Anda di halaman 1dari 29

PAPER

GANGGUAN IDENTITAS DISOSIASI

Makalah ini dibuat sebagai salah satu persyaratan kelulusan kepaniteraan


Klinik SMF Psikiatri di Rumah Sakit Haji Medan

Pembimbing:

Dr. dr. Elmeida Effendy, M.Ked(KJ).,Sp.KJ (K)

Oleh:
M. Izzuddin Ikhwan
21360040

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF


PSIKIATRI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
RUMAH SAKIT UMUM HAJI
MEDAN 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kehendak dan Karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan paper yang berjudul ”GANGGUAN IDENTITAS
DISOSIATIF”. Penyusunan tugas paper ini di maksudkan untuk mengembangkan wawasan serta
melengkapi tugas Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Psikiatri yang diberikan pembimbing.
Dalam penulisan paper, penulis telah banyak mendapatkan bantuan, baik berupa petunjuk,
bimbingan, saran, motivasi, dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin
menyampaikan rasa terima kasih kepada Dr.dr. Elmeida Effendy, M. Ked. KJ., Sp.KJ (K) selaku
pembimbing dalam kepaniteraan klinik ilmu kedokteran psikiatri serta dalam penyusunan paper
ini.
Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa paper terdapat banyak
kekurangan dan jauh dari sempurna, mengingat segala keterbatasan pengetahuan dan
pengalaman yang dimiliki oleh penulis. Maka dari ini, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun untuk perbaikan di masa yang akan datang.
Akhir kata semoga paper ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan semua pihak
yang membaca.

Medan, 3 September 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR................................................................................................................i

DAFTAR ISI...............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.........................................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................3

2.1 Gangguan Identitas Disosiasi...................................................................................5

2.1.1. Definisi..........................................................................................................5

2.1.2. Epidemiologi.................................................................................................6

2.1.3. Etiologi..........................................................................................................7

2.1.4. Patofisiologi..................................................................................................8

2.1.5. Diagnosis.....................................................................................................10

2.1.6. Klasifikasi...................................................................................................14

2.1.7. Penatalaksanaan..........................................................................................16

2.1.8. Komplikasi..................................................................................................23

2.1.9. Prognosis......................................................................................................15

BAB III KESIMPULAN...........................................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
Gangguan disosiasi identitas merupakan

gangguan disosiasi kronik dan penyebab khas yaitu


1.1 Latar Belakang
kejadian yang traumatic, biasanya kekerasan fisik atau

seksual pada masa kanak. Individu dengan gangguan ini

memiliki dua atau lebih kepribadian yang berbeda,

tetapi salah satu dari kepribadian tersebut dapat lebih

dominan dalam waktu ternetu dan hanya satu yang

tampil untuk setiap saatnya. Gangguan disosiasi

identitas biasanya dipertimbangkan sebagai gangguan

disosiasi yang paling serius ((Sylvia dan Gitayanti,

2017)

Penyebab utama atau pasti dari gangguan

disosiasi identitas belum diketahui secara pasti hingga

saat ini, walaupun pada Riwayat pasien sering

didapatkan adanya kejadian traumatic pada masa kanak,

biasanya kekerasan fisik ataupun sesksual. ((Sylvia dan

Gitayanti, 2017)

Perkiraan prevalensi gangguan ini bervariasi

menurut laporan riset maupun laporan tidak resmi

mengenai gangguan identitats disosiatif. Pada suatu titik,

sejumlah peneliti yakin bahwa gangguan identitas

disosiatif sangat jarang; pada titik lain, beberapa peneliti

yakin bahwa gangguan identitas disosiatiif sangat

banyak yang tidak dikenali. Namun berdasarkan pada

Buku Ajar Psikiatri Edisi ketiga bahwa prevalensi

1
gangguan ini adalah disosiasi yang paling berat dan kronik, umumnya

0,5-2% dari seluruh penyembuhannya juga tidak sempurna.

populasi

Menurut buku

ajar Psikiatri edisi

ketiga gangguan

disosiasi identitas

dapat mulai timbul

pada masa kanak,

gejala mirip dengan

trance dan disertai

dengan gangguan

depresi, halusinasi,

perubahan perilaku

yang dramatis dan

tiba-tiba, perubahan

dari tingkat

kemampuan, perilaku

bunuh diri atau

menyakiti diri

sendiri. Makin dini

timbulnya gejala,

prognosisnya makin

buruk. Gangguan

disosiasi identitas

merupakan gangguan
1
2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1 Gangguan Disosiasi Identitas

2.1.1 Definisi

Gangguan disosiatif adalah gangguan dengan terganggunya fungsi integrasi

kesadaran,ingatan, identitas atau persepsi terhadap lingkungan sekitar sebagai

karakteristiknya. Gangguan tersebut dapat terjadi secara mendadak atau gradual, sementara

(transien) atau kronik (Kaplan & Sadock’s, 2014). Gangguan disosiatif biasanya muncul

sebagai respon terhadap kejadian traumatik, untuk menjaga memori tersebut tetap

terkontrol. Tekanan dari lingkungan dapat memperburuk gangguan menyebabkan

terganggunya kemampuan melakukan kegiatan sehari-hari (NAMI, 2015).

Menurut Diagnostik dan Statistik Manual of Mental Disorders, edisi revisi teks

keempat (DSM-IV-TR), fitur penting dari gangguan disosiatif adalah gangguan fungsi

terintegrasi dalam kesadaran, memori, identitas, atau persepsi lingkungan. Gangguan dapat

tiba-tiba atau bertahap, sementara atau kronis. Gangguan disosiatif terdiri dari gangguan

identitas disosiatif, gangguan depersonalisasi, amnesia disosiatif, fugue disosiatif, dan

gangguan disosiatif yang tidak ditentukan.

Gangguan disosiasi identitas merupakan gangguan disosiasi yang kronik dan

penyebabnya khas yaitu kejadian yang traumatik, biasanya kekerasan fisik atau seksual

pada masa kanak.

6
2.1.2 Epidemiologi

Instrumen penilaian psikiatri umum tidak mencakup gangguan disosiatif DSM-IV.

Banyak penelitian epidemiologi skala besar menyebabkan hasil yang bias karena defisit ini

dalam metodologi mereka. Namun demikian, penelitian skrining yang menggunakan alat

diagnostik yang dirancang untuk menilai kelainan disosiatif menghasilkan tingkat

prevalensi seumur hidup sekitar 10% pada populasi klinis dan di masyarakat. Populasi

khusus seperti pelamar darurat psikiatri, pecandu narkoba, dan wanita dalam pelacuran

menunjukkan tingkat tertinggi. Data yang berasal dari studi epidemiologi juga mendukung

temuan klinis tentang hubungan antara pengalaman buruk masa kanak-kanak dan gangguan

disosiatif. Dengan demikian, gangguan disosiatif merupakan masalah kesehatan masyarakat

yang tersembunyi dan terbengkalai. Pengenalan gangguan disosiatif yang lebih baik dan

awal akan meningkatkan kesadaran tentang trauma masa kanak-kanak di masyarakat dan

mendukung pencegahannya bersamaan dengan konsekuensi klinis mereka.

Perkiraan prevalensi gangguan ini bervariasi menurut laporan riset maupun laporan

tidak resmi mengenai gangguan identitats disosiatif. Pada suatu titik, sejumlah peneliti

yakin bahwa gangguan identitas disosiatif sangat jarang; pada titik lain, beberapa peneliti

yakin bahwa gangguan identitas disosiatiif sangat banyak yang tidak dikenali. Studi yang

terkontrol baik melaporkan bahwa antaara 0,5 hingga 3% pasien yang datang ke rumah sakit

psikiatrik umum memenuhi kriteria diagnostik gangguan identitas disosiatif. Pasien yang

didiagnosis gangguan identitas disosiatif sebagian besar adalah perempuan – rasio

perempuan dibanding laki – laki 5 : 1 hingga 9 : 1. Meskipun demikian, banyak klinisi dan

peneliti yakin bahwa laki –laki kurang dilaporkan dalam sampel klinis karena mereka yakin

bahwa sebagian bersar laki – laki dengan gangguan ini memasuki sistem peradilan kriminal

dibandingkan dengan sistem kesehatan jiwa. Gangguan ini paling lazim ditemukan pada

masa remaja akhir dan dewasa muda, dengan usia diagnosis rerata adalah 30 tahun,

7
walaupun pasien biasanya mengalam gejala selama 5 hingga 10 tahun sebelum diagnosis.

Beberapa studi menemukan bahwa gangguan ini lebih lazim ditemukan pada kerabat

biologis derajat pertama pada orang dengan gangguan ini dibandingkan dengan populasi

umum.

2.1.3 Etiologi

Teori etiologi gangguan disosiatif telah banyak dibahas dalam bagian pengantar

pada fenomena disosiatif dan tidak akan diulangi di sini (lihat bagian tentang trauma trauma

dan pengkhianatan, autohypnosis, menyatakan perilaku diskrit, dan

pengembangan).Gangguan identitas disosiatif adalah sangat terkait dengan ekstrim, kronis,

dan penganiayaan anak usia dini, dalam semua studi-di Barat dan budaya non-Barat-yang

sistematis mengkaji pertanyaan ini. Tingkat melaporkan trauma masa kecil yang berat untuk

anak dan identitas gangguan disosiatif rentang dewasa pasien 85-97 persen kasus di

berbagai studi. Kekerasan fisik dan seksual, biasanya dalam kombinasi, adalah sumber yang

paling sering dilaporkan dari trauma masa kecil dalam studi penelitian klinis, meskipun

jenis lain trauma telah dilaporkan, seperti beberapa prosedur medis dan bedah yang

menyakitkan masa kanak-kanak dan trauma perang. Kritikus telah mengangkat pertanyaan

tentang validitas pasien gangguan disosiatif identitas 'laporan diri dari trauma masa kecil.

Penelitian terbaru, termasuk sampel besar anak-anak dengan gangguan disosiatif dianiaya

dan studi kasus secara intensif divalidasi, telah memberikan pembuktian independen ketat

laporan pasien penganiayaan. Studi-studi ini terus sangat mendukung perkembangan

hubungan antara trauma masa kecil dan gangguan identitas disosiatif. Di sisi lain, hampir

tidak ada data empiris dalam penelitian klinis atau populasi ada untuk mendukung

sociocognitive atau teori iatrogenesis dari etiologi gangguan identitas disosiatif.

8
2.1.4 Patofisiologi

Gangguan identitas disosiatif sangat terkait dengan pengalaman trauma dini pada

masa kanak-kanak yang parah, biasanya penganiayaan, dalam semua penelitian di budaya

Barat dan non Barat yang secara sistematis telah memeriksa pertanyaan ini. Tingkat trauma

masa kecil yang dilaporkan untuk pasien anak dan orang dewasa berkisar antara 85 sampai

97 persen kasus. Pelecehan fisik dan seksual, biasanya dalam kombinasi, adalah sumber

trauma masa kanak-kanak yang paling sering dilaporkan dalam penelitian klinis. Kritikus

telah menimbulkan pertanyaan tentang validitas laporan pasien tentang trauma masa kecil.

Studi terbaru yang sekarang mencakup menguatnya menguatkan secara independen laporan

pasien tentang penganiayaan terus mendukung secara kuat hubungan perkembangan antara

trauma masa kanak-kanak dan gangguan identitas disosiatif. Pengalaman hidup awal yang

mengakibatkan gangguan dalam hubungan keterikatan dengan pengasuh primer dan proses

keluarga abnormal lainnya telah terlibat dalam asal mula tingkat patologis disosiasi dan

pengembangan gangguan identitas disosiatif. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa

tingginya tingkat disosiasi pada ibu dikaitkan dengan perilaku attachment yang terganggu,

seringkali disosiatif, pada anak-anak mereka. Dalam studi lain, awal kehadiran gangguan

keterikatan ini secara prospektif memprediksikan tingkat disosiasi yang lebih tinggi pada

masa remaja akhir. Kontribusi faktor genetik sekarang hanya dinilai secara sistematis,

namun studi pendahuluan belum menemukan bukti adanya kontribusi genetik yang

signifikan.

9
2.1.5 Gejala Klinis

3 Tabel 2.3 Gejala Gangguan Disosiatif Proses Identitas

10
3.1.1 Diagnosis

Menurut North, pada orang dengan gangguan disoaistif akan ditemukan gangguan-

gangguan, yaitu gangguan identitas, gangguan amnesia, fugue disosiatif, depersonalisasi,

dan derealisasi. Gangguan identitas disosiatif adalah gangguan disosiatif dimana seseorang

memiliki dua atau lebih kepribadian yang berbeda atau kepribadian pengganti (alter).

Gagguan amnesia disosiatif yaitu kehilangan memori karena penyebab psikologik. Paling

sering amnesia anterograde secara tiba-tiba setelah suatu stres fisik atau psikososial. Fugue

disosiatif, memori yang hilang lebih luas dari pada amnesia disosiatif, individu tidak hanya

kehilangan seluruh ingatanya (misalnya nama, keluarga atau pekerjaanya), mereka secara

mendadak meninggalkan rumah dan pekerjaanya serta memiliki identitas yang baru (parsial

atau total). Depersonalisasi yaitu kehilangan atau perubahan temporer dalam perasaan yang

biasa mengenai realitas diri sendiri. Dalam suatu tahap depersonalisasi, orang merasa

terpisah dari dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Dan derealisasi yaitu perasaan tidak

nyata mengenai dunia luar yang mencakup perubahan yang aneh dalam persepsi mengenai

lingkungan sekitar, atau dalam perasaan mengenai periode waktu juga dapat muncul (North,

2015).

Dua DSM-IV-TR berbasis wawancara terstruktur telah dikembangkan untuk

diagnosis gangguan disosiatif formal, Structured Clinical Interview untuk DSM-IV-TR

Gangguan disosiatif, Revisi (SCID-DR), dan Jadwal Wawancara Gangguan Disosiatif /

Disscociative Disorder Interview Schedule (DDIS) . SCID-DR, oleh Marlene Steinberg,

secara luas dianggap sebagai standar emas untuk studi penelitian yang memerlukan

diagnosis.

11
Ini adalah semi-terstruktur diberikan dokter-wawancara yang menilai keberadaan

dan tingkat keparahan amnesia, identitas kebingungan dan perubahan, depersonalisasi, dan

derealisasi, dan membuat diagnosis DSM-IV-TR untuk semua lima gangguan disosiatif dan

gangguan stres akut. Ini mencakup 276 pertanyaan dan tingkat keparahan gejala masing-

masing pada skala 4-titik. Untuk pasien gangguan disosiatif, waktu administrasi biasanya

berkisar dari 1 sampai 2 jam tetapi jauh lebih singkat bagi pasien kejiwaan non-disosiatif.

SCID-DR telah baik untuk interrater sangat baik dan tes-tes ulang keandalan dan validitas

mapan dalam banyak penelitian. Telah diterjemahkan ke dalam sedikitnya selusin bahasa

dengan hasil yang sama dalam budaya yang berbeda. Para DDIS, oleh Colin Ross, terutama

alat diagnostik klinis dan kadang-kadang digunakan sebagai layar untuk disosiasi patologis.

Ini bertanya tentang berbagai fenomena di samping gejala disosiatif, termasuk riwayat

pelecehan anak, depresi berat, keluhan somatik, penyalahgunaan zat, dan pengalaman

paranormal.

Hal ini membutuhkan sekitar 30 sampai 60 menit untuk melayani pasien gangguan

identitas disosiatif. Kecuali untuk gangguan depersonalisasi, kehandalan interrater diterima,

dan validitas konvergen termasuk korelasi yang kuat dengan DES, SCID-D, dan diagnosis

klinis gangguan disosiatif. Kognisi dalam Disosiasi Disfungsi memori adalah fitur utama

dari gangguan disosiatif. Identitas gangguan disosiatif, dengan web yang tampak jelas dari

amnesias arah antara negara-negara mengubah kepribadian, adalah fokus dari upaya awal di

penyelidikan eksperimental.Banyak studi kasus yang diikuti juga berusaha untuk

mendokumentasikan amnesias.Sebuah 1985 Institut Nasional Kesehatan Mental (NIMH)

studi digunakan sembilan pasien gangguan identitas disosiatif dan sepuluh kontrol cocok,

12
yang diuji seperti diri sendiri dan dalam keadaan mengubah kepribadian simulasi. Mereka

menguji memori keterpisahan antara pasangan saling dilaporkan amnesia mengubah negara

kepribadian dengan mengukur intrusi dari daftar kata kategoris yang sama dipelajari oleh

negara-negara lainnya mengubah kepribadian. Para pasien gangguan identitas disosiatif

lebih mungkin untuk kotakkan rangsangan belajar, sedangkan yang disosiasi meniru

menunjukkan bukti jauh lebih sedikit dari partisi informasi. Penelitian selanjutnya

menunjukkan bahwa disosiasi berdampak diferensial pada domain memori implisit dan

eksplisit. Sebaliknya, dalam beberapa studi terbaru dari memori dan amnesia dalam

gangguan identitas disosiatif, peneliti kognitif belum mampu mendokumentasikan amnesia

mengklaim antara subyektif saling mengubah amnestic menggunakan berbagai paradigma

memori implisit dan eksplisit. Dalam satu studi, subyek kontrol pura-pura akrab dengan

gangguan identitas disosiatif menunjukkan kurangnya priming dalam tugas memori implisit

karena mereka "tahu" mereka seharusnya amnestic, meskipun subjek gangguan disosiatif

identitas yang sebenarnya memang menunjukkan priming normal. Di sisi lain, dalam studi

lain, peneliti tidak dapat dokumen transfer seharusnya informasi antara mengubah mengaku

sebagai "co-sadar" menggunakan tugas memori implisit dan eksplisit. Dengan demikian,

beberapa peneliti telah mempertanyakan aktualitas amnesias gangguan identitas disosiatif.

Namun, kegagalan transfer informasi di co-sadar seharusnya mengubah menunjukkan

kemungkinan implikasi lain dari studi ini. Ini termasuk bahwa pasien gangguan identitas

disosiatif mungkin tidak selalu dapat diandalkan wartawan baik amnesia atau coawareness

antara negara mengubah diri.Sebagai contoh, dalam studi kasus tunggal, subjek gangguan

identitas disosiatif secara

13
acak ditandai oleh pager dan diisi mood dan skala kegiatan penilaian, serta informasi yang

berkaitan dengan keadaan kepribadian yang "keluar." Penilaian skala diisi secara real waktu

yang berbeda dengan diri-mengaku mengubah mood 'dan laporan kegiatan selama

wawancara klinis. Akhirnya, mungkin akan lebih berguna untuk merancang studi

menggunakan paradigma memori otobiografi dan untuk lebih global dan secara naturalistik

studi identitas disosiatif gangguan memori pasien 'masalah dan perilaku beralih tanpa harus

mencurahkan perhatian khusus untuk yang mengubah tidak atau tidak memiliki ingat pada

waktu tertentu. Namun, keberadaan diferensial dan terarah amnesias seluruh gangguan

identitas disosiatif mengubah kepribadian menyatakan telah ditemukan dalam kebanyakan

studi sampai saat ini. Studi yang lebih ketat, bagaimanapun, juga kebocoran dokumen

cukup atau transfer informasi di seluruh negara mengubah kepribadian, yang melaporkan

telah benar-benar amnesia satu sama lain. Penjelasan neuropsikologi paling pelit

dikemukakan, bahwa amnesias adalah contoh negara yang bergantung pada pembelajaran

dan pengambilan, pertama kali disampaikan oleh Theodule Ribot pada akhir abad ke-19.

Tingkat amnesia menunjukkan pada pasien gangguan identitas disosiatif, bagaimanapun,

melebihi yang biasanya terlihat pada studi eksperimental negara-tergantung memori. Studi

menunjukkan bahwa tugas-tugas memori dapat dibangun sedemikian rupa sehingga orang

yang sangat disosiatif berperforma lebih baik atau lebih buruk dibandingkan subyek

kontrol. Memori tugas yang melibatkan pembagian perhatian atau kompartementalisasi

informasi sangat mirip tampaknya mendukung individu yang sangat disosiatif. Memori

tugas yang menuntut perhatian terfokus menempatkan mereka pada kerugian yang

signifikan. Perbedaan-perbedaan attentional dan memori, mungkin bersama-sama dengan

14
perbedaan-perbedaan lain yang belum diakui kognitif, operasi selama periode kritis

perkembangan dan selama rentang kehidupan individu, dapat menyebabkan penyimpangan

yang cukup besar dari lintasan perkembangan yang normal, seperti yang dijelaskan dalam

bagian pada model perkembangan.

3.1.2 Pedoman Diagnosis dan Klasifikasi

Disosiatif diartikan sebagai mekanisme pertahanan secara tidak sadar yang

melibatkan segregasi dari beberapa kelompok proses mental dan tingkahlaku seseorang

yang mungkin membawa pemecahan dari tonus emosi. (taka et al, 2012)

Gejala utamanya adalah hilangnya (sebagian atau seluruh) dari integrasi normal

(dibawah kendali kesadaran) antara ( Maslim, 2003):

 Ingatan masa lalu

 Kesadaran identitas dan pengindraan segera (awareness of identity and immediate

sensations)

 Kontrol terhadap gerakan tibuh

 Pada gangguan disosiatif, kemampuan kendali dibawah kesadaran dan kendali selektif

tersebut terganggu sampai taraf yang dapat berlangsung dari hari ke hari atau bahkan jam ke

jam.

Pedoman diagnostik ( Maslim, 2003)

Untuk diagnostik pasti maka hal-hal dibawah ini harus ada:

a) Gambaran klinis yang ditemukan untuk masing-masing gangguan yang tercantum pada F

44.-;

b) Tidak ada bukti adanya gangguan fisik yang dapat menjelaskan gejala tersebut

15
c) Bukti adanya gangguan psikologis dalam bentuk hubungan kurun waktu yang jelas dengan

problem dan kejadian-kejadianyang stressfull atau hubungan interpersonal yang terganggu

(meskipun hal tersebut disangkal oleh penderita)

Menurut Diagnostik dan Statistik Manual of Mental Disorders, edisi revisi teks

keempat (DSM-IV-TR), gangguan disosiatif terdiri dari gangguan identitas disosiatif,

gangguan depersonalisasi, amnesia disosiatif, fugue disosiatif, dan gangguan disosiatif yang

tidak ditentukan.

2.6.1 Gangguan Identitas Disosiatif

Identitas gangguan disosiatif, yang sebelumnya disebut gangguan kepribadian ganda,

telah diteliti secara ekstensif dari semua gangguan disosiatif. Ini adalah psikopatologi

disosiatif paradigmatik dalam bahwa gejala gangguan disosiatif semua lainnya umumnya

ditemukan pada pasien dengan gangguan identitas disosiatif, Amnesias, fugues,

depersonalisasi, derealisasi, dan gejala serupa. Menurut DSM-IV-TR, gangguan identitas

disosiatif "dicirikan oleh adanya dua atau lebih identitas yang berbeda atau negara

kepribadian yang berulang mengendalikan perilaku individu disertai oleh ketidakmampuan

untuk mengingat informasi pribadi yang penting yang terlalu luas untuk dijelaskan oleh

kelupaan biasa. "Identitas atau negara kepribadian, mengubah kadang-kadang disebut,

menyatakan diri, mengubah identitas, atau bagian, antara istilah lain, berbeda dari satu sama

lain dalam bahwa setiap muncul sebagai memiliki" pola sendiri yang relatif abadi mencerap,

yang berkaitan untuk, dan berpikir tentang lingkungan dan diri sendiri

16
3.1.2 Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan untuk gangguan konversi adalah untuk menghilangkan gejala,

untuk memastikan pasien dan orang-orang disekitarnya aman, dan untuk "menyambungkan

kembali" orang tersebut dengan kenangan yang hilang. Pengobatan juga bertujuan untuk

membantu orang tersebut (CCF, 2016):

1. Dapat menangani dan mengelola kejadian yang menyakitkan;

2. Mengembangkan keterampilan dan keterampilan hidup baru;

3. Kembali berfungsi semaksimal mungkin; dan

4. Memperbaiki hubungan.

Wawancara diberikan sebagai terapi sekaligus untuk menyimpulkan apakah ada

pengalaman yang bersifat traumatik pada diri pasien. Terkadang dapat dilakukan terapi

hipnosis agar pasien memasuki fase relaksasi sehingga dapat mengingat kembali hal-hal

yang dilupakan. Terdapat juga psikoterapi untuk untuk membantu pasien menyatukan

kenangan yang terpisah-pisah menjadi ingatan yang runtut serta rehabilitasi pasien pada

kehidupan sehari-hari (CCF, 2016)

17
Pada gangguan disosiatif yang disertai dengan amnesia, dasar pemberian terapi adalah

bila pasien dalam keadaan somnolen, maka inhibisi mental hilang dan bahan amnestik akan

muncul ke dalam kesadaran. Pendekatan pengobatan terbaik tergantung pada orang, jenis

amnesia, dan seberapa parah gejalanya. Jika ingatan hanya dalam jangka waktu yang sangat

singkat hilang, pengobatan suportif biasanya cukup, terutama jika pasien tidak memiliki

kebutuhan untuk memulihkan ingatan akan kejadian yang menyakitkan. Pengobatan untuk

kehilangan ingatan yang lebih parah dimulai dengan menciptakan lingkungan yang aman

dan suportif. Pemulihan ingatan dilakukan dengan psikoterapi secara bertahap. Penggunaan

obat-obatan bius (barbiturat atau benzodiazepin) dan hipnosis dapat digunakan untuk

memulihkan ingatan. Menanyai pasien saat berada di bawah hipnosis atau dalam keadaan

semihypnotic yang disebabkan obat bisa berhasil. Strategi ini harus dilakukan dengan hati-

hati karena keadaan traumatis yang merangsang kehilangan ingatan kemungkinan akan

diingat dan sangat menjengkelkan. Penanya juga harus secara hati-hati menguraikan

pertanyaan agar tidak memberi kesan adanya suatu kejadian dan risiko menciptakan memori

palsu (Sadock, et al., 2007 ; Spiegel, etc., 2015)

Gejala amnesia pada gangguan disosiatif biasanya berespon pengobatan dengan baik.

Namun, kemajuan dan kesuksesan bergantung pada banyak hal, termasuk situasi kehidupan

seseorang dan jika dia mendapat dukungan dari keluarga dan teman (CCF, 2016 ; Sadock et

al., 2007)

Setelah ingatan pulih pada gangguan disosiatif dengan amnesia atau pada gangguan

disosiatif lain tanpa adanya amnesia, pengobatan bertujuan untuk memberikan makna pada

trauma atau konflik yang mendasarinya, menyelesaikan masalah sebagai stressor

munculnya gejala. Mengaktifkan pasien untuk melanjutkan hidup mereka. Seorang psikiater

dapat membantu pasien untuk mengeksplorasi bagaimana mereka menangani jenis situasi,

konflik, dan emosi yang memicu gejala dan dengan demikian mengembangkan tanggapan

18
yang lebih baik terhadap kejadian tersebut dan membantu mencegah agar tidak berulang

(Spiegel, etc., 2015)

Wawancara psikiatrik, wawancara yang dibantu dengan obat, dan hipnosis dapat

membantu mengungkapkan kepada terapis dan pasien mengenai stresor psikologis yang

mencetuskan munculnya gejala. Psikoterapi diindikasikan untuk membantu pasien

menyatukan stressor pencetus ke dalam jiwa mereka dengan cara yang sehat dan

terintergrasi. Terapi pilihan gangguan konversi adalah psikoterapi, psikodinamik, dan

ekspresif suportif. Teknik yang paling banyak digunakan adalah psikoterapi berorientasi

tilikan, abreaksi trauma masa lalu, dan integrasi trauma tersebut ke dalam diri yang menyatu

yang tidak lagi membutuhkan pemisahan untuk menghadapi trauma tersebut (Sadock,

2007). Selanjutnya pengobatan dilakukan disesuaikan dengan gejala. Terapi mencakup

beberapa kombinasi metode

2.6.2 Gangguan Identitas Disosiatif

Gangguan Identitas Disosiatif menurut Saddock etc (2015), Saddock etc (2007) dibagi

menjadi 5 terapi utama dan 4 terapi tambahan

1. Psikoterapi.

Psikoterapi yang sukses untuk pasien dengan gangguan identitas disosiatif mengharuskan

dokter merasa nyaman dengan berbagai intervensi psikoterapeutik dan bersedia untuk

secara aktif bekerja untuk menyusun pengobatan. Modalitasnya terdiri atas: psikoterapi

19
psikoanalitik, terapi kognitif, terapi perilaku, hipnoterapi, penatalaksanaan

psikofarmakologis penderita dengan trauma. Dokter harus memberikan kenyamanan,

menganggap pasien seperti keluarganya sendiri karena pasien secara subjektif mengalami

dirinya sebagai sistem kompleks diri dengan aliansi, hubungan keluarga, dan konflik

intragroup.

2. Terapi Kognitif

Banyak gangguan identitas disosiatif yang hanya responsif terhadap kognitif terapi, namun

intervensi kognitif yang sukses dapat menyebabkan disforia tambahan. Kognitif terapi fokus

pada pengendalian gejala dan pengelolaan aspek-aspek kehidupan yang memilikki

disfungsi

3. Hipnosis.

Intervensi hypnotherapeutic seringkali dapat meredakan impuls yang merusak diri sendiri atau

mengurangi gejala, seperti kilas balik, halusinasi disosiatif, dan pengalaman pengaruh pasif.

Mengajarkan self-hypnosis pasien dapat membantu mengatasi gejala yang muncul sewaktu-

waktu. Hipnosis dapat berguna untuk mengakses kepribadian pasien yang disembunyikan

dan ingatan yang hilang. Hipnosis juga digunakan untuk menciptakan keadaan mental yang

rileks dimana kejadian kehidupan negatif dapat diperiksa tanpa kegelisahan yang luar biasa.

4. Intervensi Psikofarmakologis.

Obat antidepresan seringkali penting dalam mengurangi depresi dan stabilisasi mood.

Antidepresan SSRI, trisiklik, dan monamin oksidase (MAO), β-blocker, clonidine

(Catapres), antikonvulsan, dan benzodiazepin berhasil dalam mengurangi gejala intrusif,

hiperperousal, dan kegelisahan pada pasien dengan gangguan identitas disosiatif. Penelitian

terbaru menunjukkan bahwa α1 Antagonis antagonis prazosin (Minipress) sangat membantu

untuk mimpi buruk PTSD. Beberapa laporan kasus menunjukkan karbamazepin (Tegretol)
20
berespon pada beberapa individu dengan kelainan EEG. Pasien dengan gejala obsesif-

kompulsif dapat merespons antidepresan dengan khasiat antiobsesif. Studi label terbuka

menunjukkan bahwa naltrexone (ReVia) dapat membantu untuk memperbaiki perilaku

merugikan diri secara berulang pada pasien yang mengalami trauma. Neuroleptik atipikal,

seperti risperidone (Risperdal), quetiapine (Seroquel), ziprasidone (Geodon), dan

olanzapine

(Zyprexa) lebih efektif dan lebih baik ditoleransi daripada neuroleptik khas untuk

kecemasan yang berlebihan dan gejala PTSD yang mengganggu pada pasien dengan

gangguan identitas disosiatif. Untuk pasien dengan gangguan identitas disosiatif yang parah

dan tidak berespon dengn berbagai obat dapat berhasil dengan clozapine (Clozaril)

5. Terapi Electroconvulsive.

Bagi beberapa pasien, ECT sangat membantu dalam memperbaiki gangguan mood refrakter dan

tidak memperburuk gangguan memorinya. ECT juga merupakan terapi paling ampuh untuk

menghilangkan gejala somatik pasien dengan ganggi=uan identitas disosiatif, meskipun

respon hanya parsial.

Terapi Tambahan (Adjunctive)

1. Terapi kelompok (Group Theraphy)

Pada terapi kelompok, munculnya kepribadian lain bisa muncul dengan adanya integrasi

kelompok dengan keinginan untuk diperhatikan maupun keinginan untuk mengintimidasi

pasien lain. Kelompok terapi hanya terdiri dari pasien dengan gangguan disosiatif.

21
2. Terapi Keluarga (Family Theraphy)

Terapi keluarga atau pasangan seringkali penting untuk stabilisasi jangka panjang. Dengan

edukasi cara penanganan penderita gangguan identitas disosiatif, keluarga dapat

memberikan mekanisme coping yang lebih pada penderita atas dasar cinta anggota

keluarga. Terapi seks juga merupakan bagian penting dari terapi, karena pasien dengan

gangguan identitas

3. Terapi Ekspresif dan Occupational.

Terapi ekspresif dan pekerjaan, seperti terapi seni dan gerakan, telah terbukti sangat

membantu dalam perawatan pasien dengan gangguan identitas disosiatif. Terapi seni dapat

digunakan untuk membantu penahanan dan penataan gangguan identitas disosiatif yang

parah dan gejala PTSD, serta memungkinkan pasien ini mengekspresikan pikiran dengan

lebih aman, perasaan, citra mental, dan konflik sehingga mereka mengalami kesulitan untuk

verbalisasi. Terapi gerakan dapat memfasilitasi normalisasi rasa tubuh dan gambar tubuh

untuk pasien yang sangat trauma ini

4. Desensitisasi Gerakan Mata dan Proses Ulang (EMDR).

EMDR adalah pengobatan yang baru saja dianjurkan untuk PTSD. Ada ketidaksepakatan dalam

literatur tentang kegunaan dan keefektifan modalitas pengobatan ini, namun beberapa pihak

berwenang percaya bahwa EMDR dapat digunakan sebagai tambahan yang membantu

untuk tahap pengobatan selanjutnya. Pedoman pengobatan gangguan disosiatif

22
menunjukkan bahwa EMDR hanya digunakan pada klinisi yang telah telah terlatih

menggunakan EMDR, berpengetahuan dan terlatih mengatasi pasien dengan gangguan

identitas disosiatif.

2.6.3 Gangguan Disosiatif yang Tidak Tergolongkan

Tidak ada studi pengobatan yang sistematis yang dilakukan, mengingat kelangkaan

kondisi ini. Dalam kebanyakan laporan kasus, pasien Dirawat inap di rumah sakit dan telah

dilengkapi dengan lingkungan yang protektif dan suportif. Dalam beberapa kasus, obat

antipsikotik dosis rendah telah dilaporkan bermanfaat. Hypnosis dan amfosintesis

amobarbital juga telah berhasil digunakan untuk membantu Biasanya, kembalinya fungsi

normal yang relatif cepat terjadi dalam beberapa hari, walaupun beberapa kasus mungkin

memerlukan waktu satu bulan atau lebih (Saddock etc., 2015

23
3.1.3 Komplikasi

Orang-orang dengan gangguan disosiatif beresiko besar mengalami

komplikasi seperti:

1. Melukai diri sendiri (self-harm)

Pasien dengan kondisi gangguan disosiatif sering melakukan kegiatan melukai diri

sendiri dengan menggunakan benda tajam.

2. Pikiran untuk bunuh diri (suicidal thought)

Seperti dijelaskan dalam DSM edisi V, pada kondisi gangguan identitas disosiatif

didapatkan lebih dari 70% penderita telah melakukan beberapa kali percobaan

bunuh diri. Hal ini juga berkaitan dengan metode melukai diri sendiri dengan

benda tajam.

3. Gangguan seksual

Kondisi ini berkaitan dengan faktor predisposisi gangguan disosiatif berupa

pelecehan seksual yang dialami pasien pada masa lalu. Trauma yang terjadi bisa

memunculkan gangguan orientasi seksual maupu fungsi seksual pada pasien.

4. Psychogenic non-epileptic seizure

Psychogenic non-epileptic seizure (PNES) merupakan episode kejang yang

menyerupai epilepsi yang berasal dari emosional dibandingkan organik. Dalam

penelitian yang dilakukan oleh kruijs et al (2014), pasien dengan PNES

menunjukkan adanya peningkatan pada skor dissosiasi, penurunan kemampuan

kognitif, serta peningkatan kontribusi dari kortex orbitofrontal, insular, dan

subcallosal.
5. Komplikasi lain yang dapat terjadi pada gangguan disosiatif adalah gangguan

saat tidur,mimpi buruk, insomnia atau berjalan sambil tidur, gangguan

kecemasan, serta gangguan makan.


BAB III

KESIMPULAN

Gangguan disosiasi identitas merupakan gangguan disosiasi kronik dan penyebab khas

yaitu kejadian yang traumatic, biasanya kekerasan fisik atau seksual pada masa kanak.

Individu dengan gangguan ini memiliki dua atau lebih kepribadian yang berbeda, tetapi salah

satu dari kepribadian tersebut dapat lebih dominan dalam waktu ternetu dan hanya satu yang

tampil untuk setiap saatnya. Gangguan disosiasi identitas biasanya dipertimbangkan sebagai

gangguan disosiasi yang paling serius. (Sylvia dan Gitayanti, 2017)

Sehingga gangguan ini harus dideteksi dini dengan menggunakan kriteria diagnosis

dan dari gejala-gejala yang timbul. Gangguan ini makin dini timbulnya gejala, maka

prognsisnya makin buruk.


DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorders, Fifth Edition (DSM-5). Arlington, VA: American Psychiatric
Publishing, 2013.

Benjamin J. Sadock, Virginia A. Sadock, Pedro Ruiz . Kaplan & Sadocks’: Synopsis


of Psychiatry: Behavorial Sciences/Clinical Psychiatry. Edisi 11. New York.
Wolters Kluwer Health, 2014. Hal 665.

Bourgeois at al. 2012. Psychiatry Review and Canadian Certification Exam


Preparation Guide (online) (https://books.google.co.id/books?
hl=en&lr=&id=f_L9Q-
OLFOAC&oi=fnd&pg=PA277&dq=fugue+dissociative&ots=cWJaIYLpda&sig=65
GoiE9UbolVcOza3pSKS_rOf1Y&redir_esc=y#v=onepage&q=fugue
%20dissociative&f=false, Diakses pada 5 Agustus 2017)
Cleveland Clinic Foundation (CCF). 2016. Dissociative Amnesia. Tidak diterbitkan.
https://my.clevelandclinic.org/health/articles/dissociative-amnesia. Diakses
tanggal 06-08-2017 pukul 07:43.
Maslim, Rusdi. 2003. Pedoman Praktis Diagnosis Gangguan Jiwa III. Jakarta : Pt
Nuh Jaya
Mind. Understanding Dissosiative Disorders. Edisi Revisi. London: Mind (National
Association for Mental Health). 2016. Hal 3-4.
https://www.nami.org/Learn-More/Mental-Health-Conditions/Dissociative-Disorders .
March 2015
North, C. S. (2015). The Classification of Hysteria and Related Disorders: Histrorical
and Phenomenological Consideration. Behavioral Sciences , 496-517.

Sadock, Benjamin James & Virginia Alcott Sadock. 2010. Kaplan & Sadock’s
Concise Textbook of Clinical Psychiatry. Jakarta. ECG: 2010
Sar, V. (2012). Epidemiology of Dissociative Disorders: An Overview. Epidemiology
Research International, vol. 2012, Article ID 404538, 8 pages, 2012
Spiegel, David, Jack Lulu, Sam Wilson. Dissociative Amnesia. Unpublished.
https://www.merckmanuals.com/professional/psychiatric-disorders/dissociative-
disorders/dissociative-amnesia. Diakses tanggal 06-08-2017 pukul 15:34
Staniloiu. 2014. Dissociative amnesia. Germany: Physiological Psychology,
University of Bielefeld, Bielefeld journal. Lancet Psychiatry 2014; 1: 226–41
Tada at al, 2012. Dissociative Stupor Mimicking Consciousness Disorder in an
Advanced Lung Cancer Patient. Tokyo : Japanese Journal of clinical oncology.
Jpn J Clin Oncol 2012;42(6)548 – 551
Sylvia D. Elvira dan Gitayanti Hadisukanto. Buku Ajar Psikiatri Edisi Ketiga FKUI
2017
.

Anda mungkin juga menyukai