membaik. Tanda- tanda HUS dapat berupa
oliguria, penurunan hematokrit (sampai 10% dalam 24 jam) dan secara progresif timbul
anuria dan gagal ginjal atau anemia berat dengan gagal jantung. Dapat pula terjadi
reaksi leukemoid (leukosit lebih dari 50.000/mikro liter), trombositopenia (30.000-
100.000/mikro liter), hiponatremia, hipoglikemia berat bahkan gejala susunan saraf
pusat seperti ensefalopati, perubahan kesadaran dan sikap yang aneh.
Artritis juga dapat terjadi akibat infeksi S.flexneri yang biasanya muncul
pada masa penyembuhan dan mengenai sendi-sendi besar terutama lutut. Hal ini dapat
terjadi pada kasus yang ringan dimana cairan sinovial sendi mengandung leukosit
polimorfonuklear. Penyembuhan dapat sempurna, akan tetapi keluhan artsitis dapat
berlangsung selama berbulan-bulan. Bersamaan dengan artritis dapat pula terjadi iritis
atau iridosiklitis. Sedangkan stenosis terjadi bila ulkus sirkular pada usus menyembuh,
bahkan dapat pula terjadi obstruksi usus, walaupun hal ini jarang terjadi. Neuritis perifer
dapat terjadi setelah serangan S.dysentriae yang toksik namun hal ini jarang sekali
terjadi.
Komplikasi intestinal seperti abses liver, toksik megakolon, prolaps
rectal dan perforasi juga dapat muncul. Akan tetapi peritonitis karena perforasi jarang
terjadi. Kalaupun terjadi biasanya pada stadium akhir atau setelah serangan berat.
Peritonitis dengan perlekatan yang terbatas mungkin pula terjadi pada beberapa tempat
yang mempunyai angka kematian tinggi. Komplikasi lain yang dapat timbul adalah
bisul dan hemoroid.
2.1.10. Penatalaksanaan

Prinsip dalam melakukan tindakan pengobatan adalah istirahat, mencegah atau


memperbaiki dehidrasi dan pada kasus yang berat diberikan antibiotika.
a. Cairan dan elektrolit
Dehidrasi ringan sampai sedang dapat dikoreksi dengan cairan rehidrasi oral. Jika
frekuensi buang air besar terlalu sering, dehidrasi akan terjadi dan berat badan penderita
turun. Dalam keadaan ini perlu diberikan cairan melalui infus untuk menggantikan
cairan yang hilang. Akan tetapi jika penderita tidak muntah, cairan dapat diberikan
melalui minuman atau pemberian air kaldu atau oralit. Bila penderita berangsur sembuh,
susu
tanpa gula mulai dapat diberikan.
b. Diet & obat-obatan
Diberikan makanan lunak sampai frekuensi berak kurang dari 5 kali/hari, kemudian
diberikan makanan ringan biasa bila ada kemajuan. Pengobatan spesifik Menurut
pedoman WHO, bila telah terdiagnosis shigelosis pasien diobati dengan antibiotika. Jika
setelah 2 hari pengobatan menunjukkan perbaikan, terapi diteruskan selama 5 hari. Bila
tidak ada perbaikan, antibiotika diganti dengan jenis yang lain. Resistensi terhadap
sulfonamid, streptomisin, kloramfenikol dan tetrasiklin hampir universal terjadi. Kuman
Shigella biasanya resisten terhadap ampisilin, namun apabila ternyata dalam uji
resistensi kuman 19 terhadap ampisilin masih peka, maka masih dapat digunakan
dengan dosis 4 x 500 mg/hari selama 5 hari. Begitu pula dengan
trimetoprimsulfametoksazol, dosis yang diberikan 2 x 960 mg/hari selama 3-5 hari.
Amoksisilin tidak dianjurkan dalam pengobatan disentri basiler karena tidak efektif.
Pemakaian jangka pendek dengan dosis tunggal fluorokuinolon seperti siprofloksasin
ternyata berhasil baik untuk pengobatan disentri basiler. Dosis siprofloksasin yang
dipakai adalah 2 x 500 mg/hari selama 3 hari dan sefiksim 400 mg/hari selama 5 hari.
Pemberian siprofloksasin merupakan kontraindikasi terhadap anak-anak dan wanita
hamil.

3.1. Dispepsia

3.1.1 . Definisi
Kata dispepsia berasal dari Bahasa Yunani dys (bad = buruk) dan peptein
(digestion= pencernaan). Jika digabungkan dispepsia memiliki arti indigestion yang
berarti sulit atau ketidaksanggupan dalam mencerna. Jadi dispepsia didefinisikan
sebagai kesulitan dalam mencerna yang ditandai oleh rasa nyeri atau terbakar di
epigastrium yang persisten atau berulang atau rasa tidak nyaman dari gejala yang
berhubungan dengan makan (rasa penuh setelah makan atau cepat kenyang – tidak
mampu menghabiskan makanan dalam porsi normal) (Talley & Holtmann, 2008). Pada
dispepsia organik ditemukan adanya suatu kelainan struktural setelah dilakukan
pemeriksaan endoskopi, Sedangkan definisi dispepsia fungsional berdasarkan
konsensus kriteria Roma III, harus memenuhi satu atau lebih gejala tersebut, serta tidak
ada bukti kelainan struktural melalui pemeriksaan endoskopi, yang berlangsung
sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal gejala sedikitnya timbul 6 bulan
sebelum diagnosis (Brun & Kuo, 2010). Definisi lain dari dispepsia fungsional adalah
penyakit yang bersifat kronik, gejala yang berubah-ubah, mempunyai riwayat gangguan
psikiatrik, nyeri yang tidak responsif dengan obat-obatan, dapat ditunjukkan letaknya
oleh pasien, serta secara klinis pasien tampak sehat, berbeda dengan dispepsia organik
yang gejala cenderung menetap, jarang mempunyai riwayat gangguan psikiatri, serta
secara klinis pasien tampak kesakitan (Abdullah & Gunawan, 2012).

3.1.2. Klasifikasi
Menurut Kriteria Roma III dispepsia fungsional dibagi menjadi 2 klasifikasi,
yakni postprandial distres syndrome dan epigastric pain syndrome. Postprandial distres
syndrome mewakili kelompok dengan perasaan “begah” setelah makan dan perasaan
cepat kenyang sedangkan epigastric pain syndrome merupakan rasa nyeri yang lebih
konstan dirasakan dan tidak begitu terkait dengan makan seperti halnya postprandial
distress syndrome.
Klasifikasi Dispepsia Fungsional menurut Roma III
a. Postprandial Distres Syndrome
Kriteria diagnostik terpenuhi bila 2 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:
1) Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan
dengan porsi biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu
2) Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan
porsi makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu
Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir,
dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
Kriteria penunjang
1). Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah
makan atau bersendawa yang berlebihan
2. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrium.
b. Epigastric Pain Syndrome
Kriteria diagnostik terpenuhi bila 5 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:
1). Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrium dengan
tingkat keparahan moderat/sedang, paling sedikit terjadi sekali dalam
seminggu.
2). Nyeri timbul berulang
3). Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau dada selain daerah
perut bagian atas/epigastrium
4). Tidak berkurang dengan BAB atau buang angin
5). Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis kelainan
kandung empedu dan sfingter Oddi
Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir,
dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
Kriteria penunjang
1). Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa menjalar ke
daerah retrosternal
2). Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan, namun
mungkin timbul saat puasa
3). Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distres setelah makan. (Diambil
dari Appendix B: Roma III. 2010)

3.1.3. Epidemiologi
Dispepsia merupakan masalah umum yang sering ditemukan pada klinik
pengobatan. Ketika pasien selama pengobatan mempunyai gejala tanpa penyebab yang
jelas sering didiagnosa non-ulcer dispepsia. Beberapa laporan menyebutkan presentase
dispepsia karena kelainan organik sekitar 25%-33% dan 67%-75% tanpa penyebab yang
jelas. Di seluruh dunia mempunyai prevalensi sekitar 10%- 40%. Hal itu menunjukan
bahwa diagnosis dan evaluasi harus segera dilakukan. Keterlambatan diagnosis akan
menyebabkan pasien dalam penderitaan dan peningkatan biaya pemeliharaan kesehatan
(Randall dkk, 2014).
Prevalensi dispepsia fungsional bervariasi mulai 7%-45% di seluruh dunia dan
semua penelitian epidemiologi selalu mengacu pada klasifikasi kriteria Roma III.
Menurut studi berbasiskan populasi pada tahun 2007, ditemukan peningkatan prevalensi
dispepsia fungsional dari 1,9% pada tahun 1988 menjadi 3,3% pada tahun 2003.
Sedangkan pada tahun 2010, dispepsia fungsional dilaporkan memiliki tingkat
prevalensi tinggi, yakni 5% dari seluruh kunjungan ke sarana layanan kesehatan primer
(Lee dkk, 2014).

Beberapa penelitian yang dilakukan dalam beberapa populasi hasilnya


menunjukkan perbandingan wanita lebih banyak menderita dispepsia fungsional
daripada laki-laki yaitu 1,4 : 1 di Hongkong, 1,12 : 1,04 di Korea, 1,35 : 1,15 di
Malaysia dan 1,16 : 1,01 di Singapura. Sedangkan pada ulkus peptikum perbandingan
laki-laki dan wanita 2 : 1. Insiden ulkus meningkat pada usia pertengahan (Pulanic,
2011). Namun, suatu penelitian di Jepang menunjukkan perbandingan prevalensi lebih
besar pada laki-laki daripada wanita yaitu 2:1 (Kumar dkk, 2012).
Prevalensi dispepsia fungsional berdasarkan kriteria umur ditemukan meningkat
secara signifikan yaitu : 7,7% pada umur 15-17 tahun, 17,6% pada umur 18-24 tahun,
18,3% pada umur 25-34 tahun, 19,7% pada umur 35-44 tahun,
22,8% pada umur 45-54 tahun, 23,7% pada umur 55-64 tahun, dan 24,4% pada umur di
atas 65 tahun (Brun & Kuo, 2010). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ambarwati
(2005), di FKUI-RSCM ditemukan bahwa rentang umur kunjungan pasien ke Poliklinik
Penyakit Dalam adalah 15 sampai 70 tahun. Variabel demografik seperti tingkat sosial
atau derajat urbanisasi tidak mempengaruhi prevalensi dispepsia . Berdasarkan data dari
berbagai rumah sakit di Indonesia frekwensi dispepsia fungsional sekitar 60%-70% dari
seluruh pasien yang masuk ke Bagian Gastroenterology-hepatology (Cahyanto dkk,
2014).

3.1.4. Patofisiologi
Mekanisme patofisiologi timbulnya dispepsia fungsional atau ulkus peptikium
masih belum seluruhnya dapat diterangkan secara pasti. Hal ini menunjukan bahwa
dispepsia fungsional merupakan sekelompok gangguan yang heterogen, namun sudah
terdapat banyak bukti dari hasil penelitian para ahli yang dapat dijadikan pegangan.
Beberapa studi menghubungkan mekanisme patofisiologi dispepsia fungsional dengan
terjadinya infeksi H. Pylori, ketidaknormalan motilitas, gangguan sensori visceral,
faktor psikososial, dan perubahan-perubahan fisiologi tubuh yang meliputi gangguan
pada sistem saraf otonom vegetatif, sistem neuroendokrin, serta sistem imun tubuh.
Sedangkan Patofisiologi ulkus peptikum diperkirakan akibat ketidak seimbangan antara
tekanan agresif (HCL dan pepsin) yang menyebabkan ulserasi dan tekanan defensif
yang melindungi lambung ( barier mukosa lambung, barier mukus lambung, sekresi
HCO3) (Yehuda, 2010).

Patofisiologi dispepsia fungsional dapat diterangkan melalui beberapa teori


dibawah ini (Yehuda, 2010) :
a. Infeksi H. Pylori
Peranan infeksi H. Pylori dengan timbulnya dispepsia fungsional sampai saat ini
masih terus diselidiki dan menjadi perdebatan dikalangan para ahli Gastrohepatologi.
Studi populasi yang besar telah menunjukan peningkatan insiden infeksi H. Pylori pada
pasien dengan dispepsia fungsional. Beberapa ahli berpendapat H. Pylori akan
menginfeksi lambung jika lambung dalam keadaan kosong pada jangka waktu yang
cukup lama. Infeksi H. Pylori menyebabkan penebalan otot dinding lambung yang
selanjutnya meningkatkan massa otot sehingga kontraksi otot bertambah dan
pengosongan lambung akan semakin cepat. Pengosongan lambung yang cepat akan
membuat lambung kosong lebih lama dari biasanya dan H. Pylori akan semakin
menginfeksi lambung tersebut, dan bisa sebagai predictor timbulnya ulkus peptikum.

b).Ketidaknormalan Motilitas
Dengan studi Scintigraphic Nuclear dibuktikan lebih dari 50% pasien dispepsia
fungsional mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam lambung. Demikian
pula pada studi Monometrik didapatkan gangguan motilitas antrum postprandial.
Penelitian terakhir menunjukan bahwa fundus lambung yang “kaku” bertanggung jawab
terhadap sindrom dispepsia. Pada keadaan normal seharusnya fundus lambung relaksasi,
baik saat mencerna makanan maupun bila terjadi distensi duodenum. Pengosongan
makanan bertahap dari corpus lambung menuju ke bagian fundus lambung dan
duodenum diatur oleh refleks vagal. Pada beberapa pasien dispepsia fungsional, refleks
ini tidak berfungsi dengan baik sehingga pengisian bagian antrum terlalu cepat. Bila
berlangsung lama bisa sebagai predictor ulkus peptikum.
c).Gangguan Sensori Visceral
Lebih 50% pasien dispepsia fungsional menunjukan sensitifitas terhadap distensi
lambung atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat : makanan yang sedikit
mengiritasi seperti makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi lambung
intestinum atau distensi dini bagian antrum postprandial dapat menginduksi nyeri pada
bagian ini.
d). Faktor Psikososial
Faktor psikis dan stresor seperti depresi, cemas, dan stres ternyata memang
dapat menimbulkan peningkatan hormon kortisol yang berakibat kepada gangguan
keseimbangan sistem saluran cerna, sehingga terlihat bahwa pada hormon kortisol yang
tinggi ternyata memberikan manifestasi klinik dispepsia yang lebih berat. Jadi semakin
tinggi nilai kortisol akan menyebabkan semakin beratnya klinis dispepsia. Begitu juga
dengan perubahan gaya hidup seperti kurang olahraga, merokok, dan gangguan tidur
juga memiliki efek terhadap peningkatan asam lambung dan perubahan aktivitas otot
dinding lambung yang meningkatkan kemungkinan terjadinya dyspepsia (Micut, 2012).
e). Gangguan Keseimbangan Neuroendokrin
Gangguan sekresi pada lambung dapat terjadi karena gangguan jalur endokrin
melalui poros hipotalamus – pituitary – adrenal ( HPA axis). Pada keadaan ini terjadi
peningkatan kortisol dari korteks adrenal akibat rangsangan dari korteks serebri
diteruskan ke hipofisis anterior sehingga terjadi pengeluaran hormone kortikotropin.
Peningkatan kortisol ini akan merangsang produksi asam lambung (Gene, 2012).
f). Gangguan Keseimbangan Sistem Saraf Otonom Vegetatif
Pada keadaan ini konflik emosi yang timbul diteruskan melalui korteks serebri
ke sistem limbik kemudian ke hipotalamus dan akhirnya ke sistem saraf otonom
vegetatif. Sistem saraf otonom terdiri dari dua subsistem yaitu sistem saraf simpatis dan
sistem saraf parasimpatis. Konflik emosi akan meningkatkan pelepasan neurotransmitter
acetylcholine oleh Sistem saraf simpatis yang mengakibatkan peningkatan peristaltik
dan sekresi asam lambung. Sedangkan sistem saraf parasimpatis hampir 75% dari
seluruh serabut sarafnya didominasi oleh nervus vagus (saraf kranial X). saraf dari
parasimpatik meninggalkan sistem saraf pusat melalui nervus vagus menuju organ yang
dipersarafi secara langsung yaitu : mempersarafi lambung dengan cara merangsang
sekresi asetilkolin, gastrin, dan histamine yang akhirnya memunculkan keluhan
dispepsia bila terjadi difungsi persarafan vagal. Disfungsi nervus vagal akan
menimbulkan kegagalan relaksasi bagian proksimal lambung sewaktu menerima
makanan, sehingga menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat
kenyang. Serat-serat saraf simpatis maupun parasimpatis juga mensekresikan
neurotransmiter sinaps yaitu asetilkolin atau norepinefrin. Kedua neurotransmitter
tersebut akan mengaktivasi atau menginhibisi presinap maupun postsinap saraf simpatik
dan parasimpatik sehingga menimbulkan efek eksitasi pada beberapa organ tetapi
menimbulkan efek inhibisi pada organ lainnya salah satunya adalah organ lambung.

Terjadinya ketidakseimbangan eksitasi maupun inhibisi pada kedua


neurotransmitter menyebabkan perubahan-perubahan aktivitas pada organ lambung
yang dipersarafinya baik peningkatan maupun penurunan aktivitas, sehingga bisa
memunculkan keluhan dispepsia (New & Siever, 2008).
g). Perubahan Dalam Sistem Imun
Faktor psikis dan stresor akan mempengaruhi sistem imun dengan menerima
berbagai input, termasuk input dari stresor yang mempengaruhi neuron bagian Medial
Paraventriculer Hypothalamus melalui pengaktifan sistem endokrin hypothalamus-
pituitary axis (HPA), bila terjadi stres yang berulang atau kronis, maka akan terjadi
disregulasi dari sistem endokrin hypothalamus-pituitary axis (HPA ) melalui kegagalan
dari mekanisme umpan balik negative. Faktor psikis dan stres juga mempengaruhi
sistem imun melalui mengaktivasi sistem noradrenergik di otak, tepatnya di locus
cereleus yang menyebabkan peningkatan pelepasan ketekolamin dari sistem saraf
otonom. Selain itu akibat pelepasan neuropeptida dan adanya reseptor neuropeptida
pada limfosit B dan Limfosit T, dan terjadi ketidakcocokan neuropeptida dan
reseptornya akan menyebabkan stres dan dapat mempengaruhi kualitas sistem imun
seseorang, yang pada akhirnya akan muncul keluhan-keluhan psikosomatik salah
satunya pada organ lambung dengan manifestasi klinis berupa keluhan dispepsia. Bila
keluhan somatik ini berlangsung lama, bisa juga sebagai prediktor timbulnya dispepsia
organik berupa ulkus peptikum atau duodenum (Gene, 2012).

3.1.5. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis pada sindrom dispepsia antara lain rasa nyeri atau
ketidaknyamanan di perut, rasa penuh di perut setelah makan, kembung, rasa kenyang
lebih awal, mual, muntah, atau bersendawa. Pada dispepsia organik, kecenderungkan
keluhan tersebut menentap, disertai rasa kesakitan dan jarang memiliki riwayat psikiatri
sebelumnya. Sedangkan pada dispepsia fungsional terdapat dua pola yang telah
ditentukan adalah: a) postprandial distres syndrome, dan b) epigastric pain syndrome
(Drug & Stanciu, 2007).
Kriteria Roma III menjelaskan dua pola dispepsia yang berbeda tergantung pada
apakah gejala tersebut terutama berkaitan dengan asupan makanan dan atau berkaitan
dengan ketidakmampuan untuk menyelesaikan makan (postprandial distres syndrome)
atau lebih didominasi oleh rasa sakit (epigastric pain syndrome) (Abdullah & Gunawan,
2012).
Sementara pola ini dikembangkan lebih berdasarkan kepada pendapat ahli
daripada bukti klinis, beberapa data yang mendukung relevansi klinis untuk perbedaan
ini mulai muncul dengan satu penelitian misalnya, menunjukkan bahwa kecemasan
berhubungan dengan postprandial distres syndrome tetapi tidak berhubungan dengan
epigastric pain syndrome dan yang lain menunjukkan bahwa genetik berhubungan
dengan epigastric pain syndrome dan tidak berhubungan dengan postprandial distres
syndrome (Abdullah & Gunawan, 2012).

3.1.6. Diagnosis
Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia adalah adanya
nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas. Apabila ditemukan adanya
kelainan organik atau struktural organ lambung, perlu dipikirkan kemungkinan
diagnosis dispepsia organik, sedangkan bila tidak ditemukan kelainan organik apa pun,
dipikirkan kecurigaan ke arah dispepsia fungsional. Penting diingat bahwa dispepsia
fungsional merupakan diagnosis by exclusion, sehingga idealnya terlebih dahulu harus
benar-benar dipastikan tidak ada kelainan yang bersifat organik pada pemeriksaan
endoskopi (Abdullah & Gunawan, 2012).
Roma III memberikan kriteria diagnostik untuk dispepsia fungsional sebagai berikut :
Memenuhi salah satu gejala atau lebih dari:
• Rasa penuh setelah makan yang mengganggu.
• Rasa cepat kenyang.
• Nyeri epigastrium.
• Rasa terbakar di epigastrium. dan
• Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk hasil endoskopi saluran cerna
bagian atas) yang mungkin dapat menjelaskan timbulnya gejala.
Kriteria terpenuhi selama minimal 3 bulan, dengan onset gejala minimal 6 bulan
sebelum diagnosis.

3.1.7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dispepsia awal terdiri dari pengkajian riwayat penyakit untuk
mengetahui semua gejala dispepsia sangat penting untuk mengetahui apa masalah
utama dari pasien. Hal ini penting karena penatalaksanaan dispepsia bertujuan untuk
mengendalikan gejala daripada pengobatan permanen penyakitnya.
a. Consultation Liaison Psychiatry (CLP)
Consultation Liaison Psychiatry (CLP) merupakan subspesialis dari psikiatri
yang berperan sebagai penghubung yang memungkinkan kerja sama antara psikiater
dengan spesialis medis lain. Dalam CLP seorang psikiater berperan sebagai penyalur
keahlian psikiatri dengan disiplin ilmu lainnya yaitu : Ilmu Penyakit Dalam untuk
membantu penanganan komorbiditas psikologik, psikiatrik, dan psikofisiologik pada
pasien yang mengalami keluhan dispepsia. Jadi CLP meliputi pelajaran, pelatihan,
pengajaran komorbiditas medik (Aksis III) dan Psikiatrik (Aksis I dan II). Seorang
psikiater Consultation Liaison harus mempunyai tehnik komunikasi yang baik, ilmu
pengetahuan yang luas dalam hal interaksi antara obat psikotropik dan medis lainnya
(Loyd & McClelan, 2011).
b. Penanganan Secara Farmakologi
Setelah penerapan CLP dapat dijalankan dengan baik, penanganan gangguan
dispepsia fungsional dapat diberikan secara farmakologi berdasarkan disiplin Ilmu
Penyakit Dalam dan Ilmu Psikiatri. Beberapa terapi farmakologi yang bisa diberikan
pada pasien dispepsia fungsional : antasida, Histamine H2 receptor antagonists (H2RA),
Proton pump inhibitors (PPI), Cytoprotective or mucoprotective agents, Prokinetic
agents, obat-obat anti H. Pylori, dan obat-obat psikotropik antara lain : antipsikotik,
antidepressant, antianxiety, mood stablizer. Walaupun pada pemeriksaan endoskopi
tidak ditemukan adanya suatu kelainan struktural, tetapi pemberian farmakologi masih
termasuk didalam penanganan gangguan dispepsia fungsional. Penanganan ini lebih
dikenal dengan nama Somatoterapi(Kandulski dkk, 2011).
c. Penanganan Secara Psikoterapi
Penanganan selanjutnya sebagai bagian dari CLP adalah psikoterapi, ada beberapa
langkah yang bisa ditempuh. Pertama, terangkan pasien, yakinkan bahwa tidak terdapat
gangguan organik pada diri pasien, bila perlu lakukan pemeriksaan fisik yang teliti
disertai tes laboratorium. Beri kesempatan pasien untuk bertanya dan terangkan
mekanisme fisiologi serta keterangan tentang gejala-gejala. Kedua, beri penjelasan
kepada pasien bahwa keluhannya dapat dimengerti dan gejala tersebut juga dijumpai
pada orang lain yang pernah berobat. Bantu pasien mengenali permasalahannya dan
arahkan ke pola yang lebih sehat yang akan bermanfaat. Beritahu bahwa gejala tersebut
timbul karena kecemasan dan ketegangan psikis namun dapat diobati setelah beberapa
waktu. Terapi cognitive-Behavior terbukti efektif pada pasien dengan dispepsia
fungsional. Terapi ini membantu pasien secara sadar mengenali gejala nyeri pada
daerah episgastrium dan keluhan cepat kenyang, mengubah cara berpikir mengenai ide-
ide penyebab nyeri dengan pola pikir yang lebih realitas, memberikan tehnik relaksasi
dan melakukan pengalihan perhatian (Soo dkk, 2004).
d. Penanganan Secara Manipulasi Lingkungan dan Sosioterapi
Terapi selanjutnya dalam penanganan dispepsia fungsional sebagai bagian dari
CLP adalah manipulasi lingkungan dan sosioterapi. Pada terapi ini akan melibatkan
orang-orang terdekat yang berpengaruh kepada pasien seperti pasangan, keluarga dan
kerabat untuk membantu mewujudkan pola therapeutic community (Soo dkk, 2004).

4.1. Hipertensi

4.1.1. Definisi

Berdasarkan JNC VII, seseorang dikatakan hipertensi bila tekanan sistolik nya
melebihi 140 mmHg dan atau diastoliknya melebihi 90 mmHg berdasarkan rerata dua
atau tiga kali kunjungan yang cermat sewaktu duduk dalam satu atau dua kali
kunjungan.
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah

JNC VII ESC/ISH (2007)


Klasifikasi
Sistolik Diastolik Sistolik Diastolik
Normal < 120 < 80 Optimal < 120 < 80
Pre-Hipertensi 130-139 80-89 Normal 120-129 80-84
Tahap 1 140-159 90-99 Normal Tinggi 130-139 85-89
Tahap 2 >160 >100 Tingkat 1 140-159 90-99
Tingkat 2 160-179 100-109
Tingkat 3 > 180 > 110
Hipertensi > 140 < 90
Sistolik
.

4.1.2. Etiologi

Berdasarkan etiologinya hipertensi dapat diklasifikasikan menjadi hipertensi


primer/essensial dengan insiden 80-95% dimana pada hipertensi jenis ini tidak diketahui
penyebabnya. Selain itu terdapat pula hipertensi sekunder akibat adanya suatu penyakit
atau kelainan yang mendasari, seperti stenosis arteri renalis, penyakit parenkim ginjal,
feokromositoma, hiperaldosteronism, dan sebagainya.

4.1.3. Faktor Resiko

Faktor-faktor yang tidak dapat dimodifikasi antara lain faktor genetik, umur, jenis
kelamin, dan etnis. Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi meliputi stres,
obesitas dan nutrisi.

a. Usia

Usia mempengaruhi faktor resiko terkena Hipertensi dengan kejadian


paling nggi pada usia 30 – 40 th. Kejadian 2X lebih besar pada orang kulit
hitam, dengan 3X lebih besar pada laki-laki kulit hitam, dan 5X lebih besar
untuk wanita kulit hitam.

b. Jenis kelamin

Komplikasi hipertensi meningkat pada seseorang dengan jenis kelamin laki-laki.

c. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga dengan hipertensi memberikan resiko terkena hipertensi
sebanyak 75%.

d. Obesitas

Meningkatnya berat badan pada masa anak-anak atau usia pertengahan resiko
hipertensi meningkat.

e. Serum lipid

Meningkatnya triglycerida atau kolesterol meninggi resiko dari hipertensi.

f. Diet

Meningkatnya resiko dengan diet sodium tinggi, resiko meninggi pada


masyarakat industri dengan tinggi lemak, diet tinggi kalori.

g. Merokok

Resiko terkena hipertensi dihubungkan dengan jumlah rokok dan lamanya


merokok.

Selain itu faktor resiko di atas terdapat juga penambahan kriteria, sebagai berikut :

1). Keturunan atau Gen

Kasus hipertensi esensial 70%-80% diturunkan dari orang tuanya kepada anaknya.

2) Stres Pekerjaan

Hampir semua orang di dalam kehidupan mereka mengalami stress berhubungan


dengan pekerjaan mereka. Stres dapat meningkatkan tekanan darah dalam waktu yang
pendek, tetapi kemungkinan bukan penyebab meningkatnya tekanan darah dalam waktu
yang panjang

3).Asupan Garam

Konsumsi garam memiliki efek langsung terhadap tekanan darah. Terdapat bukti
bahwa mereka yang memiliki kecenderungan menderita hipertensi secara keturunan
memiliki kemampuan yang lebih rendah untuk mengeluarkan garam dari tubuhnya
4).Aktivitas Fisik (Olahraga)

Olahraga lebih banyak dihubungkan dengan pengelolaan hipertensi karena olahraga


isotonik dan teratur dapat menurunkan tekanan darah

4.1.4. Patogenesis

Pada dasarnya hipertensi merupakan penyakit multifaktorial yang timbul akibat


berbagai interaksi faktor-faktor resiko tertentu. Faktor-faktor resiko yang mendorong
timbulnya kenaikan.

Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di pusat
vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf
simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula
spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor
dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke
ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan
merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah kapiler, dimana dengan
dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah kapiler. Berbagai
faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah
terhadap rangsang vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap
norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai
respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang mengakibatkan tambahan
aktivitas vasokontriksi. Medula adrenal mengsekresi epinefrin yang menyebabkan
vasokontriksi. Korteks adrenal mengsekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapt
memperkuat respon vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan
penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang
pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu
vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks
adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal,
menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung
mencetus keadaan hipertensi. Perubahan struktural dan fungsional pada sistem
pembuluh darah perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi
pada lanjut usia. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas
jaringan ikat, dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada
gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah.
Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam
mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup),
mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan perifer.

Gambar 2.1 Patogenesis Hipertensi

Pada dasarnya, tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan tekanan
perifer. Berbagai faktor yang mempengaruhi curah jantung dan tekanan perifer akan
mempengaruhi tekanan darah seperti asupan garam yang tinggi, faktor genetik, stres,
obesitas, faktor endotel. Selain curah jantung dan tahanan perifer sebenarnya
tekanan darah dipengaruhi juga oleh tebalnya atrium kanan, tetapi tidak mempunyai
banyak pengaruh. Dalam tubuh terdapat sistem yang berfungsi mencegah perubahan
tekanan darah secara akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi yang berusaha
untuk mempertahankan kestabilan tekanan darah dalam jangka panjang. Sistem
pengendalian tekanan darah sangat kompleks. Pengendalian dimulai dari sistem yang
bereaksi dengan cepat misalnya reflek kardiovaskuler melalui sistem saraf, reflek
kemoreseptor, respon iskemia, susunan saraf pusat yang berasal dari atrium, arteri
pulmonalis otot polos. Dari sistem pengendalian yang bereaksi sangat cepat diikuti oleh
sistem pengendalian yang bereaksi kurang cepat, misalnya perpindahan cairan antara
sirkulasi kapiler dan rongga intertisial yang dikontrol hormon angiotensin dan
vasopresin. Kemudian dilanjutkan sistem yang poten dan berlangsung dalam jangka
panjang misalnya kestabilan tekanan darah dalam jangka panjang dipertahankan oleh
sistem yang mengatur jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ.
Peningkatan tekanan darah pada hipertensi primer dipengaruhi oleh beberapa faktor
genetik yang menimbulkan perubahan pada ginjal dan membran sel, aktivitas saraf
simpatis dan renin, angiotensin yang mempengaruhi keadaan hemodinamik, asupan
natrium dan metabolisme natrium dalam ginjal serta obesitas dan faktor endotel. Akibat
yang ditimbulkan dari penyakit hipertensi antara lain penyempitan arteri yang
membawa darah dan oksigen ke otak, hal ini disebabkan karena jaringan otak
kekurangan oksigen akibat penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah otak dan
akan mengakibatkan kematian pada bagian otak yang kemudian dapat
menimbulkan stroke. Komplikasi lain yaitu rasa sakit ketika berjalan kerusakan pada
ginjal dan kerusakan pada organ mata yang dapat mengakibatkan kebutaan, sakit
kepala, Jantung berdebar-debar, sulit bernafas setelah bekerja keras atau
mengangkat beban kerja, mudah lelah, penglihatan kabur, wajah memerah, hidung
berdarah, sering buang air kecil terutama di malam hari telingga berdering (tinnitus)
dan dunia terasa berputar.

4.1.5. Manifestasi klinis

Gambaran klinis pasien hipertensi meliputi nyeri kepala saat terjaga, kadang-
kadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah intrakranial.
Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi. Ayunan langkah yang tidak
mantap karena kerusakan susunan saraf pusat. Nokturia karena peningkatan aliran
darah ginjal dan filtrasi glomerulus. Edema dependen dan pembengkakan akibat
peningkatan tekanan kapiler. Gejala lain yang umumnya terjadi pada penderita
hipertensi yaitu pusing, muka merah, sakit kepala, keluaran darah dari hidung secara
tiba-tiba, tengkuk terasa pegal dan lain- lain.
4.1.6. Diagnosis

Berdasarkan anamnesis, sebagian besar pasien hipertensi bersifat asimptomatik.


Beberapa pasien mengalami keluhan berupa sakit kepala, rasa seperti berputar, atau
penglihatan kabur. Hal yang dapat menunjang kecurigaan ke arah hipertensi sekunder
antara lain penggunaan obat-obatan seperti kontrasepsi hormonal, kortikosteroid,
dekongestan maupun NSAID, sakit kepala paroksismal, berkeringat atau takikardi serta
adanya riwayat penyakit ginjal sebelumnya. Pada anamnesis dapat pula digali mengenai
faktor resiko kardiovaskular seperti merokok, obesitas, aktivitas fisik yang kurang,
dislipidemia, diabetes milletus, mikroalbuminuria, penurunan laju GFR, dan riwayat
keluarga.

Berdasarkan pemeriksaan fisik, nilai tekanan darah pasien diambil rerata dua
kali pengukuran pada setiap kali kunjungan ke dokter. Apabila tekanan darah ≥ 140/90
mmHg pada dua atau lebih kunjungan maka hipertensi dapat ditegakkan. Pemeriksaaan
tekanan darah harus dilakukan dengan alat yang baik, ukuran dan posisi manset yang
tepat (setingkat dengan jantung) serta teknik yang benar. Pemeriksaan penunjang
dilakukan untuk memeriksa komplikasi yang telah atau sedang terjadi seperti
pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap, kadar ureum, kreatinin, gula darah,
elektrolit, kalsium, asam urat dan urinalisis. Pemeriksaan lain berupa pemeriksaan
fungsi jantung berupa elektrokardiografi, funduskopi, USG ginjal, foto thoraks dan
ekokardiografi. Pada kasus dengan kecurigaan hipertensi sekunder dapat dilakukan
pemeriksaan sesuai indikasi dan diagnosis banding yang dibuat. Pada hiper atau
hipotiroidisme dapat dilakukan fungsi tiroid (TSH, FT4, FT3), hiperparatiroidisme
(kadar PTH, Ca2+), hiperaldosteronisme primer berupa kadar aldosteron plasma, renin
plasma, CT scan abdomen, peningkatan kadar serum Na, penurunan K, peningkatan
eksresi K dalam urin ditemukan alkalosis metabolik. Pada feokromositoma, dilakukan
kadar metanefrin, CT scan/MRI abdomen. Pada sindrom cushing, dilakukan kadar
kortisol urin 24 jam. Pada hipertensi renovaskular, dapat dilakukan CT angiografi arteri
renalis, USG ginjal, Doppler Sonografi

4.1.7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hipertensi meliputi modifikasi gaya hidup namun terapi
antihipertensi dapat langsung dimulai untuk hipertensi derajat 1 dengan penyerta dan
hipertensi derajat 2. Penggunaan antihipertensi harus tetap disertai dengan modifikasi
gaya hidup.

Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah:


 Target tekanan darah <150/90, untuk individu dengan diabetes, gagal ginjal, dan
individu dengan usia > 60 tahun <140/90
 Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler
Selain pengobatan hipertensi, pengobatan terhadap faktor resiko atau kondisi
penyerta lainnya seperti diabetes mellitus atau dislipidemia juga harus dilaksanakan
hingga mencaoai target terapi masing-masing kondisi.

Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi nonfakmakologis dan farmakologis.


Terpai nonfarmakologis harus dilaksanakan oleh semua pasien hipertensi dengan tujuan
menurunkan tekanan darah dan mengendalikan faktor-faktor resiko penyakit penyerta
lainnya.

Modifikasi gaya hidup berupa penurunan berat badan (target indeks massa tubuh
dalam batas normal untuk Asia-Pasifik yaitu 18,5-22,9 kg/m2), kontrol diet berdasarkan
DASH mencakup konsumsi buah-buahan, sayur-sayuran, serta produk susu rendah
lemak jenuh/lemak total, penurunan asupan garam dimana konsumsi NaCl yang
disarankan adalah < 6 g/hari. Beberapa hal lain yang disarankan adalah target aktivitas
fisik minimal 30 menit/hari dilakukan paling tidak 3 hari dalam seminggu serta
pembatasan konsumsi alkohol. Terapi farmakologi bertujuan untuk mengontrol tekanan
darah hingga mencapai tujuan terapi pengobatan. Berdasarkan JNC VIII pilihan
antihipertensi didasarkan pada ada atau tidaknya usia, ras, serta ada atau tidaknya gagal
ginjal kronik. Apabila terapi antihipertensi sudah dimulai, pasien harus rutin kontrol dan
mendapat pengaturan dosis setiap bulan hingga target tekanan darah tercapai. Perlu
dilakukan pemantauan tekanan darah, LFG dan elektrolit.

Jenis obat antihipertensi:

1. Diuretik
Obat-obatan jenis diuretic bekerja dengan mengeluarkan cairan tubuh
(lewat kencing), sehingga volume cairan tubuh berkurang mengakibatkan daya
pompa jantung menjadi lebih ringan dan berefek pada turunnya tekanan darah.
Contoh obat-obatan ini adalah: Bendroflumethiazide, chlorthizlidone,
hydrochlorothiazide, dan indapamide.
2. ACE-Inhibitor
Kerja obat golongan ini menghambat pembentukan zat angiotensin II
(zat yang dapat meningkatkan tekanan darah). Efek samping yang sering timbul
adalah batuk kering, pusing sakit kepala dan lemas. Contoh obat yang tergolong
jenis ini adalah Catopril, enalapril, dan lisinopril.
3. Calsium channel blocker
Golongan obat ini berkerja menurunkan menurunkan daya pompa jantung
dengan menghambat kontraksi otot jantung (kontraktilitas). Contoh obat yang
tergolong jenis obat ini adalah amlodipine, diltiazem dan nitrendipine.

4. ARB
Kerja obat ini adalah dengan menghalangi penempelan zat angiotensin II
pada reseptornya yang mengakibatkan ringannya daya pompa jantung. Obat-
obatan yang termasuk golongan ini adalah eprosartan, candesartan, dan losartan.
5. Beta blocker
Mekanisme obat antihipertensi ini adalah melalui penurunan daya pompa
jantung. Jenis obat ini tidak dianjurkan pada penderita yang telah diketahui
mengidap gangguan pernafasan seperti asma bronchial. Contoh obat yang
tergolong ke dalam beta blocker adalah atenolol, bisoprolol, dan beta metoprolol.
Gambar 2.3 Tata Laksana Menurut JNC VII
Gambar 2.3 Algoritma penanganan hipertensi (JNC 8)
BAB III

KESIMPULAN

Shigellosis atau disentri basiler merupakan penyakit infeksi saluran pencernaan


yang ditandai dengan diare cair akut atau dan disentri (tinja bercampur darah, lender,
dan nanah), pada umumnya disertai demam dan nyeri perut (Krugman, et al., 2009;
Levine, 2010). Penyakit ini ditularkan melalui jalan fekal-oral dengan masa inkubasi 1-7
hari, untuk terjadinya penularan tersebut diperlukan dosis minimal penularan 100
bakteri Shigella sp. Bentuk klinis dapat bermacam-macam dari yang ringan, sedang
sampai yang berat. Sakit perut terutama di bagian sebelah kiri, terasa melilit diikuti
pengeluaran tinja sehingga mengakibatkan perut menjadi cekung. Bentuk yang berat
(fulminating cases) biasanya disebabkan oleh S. Dysentriae. Gejalanya timbul
mendadak dan berat, berjangkitnya cepat, berak-berak seperti air dengan lendir dan
darah, muntah-muntah, suhu badan subnormal, cepat terjadi dehidrasi, renjatan septik
dan dapat meninggal bila tidak cepat ditolong.

dispepsia didefinisikan sebagai kesulitan dalam mencerna yang ditandai oleh


rasa nyeri atau terbakar di epigastrium yang persisten atau berulang atau rasa tidak
nyaman dari gejala yang berhubungan dengan makan (rasa penuh setelah makan atau
cepat kenyang – tidak mampu menghabiskan makanan dalam porsi normal) (Talley &
Holtmann, 2008). Pada dispepsia organik ditemukan adanya suatu kelainan struktural
setelah dilakukan pemeriksaan endoskopi, Sedangkan definisi dispepsia fungsional
berdasarkan konsensus kriteria Roma III, harus memenuhi satu atau lebih gejala
tersebut, serta tidak ada bukti kelainan struktural melalui pemeriksaan endoskopi, yang
berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal gejala sedikitnya timbul 6
bulan sebelum diagnosis (Brun & Kuo, 2010).

Hipertensi merupakan peningkatan tekanan sistolik melebihi 140 mmHg dan


atau diastoliknya melebihi 90 mmHg berdasarkan rerata dua atau tiga kali kunjungan
yang cermat sewaktu duduk dalam satu atau dua kali kunjungan. Salah satu tujuan tata
laksana hipertensi adalah untuk memperbaiki kualitas hidup dan mencegah terjadinya
komplikasi. Diet/nutrition care pada pasien hipertensi memeran peranan penting dalam
tata laksananya. Untuk mencegah penurunan dan mempertahankan status gizi, perlu
perhatian melalui monitoring dan evaluasi status kesehatan serta asupan makanan oleh
tim kesehatan. Pada dasaranya pelayanan dari suatu tim terpadu yang terdiri dari dokter,
perawat, ahli gizi serta petugas kesehatan lain diperlukan agar terapi yang diperlukan
kepada pasien optimal. Asuhan gizi (Nutrition Care) betujuan untuk memenuhi
kebutuhan zat gizi agar mencapai status gizi optimal, pasien dapat beraktivitas normal,
menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, yang pada akhirnya mempunyai kualitas
hidup yang cukup baik.
STATUS ORANG SAKIT RSU HAJI MEDAN

ANAMNESA PRIBADI

Nama : Wadiah Larosa

Umur : 66 tahun, perempuan

Status kawin : Kawin

Agama : Islam

Pekerjaan : Mengurus rumah tangga

Alamat : Percut sei tuan

ANAMNESA PENYAKIT

Keluhan utama : Diare

Telaah :

Pasien datang diantar ke IGD RSU Haji Medan dengan keluhan diare sejak 7 hari hari
lalu, diare 3 sampai 5 kali sehari, berwarna cokelat kemerahan (BAB berdarah).

Selain itu pasien juga mengeluhkan adanya nyeri peurt & ulu hati sejak 7 hari yang lalu.
Pasien mengeluhkan rasa menyesak, mual, dan muntah 2 sampai 3 kali sehari sebanyak kurang
lebih 150 ml berisi cairan dan ampas makanan. Pasien juga sering mengeluhkan pusing, batuk
disangkal.

BAB : diare 3x-5x/hari, cair berwarna cokelat kuning sesekali


cokelat kemerahan

BAK : 4x/hari, kuning jernih tuntas

RPT : Hipertensi, dispepsia

RPO : amlodipin 10 mg

RPK : Ayah dan ibu hipertensi

Riwayat Alergi : tidak ada

Riwayat Kebiasaan : pasien jarang makan tepat waktu, suka makan makanan pedas
ANAMNESA UMUM
 Badan kurang enak : ya  Tidur : normal
 Merasa capek/lemas : ya  Berat badan : menurun
 Merasa kurang sehat : ya  Malas : ya
 Menggigil : tidak  Demam : tidak
 Nafsu makan : menurun  Pening : ya

ANAMNESA ORGAN

1. COR
 Dyspnoe d’effort : tidak  Cyanosis : tidak
 Dyspnoe d’repos : tidak  Angina pectoris : tidak
 Oedema : tidak  Palpasi cordis : tidak
 Nocturia : tidak  Asma cardial : tidak
2. SIRKULASI PERIFER
 Claudicatio intermitten : tidak  Gangguan alergi : tidak
 Sakit waktu istirahat : tidak  Kebas-kebas : tidak
 Rasa mati ujung jari : tidak
3. TRACTUS RESPIRATORIUS
 Batuk : tidak  Stridor : tidak
 Berdahak : tidak  Sesak nafas : tidak
 Haemaptoe : tidak  Pernapasan cuping hidung : tidak
 Sakit dada waktu bernapas : ya  Suara parau : tidak
4. TRAKTUS DIGESTIVUS
a. LAMBUNG
 Sakit di epigastrium  Sendawa : tidak
sebelum/sesudah makan  Anoreksia : tidak
: ya  Mual-mual : ya
 Rasa panas di epigastrium : tidak  Dysphagia : tidak
 Muntah (freq,warna,isi,dll): tidak  Foetor ex ore : tidak
 Hematemesis : tidak  Pyrosis : tidak
 Ructus : tidak
b. USUS
 Sakit diabdomen : ya  Diare : ya
 Bobrborygmi : tidak  Malena : tidak
 Obstupasi : tidak  Tanesmi : tidak
 Defekasi :  Flatulensi : tidak
3-5x/sehari, cair cokelat kuning  Haemorrhoid : tidak
kemerahan
c. HATI DAN SALURAN EMPEDU
 Sakit perut kanan memancar ke :  Gatal dikulit : tidak
tidak  Asites : tidak
 Kolik : tidak  Oedema : tidak
 Icterus : tidak  Berak dempul : tidak
5. GINJAL DAN SALURAN KENCING
 Muka sembab : tidak  Sakit pinggang memancar ke : tidak
 Kolik : tidak  Oliguria : tidak
 Miksi : tidak  Anuria : tidak
 Polyuria : tidak  Polakisuria : tidak
6. SENDI
 Sakit : tidak  Sakit digerakkan : tidak
 Sendi kaku : tidak  Bengkak : tidak
 Merah : tidak  Stand abnormal : tidak
7. TULANG
 Sakit : tidak  Fraktur spontan : tidak
 Bengkak : tidak  Deformitas : tidak
8. OTOT
 Sakit : tidak  Kejang-kejang : tidak
 Kebas-kebas : tidak  Atrofi : tidak
9. DARAH
 Sakit dimulut dan lidah : tidak  Muka pucat : tidak
 Mata berkunang-kunang : tidak  Bengkak : tidak
 Pembengkakan kelenjar : tidak  Penyakit darah : tidak
 Merah dikulit : tidak  Kendaraan subkutan : tidak
10. ENDOKRIN
a. Pancreas
 Polidipsi : tidak  Pruritus : tidak
 Polifagi : tidak  Pyorrhea : tidak
 Poliuri : tidak
b. Tiroid
 Nervositas : tidak  Struma : tidak
 Exoftalmus : tidak  Miksodem : tidak
c. Hipofisis
 Akromegali : tidak  Ditrifi adipos kongenital : tidak
11. FUNGSI GENITALIA
 Menarche : 13 tahun  Ereksi : tidak
 Siklus haid : 28 hari  Libido seksual : tidak
 Menopause : ya  Coitus : tidak
 G/P/Ab : 2/2/0
12. SUSUNAN SYARAF
 Hipoastesia : tidak  Sakit kepala : ya
 Parastesia : tidak  Gerakan tics : tidak
 Paralisis : tidak
13. PANCA INDRA
 Penglihatan : normal  Pengecapan : normal
 Pendengaran : normal  Perasaan : normal
 Penciuman : normal
14. PSIKIS
 Mudah tersinggung : tidak  Pelupa : tidak
 Takut : tidak  Lekas marah : tidak
 Gelisah : tidak
15. KEADAAN SOSIAL
 Keadaan sosial : PNS  Hygiene : baik
ANAMNESA PENYAKIT TERDAHULU

Hipertensi, dispepsia

ANAMNESA PEMAKAIAN OBAT

Amlodipin

ANAMNESA PENYAKIT VENERIS

 Bengkak kelenjar regional :  Pyuria :


tidak tidak
 Luka-luka dikemaluan :  Bisul-bisul :
tidak tidak
ANAMNESA INTOKSIKASI

Tidak Ada

ANAMNESA MAKANAN

 Nasi : ya, freq : 3x/hari  Sayuran : ya


 Ikan : ya  Daging : ya

ANAMNESA PRAESENS

KEADAAN UMUM

 Sensorium : composmentis
 Tekanan darah : 164/97 mmHg
 Temperature : 36,5ºC
 Pernapasan : 20x/menit
 Nadi : 114x/menit
KEADAAN PENYAKIT
 Anemi : tidak  Eritema : tidak
 Icterus : tidak  Turgor : baik
 Sianosis : tidak  Gerakan aktif : ya
 Dispone : tidak  Sikap tidur paksa : tidak
 Edema : tidak
KEADAAN GIZI

BB : 45 kg

TB : 150 cm

BB BB
RBW = x 100% = 90% =20
TB−100 IMT = TB 2 kg/cm2
( )
Kesan : normoweight
100
Kesan : normoweight

PEMERIKSAAN FISIK

1. KEPALA
 Pertumbuhan rambut : normal
 Sakit jika dipegang : tidak
 Perubahan lokak : tidak
a. Muka
 Sembab : tidak  Parase : tidak
 Pucat : tidak  Gangguan local : tidak
 Kuning : tidak
b. Mata
 Stand mata : normal  Icterus : tidak
 Gerakan : normal  Anemia : tidak
 Exoftalmus : tidak  Reaksi pupil : isokor
 Ptosis : tidak  Gangguan local : tidak
c. Telinga
 Secret : tidak  Bentuk : normal
 Radang : tidak  Atrofi : tidak
d. Hidung
 Secret : tidak  Benjolan-benjolan : tidak
 Radang : tidak
e. Bibir
 Sianosis : tidak  Kering : tidak
 Pucat : tidak  Radang : tidak
f. Gigi
 Karies : tidak  Jumlah : tidak
 Pertumbuhan : tidak dihitung
 Pyorroe alveolaris : tidak
g. Lidah
 Kering : tidak  Beslag : tidak
 Pucat : tidak  Tremor : tidak
h. Tonsil
 Merah : tidak  Membrane : tidak
 Bengkak : tidak  Angina lacunaris : tidak
 Beslag : tidak
2. LEHER
Inspeksi

 Struma : tidak  Torticollis : tidak


 Kelenjar bengkak : tidak  Venektasi : tidak
 Pulsasi vena : tidak

Palpasi

 Posisi trachea : medial  TVJ : R-2 cm H2O


 Sakit/nyeri tekan : tidak  Kosta servikalis : ya
3. THORAX DEPAN
Inspeksi

 Bentuk : fusiformis  Ketinggalan bernafas : tidak


 Simetris/asimetris : simetris  Venektasi : tidak
ka=ki  Pembengkakan : tidak
 Bendungan vena : tidak  Pulsasi verbal : normal
Palpasi

 Nyeri tekan : tidak  Iktus : tidak


 Fremitus suara : sama teraba
ka=ki a. Lokalisasi :-
 Fremissement : tidak b. Kuat angkat: -
c. Melebar :-
d. Iktus negative :-
Perkusi
 Suara perkusi paru : sonor
 Batas paru hati :
a. Relative : ICS V linea midclavicularis dex
b. Absolut : ICS VI linea midclavicularis dex
 Gerakan bebas : 2 cm
 Batas jantung :
a. Atas :ICS III linea parasternalis dex
b. Kanan : ICS IV linea midclavikularis dex
c. Kiri : ICS V linea axillaris anterior sinistra
Auskultasi
 Paru-paru
o Suara pernapasan : vesikluer
o Suara tambahan : tidak ada
a. Ronchi basah : tidak
b. Ronchi kering : tidak
c. Krepitasi : tidak
d. Gesek pleura : tidak
 Cor
o Heart rate : 114x/menit
o Suara katup : M1 > M2 A2 > A1
P2 > P1 A2 > P2

4. THORAX BELAKANG
Inspeksi

 Bentuk : fusiformis  Scapulae alta :


 Simetris/asimetris : simetris tidak
ka=ki  Ketinggalan bernafas :
 Benjolan-benjolan : tidak
tidak  Venektasi :
tidak
Palpasi

 Nyeri tekan :
tidak
 Fremitus suara :
sama ka=ki
 Penonjolan-penonjolan : tidak

5. ABDOMEN
Inspeksi
Perkusi
 Suara perkusi paru: sonor  Bengkak :
 Gerakan bebas : 2 cm tidak
 Batas bawah paru :  Venektasi/pembentukan vena
: tidak
a. Kanan : IX
 Silkulasi collateral :
b. Kiri :X
tidak
Auskultasi  Pulsasi :
- Suara pernapasan : vesikuler tidak
- Suara tambahan : tidak ada Palpasi

 Defens muscular :
tidak
 Nyeri tekan : ya
Nyeri di  Lien :
epigastrium tidak teraba
 Ren :  Bengkak : tidak
tidak teraba tidak
 Hepar teraba :  Merah : tidak
tidak
tidak
Perkusi
 Oedema : tidak
 Pekak hati : ya tidak
 Pekak beralih :  Pucat : tidak
tidak
tidak
 Gangguan fungsi : tidak
Auskultasi tidak
Peristaltic usus :  Varises : tidak
20x/menit tidak
 Refleks : KPR + +
6. GENITALIA
APR + +
 Luka :
tidak  Struple +
 Sikatrik :
tidak
 Nanah :
tidak
 Hernia :
tidak

7. EKSTREMITAS
a. Atas
Dextra
Sinistra
 Bengkak : tidak
tidak
 Merah : tidak
tidak
 Stand abnormal : tidak
tidak
 Gangguan fungsi : tidak
tidak
 Tes rumpelit : tidak
tidak
 Refleks : biceps + +
Triceps + +
 Radio periost +
b. Bawah
Dextra
Sinistra
PEMERIKSAAN LABORATORIUM RUTIN

Darah
Hasil Satuan
Darah Rutin
Hemoglobin 14.90 g/dl
Eritrosit 5.18 10^3/uL
Leukosit 10.7 uL
Hematokrit 43.9 %
Trombosit 435 uL
Index Eritrosit
MCV 84.8 F1
MCH 28.8 Pg
MCHC 34.0 %
Jenis Leukosit
Eosinofil% 1 %
Basofil 0 %
N. Seg 70.9 %
Neutrofil %
Limfosit 21.6 %
Monosit 7 %
LED mm/jam
Fungsi Hati
Bilirubin Total mg/dl
Bilirubin Direk mg/dl
SGOT U/l
SGPT U/l
Protein Total g/dl
Fungsi Ginjal
Creatinin 0.9 mg/dl
Ureum 18 mg/dl

GDS mg/dl
RESUME
Anamnesa
Keluhan utama : diare berdarah

Telaah :
Pasien mengalami diare berdarah (+), nyeri perut & ulu hati (+), mual (+), muntah
(+) Pusing (+) batuk (-)

BAB : diare 3x-5x/hari, cair berwarna cokelat kuning


sesekali cokelat kemerahan
BAK : 4x/hari, kuning jernih tuntas
RPT : Hipertensi, dispepsia
RPO : amlodipin 10 mg
RPK : Ayah dan ibu hipertensi
Riwayat Alergi : tidak ada
Riwayat Kebiasaan : pasien jarang makan tepat waktu, suka makan
makanan pedas

Status present :

Keadaan Umum Keadaan Penyakit Keadaan Gizi


Sensorium : composmentis Anemia : tidak TB : 150
Tek. Darah : 164/97 mmHg Icterus : tidak BB : 45
Nadi : 114 x/menit Sianosis : tidak RBW =
Nafas : 20x/menit Dyspnoe : tidak BB
× 100 %
Suhu : 36,7°C Edema : tidak TB−100
= 90%
Kesan : Normoweight
Eritema : tidak IMT =
Turgor : baik BB
=20 kg / cm2
( )
2
Gerakan aktif : ya TB
100
Kesan : Normoweight
Sikap paksa : tidak

Pemeriksaan Fisik
Kepala : dalam batas normal
Leher : dalam batas normal
Thoraks : dalam batas normal
Abdomen : nyeri di epigastrium
Ekstremitas : dalam batas normal

Pemeriksaan Laboratorium
- Darah : eritrosit
- Urin :-
- Tinja :-

DIFFERENTIAL DIAGNOSE (DIAGNOSA BANDING)

1. Disentri basiler + Dispepsia + Hipertensi stage II


2. Disentri amuba + Dispepsia + Hipertensi stage II
3. Diare e.c. Escherichia coli Enteroinvasive (EIEC) + Dispepsia + Hipertensi stage II
4. Diare e.c. Escherichia coli Enterohemoragik (EHEC) + Dispepsia + Hipertensi stage II
5. Kolitis Ulseratif +Dispepsia + Hipertensi stage II

DIAGNOSA SEMENTARA : Disentri basiler + Dispepsia + Hipertensi stage II

TERAPI :

1. Aktivitas : tirah baring


2. Diet :
3. Medikamentosa :
 IVFD RL 20 GTT/I
 Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam
 Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
 Loperamide 3 x 1 tab
 Domperidone 3 x 1 tab
 Lanzopazole 2 x 1 tab
 Oralit tiap diare
 Curcuma 3 x 1
 Amlodipin 1 x 1 10 mg

PEMERIKSAAN ANJURAN :

 Pemeriksaan tinja
 Enzim immunoassay.
 Sigmoidoskopi
 Endoskopi
BAB IV
DISKUSI KASUS

4.1. Disentri Basiler


1. Anamnesis
Teori Kasus
BAB berdarah + +
Demam + -
Nyeri perut + +
Kram perut + -
Nyeri saat defekasi + +

2. Status Present

Keadaan umum Keadaan penyakit Keadaan gizi


Sens : Composmentis Anemia : Tidak BB : 45 kg
TD : 164/97 mmHg Ikterus : Tidak TB : 150 cm
Nadi : 114x/ menit Sianosis : Tidak RB: BB = 50
X100%
TB−100 150−100
Nafas : 20x/ menit Dyspnoe: Tidak
Suhu : 36,7 C Edema :Tidak
= 90 %
Eritema Palmaris : Tidak
Turgor : Baik ,< 2 menit
Kesan: Normoweight
Gerakan aktif:ya
IMT:20,0 kg/cm²
Sikap tidur paksa : Tidak

Kesan: Normoweight

Kesan: Kurang Baik Kesan: Baik Kesan: Baik


Teori Kasus
Keadaan Umum
Sensoriun Composmentis Composmentis
Tekanan Darah 100-130/ mmHg 164/97mmHg
Heart rate 60-100 x/menit 114x/menit
Respirasi 16-24 x/ menit 20x/menit
Temperature 36,5 - 37,5 ˚ C 36, 7 ˚ C

Teori Kasus
Keadaan Penyakit
Anemia Tidak Tidak
Ikterus Tidak Tidak
Sianosis Tidak Tidak
Dyspnea Tidak Tidak
Edema Tidak Tidak
Eritema Tidak Tidak
Turgor Baik Baik
Gerakan aktif Ya Ya
Sikap tidur paksa Tidak Tidak
Keadaan Gizi
TB TB 150 cm
BB BB 45 kg
RBW : X 100% 90-100 % 90%
Kesan Normoweight Normoweight
IMT 18,5-22,9 kg/m² 21 kg/cm²
Kesan Normoweight Normoweight

3. Pemeriksaan Fisik

Teori Kasus
Kepala Dalam Batas Normal Dalam Batas Normal

Leher Dalam Batas Normal Dalam Batas Normal


Thorax Dalam Batas Normal Dalam batas normal
Abdomen Nyeri tekan seluruh Nyeri Epigastrium
abdomen
Ekstremitas Dalam Batas Normal Dalam batas normal

4. Pemeriksaan Penunjang

Teori Kasus
Kultur Feses Terdapat bakteri shigella sp Tidak dilakukan
Enzim Immunoassay Terdapat toksin shigella sp Tidak dilakukan
Darah Rutin
4-11 ribu/mm3 10.7 ribu/mm3
- Leukosit

5. Diagnosis Banding

Teori Kasus
1. Disentri basiler 1. Disentri Basiler
2. Disentri amoeba
3. Escherichia coli Enteroinvasive (EIEC)
4. Escherichia coli Enterohemoragik
(EHEC)
5. Kolitis Ulseratif

6. Diagnosis Kerja

Teori Kasus
Disentri Basiler Disentri Basiler
7. Terapi

Teori Kasus
Aktivitas : Tirah baring Aktivitas : Tirah Baring
Diet : Makanan lunak Diet : Makanan lunak
Terapi Medikamentosa : Terapi Medikamentosa :
- Antibiotika
- Rehidrasi dan Nutrisi • IVFD RL 20 GTT/I
• Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
• Loperamide 3 x 1 tab
• Oralit tiap diare
-

4.2. Dispepsia
1. Anamnesa TEORI KASUS
- Nyeri epigastrium (+) (+)
- Rasa cepat kenyang (+) (+)
- Rasa penuh setelah (+) (-)
makan
- Rasa terbakar di (+) (-)
epigastrium

2. Pemeriksaan fisik

Nyeri tekan epigastrium (+) (+)

3. Pemeriksaan penunjang

Endoskopi Dijumpai kelainan Tidak dilakukan


organik/biokimiawi
4. Terapi

Teori Kasus
Aktivitas : Tirah baring Aktivitas : Tirah Baring
Diet : MB Diet : MB
Terapi Medikamentosa : Terapi Medikamentosa :
-Antasida • IVFD RL 20 GTT/I
- H2 Blocker • Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam
- Proton Pump Inhibitoe • Loperamide 3 x 1 tab
- Domperidone • Domperidone 3 x 1 tab
- Psikoterapi • Lanzoprazole 2 x 1 tab
• Curcuma 3 x 1 tab
-

4.3. Hipertensi

1. Anamnesa TEORI KASUS


- Pusing (+) (+)
- Sakit kepala (+) (-)
- Penglihatan kabur (+) (-)

- Pengobatan (+) (+)


antihipertensi
sebelumnya

2. Pemeriksaan fisik

Tekanan Darah <120 mmHg sistol 164 mmHg sistol


<90mmHg diastol 97mmHg diastol
3. Pemeriksaan penunjang

Ureum <50 mg/dL 18 mg/dL

Kreatinin 0,6-1 mg/dL 0.9 mg/dL


4. Terapi

Teori Kasus
Aktivitas : Tirah baring Aktivitas : Tirah Baring
Diet : Diet rendah garam Diet : Diet rendah garam
Terapi Medikamentosa : Terapi Medikamentosa :
-Diuretik
- ACE-Inhibitor • Amlodipine 10 mg 1x1
- Calsium channel blocker
- ARB
- Beta Blocker

BAB V
KESIMPULAN

Telah dilaporkan satu kasus disentri basiler, dispepsia dan hipertensi. Diagnosa
ditegakkan secara anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pasien ini
didiagnosa disentri basiler yang karena mengalami diare berdarah disertai nyeri perut. .
Pasien ini juga dilaporkan mengalami Dispepsia. Keluhan utama yang menjadi
kunci untuk mendiagnosis dispepsia adalah adanya nyeri dan atau rasa tidak nyaman
pada perut bagian atas. Apabila ditemukan adanya kelainan organik atau struktural
organ lambung, perlu dipikirkan kemungkinan diagnosis dispepsia organik, sedangkan
bila tidak ditemukan kelainan organik apa pun, dipikirkan kecurigaan ke arah dispepsia
fungsional.
Penatalaksanaan hipertensi meliputi modifikasi gaya hidup namun terapi
antihipertensi dapat langsung dimulai untuk hipertensi derajat 1 dengan penyerta dan
hipertensi derajat 2. Modifikasi gaya hidup berupa penurunan berat badan, kontrol diet
mencakup konsumsi buah-buahan, sayur-sayuran, serta produk susu rendah lemak
jenuh/lemak total, penurunan asupan garam dimana konsumsi NaCl yang disarankan
adalah < 6 g/hari. Beberapa hal lain yang disarankan adalah target aktivitas fisik
minimal 30 menit/hari dilakukan paling tidak 3 hari dalam seminggu serta pembatasan
konsumsi alkohol. Terapi farmakologi bertujuan untuk mengontrol tekanan darah
hingga mencapai tujuan terapi pengobatan. Apabila terapi antihipertensi sudah dimulai,
pasien harus rutin kontrol dan mendapat pengaturan dosis setiap bulan hingga target
tekanan darah tercapai. Perlu dilakukan pemantauan tekanan darah, LFG dan elektrolit.
DAFTAR PUSTAKA

1. The Eight Joint National Commitee. Evidence based guideline for the
management of high blood pressure in adults-Report from the panel members
appointed to the eight joint national commitee. 2014.
2. ESH and ESC. 2013. ESH/ESC Guidelines For the Management Of Arterial
Hypertension. Journal Of hypertension 2013, vol 31, 1281-1357.
3. Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th Edition page 1653. The McGraw
– Hill Companies. 2005
4. Mohammad Yogiantoro. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Hipertensi
Esensial. Perhipunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.
5. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. 2014. Buku ajar ilmu
penyakit dalam jilid I. VI. Jakarta: Interna Publishing.
6. Murdani Abdullah, Jeffri Gunawan. Dispepsia. Akreditasi IDI – 4 SKP. Divisi
Gastroenterologi, Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta, Indonesia
7. Sya’roni A., Hoesadha Y., 2006. Disentri Basiler. Buku Ajar Penyakit Dalam.
FKUI: Jakarta.
8. Pritt BS, Clark CG. Amebiasis. Mayo Clin Proc. Oct 2008;83(10):1154-9; quiz
1159- 60.

Anda mungkin juga menyukai