Pembimbing :
Disusun Oleh :
Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proses penyusunan referat ini
dengan judul “Disentri basiler, Dispepsia, dan Hipertensi”.Penyelesaian referat ini
banyak bantuan dari berbagai pihak,oleh karena itu adanya kesempatan ini penulis
menyampaikan rasa terimakasih yang sangat tulus kepada dr.Lita Septina Chaniago
Sp.PD-KEMD selaku pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu, petunjuk,
nasehat dan memberi kesempatan kepada kami untuk menyelesaikan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini tentu tentu tidak lepas dari kekurangan
karena kebatasan waktu, tenaga, dan pengetahuan penulis. Maka sangat diperlukan
masukan dan saran yang membangun. Semoga referat ini dapat memberikan manfaat.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
C. Manfaat
1. Menambah pengetahuan tentang menentukan Disentri basiler, Dyspepsia,
Hipertensi.
2. Sebagai lini pertama dalam kesehatan untuk dapat menentukan diagnosis
pada Disentri Basiler, Dyspepsia, Hipertensi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ditandai dengan diare cair akut atau dan disentri (tinja bercampur darah, lender,
dan nanah), pada umumnya disertai demam dan nyeri perut (Krugman, et al., 2009;
Levine, 2010). Penyakit ini ditularkan melalui jalan fekal-oral dengan masa
inkubasi 1-7 hari, untuk terjadinya penularan tersebut diperlukan dosis minimal
penularan 100 bakteri Shigella sp. ( Lima, et al., 2011; Zinner, et al., 2010; Sack, et
al., 2014).
S.flexneri, S.boydii dan S.sonnei. Di daerah tropis yang sering ditemukan ialah
yang dirawat di rumah sakit, yakni sebesar 27,3%. Dari keseluruhan Shigella sp
Setiap tahun, ada sekitar 500.000 kasus shigellosis di Amerika Serikat (Scallan, et
al., 2011). Pada tahun 2013 rata-rata kejadian tahunan shigellosis di Amerika
Serikat adalah 4,82 kasus per 100.000 orang (Crim, et al., 2014). Data di
tahun disebabkan oleh disentri basiler (Edmundson, 2014). Tingginya insiden dan
2.1.3. Etiologi
Shigella sp merupakan penyebab tersering ke-2 dari diare yang dirawat di rumah
bakteri gram negatif yang berbentuk batang/basil (Heymann, 2011). Selain itu
bakter ini bersifat anaerob fakultatif, yang berarti dapat hidup tanpa atau dengan
a. Pemeriksaan tinja.
Pemeriksaan tinja secara langsung terhadap kuman penyebab serta biakan hapusan
(rectal swab). Untuk menemukan carrier diperlukan pemeriksaan biakan tinja yang
seksama dan teliti karena basil shigela mudah mati . Untuk itu diperlukan tinja yang
baru.
Pemeriksaan ini spesifik dan sensitif, tetapi belum dipakai secara luas.
c. Enzim immunoassay.
Hal ini dapat mendeteksi toksin di tinja pada sebagian besar penderita yang terinfeksi
S.dysentriae tipe 1 atau toksin yang dihasilkan E.coli.
d. Sigmoidoskopi.
e. Aglutinasi.
Hal ini terjadi karena aglutinin terbentuk pada hari kedua, maksimum pada hari keenam.
Pada S.dysentriae aglutinasi dinyatakan positif pada pengenceran 1/50 dan pada
S.flexneri aglutinasi antibody sangat kompleks, dan oleh karena adanya banyak strain
maka jarang dipakai.
f. Endoskopi
a. Disentri basiler
Penyakit ini biasanya timbul secara akut, sering disertai adanya toksemia, tenesmus
akan tetapi sakit biasanya sifatnya umum. Tinja biasanya kecil-kecil, banyak, tak
berbau, alkalis, berlendir, nanah dan berdarah, bila tinja berbentuk dilapisi lendir.
Daerah yang terserang biasanya sigmoid dan dapat juga menyerang ileum. Biasanya
daerah yang terserang akan mengalami hiperemia superfisial ulseratif dan selaput lendir
akan menebal.
b. Disentri amuba
Patogenesisnya seperti Shigelosis yaitu melekat dan menginvasi epitel usus sehingga
menyebabkan kematian sel dan respon radang cepat (secara klinis dikenal sebagai
kolitis). Serogroup ini menyebabkan lesi seperti disentri basiller, ulserasi atau
perdarahan dan infiltrasi leukosit polimorfonuklear dengan khas edem mukosa dan
submukosa. Manifestasi klinis berupa demam, toksisitas sistemik, nyeri kejang
abdomen, tenesmus, dan diare cair atau darah.
Manifestasi klinis dari EHEC dapat menyebabkan penyakit diare sendiri atau dengan
nyeri abdomen. Diare pada mulanya cair tapi beberapa hari menjadi berdarah
(kolitishemoragik). Meskipun gambarannya sama dengan Shigelosis yang membedakan
adalah terjadinya demam yang merupakan manifestasi yang tidak lazim. Beberapa
infeksi disertai dengan sindrom hemolitik uremik.
2.1.8. Diagnosis
2.1.9. Komplikasi
Beberapa komplikasi ekstra intestinal disentri basiler terjadi pada pasien
yang berada di negara yang masih berkembang dan seringnya kejadian ini dihubungkan
dengan infeksi S.dysentriae tipe 1 dan S.flexneri pada pasien dengan status gizi buruk.
Komplikasi lain akibat infeksi S.dysentriae tipe 1 adalah haemolytic
uremic syndrome (HUS). HUS diduga akibat adanya penyerapan enterotoksin yang
diproduksi oleh Shigella. Biasanya HUS ini timbul pada akhir minggu pertama disentri
basiler, yaitu pada saat disentri basiler mulai membaik. Tanda- tanda HUS dapat berupa
oliguria, penurunan hematokrit (sampai 10% dalam 24 jam) dan secara progresif timbul
anuria dan gagal ginjal atau anemia berat dengan gagal jantung. Dapat pula terjadi
reaksi leukemoid (leukosit lebih dari 50.000/mikro liter), trombositopenia (30.000-
100.000/mikro liter), hiponatremia, hipoglikemia berat bahkan gejala susunan saraf
pusat seperti ensefalopati, perubahan kesadaran dan sikap yang aneh.
Artritis juga dapat terjadi akibat infeksi S.flexneri yang biasanya muncul
pada masa penyembuhan dan mengenai sendi-sendi besar terutama lutut. Hal ini dapat
terjadi pada kasus yang ringan dimana cairan sinovial sendi mengandung leukosit
polimorfonuklear. Penyembuhan dapat sempurna, akan tetapi keluhan artsitis dapat
berlangsung selama berbulan-bulan. Bersamaan dengan artritis dapat pula terjadi iritis
atau iridosiklitis. Sedangkan stenosis terjadi bila ulkus sirkular pada usus menyembuh,
bahkan dapat pula terjadi obstruksi usus, walaupun hal ini jarang terjadi. Neuritis perifer
dapat terjadi setelah serangan S.dysentriae yang toksik namun hal ini jarang sekali
terjadi.
Komplikasi intestinal seperti abses liver, toksik megakolon, prolaps
rectal dan perforasi juga dapat muncul. Akan tetapi peritonitis karena perforasi jarang
terjadi. Kalaupun terjadi biasanya pada stadium akhir atau setelah serangan berat.
Peritonitis dengan perlekatan yang terbatas mungkin pula terjadi pada beberapa tempat
yang mempunyai angka kematian tinggi. Komplikasi lain yang dapat timbul adalah
bisul dan hemoroid.
2.1.10. Penatalaksanaan
3.1. Dispepsia
3.1.1 . Definisi
Kata dispepsia berasal dari Bahasa Yunani dys (bad = buruk) dan peptein
(digestion= pencernaan). Jika digabungkan dispepsia memiliki arti indigestion yang
berarti sulit atau ketidaksanggupan dalam mencerna. Jadi dispepsia didefinisikan
sebagai kesulitan dalam mencerna yang ditandai oleh rasa nyeri atau terbakar di
epigastrium yang persisten atau berulang atau rasa tidak nyaman dari gejala yang
berhubungan dengan makan (rasa penuh setelah makan atau cepat kenyang – tidak
mampu menghabiskan makanan dalam porsi normal) (Talley & Holtmann, 2008). Pada
dispepsia organik ditemukan adanya suatu kelainan struktural setelah dilakukan
pemeriksaan endoskopi, Sedangkan definisi dispepsia fungsional berdasarkan
konsensus kriteria Roma III, harus memenuhi satu atau lebih gejala tersebut, serta tidak
ada bukti kelainan struktural melalui pemeriksaan endoskopi, yang berlangsung
sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal gejala sedikitnya timbul 6 bulan
sebelum diagnosis (Brun & Kuo, 2010). Definisi lain dari dispepsia fungsional adalah
penyakit yang bersifat kronik, gejala yang berubah-ubah, mempunyai riwayat gangguan
psikiatrik, nyeri yang tidak responsif dengan obat-obatan, dapat ditunjukkan letaknya
oleh pasien, serta secara klinis pasien tampak sehat, berbeda dengan dispepsia organik
yang gejala cenderung menetap, jarang mempunyai riwayat gangguan psikiatri, serta
secara klinis pasien tampak kesakitan (Abdullah & Gunawan, 2012).
3.1.2. Klasifikasi
Menurut Kriteria Roma III dispepsia fungsional dibagi menjadi 2 klasifikasi,
yakni postprandial distres syndrome dan epigastric pain syndrome. Postprandial distres
syndrome mewakili kelompok dengan perasaan “begah” setelah makan dan perasaan
cepat kenyang sedangkan epigastric pain syndrome merupakan rasa nyeri yang lebih
konstan dirasakan dan tidak begitu terkait dengan makan seperti halnya postprandial
distress syndrome.
Klasifikasi Dispepsia Fungsional menurut Roma III
a. Postprandial Distres Syndrome
Kriteria diagnostik terpenuhi bila 2 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:
1) Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan
dengan porsi biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu
2) Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan
porsi makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu
Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir,
dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
Kriteria penunjang
1). Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah
makan atau bersendawa yang berlebihan
2. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrium.
b. Epigastric Pain Syndrome
Kriteria diagnostik terpenuhi bila 5 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:
1). Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrium dengan
tingkat keparahan moderat/sedang, paling sedikit terjadi sekali dalam
seminggu.
2). Nyeri timbul berulang
3). Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau dada selain daerah
perut bagian atas/epigastrium
4). Tidak berkurang dengan BAB atau buang angin
5). Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis kelainan
kandung empedu dan sfingter Oddi
Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir,
dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
Kriteria penunjang
1). Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa menjalar ke
daerah retrosternal
2). Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan, namun
mungkin timbul saat puasa
3). Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distres setelah makan. (Diambil
dari Appendix B: Roma III. 2010)
3.1.3. Epidemiologi
Dispepsia merupakan masalah umum yang sering ditemukan pada klinik
pengobatan. Ketika pasien selama pengobatan mempunyai gejala tanpa penyebab yang
jelas sering didiagnosa non-ulcer dispepsia. Beberapa laporan menyebutkan presentase
dispepsia karena kelainan organik sekitar 25%-33% dan 67%-75% tanpa penyebab yang
jelas. Di seluruh dunia mempunyai prevalensi sekitar 10%- 40%. Hal itu menunjukan
bahwa diagnosis dan evaluasi harus segera dilakukan. Keterlambatan diagnosis akan
menyebabkan pasien dalam penderitaan dan peningkatan biaya pemeliharaan kesehatan
(Randall dkk, 2014).
Prevalensi dispepsia fungsional bervariasi mulai 7%-45% di seluruh dunia dan
semua penelitian epidemiologi selalu mengacu pada klasifikasi kriteria Roma III.
Menurut studi berbasiskan populasi pada tahun 2007, ditemukan peningkatan prevalensi
dispepsia fungsional dari 1,9% pada tahun 1988 menjadi 3,3% pada tahun 2003.
Sedangkan pada tahun 2010, dispepsia fungsional dilaporkan memiliki tingkat
prevalensi tinggi, yakni 5% dari seluruh kunjungan ke sarana layanan kesehatan primer
(Lee dkk, 2014).
3.1.4. Patofisiologi
Mekanisme patofisiologi timbulnya dispepsia fungsional atau ulkus peptikium
masih belum seluruhnya dapat diterangkan secara pasti. Hal ini menunjukan bahwa
dispepsia fungsional merupakan sekelompok gangguan yang heterogen, namun sudah
terdapat banyak bukti dari hasil penelitian para ahli yang dapat dijadikan pegangan.
Beberapa studi menghubungkan mekanisme patofisiologi dispepsia fungsional dengan
terjadinya infeksi H. Pylori, ketidaknormalan motilitas, gangguan sensori visceral,
faktor psikososial, dan perubahan-perubahan fisiologi tubuh yang meliputi gangguan
pada sistem saraf otonom vegetatif, sistem neuroendokrin, serta sistem imun tubuh.
Sedangkan Patofisiologi ulkus peptikum diperkirakan akibat ketidak seimbangan antara
tekanan agresif (HCL dan pepsin) yang menyebabkan ulserasi dan tekanan defensif
yang melindungi lambung ( barier mukosa lambung, barier mukus lambung, sekresi
HCO3) (Yehuda, 2010).
b).Ketidaknormalan Motilitas
Dengan studi Scintigraphic Nuclear dibuktikan lebih dari 50% pasien dispepsia
fungsional mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam lambung. Demikian
pula pada studi Monometrik didapatkan gangguan motilitas antrum postprandial.
Penelitian terakhir menunjukan bahwa fundus lambung yang “kaku” bertanggung jawab
terhadap sindrom dispepsia. Pada keadaan normal seharusnya fundus lambung relaksasi,
baik saat mencerna makanan maupun bila terjadi distensi duodenum. Pengosongan
makanan bertahap dari corpus lambung menuju ke bagian fundus lambung dan
duodenum diatur oleh refleks vagal. Pada beberapa pasien dispepsia fungsional, refleks
ini tidak berfungsi dengan baik sehingga pengisian bagian antrum terlalu cepat. Bila
berlangsung lama bisa sebagai predictor ulkus peptikum.
c).Gangguan Sensori Visceral
Lebih 50% pasien dispepsia fungsional menunjukan sensitifitas terhadap distensi
lambung atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat : makanan yang sedikit
mengiritasi seperti makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi lambung
intestinum atau distensi dini bagian antrum postprandial dapat menginduksi nyeri pada
bagian ini.
d). Faktor Psikososial
Faktor psikis dan stresor seperti depresi, cemas, dan stres ternyata memang
dapat menimbulkan peningkatan hormon kortisol yang berakibat kepada gangguan
keseimbangan sistem saluran cerna, sehingga terlihat bahwa pada hormon kortisol yang
tinggi ternyata memberikan manifestasi klinik dispepsia yang lebih berat. Jadi semakin
tinggi nilai kortisol akan menyebabkan semakin beratnya klinis dispepsia. Begitu juga
dengan perubahan gaya hidup seperti kurang olahraga, merokok, dan gangguan tidur
juga memiliki efek terhadap peningkatan asam lambung dan perubahan aktivitas otot
dinding lambung yang meningkatkan kemungkinan terjadinya dyspepsia (Micut, 2012).
e). Gangguan Keseimbangan Neuroendokrin
Gangguan sekresi pada lambung dapat terjadi karena gangguan jalur endokrin
melalui poros hipotalamus – pituitary – adrenal ( HPA axis). Pada keadaan ini terjadi
peningkatan kortisol dari korteks adrenal akibat rangsangan dari korteks serebri
diteruskan ke hipofisis anterior sehingga terjadi pengeluaran hormone kortikotropin.
Peningkatan kortisol ini akan merangsang produksi asam lambung (Gene, 2012).
f). Gangguan Keseimbangan Sistem Saraf Otonom Vegetatif
Pada keadaan ini konflik emosi yang timbul diteruskan melalui korteks serebri
ke sistem limbik kemudian ke hipotalamus dan akhirnya ke sistem saraf otonom
vegetatif. Sistem saraf otonom terdiri dari dua subsistem yaitu sistem saraf simpatis dan
sistem saraf parasimpatis. Konflik emosi akan meningkatkan pelepasan neurotransmitter
acetylcholine oleh Sistem saraf simpatis yang mengakibatkan peningkatan peristaltik
dan sekresi asam lambung. Sedangkan sistem saraf parasimpatis hampir 75% dari
seluruh serabut sarafnya didominasi oleh nervus vagus (saraf kranial X). saraf dari
parasimpatik meninggalkan sistem saraf pusat melalui nervus vagus menuju organ yang
dipersarafi secara langsung yaitu : mempersarafi lambung dengan cara merangsang
sekresi asetilkolin, gastrin, dan histamine yang akhirnya memunculkan keluhan
dispepsia bila terjadi difungsi persarafan vagal. Disfungsi nervus vagal akan
menimbulkan kegagalan relaksasi bagian proksimal lambung sewaktu menerima
makanan, sehingga menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat
kenyang. Serat-serat saraf simpatis maupun parasimpatis juga mensekresikan
neurotransmiter sinaps yaitu asetilkolin atau norepinefrin. Kedua neurotransmitter
tersebut akan mengaktivasi atau menginhibisi presinap maupun postsinap saraf simpatik
dan parasimpatik sehingga menimbulkan efek eksitasi pada beberapa organ tetapi
menimbulkan efek inhibisi pada organ lainnya salah satunya adalah organ lambung.
3.1.6. Diagnosis
Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia adalah adanya
nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas. Apabila ditemukan adanya
kelainan organik atau struktural organ lambung, perlu dipikirkan kemungkinan
diagnosis dispepsia organik, sedangkan bila tidak ditemukan kelainan organik apa pun,
dipikirkan kecurigaan ke arah dispepsia fungsional. Penting diingat bahwa dispepsia
fungsional merupakan diagnosis by exclusion, sehingga idealnya terlebih dahulu harus
benar-benar dipastikan tidak ada kelainan yang bersifat organik pada pemeriksaan
endoskopi (Abdullah & Gunawan, 2012).
Roma III memberikan kriteria diagnostik untuk dispepsia fungsional sebagai berikut :
Memenuhi salah satu gejala atau lebih dari:
• Rasa penuh setelah makan yang mengganggu.
• Rasa cepat kenyang.
• Nyeri epigastrium.
• Rasa terbakar di epigastrium. dan
• Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk hasil endoskopi saluran cerna
bagian atas) yang mungkin dapat menjelaskan timbulnya gejala.
Kriteria terpenuhi selama minimal 3 bulan, dengan onset gejala minimal 6 bulan
sebelum diagnosis.
3.1.7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dispepsia awal terdiri dari pengkajian riwayat penyakit untuk
mengetahui semua gejala dispepsia sangat penting untuk mengetahui apa masalah
utama dari pasien. Hal ini penting karena penatalaksanaan dispepsia bertujuan untuk
mengendalikan gejala daripada pengobatan permanen penyakitnya.
a. Consultation Liaison Psychiatry (CLP)
Consultation Liaison Psychiatry (CLP) merupakan subspesialis dari psikiatri
yang berperan sebagai penghubung yang memungkinkan kerja sama antara psikiater
dengan spesialis medis lain. Dalam CLP seorang psikiater berperan sebagai penyalur
keahlian psikiatri dengan disiplin ilmu lainnya yaitu : Ilmu Penyakit Dalam untuk
membantu penanganan komorbiditas psikologik, psikiatrik, dan psikofisiologik pada
pasien yang mengalami keluhan dispepsia. Jadi CLP meliputi pelajaran, pelatihan,
pengajaran komorbiditas medik (Aksis III) dan Psikiatrik (Aksis I dan II). Seorang
psikiater Consultation Liaison harus mempunyai tehnik komunikasi yang baik, ilmu
pengetahuan yang luas dalam hal interaksi antara obat psikotropik dan medis lainnya
(Loyd & McClelan, 2011).
b. Penanganan Secara Farmakologi
Setelah penerapan CLP dapat dijalankan dengan baik, penanganan gangguan
dispepsia fungsional dapat diberikan secara farmakologi berdasarkan disiplin Ilmu
Penyakit Dalam dan Ilmu Psikiatri. Beberapa terapi farmakologi yang bisa diberikan
pada pasien dispepsia fungsional : antasida, Histamine H2 receptor antagonists (H2RA),
Proton pump inhibitors (PPI), Cytoprotective or mucoprotective agents, Prokinetic
agents, obat-obat anti H. Pylori, dan obat-obat psikotropik antara lain : antipsikotik,
antidepressant, antianxiety, mood stablizer. Walaupun pada pemeriksaan endoskopi
tidak ditemukan adanya suatu kelainan struktural, tetapi pemberian farmakologi masih
termasuk didalam penanganan gangguan dispepsia fungsional. Penanganan ini lebih
dikenal dengan nama Somatoterapi(Kandulski dkk, 2011).
c. Penanganan Secara Psikoterapi
Penanganan selanjutnya sebagai bagian dari CLP adalah psikoterapi, ada beberapa
langkah yang bisa ditempuh. Pertama, terangkan pasien, yakinkan bahwa tidak terdapat
gangguan organik pada diri pasien, bila perlu lakukan pemeriksaan fisik yang teliti
disertai tes laboratorium. Beri kesempatan pasien untuk bertanya dan terangkan
mekanisme fisiologi serta keterangan tentang gejala-gejala. Kedua, beri penjelasan
kepada pasien bahwa keluhannya dapat dimengerti dan gejala tersebut juga dijumpai
pada orang lain yang pernah berobat. Bantu pasien mengenali permasalahannya dan
arahkan ke pola yang lebih sehat yang akan bermanfaat. Beritahu bahwa gejala tersebut
timbul karena kecemasan dan ketegangan psikis namun dapat diobati setelah beberapa
waktu. Terapi cognitive-Behavior terbukti efektif pada pasien dengan dispepsia
fungsional. Terapi ini membantu pasien secara sadar mengenali gejala nyeri pada
daerah episgastrium dan keluhan cepat kenyang, mengubah cara berpikir mengenai ide-
ide penyebab nyeri dengan pola pikir yang lebih realitas, memberikan tehnik relaksasi
dan melakukan pengalihan perhatian (Soo dkk, 2004).
d. Penanganan Secara Manipulasi Lingkungan dan Sosioterapi
Terapi selanjutnya dalam penanganan dispepsia fungsional sebagai bagian dari
CLP adalah manipulasi lingkungan dan sosioterapi. Pada terapi ini akan melibatkan
orang-orang terdekat yang berpengaruh kepada pasien seperti pasangan, keluarga dan
kerabat untuk membantu mewujudkan pola therapeutic community (Soo dkk, 2004).
4.1. Hipertensi
4.1.1. Definisi
Berdasarkan JNC VII, seseorang dikatakan hipertensi bila tekanan sistolik nya
melebihi 140 mmHg dan atau diastoliknya melebihi 90 mmHg berdasarkan rerata dua
atau tiga kali kunjungan yang cermat sewaktu duduk dalam satu atau dua kali
kunjungan.
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah
4.1.2. Etiologi
Faktor-faktor yang tidak dapat dimodifikasi antara lain faktor genetik, umur, jenis
kelamin, dan etnis. Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi meliputi stres,
obesitas dan nutrisi.
a. Usia
b. Jenis kelamin
c. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga dengan hipertensi memberikan resiko terkena hipertensi
sebanyak 75%.
d. Obesitas
Meningkatnya berat badan pada masa anak-anak atau usia pertengahan resiko
hipertensi meningkat.
e. Serum lipid
f. Diet
g. Merokok
Selain itu faktor resiko di atas terdapat juga penambahan kriteria, sebagai berikut :
Kasus hipertensi esensial 70%-80% diturunkan dari orang tuanya kepada anaknya.
2) Stres Pekerjaan
3).Asupan Garam
Konsumsi garam memiliki efek langsung terhadap tekanan darah. Terdapat bukti
bahwa mereka yang memiliki kecenderungan menderita hipertensi secara keturunan
memiliki kemampuan yang lebih rendah untuk mengeluarkan garam dari tubuhnya
4).Aktivitas Fisik (Olahraga)
4.1.4. Patogenesis
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di pusat
vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf
simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula
spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor
dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke
ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan
merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah kapiler, dimana dengan
dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah kapiler. Berbagai
faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah
terhadap rangsang vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap
norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai
respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang mengakibatkan tambahan
aktivitas vasokontriksi. Medula adrenal mengsekresi epinefrin yang menyebabkan
vasokontriksi. Korteks adrenal mengsekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapt
memperkuat respon vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan
penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang
pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu
vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks
adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal,
menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung
mencetus keadaan hipertensi. Perubahan struktural dan fungsional pada sistem
pembuluh darah perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi
pada lanjut usia. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas
jaringan ikat, dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada
gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah.
Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam
mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup),
mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan perifer.
Pada dasarnya, tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan tekanan
perifer. Berbagai faktor yang mempengaruhi curah jantung dan tekanan perifer akan
mempengaruhi tekanan darah seperti asupan garam yang tinggi, faktor genetik, stres,
obesitas, faktor endotel. Selain curah jantung dan tahanan perifer sebenarnya
tekanan darah dipengaruhi juga oleh tebalnya atrium kanan, tetapi tidak mempunyai
banyak pengaruh. Dalam tubuh terdapat sistem yang berfungsi mencegah perubahan
tekanan darah secara akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi yang berusaha
untuk mempertahankan kestabilan tekanan darah dalam jangka panjang. Sistem
pengendalian tekanan darah sangat kompleks. Pengendalian dimulai dari sistem yang
bereaksi dengan cepat misalnya reflek kardiovaskuler melalui sistem saraf, reflek
kemoreseptor, respon iskemia, susunan saraf pusat yang berasal dari atrium, arteri
pulmonalis otot polos. Dari sistem pengendalian yang bereaksi sangat cepat diikuti oleh
sistem pengendalian yang bereaksi kurang cepat, misalnya perpindahan cairan antara
sirkulasi kapiler dan rongga intertisial yang dikontrol hormon angiotensin dan
vasopresin. Kemudian dilanjutkan sistem yang poten dan berlangsung dalam jangka
panjang misalnya kestabilan tekanan darah dalam jangka panjang dipertahankan oleh
sistem yang mengatur jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ.
Peningkatan tekanan darah pada hipertensi primer dipengaruhi oleh beberapa faktor
genetik yang menimbulkan perubahan pada ginjal dan membran sel, aktivitas saraf
simpatis dan renin, angiotensin yang mempengaruhi keadaan hemodinamik, asupan
natrium dan metabolisme natrium dalam ginjal serta obesitas dan faktor endotel. Akibat
yang ditimbulkan dari penyakit hipertensi antara lain penyempitan arteri yang
membawa darah dan oksigen ke otak, hal ini disebabkan karena jaringan otak
kekurangan oksigen akibat penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah otak dan
akan mengakibatkan kematian pada bagian otak yang kemudian dapat
menimbulkan stroke. Komplikasi lain yaitu rasa sakit ketika berjalan kerusakan pada
ginjal dan kerusakan pada organ mata yang dapat mengakibatkan kebutaan, sakit
kepala, Jantung berdebar-debar, sulit bernafas setelah bekerja keras atau
mengangkat beban kerja, mudah lelah, penglihatan kabur, wajah memerah, hidung
berdarah, sering buang air kecil terutama di malam hari telingga berdering (tinnitus)
dan dunia terasa berputar.
Gambaran klinis pasien hipertensi meliputi nyeri kepala saat terjaga, kadang-
kadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah intrakranial.
Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi. Ayunan langkah yang tidak
mantap karena kerusakan susunan saraf pusat. Nokturia karena peningkatan aliran
darah ginjal dan filtrasi glomerulus. Edema dependen dan pembengkakan akibat
peningkatan tekanan kapiler. Gejala lain yang umumnya terjadi pada penderita
hipertensi yaitu pusing, muka merah, sakit kepala, keluaran darah dari hidung secara
tiba-tiba, tengkuk terasa pegal dan lain- lain.
4.1.6. Diagnosis
Berdasarkan pemeriksaan fisik, nilai tekanan darah pasien diambil rerata dua
kali pengukuran pada setiap kali kunjungan ke dokter. Apabila tekanan darah ≥ 140/90
mmHg pada dua atau lebih kunjungan maka hipertensi dapat ditegakkan. Pemeriksaaan
tekanan darah harus dilakukan dengan alat yang baik, ukuran dan posisi manset yang
tepat (setingkat dengan jantung) serta teknik yang benar. Pemeriksaan penunjang
dilakukan untuk memeriksa komplikasi yang telah atau sedang terjadi seperti
pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap, kadar ureum, kreatinin, gula darah,
elektrolit, kalsium, asam urat dan urinalisis. Pemeriksaan lain berupa pemeriksaan
fungsi jantung berupa elektrokardiografi, funduskopi, USG ginjal, foto thoraks dan
ekokardiografi. Pada kasus dengan kecurigaan hipertensi sekunder dapat dilakukan
pemeriksaan sesuai indikasi dan diagnosis banding yang dibuat. Pada hiper atau
hipotiroidisme dapat dilakukan fungsi tiroid (TSH, FT4, FT3), hiperparatiroidisme
(kadar PTH, Ca2+), hiperaldosteronisme primer berupa kadar aldosteron plasma, renin
plasma, CT scan abdomen, peningkatan kadar serum Na, penurunan K, peningkatan
eksresi K dalam urin ditemukan alkalosis metabolik. Pada feokromositoma, dilakukan
kadar metanefrin, CT scan/MRI abdomen. Pada sindrom cushing, dilakukan kadar
kortisol urin 24 jam. Pada hipertensi renovaskular, dapat dilakukan CT angiografi arteri
renalis, USG ginjal, Doppler Sonografi
4.1.7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hipertensi meliputi modifikasi gaya hidup namun terapi
antihipertensi dapat langsung dimulai untuk hipertensi derajat 1 dengan penyerta dan
hipertensi derajat 2. Penggunaan antihipertensi harus tetap disertai dengan modifikasi
gaya hidup.
Modifikasi gaya hidup berupa penurunan berat badan (target indeks massa tubuh
dalam batas normal untuk Asia-Pasifik yaitu 18,5-22,9 kg/m2), kontrol diet berdasarkan
DASH mencakup konsumsi buah-buahan, sayur-sayuran, serta produk susu rendah
lemak jenuh/lemak total, penurunan asupan garam dimana konsumsi NaCl yang
disarankan adalah < 6 g/hari. Beberapa hal lain yang disarankan adalah target aktivitas
fisik minimal 30 menit/hari dilakukan paling tidak 3 hari dalam seminggu serta
pembatasan konsumsi alkohol. Terapi farmakologi bertujuan untuk mengontrol tekanan
darah hingga mencapai tujuan terapi pengobatan. Berdasarkan JNC VIII pilihan
antihipertensi didasarkan pada ada atau tidaknya usia, ras, serta ada atau tidaknya gagal
ginjal kronik. Apabila terapi antihipertensi sudah dimulai, pasien harus rutin kontrol dan
mendapat pengaturan dosis setiap bulan hingga target tekanan darah tercapai. Perlu
dilakukan pemantauan tekanan darah, LFG dan elektrolit.
1. Diuretik
Obat-obatan jenis diuretic bekerja dengan mengeluarkan cairan tubuh
(lewat kencing), sehingga volume cairan tubuh berkurang mengakibatkan daya
pompa jantung menjadi lebih ringan dan berefek pada turunnya tekanan darah.
Contoh obat-obatan ini adalah: Bendroflumethiazide, chlorthizlidone,
hydrochlorothiazide, dan indapamide.
2. ACE-Inhibitor
Kerja obat golongan ini menghambat pembentukan zat angiotensin II
(zat yang dapat meningkatkan tekanan darah). Efek samping yang sering timbul
adalah batuk kering, pusing sakit kepala dan lemas. Contoh obat yang tergolong
jenis ini adalah Catopril, enalapril, dan lisinopril.
3. Calsium channel blocker
Golongan obat ini berkerja menurunkan menurunkan daya pompa jantung
dengan menghambat kontraksi otot jantung (kontraktilitas). Contoh obat yang
tergolong jenis obat ini adalah amlodipine, diltiazem dan nitrendipine.
4. ARB
Kerja obat ini adalah dengan menghalangi penempelan zat angiotensin II
pada reseptornya yang mengakibatkan ringannya daya pompa jantung. Obat-
obatan yang termasuk golongan ini adalah eprosartan, candesartan, dan losartan.
5. Beta blocker
Mekanisme obat antihipertensi ini adalah melalui penurunan daya pompa
jantung. Jenis obat ini tidak dianjurkan pada penderita yang telah diketahui
mengidap gangguan pernafasan seperti asma bronchial. Contoh obat yang
tergolong ke dalam beta blocker adalah atenolol, bisoprolol, dan beta metoprolol.
Gambar 2.3 Tata Laksana Menurut JNC VII
Gambar 2.3 Algoritma penanganan hipertensi (JNC 8)
BAB III
KESIMPULAN
ANAMNESA PRIBADI
Agama : Islam
ANAMNESA PENYAKIT
Telaah :
Pasien datang diantar ke IGD RSU Haji Medan dengan keluhan diare sejak 7 hari hari
lalu, diare 3 sampai 5 kali sehari, berwarna cokelat kemerahan (BAB berdarah).
Selain itu pasien juga mengeluhkan adanya nyeri peurt & ulu hati sejak 7 hari yang lalu.
Pasien mengeluhkan rasa menyesak, mual, dan muntah 2 sampai 3 kali sehari sebanyak kurang
lebih 150 ml berisi cairan dan ampas makanan. Pasien juga sering mengeluhkan pusing, batuk
disangkal.
RPO : amlodipin 10 mg
Riwayat Kebiasaan : pasien jarang makan tepat waktu, suka makan makanan pedas
ANAMNESA UMUM
Badan kurang enak : ya Tidur : normal
Merasa capek/lemas : ya Berat badan : menurun
Merasa kurang sehat : ya Malas : ya
Menggigil : tidak Demam : tidak
Nafsu makan : menurun Pening : ya
ANAMNESA ORGAN
1. COR
Dyspnoe d’effort : tidak Cyanosis : tidak
Dyspnoe d’repos : tidak Angina pectoris : tidak
Oedema : tidak Palpasi cordis : tidak
Nocturia : tidak Asma cardial : tidak
2. SIRKULASI PERIFER
Claudicatio intermitten : tidak Gangguan alergi : tidak
Sakit waktu istirahat : tidak Kebas-kebas : tidak
Rasa mati ujung jari : tidak
3. TRACTUS RESPIRATORIUS
Batuk : tidak Stridor : tidak
Berdahak : tidak Sesak nafas : tidak
Haemaptoe : tidak Pernapasan cuping hidung : tidak
Sakit dada waktu bernapas : ya Suara parau : tidak
4. TRAKTUS DIGESTIVUS
a. LAMBUNG
Sakit di epigastrium Sendawa : tidak
sebelum/sesudah makan Anoreksia : tidak
: ya Mual-mual : ya
Rasa panas di epigastrium : tidak Dysphagia : tidak
Muntah (freq,warna,isi,dll): tidak Foetor ex ore : tidak
Hematemesis : tidak Pyrosis : tidak
Ructus : tidak
b. USUS
Sakit diabdomen : ya Diare : ya
Bobrborygmi : tidak Malena : tidak
Obstupasi : tidak Tanesmi : tidak
Defekasi : Flatulensi : tidak
3-5x/sehari, cair cokelat kuning Haemorrhoid : tidak
kemerahan
c. HATI DAN SALURAN EMPEDU
Sakit perut kanan memancar ke : Gatal dikulit : tidak
tidak Asites : tidak
Kolik : tidak Oedema : tidak
Icterus : tidak Berak dempul : tidak
5. GINJAL DAN SALURAN KENCING
Muka sembab : tidak Sakit pinggang memancar ke : tidak
Kolik : tidak Oliguria : tidak
Miksi : tidak Anuria : tidak
Polyuria : tidak Polakisuria : tidak
6. SENDI
Sakit : tidak Sakit digerakkan : tidak
Sendi kaku : tidak Bengkak : tidak
Merah : tidak Stand abnormal : tidak
7. TULANG
Sakit : tidak Fraktur spontan : tidak
Bengkak : tidak Deformitas : tidak
8. OTOT
Sakit : tidak Kejang-kejang : tidak
Kebas-kebas : tidak Atrofi : tidak
9. DARAH
Sakit dimulut dan lidah : tidak Muka pucat : tidak
Mata berkunang-kunang : tidak Bengkak : tidak
Pembengkakan kelenjar : tidak Penyakit darah : tidak
Merah dikulit : tidak Kendaraan subkutan : tidak
10. ENDOKRIN
a. Pancreas
Polidipsi : tidak Pruritus : tidak
Polifagi : tidak Pyorrhea : tidak
Poliuri : tidak
b. Tiroid
Nervositas : tidak Struma : tidak
Exoftalmus : tidak Miksodem : tidak
c. Hipofisis
Akromegali : tidak Ditrifi adipos kongenital : tidak
11. FUNGSI GENITALIA
Menarche : 13 tahun Ereksi : tidak
Siklus haid : 28 hari Libido seksual : tidak
Menopause : ya Coitus : tidak
G/P/Ab : 2/2/0
12. SUSUNAN SYARAF
Hipoastesia : tidak Sakit kepala : ya
Parastesia : tidak Gerakan tics : tidak
Paralisis : tidak
13. PANCA INDRA
Penglihatan : normal Pengecapan : normal
Pendengaran : normal Perasaan : normal
Penciuman : normal
14. PSIKIS
Mudah tersinggung : tidak Pelupa : tidak
Takut : tidak Lekas marah : tidak
Gelisah : tidak
15. KEADAAN SOSIAL
Keadaan sosial : PNS Hygiene : baik
ANAMNESA PENYAKIT TERDAHULU
Hipertensi, dispepsia
Amlodipin
Tidak Ada
ANAMNESA MAKANAN
ANAMNESA PRAESENS
KEADAAN UMUM
Sensorium : composmentis
Tekanan darah : 164/97 mmHg
Temperature : 36,5ºC
Pernapasan : 20x/menit
Nadi : 114x/menit
KEADAAN PENYAKIT
Anemi : tidak Eritema : tidak
Icterus : tidak Turgor : baik
Sianosis : tidak Gerakan aktif : ya
Dispone : tidak Sikap tidur paksa : tidak
Edema : tidak
KEADAAN GIZI
BB : 45 kg
TB : 150 cm
BB BB
RBW = x 100% = 90% =20
TB−100 IMT = TB 2 kg/cm2
( )
Kesan : normoweight
100
Kesan : normoweight
PEMERIKSAAN FISIK
1. KEPALA
Pertumbuhan rambut : normal
Sakit jika dipegang : tidak
Perubahan lokak : tidak
a. Muka
Sembab : tidak Parase : tidak
Pucat : tidak Gangguan local : tidak
Kuning : tidak
b. Mata
Stand mata : normal Icterus : tidak
Gerakan : normal Anemia : tidak
Exoftalmus : tidak Reaksi pupil : isokor
Ptosis : tidak Gangguan local : tidak
c. Telinga
Secret : tidak Bentuk : normal
Radang : tidak Atrofi : tidak
d. Hidung
Secret : tidak Benjolan-benjolan : tidak
Radang : tidak
e. Bibir
Sianosis : tidak Kering : tidak
Pucat : tidak Radang : tidak
f. Gigi
Karies : tidak Jumlah : tidak
Pertumbuhan : tidak dihitung
Pyorroe alveolaris : tidak
g. Lidah
Kering : tidak Beslag : tidak
Pucat : tidak Tremor : tidak
h. Tonsil
Merah : tidak Membrane : tidak
Bengkak : tidak Angina lacunaris : tidak
Beslag : tidak
2. LEHER
Inspeksi
Palpasi
4. THORAX BELAKANG
Inspeksi
Nyeri tekan :
tidak
Fremitus suara :
sama ka=ki
Penonjolan-penonjolan : tidak
5. ABDOMEN
Inspeksi
Perkusi
Suara perkusi paru: sonor Bengkak :
Gerakan bebas : 2 cm tidak
Batas bawah paru : Venektasi/pembentukan vena
: tidak
a. Kanan : IX
Silkulasi collateral :
b. Kiri :X
tidak
Auskultasi Pulsasi :
- Suara pernapasan : vesikuler tidak
- Suara tambahan : tidak ada Palpasi
Defens muscular :
tidak
Nyeri tekan : ya
Nyeri di Lien :
epigastrium tidak teraba
Ren : Bengkak : tidak
tidak teraba tidak
Hepar teraba : Merah : tidak
tidak
tidak
Perkusi
Oedema : tidak
Pekak hati : ya tidak
Pekak beralih : Pucat : tidak
tidak
tidak
Gangguan fungsi : tidak
Auskultasi tidak
Peristaltic usus : Varises : tidak
20x/menit tidak
Refleks : KPR + +
6. GENITALIA
APR + +
Luka :
tidak Struple +
Sikatrik :
tidak
Nanah :
tidak
Hernia :
tidak
7. EKSTREMITAS
a. Atas
Dextra
Sinistra
Bengkak : tidak
tidak
Merah : tidak
tidak
Stand abnormal : tidak
tidak
Gangguan fungsi : tidak
tidak
Tes rumpelit : tidak
tidak
Refleks : biceps + +
Triceps + +
Radio periost +
b. Bawah
Dextra
Sinistra
PEMERIKSAAN LABORATORIUM RUTIN
Darah
Hasil Satuan
Darah Rutin
Hemoglobin 14.90 g/dl
Eritrosit 5.18 10^3/uL
Leukosit 10.7 uL
Hematokrit 43.9 %
Trombosit 435 uL
Index Eritrosit
MCV 84.8 F1
MCH 28.8 Pg
MCHC 34.0 %
Jenis Leukosit
Eosinofil% 1 %
Basofil 0 %
N. Seg 70.9 %
Neutrofil %
Limfosit 21.6 %
Monosit 7 %
LED mm/jam
Fungsi Hati
Bilirubin Total mg/dl
Bilirubin Direk mg/dl
SGOT U/l
SGPT U/l
Protein Total g/dl
Fungsi Ginjal
Creatinin 0.9 mg/dl
Ureum 18 mg/dl
GDS mg/dl
RESUME
Anamnesa
Keluhan utama : diare berdarah
Telaah :
Pasien mengalami diare berdarah (+), nyeri perut & ulu hati (+), mual (+), muntah
(+) Pusing (+) batuk (-)
Status present :
Pemeriksaan Fisik
Kepala : dalam batas normal
Leher : dalam batas normal
Thoraks : dalam batas normal
Abdomen : nyeri di epigastrium
Ekstremitas : dalam batas normal
Pemeriksaan Laboratorium
- Darah : eritrosit
- Urin :-
- Tinja :-
TERAPI :
PEMERIKSAAN ANJURAN :
Pemeriksaan tinja
Enzim immunoassay.
Sigmoidoskopi
Endoskopi
BAB IV
DISKUSI KASUS
2. Status Present
Kesan: Normoweight
Teori Kasus
Keadaan Penyakit
Anemia Tidak Tidak
Ikterus Tidak Tidak
Sianosis Tidak Tidak
Dyspnea Tidak Tidak
Edema Tidak Tidak
Eritema Tidak Tidak
Turgor Baik Baik
Gerakan aktif Ya Ya
Sikap tidur paksa Tidak Tidak
Keadaan Gizi
TB TB 150 cm
BB BB 45 kg
RBW : X 100% 90-100 % 90%
Kesan Normoweight Normoweight
IMT 18,5-22,9 kg/m² 21 kg/cm²
Kesan Normoweight Normoweight
3. Pemeriksaan Fisik
Teori Kasus
Kepala Dalam Batas Normal Dalam Batas Normal
4. Pemeriksaan Penunjang
Teori Kasus
Kultur Feses Terdapat bakteri shigella sp Tidak dilakukan
Enzim Immunoassay Terdapat toksin shigella sp Tidak dilakukan
Darah Rutin
4-11 ribu/mm3 10.7 ribu/mm3
- Leukosit
5. Diagnosis Banding
Teori Kasus
1. Disentri basiler 1. Disentri Basiler
2. Disentri amoeba
3. Escherichia coli Enteroinvasive (EIEC)
4. Escherichia coli Enterohemoragik
(EHEC)
5. Kolitis Ulseratif
6. Diagnosis Kerja
Teori Kasus
Disentri Basiler Disentri Basiler
7. Terapi
Teori Kasus
Aktivitas : Tirah baring Aktivitas : Tirah Baring
Diet : Makanan lunak Diet : Makanan lunak
Terapi Medikamentosa : Terapi Medikamentosa :
- Antibiotika
- Rehidrasi dan Nutrisi • IVFD RL 20 GTT/I
• Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
• Loperamide 3 x 1 tab
• Oralit tiap diare
-
4.2. Dispepsia
1. Anamnesa TEORI KASUS
- Nyeri epigastrium (+) (+)
- Rasa cepat kenyang (+) (+)
- Rasa penuh setelah (+) (-)
makan
- Rasa terbakar di (+) (-)
epigastrium
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan penunjang
Teori Kasus
Aktivitas : Tirah baring Aktivitas : Tirah Baring
Diet : MB Diet : MB
Terapi Medikamentosa : Terapi Medikamentosa :
-Antasida • IVFD RL 20 GTT/I
- H2 Blocker • Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam
- Proton Pump Inhibitoe • Loperamide 3 x 1 tab
- Domperidone • Domperidone 3 x 1 tab
- Psikoterapi • Lanzoprazole 2 x 1 tab
• Curcuma 3 x 1 tab
-
4.3. Hipertensi
2. Pemeriksaan fisik
Teori Kasus
Aktivitas : Tirah baring Aktivitas : Tirah Baring
Diet : Diet rendah garam Diet : Diet rendah garam
Terapi Medikamentosa : Terapi Medikamentosa :
-Diuretik
- ACE-Inhibitor • Amlodipine 10 mg 1x1
- Calsium channel blocker
- ARB
- Beta Blocker
BAB V
KESIMPULAN
Telah dilaporkan satu kasus disentri basiler, dispepsia dan hipertensi. Diagnosa
ditegakkan secara anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pasien ini
didiagnosa disentri basiler yang karena mengalami diare berdarah disertai nyeri perut. .
Pasien ini juga dilaporkan mengalami Dispepsia. Keluhan utama yang menjadi
kunci untuk mendiagnosis dispepsia adalah adanya nyeri dan atau rasa tidak nyaman
pada perut bagian atas. Apabila ditemukan adanya kelainan organik atau struktural
organ lambung, perlu dipikirkan kemungkinan diagnosis dispepsia organik, sedangkan
bila tidak ditemukan kelainan organik apa pun, dipikirkan kecurigaan ke arah dispepsia
fungsional.
Penatalaksanaan hipertensi meliputi modifikasi gaya hidup namun terapi
antihipertensi dapat langsung dimulai untuk hipertensi derajat 1 dengan penyerta dan
hipertensi derajat 2. Modifikasi gaya hidup berupa penurunan berat badan, kontrol diet
mencakup konsumsi buah-buahan, sayur-sayuran, serta produk susu rendah lemak
jenuh/lemak total, penurunan asupan garam dimana konsumsi NaCl yang disarankan
adalah < 6 g/hari. Beberapa hal lain yang disarankan adalah target aktivitas fisik
minimal 30 menit/hari dilakukan paling tidak 3 hari dalam seminggu serta pembatasan
konsumsi alkohol. Terapi farmakologi bertujuan untuk mengontrol tekanan darah
hingga mencapai tujuan terapi pengobatan. Apabila terapi antihipertensi sudah dimulai,
pasien harus rutin kontrol dan mendapat pengaturan dosis setiap bulan hingga target
tekanan darah tercapai. Perlu dilakukan pemantauan tekanan darah, LFG dan elektrolit.
DAFTAR PUSTAKA
1. The Eight Joint National Commitee. Evidence based guideline for the
management of high blood pressure in adults-Report from the panel members
appointed to the eight joint national commitee. 2014.
2. ESH and ESC. 2013. ESH/ESC Guidelines For the Management Of Arterial
Hypertension. Journal Of hypertension 2013, vol 31, 1281-1357.
3. Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th Edition page 1653. The McGraw
– Hill Companies. 2005
4. Mohammad Yogiantoro. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Hipertensi
Esensial. Perhipunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.
5. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. 2014. Buku ajar ilmu
penyakit dalam jilid I. VI. Jakarta: Interna Publishing.
6. Murdani Abdullah, Jeffri Gunawan. Dispepsia. Akreditasi IDI – 4 SKP. Divisi
Gastroenterologi, Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta, Indonesia
7. Sya’roni A., Hoesadha Y., 2006. Disentri Basiler. Buku Ajar Penyakit Dalam.
FKUI: Jakarta.
8. Pritt BS, Clark CG. Amebiasis. Mayo Clin Proc. Oct 2008;83(10):1154-9; quiz
1159- 60.